Kepanikan segera tercipta manakala Anggara datang tergopoh-gopoh dan langsung memberitahu apa yang terjadi di ruang isolasi.“Nadia, bukankah kamu yang terakhir kali memeriksa? Kenapa pasien bisa melakukan self-injury?” tanya salah satu perawat kepada rekannya yang tampak paling cemas, sembari bersiap-siap menuju ruangan yang sedang dibicarakan.“Iya. Tadi, pasien sudah menunjukkan kemajuan pesat. Perilakunya sama sekali tidak memperlihatkan gangguan apa pun. Bahkan, terlihat tenang saat saya mengganti perbannya. Pasien juga yang meminta untuk dilepaskan gembok. Dia bilang kalau tangannya sakit. Karena kasian, saya lepaskan,” jawab perawat junior itu merasa sangat menyesal.Mendengar penjelasan juniornya, perawat lain merasa kecolongan. Beberapa saat, mereka saling pandang.“Sepertinya, kamu harus banyak belajar dan membaca buku,” ujar salah satu perawat yang tampak sangat kecewa dengan keteledoran rekannya tersebut.“Sudah, sudah, ayo, kita ke sana sebelum terlambat,” perintah perawat
Jarak tinggal beberapa meter lagi. Anggara berusaha mencari kata-kata untuk menyapa atau membuka pembicaraan saat berpapasan dengan Pak Harsono itu tiba. Sekuat tenaga, ia juga berusaha mengontrol debaran jantung yang berdetak begitu kencang karena gerogi.Pemuda yang sangat penasaran dengan angin apa yang membawa Pak Harsono kemari itu mulai membuka mulut hendak mengucapkan suatu kata. Namun, secara mendadak, orang yang selangkah lagi berpapasan dengannya itu meletakkan telepon ke telinga. Lalu, dengan suara keras bercakap-cakap dengan seseorang di seberang sana. Alhasil, ia dilewati lelaki paruh baya itu begitu saja. Bahkan, dengan sengaja lelaki itu pura-pura tidak melihat dan mengenalinya.Kecewa tidak bisa lagi ditahan. Tapi, tak lama tersadar bahwa memang begitu adanya. Pemuda itu terlalu sadar diri bahwa ia memang tidak diinginkan menjadi menantu. Sembari menelan ludah kepahitan, Anggara berjalan lunglai menuju ruangan isolasi. Di sana sudah ada Bu Harsono yang sedang memeluk pu
“Ini apa, Nduk?” Bu Harsono terbelalak melihat benda berkilauan di hadapannya.Tangisnnya yang sedari tadi tidak putus-putus mendadak terhenti. Selama hidup, belum pernah ia melihat perhiasan emas sebegitu banyak. Setelah cukup puas memandangi benda berharga tersebut, wanita ayu itu menoleh ke arah suaminya.Pak Harsono tak kalah kaget dengan apa yang dibawa pacar putranya itu. Namun, ia tetap saja pura-pura tidak tertarik. Lelaki itu berusaha menghindar dari tatapan istrinya. Bahkan, untuk menutupi jaim-nya, ia pura-pura batuk.“Ini semua hasil tabungan emas Mas Gayuh, Bu, Pak. Ayah memberi syarat emas seberat seratus gram dan sejumlah uang untuk bisa mendapatkan restu menikah. Tapi, tetap saja, Ayah tidak mau menerima. Malah, memaksaku menikah dengan putra kenalannya yang sama sekali tidak aku cintai. Aku hanya mencintai Mas Gayuh. Tapi, Ayah selalu mengancamku tentang neraka jika tidak menuruti kemauannya.”Tangis gadis cantik berambut lurus panjang itu kembali membahana. Ia tidak b
