Kepanikan segera tercipta manakala Anggara datang tergopoh-gopoh dan langsung memberitahu apa yang terjadi di ruang isolasi.“Nadia, bukankah kamu yang terakhir kali memeriksa? Kenapa pasien bisa melakukan self-injury?” tanya salah satu perawat kepada rekannya yang tampak paling cemas, sembari bersiap-siap menuju ruang isolasi.“Iya. Tadi, pasien sudah menunjukkan kemajuan pesat. Perilakunya sama sekali tidak memperlihatkan gangguan apapun. Bahkan, terlihat tenang saat saya mengganti perbannya. Pasien juga yang meminta untuk dilepaskan gemboknya. Dia bilang kalau tangannya sakit. Karena kasian, saya lepaskan,” jawab perawat junior itu merasa sangat menyesal.Mendengar penjelasan juniornya, perawat lain merasa kecolongan. Beberapa saat, mereka saling pandang.“Sepertinya, kamu harus banyak belajar dan membaca buku,” ujar salah satu perawat yang tampak sangat kecewa dengan keteledoran rekannya.“Sudah, sudah, ayo, kita ke sana sebelum terlambat,” perintah perawat yang terlihat paling t
“Sepertinya, saya tahu sekarang.” Setelah mempersilahkan Anggara masuk dan duduk, tanpa basa basi, dokter spesialis kejiwaan itu langsung mengeluarkan isi pikirannya. Ia sangat penasaran dengan kasus salah satu pasiennya ini, setelah kepala perawat membeberkan informasi dan fakta di lapangan. Tatapan wanita berkaca mata itu langsung tajam tertuju pada pemuda yang tampak kelelahan dan kurang tidur di hadapannya.“Tahu apa, Dok?” tanya Anggara penasaran.“Tahu kalau Anda bisa menjadi kunci obat dari kesehatan mental saudari Nirmala ini. Apa saya benar?” tanya wanita cantik itu sembari membenarkan kaca matanya yang sedikit melorot.“Kalau itu benar, maka saya patut merasa lega, Dok.” Anggara memang belum mengerti apa yang sebenarnya yang dimaksud dokter tersebut, tapi mendengar kalimat yang dilontarkan wanita bermake up kekinian itu cukup membuatnya lega.Mendengar respon pemuda tersebut, sang dokter manggut-manggut. Badannya yang tadi condong ke depan, kini berusaha rileks, bersandar d
Jarak tinggal beberapa meter lagi. Anggara berusaha mencari kata-kata untuk menyapa atau membuka pembicaraan saat waktu berpapasan dengan pak Harsono itu tiba. Sekuat tenaga, ia juga berusaha mengontrol debaran jantung yang berdetak begitu kencang karena gerogi.Pemuda yang sangat penasaran dengan angin apa yang membawa pak Harsono ke mari itu mulai membuka mulut hendak mengucapkan suatu kata. Namun, secara mendadak orang yang selangkah lagi berpapasan dengannya itu meletakkan telepon ke telinga. Lalu, dengan suara keras bercakap-cakap dengan seseorang di seberang sana. Alhasil, ia dilewati lelaki paruh baya itu begitu saja. Bahkan, dengan sengaja lelaki itu pura-pura tidak melihat dan mengenalinya.Kecewa tidak bisa lagi ditahan. Tapi, tak lama tersadar bahwa memang begitu adanya. Pemuda itu terlalu sadar diri bahwa ia memang tidak diinginkan menjadi menantu. Sembari menelan ludah kepahitan, Anggara berjalan lunglai menuju ruangan isolasi. Di sana sudah ada bu Harsono yang sedang mem
