“Astaghfirullah, Mala! Apa yang kamu lakukan?”
Fitonina langsung menarik tubuh Nirmala yang tengah beradu dengan tembok. Keningnya tampak sudah ada bagian yang menonjol dan berwarna biru lebam. “Lepaskan aku, Nia! Aku lebih baik mati jika tidak menikah sekarang dengan Anggara!” Masih dengan tenaga yang tersisa, Nirmala berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan sahabatnya. Seperti kerasukan setan, wanita mungil itu mengambil pisau ke dapur dan hendak mengiris salah satu pergelangan tangan. Fitonia yang kelelahan dan mengantuk harus berjuang mati-matian melawan hawa amarah sang sahabat. Untung saja badannya lebih besar sehingga mampu menguasai badan si lawan yang lebih ramping. “Sssttt! Sssttt! Tenang, Sayang. Tenang!” Seperti seorang Ibu yang baik, Fitonina mengusap-usap kepala Nirmala. Awalnya, wanita yang tampak putus asa itu masih ingin berontak dengan mengibas-ibaskan badan ke segala arah, tapi akhirnya gadis mungil itu tak berdaya kehabisan tenaga. Raungan suara yang tadi menggelegar, kali ini terdengar seperti sisa tenaga ngos-ngosan saja. “Kenapa aku bisa cinta mati dengan pria macam ini, Nia? Kenapa, Ya Tuhan? Huhuhu. Aku ini udah tua. Semua orang membulliku dengan sebutan perawan tua. Aku harus menikah sekarang, Nia. Harus, dan itu hanya sama Anggara!” Setelah luapan emosi itu terlontar, Nirmala tak lagi bersuara. Mulutnya seperti beku. Dadanya panas seperti terbakar. Hening. Batinnya dihantui dengan perlakuan orang-orang sekeliling yang sering mengatakan ia tidak cantik, perawan tua, nggak laku, dan sejenisnya. Melihat kondisi sang sahabat yang kehilangan kekuatan, Fitonia segera memberi dekapan erat. Dari pelukan itu, ia bisa merasakan badan sahabatnya yang tidak sedang baik-baik saja. Telapak tangannya tidak sedetik pun lepas mengelus untuk menenangkan. Cukup lama Fitonia memberi sentuhan menenangkan itu hingga akhirnya terdengar suara dengkuran Nirmala. Setelah memastikan sahabatnya itu benar-benar tertidur, Fitonia membaringkan di kasur, lalu pergi ke luar. Sebelum benar-benar menutup pintu, wanita 27 tahun itu menatap kembali sang sahabat yang sudah tertidur pulas kembali. Tatapannya penuh arti dan tersembunyi. Lagi-lagi dirinya gagal mengutarakan isi hati. Paginya, Fitonia mendapati Nirmala tengah merenung di teras. Ia mendekat perlahan. Dari kemarin, dirinya selalu gagal membujuk sang sahabat untuk makan. Badannya yang ramping terlihat semakin kering. Fitonia merangkul bahu sahabatnya dari belakang dengan lembut. Nirmala menoleh, memperlihatkan kedua mata yang membengkak. Bibir gadis yang ada di hadapannya sedikit tersenyum. Sementara tangan kanannya perlahan mengelus tangan dirinya di pundak. Tak lama kemudian, ia mengangguk, senyumnya semakin lebar. “Sarapan, yuk,” ajak Fitonia. Kali ini dianggukkan oleh lawan bicara. Keduanya lalu sarapan. Setelah selesai, mereka mengobrol. Sebenarnya Fitonia masih tidak tega membahas tentang kisah cinta sang sahabat, tapi sesuatu dalam dirinya memaksa untuk melakukan. “Gara udah menghubungi kamu lagi?” tanya Fitonia penuh kehati-hatian dan langsung mendapat respon gelengan kepala. “La, mungkin ada baiknya kamu ke rumah Gara. Siapa tau dia memang kesulitan membujuk ibunya,” saran Nia penuh kehati-hatian. Ia tidak ingin membuat hati sahabatanya yang sedang remuk bertambah hancur. Awalnya Nirmala tidak merespon. Ia masih terus tenggelam dalam rasa