Share

SPEECHLESS

“Astaghfirullah, Mala! Apa yang kamu lakukan?” Fitonina langsung menarik tubuh Nirmala yang tengah beradu dengan tembok. Keningnya tampak sudah ada bagian yang menonjol dan berwarna biru lebam.

“Lepaskan aku, Nia! Aku lebih baik mati jika tidak menikah sekarang dengan Anggara!” Masih dengan tenaga yang tersisa, Nirmala berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan sahabatnya. Seperti kerasukan setan, wanita mungil itu mengambil pisau ke dapur dan hendak mengiris salah satu pergelangan tangan.

Fitonia yang kelelahan dan mengantuk harus berjuang mati-matian melawan hawa amarah sang sahabat. Untung saja badannya lebih besar sehingga mampu menguasai badan si lawan yang lebih ramping.

“Sssttt! Sssttt! Tenang, Sayang. Tenang.” Seperti seorang ibu yang baik, Fitonina mengusap-usap kepala Nirmala. Awalnya, wanita yang tampak putus asa itu masih ingin berontak dengan mengibas-ibaskan badan ke segala arah, tapi akhirnya gadis mungil itu tak berdaya kehabisan tenaga. Raungan suara yang tadi menggelegar, kali ini terdengar seperti sisa tenaga ngos-ngosan.

“Kenapa aku bisa cinta mati dengan pria macam ini, Nia? Kenapa, Ya Tuhan? Huhuhu.” Setelah pertanyaan ini terlontar, Nirmala tak lagi bersuara. Mulutnya seperti beku. Dadanya panas seperti terbakar. Hening.

Melihat kondisi sang sahabat yang kehilangan kekuatan, Fitonia segera memberi dekapan erat. Dari pelukan itu, ia bisa merasakan badan sahabatnya yang tidak sedang baik-baik saja. Telapak tangannya tidak sedetik pun lepas mengelus untuk menenangkan.

Tidak lama kemudian, terdengar suara dengkuran Nirmala. Setelah memastikan sahabatnya itu benar-benar tertidur, Fitonia membaringkan di kasur, lalu pergi ke luar. Sebelum benar-benar menutup pintu, wanita 27 tahun itu menatap kembali sang sahabat yang sudah tertidur pulas kembali. Tatapannya penuh arti dan tersembunyi. Lagi-lagi dirinya gagal mengutarakan isi hati.

Paginya, Fitonia mendapati Nirmala tengah merenung di teras. Ia mendekat perlahan. Dari kemarin, dirinya selalu gagal membujuk sang sahabat untuk makan. Badannya yang ramping terlihat semakin kering.

Fitonia merangkul bahu sahabatnya dari belakang dengan lembut. Nirmala menoleh, memperlihatkan kedua mata yang membengkak. Bibir gadis yang ada di hadapannya sedikit tersenyum. Sementara tangan kanannya perlahan mengelus tangan dirinya di pundak. Tak lama kemudian, ia mengangguk, senyumnya semakin lebar.

“Sarapan, yuk,” ajak Fitonia. Kali ini dianggukkan oleh lawan bicara.

Keduanya sarapan. Setelah selesai, mereka ngobrol. Sebenarnya Fitonia masih tidak tega membahas tentang kisah cinta sang sahabat, tapi sesuatu dalam dirinya memaksa untuk melakukan.

“Gara udah menghubungi kamu lagi?” tanya Fitonia penuh kehati-hatian dan langsung mendapat respon gelengan kepala.

“La, mungkin ada baiknya kamu ke rumah Gara. Siapa tau dia memang kesulitan membujuk ibunya,” ucap Nia penuh kehati-hatian. Ia tidak ingin membuat hati sahabatanya yang sedang remuk bertambah hancur.

Awalnya Nirmala tidak merespon. Ia masih terus tenggelam dalam rasa sedih. Namun, beberapa detik kemudian ia menoleh ke arah sang sahabat yang telah begitu baik dan sabar menerima keberadaannya.