Anggara terdiam sejenak manakala wanita paruh baya cantik di depannya menyodorkan sebuah kertas berisi sederet nomor telepon. Bukan karena tidak mau menuruti permintaannya, tapi ia benar-benar belum siap untuk berinteraksi dengan kakak laki-laki satu-satunya yang dimiliki sang kekasih.Apalagi, di saat kondisi seperti ini, ia merasa nyalinya belum cukup. Sialnya, pulsa sudah hampir semingguan tidak diisi dan sepertinya tinggal sedikit. Mungkin, jika digunakan untuk telepon internasional tidak akan cukup lama.“Ibu mohon. Bisa ‘kan, Mas? Nanti Ibu ganti pulsanya. Ya?” Seolah mampu membaca isi pikiran, Bu Harsono memohon hingga roman wajahnya terlihat menyedihkan.“Baik, Bu. Saya akan coba hubungi, ya,” ujar Anggara sembari memencet deretan nomor yang tertulis di secarik kertas pemberian Bu Harsono.Tak berapa lama kemudian, suara di seberang terdengar. “Halo?” Suara itu terdengar lesu.“Halo, maaf, apa benar ini nomor Mas Gayuh?” tanya Anggara sembari menatap Bu Harsono yang terlihat ti
“Lihat ini, Pa. Gadis pilihan Papa mukanya ancur begini. Lihat!” Tanpa ba-bi-bu, Bu Sandra mengarahkan ponsel putranya pada sang suami.Melihat apa yang terpampang di layar, sontak Pak Jaksa terbelalak. Pria paruh baya itu tidak bersuara, tapi langsung menatap tajam ke arah Lucky, yang langsung mengalihkan pandangan. Pria muda itu terlihat frustrasi dan merasa bersalah.Dengan langkahnya yang penuh wibawa, Pak Jaksa mendekati sang putra. Ia ingin mengeluarkan suatu kalimat, tapi istrinya lebih dulu mengeluarkan aksi protes.“Apa dengan kondisi begini, Papa masih ingin menjodohkannya dengan putra tampan kita? Nggak, Pa. Mama nggak setuju! Bahkan, dari awal pun, Mama sebenarnya nggak rela. Apalagi wajahnya ancur begini, bisa-bisa Mama dibully temen-temen arisan dan keluarga besar, dong!”“Apa yang sebenarnya terjadi pada putri Pak Harsono ini, Lucky?” Dengan tidak menggubris kata-kata istrinya, Pak Jaksa bertanya sambil menatap tajam sang putra.Pria yang masih belum menemukan kata-kata
Setelah komunikasi via telepon kemarin, hari ini Bu Diana akan bertemu dengan Bu Vera. Sebenarnya, Bu Diana tidak begitu bersemangat untuk bepergian, kecuali urusan bisnis. Namun, karena pikirannya sedang galau lantaran memikirkan putra semata wayang yang sepertinya bertekat bulat hendak menikah, akhirnya ia berangkat juga.Keduanya sepakat untuk bertemu di sebuah cafe dekat sekolah putra-putri mereka sewaktu SMP dulu. Bu Vera yang awalnya mengusulkan hal ini, beralasan ingin sekalian bernostalgia. Begitu sampai di lokasi, Bu Diana celingak-celinguk mencari seseorang. Nyatanya, dari beberapa pengunjung cafe, tidak ada seperti potret seorang perempuan yang tadi dikirim via messanger.“Mana lagi orangnya. Lama banget, lelet!”gerutu Bu Diana yang tidak sabaran.Karena lama dan tidak mau seperti orang hilang, akhirnya wanita yang sudah berdandan ala sosialita itu menuju kursi kosong. Tidak lama kemudian, seorang pelayan datang. Sebenarnya, dia belum ingin memesan. Lagipula, bingung apa yan
Sejak pertemuan dengan Bu Vera, Bu Diana menjadi sedikit pendiam dan pemikir. Ia lebih sering diam dan melamun. Hal itu diperhatikan sang putra yang sangat penasaran. Bahkan, ketika sedang bersama menjaga toko, wanita yang hampir mendekati kepala lima yang biasa cerewet itu lebih memilih duduk di depan meja kasir. Pikiran Bu Diana benar-benar tidak bisa move-on dari curahan hati seorang Ibu yang sedang memperjuangkan kebahagiaan putrinya.Flashback on“Mungkin, aku sudah kehilangan rasa malu dan gengsi.”Sesampainya di mobil, Bu Vera langsung mengungkapkan isi hatinya . Sementara, Bu Diana yang masih sangat penasaran dengan tujuan wanita tersebut menghubunginya, mencoba untuk menyimak dengan baik.“Tapi, ini aku lakukan demi keselamatan dan nyawa putri yang sangat aku sayangi. Bukankah seorang Ibu harus membuat hidup anaknya bahagia ‘kan, Mbak Yu?” Bu Vera menatap wanita di sampingnya sambil berusaha tersenyum, tegar.Bu Diana yang belum begitu siap dengan pertanyaan tersebut hanya men