sedih. Namun, beberapa detik kemudian ia menoleh ke arah sang sahabat yang telah begitu baik dan sabar menerima keberadaannya. “Aku tau bagaimana karakter ibunya Gara, Nia. Akan sangat memalukan jika aku harus ke sana dan mengemis untuk mau melamarkan aku. Di mana harga diriku?” Tatapan mata Nirmala terasa menusuk dada lawan bicara. “Nah, kamu aja sudah tau bagaimana karakter ibunya Gara itu. Siapa tau kan, dia benar. Kalau kamu yang bicara, beliau akan langsung mengerti dan menyetujui.” Bibir Fitonia lancar berbicara, tapi batin sebenarnya menolak. Entah bagaimana bisa ia menjadi pecundang seperti ini. Demi mencerna apa yang dikatakan sang sahabat, Nirmala terdiam beberapa saat. Ia tidak menjawab dengan suara, tapi batinnya lebih bisa mengiyakan perkataan Fitonia. Terlebih, beberapa malam belakangan ini, dirinya tidak bisa khusyuk memejamkan mata seperti biasa, jadi mau tidak mau sepertinya ia harus ke rumah kekasihnya. Dari pada membayangkan bersanding dengan orang pilihan Bapak, sepertinya itu lebih mengerikan dari memperjuangkan cinta. Begitu pikir wanita melankolis itu, hingga ia pun bertekad akan segera menemui ibu tunggal sang pacar. ### Selama lima tahun menjalin kasih dengan sosok kalem bernama Anggara, terhitung baru sekali cowok idamannya itu membawa ke rumah. Meski demikian, wanita dengan memori eidetik itu hafal betul jalan menuju rumah bercat two tone white-lavender dengan saung di halaman depan milik keluarga sang pacar. Sesampainya di sana, rumah dalam keadaan sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar rumah dengan desain letter L itu. Saat dirinya mengedarkan pandangan, hanya ada motor Anggara yang terparkir di luar. Tanpa menunggu, ia menelpon sang kekasih. Tak lama kemudian, muncullah sosok yang beberapa hari ini tidak ia temui. Melihat wanita mungil itu tengah berdiri di depan pintu gerbang dengan wajah sendu, Anggara segera membuka gerbang. “Kamu akhirnya datang, Bee?” tanya Anggara benar-benar tak menyangka jika sang kekasih akhirnya datang juga. Bee adalah sebutan sayang keduanya. “Demi kepastian hubungan kita,” jawab Nirmala ketus. Ada rasa kecewa yang membuncah di dada. Namun, demi melihat senyum mengembang di bibir kekasihnya, ia sedikit luluh. Kata-kata kecewa yang sedari perjalanan ia rangkai, lenyap seketika. “Di mana ibumu?” Nirmala mengedarkan pandangan. Toko yang berada tidak jauh dari tempat dirinya berdiri pun terlihat sepi dan tutup. “Lagi nggak di rumah,” jawab Anggara lirih. Ada rasa bersalah di nada yang terucap. “Apa? Kamu nyuruh aku ke sini buat mohon sama Ibu kamu, tapi orangnya nggak ada?” Seketika amarah Nirmala tidak kuasa ditahan. “Kamu tau nggak sih, betapa stresnya aku mikirin masa depan hubungan kita? Sampai nggak makan, nggak tidur, kerjaan juga berantakan. Begoknya diriku begini!” Nirmala sungguh putus asa. Ia hendak balik kanan, tapi tangannya diraih Anggara dengan cepat. “Sebenarnya, Ibu ada di rumah Tante. Lagi ada pertemuan keluarga di sana,” jawab Anggara cepat. Demi melihat wajah penuh penyesalan di wajah sang kekasih, Nirmala mengurungkan niat untuk pulang. “Trus? “ Nirmala mendelik. “Aku akan panggil ibuku. Tunggu di teras dulu, ya?” Nirmala tak menjawab. Ia hanya bisa mengatur napas sekaligus menyaksikan punggung Anggara keluar dari halaman rumah. Berada di rumah sang pacar kali ini benar-benar berbeda dari pertama ia ke mari. Dulu, dirinya bak putri yang