“Ini apa, Nduk?” Bu Harsono terbelalak melihat benda berkilauan di hadapannya. Tangisnnya yang sedari tadi tidak putus-putus mendadak terhenti. Selama hidup, belum pernah ia melihat perhiasan emas sebegitu banyak. Setelah cukup puas memandangi benda berharga tersebut, wanita ayu itu menoleh ke arah suaminya.Pak Harsono tak kalah kaget dengan apa yang dibawa pacar putranya. Namun, tetap saja pura-pura tidak tertarik. Lelaki itu berusaha menghindar dari tatapan istrinya. Bahkan, untuk menutupi jaimnya, ia pura-pura batuk.“Ini semua hasil tabungan emas mas Gayuh, Bu, Pak. Ayah memberi syarat emas seberat seratus gram dan sejumlah uang untuk bisa mendapatkan restu menikah. Tapi, tetap saja, ayah tidak mau menerima. Malah, memaksaku menikah dengan putra kenalannya yang sama sekali tidak aku cintai. Aku hanya mencintai mas Gayuh. Tapi, ayah selalu mengancamku tentang neraka jika tidak menuruti kemauannya.” Tangis gadis cantik berambut lurus panjang itu kembali membahana. Ia tidak bisa lag
Anggara terdiam sejenak, manakala wanita paruh baya cantik di depannya menyodorkan sebuah kertas berisi sederet nomor telepon. Bukan karena tidak mau menuruti permintaannya, tapi ia benar-benar belum siap untuk berinteraksi dengan kakak laki-laki satu-satunya sang kekasih. Apalagi, di saat kondisi seperti ini, rasanya nyalinya belum terkumpul. Sialnya, pulsa sudah hampir semingguan tidak diisi dan sepertinya tinggal sedikit. Mungkin, jika untuk telepon internasional tidak akan cukup lama.“Ibu mohon. Bisa ‘kan, Nak? Nanti ibu ganti pulsanya. Ya?” Sepertinya mampu membaca isi pikiran, bu Harsono memohon hingga roman wajahnya terlihat menyedihkan.“Baik, Bu. Saya akan coba hubungi, ya,” ujar Anggara sembari memencet deretan nomor yang tertulis di secarik kertas pemberian bu Harsono.Tak berapa lama kemudian, suara di seberang terdengar. “Halo?” Suara itu terdengar lesu.“Halo, maaf, apa benar ini nomor Mas Gayuh?” tanya Anggara sembari menatap bu Harsono yang terlihat tidak sabar ingin
“Lihat ini, Pa. Gadis pilihan Papa mukanya ancur begini. Lihat!” Tanpa ba-bi-bu, bu Sandra mengarahkan ponsel putranya pada sang suami.Melihat apa yang tertampang di layar, sontak pak Jaksa terbelalak. Pria paruh baya itu tidak bersuara, tapi langsung menatap tajam ke arah Lucky, yang langsung mengalihkan pandangan. Pria muda itu terlihat frustasi dan merasa bersalah.Dengan langkahnya yang penuh wibawa, pak Jaksa mendekati sang putra. Ia ingin mengeluarkan suatu kalimat, tapi istrinya lebih dulu mengeluarkan aksi protesnya.“Apa dengan kondisi begini, Papa masih ingin menjodohkannya dengan putra tampan kita? Nggak, Pa. Mama nggak setuju. Bahkan, dari awal pun mama nggak rela. Apalagi wajahnya ancur begini, bisa-bisa mama dibully temen-temen arisan, dong!”“Apa yang sebenarnya terjadi pada putri pak Harsono ini, Lucky?” Dengan tidak menggubris kata-kata istrinya, pak Jaksa bertanya sambil menatap tajam sang putra.Pria yang masih belum menemukan kata-kata sebagai jawaban itu beberapa
Setelah komunikasi kemarin, hari ini bu Diana akan bertemu dengan bu Vera. Sebenarnya, ibu Anggara itu tidak begitu bersemangat untuk bepergian, kecuali urusan bisnis. Namun, karena pikirannya sedang galau lantaran memikirkan putra semata wayangnya yang sepertinya bertekad bulat hendak menikah, akhirnya bu Diana berangkat juga.Keduanya sepakat untuk bertemu di sebuah cafe dekat sekolah putra-putri mereka sewaktu SMP. Bu Vera yang awalnya mengusulkan hal ini beralasan ingin sekalian bernostalgia. Begitu sampai di lokasi, bu Diana celingak-celinguk mencari seseorang. Nyatanya, dari beberapa pengunjung cafe, tidak ada seperti potret seorang perempuan yang tadi dikirim via messanger.“Mana lagi orangnya.” Bu Diana tampak sudah tidak sabar. Karena lamadan tidak mau seperti orang hilang, akhirnya wanita yang sudah berdandan elegant itu menuju kursi kosong. Tidak lama kemudian, seorang pelayan datang. Sebenarnya, dia belum ingin memesan apapun. Lagipula, bingung apa yang hendak dipesan. Nam