Tidak sampai setengah jam, Anggara sudah sampai di rumah sakit tujuan. Pemuda ganteng yang khas dengan hoodie jumper itu sengaja mengemudi dengan kecepatan maksimal karena merasa bersalah beberapa hari tidak menjenguk Nirmala di rumah sakit. Dia harus menjaga perasaan dan kesehatan ibunya yang sering melamun. Lagi pula, di rumah sakit sudah ada orang tua Nirmala. Jadi, Anggara merasa cukup lega. Ia pun tidak menghubungi, karena kekasihnya itu belum punya ponsel. Sepanjang perjalanan, Anggara memiliki niat untuk membelikan ponsel agar bisa berkomunikasi. Namun, dia masih menimbang dan berpikir keras bagaimana cara mendapatkan uang untuk membeli benda yang harganya lumayan itu.Sementara, dia sadar bahwa tabungannya cukup terkuras untuk acara lamaran kemarin. Belum lagi, harus memikirkan bagaimana cara meluluhkan hati sang calon mertua yang meminta uang sekian juta sebagai syarat direstui mempersunting kekasih hati. Tidak mungkin, ia terus terusan meminta bantuan Tante Ayu. Meskipun, wa
“Kamu yakin, Sayang?” tanya Bu Vera pada putrinya yang beberapa langkah lagi menuju pintu mobil.Dengan mantap mantap, wanita yang masih terlihat pucat itu mengangguk seraya menjawab, “ya, Ma.”Merasa terharu, dipeluknya sang putri dengan penuh kasih.“Mama selalu mendoakan kebahagiaan kamu. Mama akan usahakan pengobatan dan terapi terbaik nanti di sana,” ucap Bu Vera tidak bisa menyembunyikan rasa haru. Wanita yang belakangan merasa begitu dekat dengan putri yang pernah ditinggalkannya itu berkali-kali mengusap usap pundak penuh kasih.Tidak hanya kedua wanita itu yang merasa berat untuk berpisah dengan kampung halaman, rumah kenangan, tapi juga Mbak Duwik. Wanita yang selama Bu Vera di sini selalu siap sedia diperintah itu ikut menangis penuh haru.Seperti mengerti perasaan wanita cekatan itu, Fitonia mendekat, memeluk dan berkata, “ terima kasih ya, Mbak Duwik, selalu ada buat kami.”Wanita yang tadinya mewek dengan suara pelan, kali ini justru sesenggukannya terdengar semakin keras
Nirmala, Pak Harsono, istri dan kakak perempuannya serempak saling pandang menatap dua orang lelaki yang berdiri di depan pintu rumah. Satu terlihat begitu bugar, gagah dan percaya diri, sementara satunya memancarkan sorot kesedihan mendalam, lemah dan pesimis. Beberapa kali, pria gagah menepuk-nepuk punggung pria tak berdaya di samping sambil mengangguk, seolah tengah menyalurkan kekuatan.“Assalamu’alaikum, Pak Harsono dan keluarga, bolehkah kami masuk?” Karena saking terpananya dengan apa yang dilihat, sekeluarga hanya bisa melongo dan sampai lupa mempersilahkan tamu segera masuk.“Oh, ya, Wa’alaikumsalam. Silahkan masuk,” ujar Bu Harsono seketika sadar.Istri Pak Harsono itulah yang paling awal melihat kedatangan dua pria beda usia tersebut menuju rumah, lalu lari ke kebun samping dan memberi tahukan bahwa ada tamu. Ia sangat penasaran dengan pria yang tengah menuntun calon menantu idamannya, sekaligus kaget dengan keadaan Anggara yang seperti sedang sakit.“Maaf jika kedatangan ka