dipersilakan masuk. Meskipun terlihat jika kehadirannya kurang dinanti oleh orang tua tunggal sang kekasih, tapi kehangatan masih bisa ia rasakan. Namun, kali ini sungguh berbeda. Dirinya seperti pesakitan yang meminta permohonan untuk bebas merdeka. Berkali-kali ia merutuk diri sendiri dan mengatakan bahwa tindakannya teramat bodoh, karena dibutakan oleh cinta. ### Rumah itu lebih besar dari rumahnya. Pun bangunannya lebih megah, lengkap dengan taman yang luas dan tertata rapi. Dari balik pagar besi yang stylish, suara gelak tawa dan jejeritan toddlers terdengar. Dari luar gerbang, Anggara mampu mendengar suara khas ibunya yang menggelegar. “Pa, ada Pakde Gara!” Tiba-tiba lamunannya terbangunkan oleh suara cempreng sang ponakan, yang kemudian disusul papanya. “Oh, iya? Hai, Pakde Gara, kenapa cuma berdiri di situ? Ayo, sini masuk!” Sepupunya yang jauh-jauh dari Borneo itu menyambut. Anggara masuk dengan langkah yang tidak bersemangat. Pun, saat keluarga besarnya berceloteh, ia hanya bisa menanggapi dengan senyum terpaksa. Ponsel yang berada di saku mengingatkan akan tujuan ia ke rumah tantenya ini. Nirmala pasti sedang meneror dengan cara meng-call. Maka, setelah mencermati keadaan, ia berbisik pada sang ibu, “Bu, pulang, yuk. Ada tamu.” Mendengar penuturan putra semata wayang, wanita semampai itu menatap ke arah orang yang baru saja berbisik dengan tatapan curiga. Tidak biasanya sang putra mengajaknya pulang jika sedang ada acara, terlebih dengan cara berbisik. “Ada apa, sih?” Suara Bu Diana yang cukup kencang membuat beberapa anggota keluarga menoleh penuh rasa penasaran. “Ada tamu,” jawab Anggara lirih. Bibirnya seperti beku dan keberaniannya mendadak lenyap. “Oh, bilang kek dari tadi,” tutur Bu Diana begitu antusias. “Siapa tamunya?” lanjutnya sambil bersiap melangkah. Ditanya demikian, Anggara terdiam. Ia takut untuk mengutarakan, terlebih di hadapan keluarga besar. “N-nanti Ibu juga tau sendiri pas sampai rumah.” “Lha, kok, main tebak-tebakan. Bilang aja kenapa? Orang penting apa tidak?” Bu Diana semakin mencecar. Anggara pun semakin mengkeret nyalinya untuk mengatakan yang sebenarnya. Untung saja Tante Ayu—sang tuan rumah--segera menengahi,” ya udah, Mbak, pulang aja dulu. Temuin tamu kasihan udah nunggu. Siapa tahu memang penting dan rahasia.” “Ya sudah, aku pulang dulu,” ucap Bu Diana dengan suara agak ketus. Entah mengapa mood-nya menjadi tidak bersemangat. Sambil melangkah, wanita ayu itu menatap tajam ke arah putra semata wayangnya yang kikuk. Sepanjang perjalanan, Bu Diana begitu penasaran siapa sosok tamu yang dimaksud sang putra. Biasanya, jika ada tamu, Anggara akan langsung mengatakan siapa tamu tersebut. Namun, kali ini sepertinya ia akan diberi surprise. Lalu, wanita yang selalu memegang kretek itu pun menebak-nebak. Jika dilihat dari raut wajah sang putra yang tampak malu sekaligus takut, ia memiliki jawaban dari tebakan itu, “hem, pasti cewek,” gumamnya dalam hati. Dan, benar saja. Begitu langkahnya baru memasuki pintu gerbang, sosok yang baru sekali dilihat itu tengah berdiri di salah satu accent chair teras. Melihat sosok yang sedari tadi ia tunggu-tunggu, Nirmala langsung berdiri. Pancaran roman wajah Bu Diana yang datar tanpa senyum penyambutan membuat nyali Nirmala menciut. Kedua lututnya mendadak terasa kaku. Kata-kata yang ia rangkai sebelumnya mendadak lenyap. Speechless!