Sejak pertemuan dengan bu Vera, bu Diana menjadi sedikit pendiam dan pemikir. Ia lebih sering diam dan melamun. Hal itu diperhatikan sang putra yang sangat penasaran. Bahkan, ketika sedang bersama menjaga toko, wanita yang hampir mendekati kepala lima yang biasa cerewet itu lebih memilih duduk di depan meja kasir. Pikiran bu Diana benar-benar tidak bisa move-on dari curahan hati seorang ibu yang sedang memperjuangkan kebahagiaan putrinya.Flashback on“Mungkin, aku sudah kehilangan rasa malu dan gengsi.” Sesampainya di mobil, bu Vera langsung mengungkapkan isi hatinya . Sementara, bu Diana yang masih sangat penasaran dengan tujuan wanita tersebut menghubunginya mencoba untuk menyimak dengan baik.“Tapi, ini aku lakukan demi keselamatan dan nyawa putri yang sangat aku sayangi. Bukankah seorang ibu harus membuat hidup anaknya bahagia kan, Mbak Yu?” Bu Vera menatap wanita di sampingnya sambil berusaha tersenyum, tegar.Bu Diana yang belum begitu siap dengan pertanyaan tersebut hanya menj
Anggara benar-benar merasa tidak nyaman berada dalam satu ruangan hanya berdua dengan Fitonia. Beberapa saat, pemuda yang bertekad hendak menyelesaikan masalah itu hanya diam, kikuk. Sementara itu, wanita muda yang tengah menunggu reaksi dari tamunya di kursi roda itu tidak kuasa untuk menatap pemuda tersebut. Ia berusaha membawa kedua netranya menyelusuri seisi ruangan.“Bagaimana kalau kita ngobrol di luar?” Tiba-tiba Anggara menyodorkan ponsel yang telah berisi ketikan tangan di sebuah note pada Fitonia.Beberapa saat, wanita itu tampak berpikir. Bayangannya langsung melayang pada kejadian terakhir kali yang membuatnya berada di sini—harapan kencan indah justru berakhir hujan air mata kepedihan. Rasa trauma sempat menghantui. Namun, dia teringat dengan ucapan Bu Diana di luar tadi dan berpikir, “mungkin ini kesempatan untuk bisa memperbaiki hati yang retak.”Akhirnya, Fitonia mengangguk. Lalu, dia mengambil ponsel di saku, mengetik sebuah kalimat di note, dan disodorkan pada pemu
Gadis itu sudah cukup lama terbangun dari tidurnya—tidur yang dibuat setelah meminum obat penenang. Kini, ia telah sadar dengan apa yang telah terjadi dan kenapa dirinya saat ini tengah berada di ruangan khas dengan dekorasi berwarna putih dan hijau—rumah sakit. Lalu, dia pun mulai menyibak kenangan permulaan begitu akrab dengan bangunan semacam ini.Flashback OnHati luka yang masih menganga itu dibawanya pergi dari tempat perantauan ke kampung halaman. Pemilik hati yang begitu tulus tapi dikhianati secara sadis itu berharap di tempat dirinya tumbuh dan dibesarkan oleh seorang kakek yang begitu tulus menyayanginya itu bisa sembuh.Ternyata, menyembuhkan luka itu tidak semudah dan secepat saat jatuh cinta. Terlebih, untuk seorang wanita yang memiliki bawan eccendentesiast. Dia begitu lihai menyembunyikan luka, rasa sakit, kecewa dan sedih dengan membalutnya bersama senyuman, tawa dan keceriaan. Di samping itu, ia tidak mau membebani sang kakek yang pada saat itu tengah sakit-sakitan ka