“Benarkah itu Johan?” Bu Diana hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat. Sosok yang sebentar lagi pasti mengetuk pintu itu memang bisa dibilang jauh berbeda dengan suaminya dulu, tapi sebagai istri, ia masih tidak lupa dengan cara berjalannya yang gagah dan khas. Terlebih, saat tamu tak diundangnya mengetuk pintu tapi merasa tidak direspon dan wajahnya berusaha mengintai lewat kaca, Bu Diana kini yakin seratus persen bahwa orang tersebut adalah suami yang pernah diusirnya berkali-kali. Hal itu terlihat dari bekas luka sabetan benda tajam di wajah.“Ada apa si Johan kembali lagi ke sini? Bukankah sudah kusuruh tidak lagi menginjakkan kaki di rumah ini lagi? Berani sekali dia!” Bu Diana yang cukup pangling dengan penampilan sang tamu itu berkali-kali mengucek mata untuk memastikan.“Assalamu’alaikum...Assalamu’alaikum,” salam Pak Johan setelah ketukan pintunya yang berkali-kali tidak digubris.Nada suaranya yang kini terdengar adem dan lembut itu mengundang simpati Bu Diana. Wanita
Melihat sosok yang selama ini dirindukannya, Anggara merasa begitu lega. Kali ini, tidak lagi ada kecanggungan. Ia telah menemukan kembali kenyamanan berada di dekat seorang ayah seperti dulu waktu kecil sering bermain dan bercanda.Pak Johan langsung mempersilakan sang putra masuk ke kamar penginapan yang hanya dia sendiri di sana. Entah kebetulan atau memang sudah takdir, biasanya ia akan berada di sebelah tuannya kapan pun. Jika sedang tour kota semacam ini, kalau tidak tidur di pondok pesantren persahabatan, ya menginap di penginapan lengkap dengan tim.Namun, kali ini sungguh berbeda. Gus Hamdan, pendakwah muda yang tengah naik daun itu tengah membersamai istri tercinta pasca melahirkan di klinik dan kini telah dibawa ke rumah sakit khusus ibu dan anak demi mendapatkan fasilitas terdepan.“Bapak istirahatlah. Aku sudah pesankan kamar di penginapan dekat rumah sakit ini. Beristirahatlah setenang mungkin. Jangan pikirkan aku atau Ning. Tenang saja, ada Bik Fatimah dan beberapa sant
“Kabari Ayah kapan pun kamu mau. 082****.”Anggara memandang secarik kertas yang sepertinya ditulis dengan buru-buru itu penuh haru. Ia memang masih menyimpan kenangan indah bersama sang ayah sewaktu kecil dulu, sebelum pada akhirnya kepala rumah tangga itu diusir pemilik sah rumah itu. Dalam hati, ia memang berniat untuk kembali bertemu, bahkan ada secercah harapan untuk bisa hidup bersama lagi seperti dulu.Malam telah cukup larut. Jalanan sudah mulai sepi. Terlebih, klinik bersalin itu berada di pinggir kota. Di jam segini, mana mungkin ada kendaraan umum, kecuali ojek. Setelah berjalan dan bertanya beberapa orang, akhirnya ia menemukan tukang ojek yang langsung dimintanya untuk membawa pulang.Kali ini, ia sebisa mungkin menghentikan sementara pikiran tentang Pak Johan, Nirmala dan Fitonia. Sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki sang ibu, Anggara berpikir keras mencari kata yang hendak diucapkan saat bertemu dengan wanita single parent itu.Ia ingat betul bagaim
“Ma, istirahatlah. Aku baik-baik saja. Hanya, aku butuh obat tidur, terlelap, lalu bangun dalam keadaan siap menghadapi takdir yang ada. Maaf, telah membuat Mama, Papa dan keluarga kecewa, malu dan sedih. Setelah ini, aku berjanji tidak akan mengulanginya,” tulis Fitonia di pesan singkat, lalu mengiriminya pada sang mama, yang langsung lemas setelah membaca.Pak Rudi yang ikut membaca karena penasaran dengan penyebab sang istri langsung menjatuhkan diri ke dadanya itu juga tidak tahan untuk tidak bersedih. Terlebih, lelaki sukses itu merasa menyesal, mengapa baru kali ini datang ke mari, kenapa tidak kemarin-kemarin saat istrinya meminta.Ia sama sekali tidak menyangka jika putri sulungnya itu justru akan bertambah parah ketika berada di sini. Dikiranya, kesehatannya membaik karena waktu hendak pulang ke kampung halaman, dia melihat harapan dari senyum semangat sang putri. Ditepuk-tepuknya pundak sang istri seraya berucap,”dia gadis cerdas, pasti bisa bangkit segera. Papa yakin itu, M