“Itu pacar kamu kenapa ke sini, sih, Ga?” tanya Bu Diana pada putranya dengan suara setengah berbisik. Setelah berjabat tangan dan mempersilahkan tamunya duduk di ruang tamu, wanita berkaca mata itu langsung masuk ke ruang belakang. Tangannya menarik lengan sang putra—yang awalnya hendak menemani sang pacar di ruang tamu. “Ya memang, kenapa, Bu? Ya, silaturohmi, mungkin.” Dengan dipenuhi rasa takut dan was-was, Anggara menjawab. Beberapa detik melihat roman wajah sang ibu yang tampak kurang senang, ia pun melanjutkan perkataannya.”Atau mungkin ada yang ingin dia sampaikan, Bu. Penting. Hehehe.” Anggara nyengir. Padahal dalam hati, pria berkumis tipis itu tidak bisa mengontrol rasa dag-dig-dug yang menjajah jiwanya. “Penting apa, sih? Alasan! Mau ketemu kamu aja kali. Cewek kok, main ke tempat cowok begini. Tandanya cewek genit,” ucap Bu Diana sembari berjalan ke arah ruang tamu. Di sana sudah ada Nirmala yang deg-degan menunggu moment dirinya memberanikan diri meminta restu pada
“Aku sungguh kecewa sama kamu, Gara! Pokoknya, pilih aku atau ibumu. Titik!”Dalam perjalanan pulang dari rumah Bu Diana, Nirmala masih kuasa untuk menuliskan kalimat putus asanya di layar ponsel dan mengirimnya pada sang kekasih. Tangisnya yang tadi sempat berhenti, mendadak berderai kembali. Sapaan nama sayang ‘Bee’ kini tidak lagi digunakan, diganti dengan nama panggilan biasa karena saking kecewanya.Nirmala sungguh tidak mempedulikan banyak pasang mata yang menatap penuh pertanyaan dan nyinyiran. Fokus dan harapannya hanya satu, yaitu segera tiba di rumah Fitonia. Ia perlu untuk curhat dan meluapkan segala rasa kecewa hari ini. Jika tidak, jiwanya yang hancur berkeping-keping meminta tumbal mahal, sebagaimana dulu pernah ia lakukan—melukai diri sendiri.###Anggara masih terpaku menatap layar ponsel. Sebuah pesan dari kekasih membuat dirinya sangat terbebani. Tiba-tiba saja lamunannya buyar oleh tepukan tangan di punggung kanan.“Heh, malah nglamun. Itu ibumu perlu dirujuk ke ruma
Nirmala tertunduk lesu di pojok kamar. Beberapa jam setelah dirinya dikunci sang bapak, wanita yang berada dalam fase dewasa awal itu seperti orang linglung dan putus asa. Digenggamnya ponsel erat-erat sepanjang waktu. Tatapannya kosong. Sesekali dipandanginya benda di tangannya itu penuh harapan, lalu beralih ke arah jendela kamar yang berada di atasnya. Hidupnya benar-benar layaknya telah berada dalam tahanan. Dirinya tidak menyangka jika di tahun 2015 ini masih ada orang yang memenjarakan anaknya sendiri demi sebuah perjodohan. “Kukira Siti Nurbaya itu cuma ada di dongeng aja.” Kalimat yang terdiri dari delapan kata itu meluncur ringan dari hati terdalam. Bibirnya tersenyum getir. “Arghh!!!” Nirmala mengerang putus asa. Jikalau tidak ingat Blackberry yang ia genggam itu adalah hasil jerih payah kekasihnya, tentu sudah dibanting berkali-kali. “Kamu benar-benar membuatku gila, Gara!!! Bahkan, setelah kukirimi pesan itu pun, kamu tidak segera menghubungiku. Oh, kamu malah meno