Ada yang mengganjal di hati Anggara setelah perdebatan antara dirinya dan sang ibu. Bukan hanya perkara tentang keteguhan hati ibunya yang belum mau menerima Nirmala sebagai istrinya dan justru masih ngotot ingin menjodohkan dengan Fitonia, tapi juga perkataan Tante Ayu.Lontaran kalimat tantenya itu membuatnya membuka kembali album tipis yang berhasil ia simpan. Dipandanginya salah satu potret dia dengan seorang lelaki tinggi tegap dan gagah seraya berucap, “andai ayah masih di sini, mungkin aku tidak akan sepusing ini. Apa benar yang dikatakan Tante Ayu tentang ayah? Kenapa begitu berbeda dengan cerita dari Ibu?”Dia memang seorang pria. Tapi, bukan berarti seorang pria tidak bisa menangis. Nyatanya, demi membayangkan kenangan indah bersama sang ayah, Anggara mulai menundukkan kepalanya yang terasa begitu berat. Tetes air mata perlahan berhasi menjebol benteng pertahanan dari ujung mata. Sungguh pemuda yang tengah berada dalam kebingunan dalam memutuskan sebuah pilihan pasangan hidu
“Maksud kamu apa bicara seperti itu? Jangan campuri urusanku. Bukankah sudah berkali-kali kuperingatkan?” geram Bu Diana tidak bisa menyembunyikan amarah pada adik kembarnya yang tiba-tiba muncul.“Apa kamu tidak kasihan sama Anggara? Padahal, dia putramu, anak yang kamu kandung sendiri. Cobalah untuk sedikit saja memberi belas kasihan pada putramu ini, Mbak,” ujar Tante Ayu sembari merangkul pundak sang keponakan yang terlihat tak berdaya.“Justru karena dia putraku, anak yang aku kandung selama 9 bulan, yang aku lahirnya dengan perjuangan antara hidup dan mati, yang aku biayai segala urusannya, sudah patut kiranya dia patut dan tunduk padaku. Bukankah surga anak ada pada restu seorang ibu? Terlebih dia laki-laki yang selama hidupnya itu milik ibunya, milikku!” pekik Bu Diana benar-benar telah kehilangan empati. Dipandangi dua orang terdekatnya yang kompak memandanginya dengan tatapan prihatin.“Kamu sudah salah kaprah, Mbak. Bukan seperti itu konsepnya. Aku penasaran, apa sebenarnya
v“Kamu sudah bangun?” Pria yang sedari tadi ditatap hingga melamun dalam durasi lama itu terbangun dan kaget melihat wanita yang dijaganya hingga ketiduran telah bangun.Menyaksikan lelaki muda yang tampak masih mengantuk itu hendak berjalan mendekat, wanita yang telah duduk di tepi ranjang itu tiba-tiba menangis. Bibirnya bergetar hebat. Ia ingin mengatakan banyak hal, tapi kelu.Tapi, melihat bagaimana pemuda yang telah menemani dan berjuang mati-matian berada di sisinya itu berusaha menahan kantuk, akhirnya pertanyaan meluncur begitu saja, “apa kamu sudah tau tentang Fitonia?”Anggara menghentikan langkah yang tinggal beberapa sentimeter saja dari ranjang, demi mencari jawaban yang tepat untuk merespon pertanyaan. Ia ingat pesan dokter untuk tidak membuat pasien di hadapannya semakin depresi.“Jawab, Gara! Apa benar, kamu pernah mencintai Fitonia hingga memberinya surat cinta? Hah?” emosi Nirmala meledak. Anggara semakin kebingungan.“Kalau iya, kenapa kamu mau denganku? Setelah s
“Begini nih, berasa dunia cuma milik berdua, yang lain ngontrak!” Sebuah celetukan pengunjung pantai yang kebetulan lewat dan menyaksikan adegan romantis itu menyadarkan Nirmala dan Anggara. Mereka segera berdiri tegap dan kikuk.“Berarti kita ngontrak dong, Pah? Hihi,” sahut seorang wanita yang berjalan bersebelahan di samping pengunjung tadi sambil cekikikan dengan salah satu telapak tangan di mulut.Pemuda-pemudi yang jadi malu dan salah tingkah itu segera menjauh dari tempat tersebut. Keduanya berjalan tanpa suara. Masing-masing hanyut dalam pikiran dan sesekali pemuda yang telah menutup kepala dengan hoodie berdehem—seperti memberi sinyal.“Jadi, apa jawaban kamu, Mala?” ucap Anggara dengan suara pelan. Tangan kirinya menggaruk kepala yang tidak gatal.“Um, sebelum menjawab,aku mau tanya sesuatu, boleh?” Nirmala berusaha menatap lawan bicara untuk melihat ekspresi serius atau tidak.“Boleh, kita duduk di sana aja, ya?” ajak Anggara sambil menunjuk sebuah batang pohon lapuk yang r