“Aku tau bagaimana karakter ibunya Gara, Nia. Akan sangat memalukan jika aku harus ke sana dan mengemis untuk mau melamarkan aku. Di mana harga diriku?” Tatapan mata Nirmala terasa menusuk dada lawan bicara.

“Nah, kau saja sudah tau bagaimana karakter ibu Gara itu. Siapa tau kan, dia benar. Kalau kau yang bicara, ibunya akan langsung mengerti dan menyetujui.” Bibir Fitonia lancar berbicara, tapi batin sebenarnya menolak. Entah bagaimana bisa ia menjadi pecundang seperti ini.

Demi mencerna apa yang dikatakan sang sahabat, Nirmala terdiam beberapa saat. Ia tidak menjawab dengan suara, tapi batinnya lebih bisa menyetujui saran Fitonia. Terlebih, beberapa malam belakangan ini, dirinya tidak bisa khusyuk memejamkan mata seperti biasa.

Dari pada membayangkan bersanding dengan orang pilihan bapak, sepertinya itu lebih mengerikan dari memperjuangkan cinta. Begitu pikir wanita melankolis itu, hingga ia pun bertekad akan segera menemui ibu tunggal sang pacar.

###

Selama lima tahun menjalin kasih dengan sosok kalem bernama Anggara, terhitung baru sekali cowok idamannya itu membawa ke rumah. Meski demikian, wanita dengan memori eidetik  itu hafal betul jalan menuju rumah bercat two tone white-lavender dengan saung di halaman depan milik keluarga sang pacar.

Sesampainya di sana, rumah dalam keadaan sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar rumah dengan desain letter L itu. Saat dirinya mengedarkan pandangan, hanya ada motor Anggara yang terparkir. Tanpa menunggu, ia menelpon sang kekasih.

Tak lama kemudian, muncullah sosok yang beberapa hari ini tidak ia temui. Melihat wanita mungil itu tengah berdiri di depan pintu gerbang dengan wajah sendu, Anggara segera membuka gerbang.

“Kau akhirnya datang?” tanya Anggara benar-benar tak menyangka jika sang kekasih akhirnya datang juga.

“Demi kepastian hubungan kita,” jawab Nirmala ketus. Ada rasa kecewa yang membuncah di dada. Namun, demi melihat senyum mengembang di bibir kekasihnya, ia sedikit luluh. Kata-kata kecewa yang sedari perjalanan ia rangkai, lenyap seketika.

“Di mana ibumu?” Nirmala mengedarkan pandangan. Toko yang berada tidak jauh dari tempat dirinya berdiri pun terlihat sepi dan tutup.

“Lagi nggak di rumah,” jawab Anggara lirih.

“Apa? Kamu nyuruh aku ke sini buat mohon sama ibu kamu, tapi orangnya nggak ada?” Seketika amarah Nirmala tidak kuasa ditahan. “Kamu tau nggak, sih, betapa stress-nya aku mikirin masa depan hubungan kita? Sampai nggak makan, nggak tidur, kerjaan juga berantakan. Begoknya diriku begini!” Nirmala sungguh putus asa. Ia hendak balik kanan, tapi tangannya diraih Anggara dengan cepat.

“Sebenarnya, ibu ada di rumah tante. Lagi ada pertemuan keluarga di sana,” jawab Anggara cepat.

Demi melihat wajah penuh penyesalan di wajah sang kekasih, Nirmala mengurungkan niat untuk pulang.

“Trus? “ Nirmala mendelik.

“Aku akan panggil ibuku. Tunggu di teras dulu, ya?”

Nirmala tak menjawab. Ia hanya bisa mengatur napas sekaligus menyaksikan punggung Anggara keluar dari halaman rumah.

Berada di rumah sang pacar kali ini benar-benar berbeda dari pertama ia ke mari. Dulu, ia bak putri yang dipersilakan masuk. Meskipun terlihat jika kehadirannya kurang dinanti oleh orang tua tunggal sang kekasih, tapi kehangatan masih bisa ia rasakan. Namun, kali ini sungguh berbeda. Dirinya seperti pesakitan yang meminta permohonan untuk bebas merdeka. Berkali-kali ia merutuk diri sendiri dan mengatakan bahwa tindakannya teramat bodoh, karena dibutakan oleh cinta.