“Apa?” pekik Nirmala setelah mendengar cerita dari seseorang di saluran telepon.Karena saking kagetnya, lengkingan suara Nirmala hampir saja terdengar hingga ruang tamu. Namun, saat itu suara ramah tamah antara keluarga Pak Harsono dan sang tamu yang begitu riuh, berhasil mengaburkan suara yang berasal dari kamar si gadis.“Ya, kamu tidak salah dengar. Bapak berhutang banyak pada keluarga Pak Jaksa. Rasanya tidak mungkin kita bisa menebusnya. Paling tidak dalam waktu dekat ini. Itulah mengapa, suka atau tidak, mau atau tidak, kamu jadi tumbalnya.”Suara di seberang telepon sana benar-benar sempurna membuat drama kehidupan Nirmala sangat mengenaskan. Seseorang yang seharusnya bisa menyelamatkan hidupnya, justru menghilang beberapa tahun lalu dan tiba-tiba datang membawa berita sangat buruk yang sangat mencengangkan.Butuh waktu beberapa detik untuk dirinya bisa berfikir dan menerima kabar mengagetkan tersebut. Air mata tidak lagi bisa keluar, padahal batinnya terus saja menjerit kesaki
Pertemuan itu sangat meriah, tapi tidak dengan suasana hati Nirmala yang sepi dan kacau. Pikiran tentang kekasihnya masih memenuhi otak. Sampai detik dirinya menyerah dan keluar kamar untuk berpartisipasi ke acara ramah tamah itu, Anggara sama sekali belum menghubungi. Hingga, keputusasaan dan kesedihan terpancar jelas di raut wajahnya yang manis.Tidak ingin tamu kehormatannya menaruh curiga dan kecewa, berulang kali Pak Harsono memberi sinyal pada sang istri untuk menyadarkan anak gadis untuk tersenyum ramah.“Tersenyumlah, Nak. Demi keluarga kita,” ucap Bu Harsono berbisik di telinga sang putri dengan lembut.Nirmala yang pikirannya sedang tidak di tempat segera tersadar oleh bisikan ibunya tersebut. Jika saja ia tidak ingat akan kata-kata dan pesan kakak laki-laki satu-satunya tentang masa depan sang ibu dan dirinya, tentu mengunci rapat-rapat bibir pasti akan dilakukan. Namun, dia tidak kuasa menerima kenyataan jika acara ini berakhir buruk, maka Bapak akan terimbas secara ekonomi
“Mister Dana!” Nirmala cemberut mengetahui kancing terakhir yang dipegang adalah urutan nama orang asing yang beberapa jam ini diketahuinya. Padahal dalam hati, ia berharap nama Anggara-lah yang akan menjadi urutan terakhir. Namun, tetap saja, keduanya sebenarnya bukan pilihan yang diharapkan, karena sama-sama akan sangat memalukan.“Ah, persetan dengan rasa malu. Urusan masa depan nomor satu. Toh, cuma makan malam. Aku juga yakin bisa melunasinya segera. Setelah ini harus cari part time job yang bergaji tinggi. Ya, harus!” lirih Nirmala.Gadis berhidung mungil itu menguatkan diri, tangan kanannya mengepal penuh semangat, pun dengan kepalanya manggut-manggut merasa yakin pilihannya pasti terbaik. Maka, tanpa menunggu lagi, ia memencet kedua belas nomor yang diberikan Siska tadi siang.“Halo?” Panggilan teleponnya langsung direspon begitu cepat, hingga Nirmala yang belum menyiapkan kata-kata pun kaget.” Halo. Dengan siapa ini?” suara berat khas cowok di seberang telepon kembali terdeng
Setelah keluar dari parkiran radio, pemuda yang melapisi kemeja kotak-kotak monochrome dengan jaket berbahan levis tebal itu melajukan motor tak tentu arah. Mencari Mister Dana adalah tujuan utamanya saat ini, bukan lagi memberi surprise malam mingguan seperti pada awal dirinya ke luar rumah. Tapi di mana? Ia tidak kenal secara personal dengan sosok yang terkenal gila duit, gila wanita dan gila party itu. Hanya beberapa kali mendengar teman-temannya menyebut nama tersebut di kampus.Pikirannya kacau. Ia memang belum sebulan mengenal sosok bernama Nirmala, yang beberapa minggu ini menjadi pacarnya. Namun, entah kenapa, begitu mendengar nama gadis yang setiap bercerita adalah tentang keluarga berantakan dan mimpi-mimpi indah masa depan, hatinya begitu tergugah untuk menolong. Kali ini dirinya pun heran, mengapa tidak cerita tentang kesulitan ekonomi kepadanya? Padahal, kalau bercerita, pastilah akan ia bantu bagaimana pun caranya.Tiba-tiba suara klakson mobil mengagetkan, membangunkan d