Gara-gara dapat kiriman SMS yang memabukkan, hingga tengah malam Nirmala tidak bisa tidur. Gadis yang tengah kasmaran itu membayangkan hal-hal indah hari esok. Bahkan, dia sudah bermimpi jika benar Anggara benar-benar menyukai, membalas rasa suka darinya dan jadian, maka dia adalah pria pertama yang menjadi cintanya.Alhasil, pagi hari berikutnya, ia bangun kesiangan. Untung saja hari ini adalah hari Minggu, tidak ada kuliah, tidak ada jadwal magang kerja juga. Jadwal kencan pun jam sepuluh. Itu artinya, masih cukup waktu untuk persiapan ini itu.Dia memang gadis sederhana yang hanya punya beberapa potong pakaian saja untuk bepergian. Itu pun formal yang biasanya untuk ke kampus atau kerja. Maklum, ia jarang hang out. Jadilah kini gadis yang memiliki belahan di tengah dagu itu bingung memilah baju yang hendak dikenakan untuk nge-date pertama kali seumur hidup.Awalnya, Nirmala ingin meminta bantuan teman untuk memilihkan pakaian yang pantas dan oke, sekalian make up tipis-tipis. Namun
Seharusnya, Nirmala sudah lega karena rahasia terbesarnya telah diungkapkan ke orang yang paling dekat denganya saat ini. Namun, gadis itu justru semakin sering melamun dan susah konsentrasi. Ia takut jika dibiarkan terus menerus, nilai akademik akan anjok yang berakibat dicopotnya beasiswa. Kalau sampai terjadi, Bapak bisa murka dan benar-benar melarangnya untuk kuliah. Hal ini semakin membuat gadis mungil itu overthinking.Di kamar kostnya yang sempit dan minimalis, dia merenung. Bahkan, berkali-kali bangkit dari ranjang untuk mondar-mandir. Lalu, naik lagi ke ranjang berusaha tidur, tapi justru wajah cute Anggara seolah terpampang nyata di hadapan. Alhasil, melek lagi. Sekuat apa pun dirinya menenggelamkan wajah di bantal, bayangan pemuda yang terkenal pintar itu tidak bisa hilang.Bahkan, kini dia dihantui dengan curhatannya pada sang sahabat kemarin. Sambil cemberut mendekap bantal, ia berujar, “kira-kira bener nggak, ya, keputusanku kemarin curhat blak-blakan sama Nia. Berlebiha
Dengan langkah lesu dan suasana hati yang tidak karuan, Nirmala tiba di rumah Fitonia. Gadis menawan itu telah menunggunya di teras sambil menikmati camilan. Begitu melihat orang yang ditunggu muncul, ia langsung menyambut.“Dih, kenapa itu muka ditekuk kek baju lecek aja. Kenapa, sih?” Fitonia yang ceria meledek Nirmala yang masih juga belum menarik bibirnya ke belakang, barang satu sentimeter pun.“Lagi banyak pikiran,” lirih Nirmala menjawab sambil mengambil tempat duduk.“Ya, ya, kuliah itu emang banyak tugas. Pasti pusing, lah. Tapi kan, salah satu yang bikin pusing, udah beres, dihandle-in Anggara. Nih!” Fitonia memberikan benda kecil berwarna kuning-putih bertuliskan ‘Kingston’.“Gimana kesan kamu ke Anggara? Dia keren, ‘kan?” ledek Fitonia sembari mendekatkan diri dan siap menunggu reaksi gadis berwajah sendu di hadapannya.Ditanya demikian, sontak Nirmala yang terkenal sebagai orang yang blak-blak-an justru kebingungan.“Apa maksud dari pertanyaan Nia, ini?” batin Nirmala tid