“Bapak...” panggil Nirmala pada lelaki brewokan di teras rumah. Beberapa bulan tidak melihat, wajah Pak Harsono yang dulu hampir selalu rapi, kini tampak tidak terurus. Rambut-rambut dibiarkan tumbuh liar di wajah menambah kesan garang.“Kalian dari mana aja jam segini baru pulang?” cecar Pak Harsono sembari menatap tajam ke arah pasangan muda mudi yang terlihat tegang itu.Anggara menatap kekasihnya seolah memberi isyarat apakah dirinya harus jujur atau tidak. Seperti mengerti makna sorotan mata itu, Nirmala menggeleng pelan.“Maaf, Pak. Tadi, abis kontrol. Antriannya panjang, jadi sampai telat pulangnya. Bapak kapan pulang?” tanya Nirmala lirih penuh kehati-hatian.Bersamaan dengan jawaban putrinya, Bu Harsono yang mendengar suara sang suami yang cukup lantang tadi segera ke luar.Ditatapnya muda-mudi itu dengan sorot kecemasan. Sebagai seorang Ibu, Bu Harsono memiliki ikatan batin kuat kepada sang putri yang dari tatapannya seperti tengah meminta bantuan.“Oh, kalian sudah pulang,
“Kamu dari mana aja, Gara? Tante nyariin kamu kemana-mana, kirain ke toilet atau ke luar beli sesuatu.”Begitu sampai di depan ruangan tempat Nirmala diperiksa tadi, terlihat Tante Ayu tengah gelisah. Wanita yang tampak kelelahan dan kebingungan itu langsung lari menyusul saat melihat Anggara muncul.“Nggak dari mana-mana, Tante,” jawab Anggara singkat. Pikirannya masih tersangkut pada sosok yang baru saja ditemuinya.“Kamu lho, seperti linglung begitu. Ada apa? Oh, ya, Nirmala sudah siuman. Tadi Tante udah masuk sebentar. Ini mau jemput ommu di rumah Fitonia. Duh, suasana katanya kacau balau. Kamu di sini tunggu Nirmala, ya. Jaga kesehatan dan mental dia. Tante jemput om dulu,” pamit Tante Ayu terlihat tergesa-gesa.Anggara hanya mengangguk. Langkahnya lesu masuk ke ruangan yang sedari tadi ditunggui tantenya itu. Batinnya senang mendengar sang kekasih sudah siuman, tapi tetap saja masih terasa ada yang mengganjal.Melihat Nirmala menatapnya, ia berusaha tersenyum ceria. Diingatnya b
Melihat ekspresi putranya yang begitu terkejut dan panik, Bu Diana mendelik. Dicubitnya sang putra sebagai bentuk protes sekaligus permintaan untuk tetap duduk melanjutkan prosesi acara lamaran. Seperti tidak mau kehilangan kesempatan, wanita yang tidak menyangka akan ada kejadian tak terduga tersebut pun langsung meminta panitia untuk tetap melanjutkan acara.Ia mengajak calon besan untuk saling mengaitkan cincin di masing-masing calon pengantin. Namun, Anggara yang hatinya terkoyak melihat kekasih hati jatuh pingsan, tidak kuasa untuk bertahan. Ia bangkit tanpa memperdulikan pekikan dan larangan sang ibu. Dipapahnya wanita muda yang tidak sadarkan diri itu ke luar tempat acara.Tante Ayu yang menyaksikan adegan memilukan itu pun tergugah hatinya, lalu bangkit dan meminta kunci pada sang suami. Wanita yang sudah menganggap Nirmala sebagai anak sendiri itu pun menyuruh sang keponakan untuk memasukkan Nirmala ke mobilnya.“Tante yang nyupir,” ujarnya sigap membukakan pintu. Ia benar-be