Begitu sampai rumah, Anggara langsung bergegas mencari ponsel miliknya. Ia ingat baik-baik, dua hari lalu, saat terakhir menggunakan gawai tersebut adalah saat menerima pesan singkat dari Nirmala di depan kamar ibunya. Dan, benar, benda itu masih tergeletak di sana.Dengan penuh rasa bersalah, diraihnya benda tersebut. Sayangnya, kondisi sudah dalam keadaan mati. Langsung saja ia mengecas gadget itu. Setelah menunggu beberapa menit dan daya terisi cukup untuk mengaktifkan kembali, segera ia memencet tombol on off.Panggilan sebanyak 16 kali dan beberapa tumpukan chat yang sebagian besar dari Nirmala terpampang di sana. Pemuda yang semasa hidupnya hampir tak pernah marah itu langsung merasa lesu. Pikirannya langsung melayang pada keadaan kekasihnya. Jika saja dirinya lebih berani dan tegas untuk pulang ke rumah mengambil ponsel yang tertinggal, tentu hal mencemaskan tidak akan ia rasakan.Sayang, sang ibu yang selama dua hari berada di rumah sakit itu selalu memintanya untuk berada di s
“Kamu yakin, Sayang?” tanya Bu Vera pada putrinya yang beberapa langkah lagi menuju pintu mobil.Dengan mantap mantap, wanita yang masih terlihat pucat itu mengangguk seraya menjawab, “ya, Ma.”Merasa terharu, dipeluknya sang putri dengan penuh kasih.“Aku selalu mendoakan kebahagiaan kamu. Mama akan usahakan pengobatan dan terapi terbaik nanti di sana,” ucap Bu Vera tidak bisa menyembunyikan rasa haru. Wanita yang belakangan merasa begitu dekat dengan putri yang pernah ditinggalkannya itu berkali-kali mengusap usap pundak penuh kasih.Tidak hanya kedua wanita itu yang merasa berat untuk berpisah dengan kampung halaman, rumah kenangan, tapi juga Mbak Duwik. Wanita yang selama Bu Vera di sini selalu siap sedia diperintah itu ikut menangis penuh haru.Seperti mengerti perasaan wanita cekatan itu, Fitonia mendekat, memeluk dan berkata, “ terima kasih ya, Mbak Duwik, selalu ada buat kami.”Wanita yang tadinya mewek dengan suara pelan, kali ini justru sesenggukannya terdengar semakin keras
Nirmala, Pak Harsono, istri dan kakak perempuannya serempak saling pandang menatap dua orang lelaki yang berdiri di depan pintu rumah. Satu terlihat begitu bugar, gagah dan percaya diri, sementara satunya memancarkan sorot kesedihan mendalam, lemah dan pesimis. Beberapa kali, pria gagah menepuk-nepuk punggung pria tak berdaya di samping sambil mengangguk, seolah tengah menyalurkan kekuatan.“Assalamu’alaikum, Pak Harsono dan keluarga, bolehkah kami masuk?” Karena saking terpananya dengan apa yang dilihat, sekeluarga hanya bisa melongo dan sampai lupa mempersilahkan tamu segera masuk.“Oh, ya, Wa’alaikumsalam. Silahkan masuk,” ujar Bu Harsono seketika sadar.Istri Pak Harsono itulah yang paling awal melihat kedatangan dua pria beda usia tersebut menuju rumah, lalu lari ke kebun samping dan memberi tahukan bahwa ada tamu. Ia sangat penasaran dengan pria yang tengah menuntun calon menantu idamannya, sekaligus kaget dengan keadaan Anggara yang seperti sedang sakit.“Maaf jika kedatangan ka