###

Rumah itu lebih besar dari rumahnya. Pun bangunannya lebih megah, lengkap dengan taman yang luas dan tertata rapi. Dari balik pagar besi yang stylish, suara gelak tawa dan jejeritan toddlers terdengar. Dari luar gerbang, Anggara mampu mendengar suara khas ibunya yang menggelegar.

 “Pa, ada om Gara!” Tiba-tiba lamunannya terbangunkan oleh suara cempreng sang ponakan, yang kemudian disusul papanya.

“Oh, iya? Hai, Om Gara, kenapa cuma berdiri di situ? Ayo, sini masuk!” Sepupunya yang jauh-jauh dari Borneo itu menyambut.

Anggara masuk dengan langkah yang tidak bersemangat. Pun saat keluarga besarnya berceloteh, ia hanya bisa menanggapi dengan senyum terpaksa.

Ponsel yang berada di saku mengingatkan akan tujuan dirinya ke rumah tantenya ini. Nirmala pasti sedang meneror dengan cara meng-call. Maka, setelah mencermati keadaan, ia berbisik pada sang ibu, “Bu, pulang, yuk. Ada tamu.”

Mendengar penuturan putra semata wayang, wanita semampai itu menatap ke arah orang yang baru saja berbisik dengan tatapan curiga. Tidak biasanya sang putra mengajaknya pulang jika sedang ada acara, terlebih dengan cara berbisik.

“Ada apa, sih?” Suara Bu Diana yang cukup kencang membuat beberapa anggota keluarga menoleh penuh rasa penasaran.

“Ada tamu,” jawab Anggara lirih. Bibirnya seperti beku dan keberaniannya mendadak lenyap.

“Oh, bilang kek, dari tadi,” kata Bu Diana begitu antusias. “Siapa tamunya?”

Ditanya demikian, Anggara terdiam. Ia takut untuk mengutarakan, terlebih di hadapan keluarga besar.

“N-nanti Ibu juga tau sendiri pas sampai rumah.”

“Lha, kok, main tebak-tebakan. Bilang aja kenapa? Orang penting apa tidak?”

Bu Diana semakin mencecar. Anggara pun semakin mengkeret nyalinya untuk mengatakan yang sebenarnya. Untung saja Tante Ayu—sang tuan rumah--segera menengahi,” Ya udah, Diana. Kamu pulang aja dulu. Temuin tamu kamu. Siapa tahu memang penting dan rahasia.”

“Ya sudah, aku pulang dulu,” ucap Bu Diana dengan suara agak ketus. Entah mengapa mood-nya menjadi tidak bersemangat. Sambil melangkah, wanita ayu itu menatap tajam ke arah putra semata wayangnya yang kikuk.

Sepanjang perjalanan, Bu Diana begitu penasaran siapa sosok tamu yang dimaksud sang putra. Biasanya, jika ada tamu, Anggara akan langsung mengatakan siapa tamu tersebut. Namun, kali ini sepertinya ia akan diberi surprise. Lalu, wanita yang selalu memegang kretek itu pun menebak-nebak.

Jika dilihat dari raut wajah sang putra yang tampak malu sekaligus takut, ia memiliki jawaban dari tebakan itu. “Hem, pasti cewek,” gumamnya dalam hati. Dan, benar saja. Begitu langkahnya baru memasuki pintu gerbang, sosok yang baru sekali dilihat itu tengah berdiri di salah satu accent chair teras.

Melihat sosok yang sedari tadi ia tunggu-tunggu, Nirmala langung berdiri. Pancaran roman wajah Bu Diana yang datar tanpa senyum penyambutan membuat nyali Nirmala menciut. Kedua lututnya mendadak terasa kaku. Kata-kata yang ia rangkai sebelumnya mendadak lenyap. Speechless!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status