“Benarkah itu Johan?” Bu Diana hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat. Sosok yang sebentar lagi pasti mengetuk pintu itu memang bisa dibilang jauh berbeda dengan suaminya dulu, tapi sebagai istri, ia masih tidak lupa dengan cara berjalannya yang gagah dan khas. Terlebih, saat tamu tak diundangnya mengetuk pintu tapi merasa tidak direspon dan wajahnya berusaha mengintai lewat kaca, Bu Diana kini yakin seratus persen bahwa orang tersebut adalah suami yang pernah diusirnya berkali-kali. Hal itu terlihat dari bekas luka sabetan benda tajam di wajah.“Ada apa si Johan kembali lagi ke sini? Bukankah sudah kusuruh tidak lagi menginjakkan kaki di rumah ini lagi? Berani sekali dia!” Bu Diana yang cukup pangling dengan penampilan sang tamu itu berkali-kali mengucek mata untuk memastikan.“Assalamu’alaikum...Assalamu’alaikum,” salam Pak Johan setelah ketukan pintunya yang berkali-kali tidak digubris.Nada suaranya yang kini terdengar adem dan lembut itu mengundang simpati Bu Diana. Wanita
Melihat sosok yang selama ini dirindukannya, Anggara merasa begitu lega. Kali ini, tidak lagi ada kecanggungan. Ia telah menemukan kembali kenyamanan berada di dekat seorang ayah seperti dulu waktu kecil sering bermain dan bercanda.Pak Johan langsung mempersilakan sang putra masuk ke kamar penginapan yang hanya dia sendiri di sana. Entah kebetulan atau memang sudah takdir, biasanya ia akan berada di sebelah tuannya kapan pun. Jika sedang tour kota semacam ini, kalau tidak tidur di pondok pesantren persahabatan, ya menginap di penginapan lengkap dengan tim.Namun, kali ini sungguh berbeda. Gus Hamdan, pendakwah muda yang tengah naik daun itu tengah membersamai istri tercinta pasca melahirkan di klinik dan kini telah dibawa ke rumah sakit khusus ibu dan anak demi mendapatkan fasilitas terdepan.“Bapak istirahatlah. Aku sudah pesankan kamar di penginapan dekat rumah sakit ini. Beristirahatlah setenang mungkin. Jangan pikirkan aku atau Ning. Tenang saja, ada Bik Fatimah dan beberapa sant
“Kabari Ayah kapan pun kamu mau. 082****.”Anggara memandang secarik kertas yang sepertinya ditulis dengan buru-buru itu penuh haru. Ia memang masih menyimpan kenangan indah bersama sang ayah sewaktu kecil dulu, sebelum pada akhirnya kepala rumah tangga itu diusir pemilik sah rumah itu. Dalam hati, ia memang berniat untuk kembali bertemu, bahkan ada secercah harapan untuk bisa hidup bersama lagi seperti dulu.Malam telah cukup larut. Jalanan sudah mulai sepi. Terlebih, klinik bersalin itu berada di pinggir kota. Di jam segini, mana mungkin ada kendaraan umum, kecuali ojek. Setelah berjalan dan bertanya beberapa orang, akhirnya ia menemukan tukang ojek yang langsung dimintanya untuk membawa pulang.Kali ini, ia sebisa mungkin menghentikan sementara pikiran tentang Pak Johan, Nirmala dan Fitonia. Sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki sang ibu, Anggara berpikir keras mencari kata yang hendak diucapkan saat bertemu dengan wanita single parent itu.Ia ingat betul bagaim
“Ma, istirahatlah. Aku baik-baik saja. Hanya, aku butuh obat tidur, terlelap, lalu bangun dalam keadaan siap menghadapi takdir yang ada. Maaf, telah membuat Mama, Papa dan keluarga kecewa, malu dan sedih. Setelah ini, aku berjanji tidak akan mengulanginya,” tulis Fitonia di pesan singkat, lalu mengiriminya pada sang mama, yang langsung lemas setelah membaca.Pak Rudi yang ikut membaca karena penasaran dengan penyebab sang istri langsung menjatuhkan diri ke dadanya itu juga tidak tahan untuk tidak bersedih. Terlebih, lelaki sukses itu merasa menyesal, mengapa baru kali ini datang ke mari, kenapa tidak kemarin-kemarin saat istrinya meminta.Ia sama sekali tidak menyangka jika putri sulungnya itu justru akan bertambah parah ketika berada di sini. Dikiranya, kesehatannya membaik karena waktu hendak pulang ke kampung halaman, dia melihat harapan dari senyum semangat sang putri. Ditepuk-tepuknya pundak sang istri seraya berucap,”dia gadis cerdas, pasti bisa bangkit segera. Papa yakin itu, M
“Bapak...” panggil Nirmala pada lelaki brewokan di teras rumah. Beberapa bulan tidak melihat, wajah Pak Harsono yang dulu hampir selalu rapi, kini tampak tidak terurus. Rambut-rambut dibiarkan tumbuh liar di wajah menambah kesan garang.“Kalian dari mana aja jam segini baru pulang?” cecar Pak Harsono sembari menatap tajam ke arah pasangan muda mudi yang terlihat tegang itu.Anggara menatap kekasihnya seolah memberi isyarat apakah dirinya harus jujur atau tidak. Seperti mengerti makna sorotan mata itu, Nirmala menggeleng pelan.“Maaf, Pak. Tadi, abis kontrol. Antriannya panjang, jadi sampai telat pulangnya. Bapak kapan pulang?” tanya Nirmala lirih penuh kehati-hatian.Bersamaan dengan jawaban putrinya, Bu Harsono yang mendengar suara sang suami yang cukup lantang tadi segera ke luar.Ditatapnya muda-mudi itu dengan sorot kecemasan. Sebagai seorang Ibu, Bu Harsono memiliki ikatan batin kuat kepada sang putri yang dari tatapannya seperti tengah meminta bantuan.“Oh, kalian sudah pulang,
“Kamu dari mana aja, Gara? Tante nyariin kamu kemana-mana, kirain ke toilet atau ke luar beli sesuatu.”Begitu sampai di depan ruangan tempat Nirmala diperiksa tadi, terlihat Tante Ayu tengah gelisah. Wanita yang tampak kelelahan dan kebingungan itu langsung lari menyusul saat melihat Anggara muncul.“Nggak dari mana-mana, Tante,” jawab Anggara singkat. Pikirannya masih tersangkut pada sosok yang baru saja ditemuinya.“Kamu lho, seperti linglung begitu. Ada apa? Oh, ya, Nirmala sudah siuman. Tadi Tante udah masuk sebentar. Ini mau jemput ommu di rumah Fitonia. Duh, suasana katanya kacau balau. Kamu di sini tunggu Nirmala, ya. Jaga kesehatan dan mental dia. Tante jemput om dulu,” pamit Tante Ayu terlihat tergesa-gesa.Anggara hanya mengangguk. Langkahnya lesu masuk ke ruangan yang sedari tadi ditunggui tantenya itu. Batinnya senang mendengar sang kekasih sudah siuman, tapi tetap saja masih terasa ada yang mengganjal.Melihat Nirmala menatapnya, ia berusaha tersenyum ceria. Diingatnya b
Melihat ekspresi putranya yang begitu terkejut dan panik, Bu Diana mendelik. Dicubitnya sang putra sebagai bentuk protes sekaligus permintaan untuk tetap duduk melanjutkan prosesi acara lamaran. Seperti tidak mau kehilangan kesempatan, wanita yang tidak menyangka akan ada kejadian tak terduga tersebut pun langsung meminta panitia untuk tetap melanjutkan acara.Ia mengajak calon besan untuk saling mengaitkan cincin di masing-masing calon pengantin. Namun, Anggara yang hatinya terkoyak melihat kekasih hati jatuh pingsan, tidak kuasa untuk bertahan. Ia bangkit tanpa memperdulikan pekikan dan larangan sang ibu. Dipapahnya wanita muda yang tidak sadarkan diri itu ke luar tempat acara.Tante Ayu yang menyaksikan adegan memilukan itu pun tergugah hatinya, lalu bangkit dan meminta kunci pada sang suami. Wanita yang sudah menganggap Nirmala sebagai anak sendiri itu pun menyuruh sang keponakan untuk memasukkan Nirmala ke mobilnya.“Tante yang nyupir,” ujarnya sigap membukakan pintu. Ia benar-be