Share

Ada Apa Dengan Sahabatku?

Ketika sampai di rumah, Fitonia mendapati Nirmala sudah tertidur pulas di lantai bawah jendela, tanpa alas. Di sekeliling wanita yang tampak kelelahan itu berantakan. Beberapa throw pillows yang awalnya tertata rapi di sofa bed, kini berserakan di lantai. Pun dengan throw blanket sudah berada di salah satu stool dengan kondisi sangat kusut.

 Fitonia hafal betul tabiat sahabatnya itu. Jika sedang marah atau depresi, tidak hanya gampang menangis, tangisannya pun bisa berjam-berjam. Ia juga termasuk orang yang baperan dan sangat menghayati hidup, baik bahagia atau pun sedih. Yang paling membuatnya sering jantungan adalah tindakan sang sahaat yang ekstrem.

Nirmala tidak segan untuk melompat setinggi mungkin untuk mengekspresikan kesedihan, membenturkan benda ke lantai atau tembok, bahkan melukai anggota tubuh. Dirinya ingat betul bahwa terhitung sudah dua kali pergelangan tangan sahabatnya itu tergores karena drama keluarga.

Sebenarnya, Fitonia ingin langsung beranjak istirahat ke kamar, tapi ada sesuatu yang menariknya untuk duduk tak jauh dari tempat sang sahabat tertidur. Ia pandangi sahabatnya itu dengan kepala penuh kata-kata. Tak terasa, air mata menetes perlahan di pipi.

“Apa aku ini sahabat yang buruk, Mala? Egois dan tak tau diri?” Fitonia berusaha menahan isakan, karena takut sang sahabat terbangun.

Wanita penyuka warna monochrome itu begitu prihatin melihat kondisi teman terdekatnya yang semakin lama semakin terlihat menderita. Dulu, saat masih di bangku SMA, penderitaannya sebatas hubungan toxic keluarga. Namun, semakin ke sini, masalah hidupnya bertambah dengan asmara dan masa depan. “Pantaskah kita masih bersahabat, Mala?” Fitonia bertanya sembari mengalihkan pandangan. Karena tidak kuasa lebih lama melihat sahabatnya, ia pun bangkit.

Sebelum benar-benar pergi, Fitonia mengambil selimut dan digunakannya untuk menutupi badan mungil wanita yang sudah terlelap dalam dengkuran. Ini bukan kali pertama, bahkan terlewat sering, teman yang dikenal sejak di bangku SMA itu berada di rumah ini hingga menginap berhari-hari. Apalagi, jika Nirmala sedang ada masalah dengan keluarga atau Anggara, rumah peninggalan buyutnya ini menjadi semacam tempat pelarian untuk mencari ketenangan dan solusi. Tidak  masalah bagi dirinya, karena ia tinggal seorang diri. Sementara orang tua dan saudara berada di Metropolitan. Mungkin itu salah satu alasan mengapa wanita unik itu betah sekali di sini, karena bebas dan sepi.

Malam telah begitu larut. Jam di dinding kamar menunjukkan pukul dua lebih tujuh belas menit. Namun, sekuat bagaimana pun Fitonia berusaha menutup mata, ia tidak bisa benar-benar tidur. Bayangan demi bayangan seperti terpampang nyata di hadapan.

Wanita berpiyama motif  houndstooth itu masih ingat dengan jelas bagaimana roman malu-malu Nirmala saat curhat bahwa cowok yang ia taksir adalah sahabatnya sendiri, yaitu Anggara. Bahkan, saking hebat rasa persahabatan yang dimiliki, dirinya sampai tergugah untuk menjadi perantara bagi keduanya. Namun sayang, setelah mereka bersatu, tak pernah terbayang jika itu adalah awal dari bencana yang sampai detik ini masih menghantui.

Perih di hati tiba-tiba terasa menjalar hingga lambung, tepatnya perut bagian atas atau ulu hati. Rasa nyeri, panas dan perih itu semakin lama semakin menyiksa. Bahkan, untuk bangkit dari ranjang pun hampir kesulitan. Sekuat tenaga akhirnya wanita itu bisa meraih kotak obat yang letaknya tidak jauh dari ranjang. Sebelum memasukkan salah satu obat ke saluran pencernaan, ia masih kuat untuk menahan sakit demi meratapi nasibnya.

“Kau tidak tahu ‘kan, kalau sejak keputusan konyolku itu, aku jadi pesakitan? Parahnya lagi, aku tidak bisa jauh dari obat!” Tiba-tiba Fitonia menertawakan diri,”Banyak hal yang tidak bisa aku lakukan, hanya demi ingin terlihat baik-baik saja. Kau tidak tau dan tidak perlu tau. Atau pura-pura tidak mau tau? Ya. Hidupmu, hidup kalian harus selalu bahagia. Impian sampai di pelamina harus terlaksana.” Beberapa butir obat pereda rasa nyeri lambung, antibiotik dan antasida langsung ditelannya dalam satu waktu. Saking seringnya harus mengkonsumsi obat-obatan itu, air putih ataupun makanan pelarut lain tak diperlukan lagi.

Fitonia berdiam sejenak, menatap ke arah kaca penutup wall-mounted medicine cabinet. Wanita berwajah lonjong dengan hidung bangir dan alis hitam asli itu menatap bayangan diri sendiri. Ia sadar bahwa dirinya cantik dan menarik. Soal prestasi juga tidak bisa diragukan lagi. Karena keenceran otaknya pula, setamat SMA, langsung diterima di sekolah kedinasan.

Demi mengingat sesuatu, perlahan Fitonia menuju ke gudang di ruang belakang. Tempat itu lebih mirip kandang, sebenarnya. Lebih tepatnya, kandang yang dikelilingi anyaman bambu yang warna labur putihnya telah memudar dan gentengnya sudah rapuh. Pernah ia protes pada kakeknya--sewaktu masih hidup dulu--untuk merobohkannya saja, tapi ditolak.

Gudang itu dulunya adalah ruang kerja sang kakek sewaktu menjadi seorang mantri, sehingga penuh dengan kenangan. Di ruangan yang luasnya tidak lebih dari dua meter itu dulunya penuh dengan buku. Setelah sang empu wafat, Fitonia memasukkan buku dan barang-barang koleksi sang kakek ke kardus hingga menumpuk.

Tidak ada yang pernah datang ke ruangan itu kecuali dirinya. Hal itu beralasan, karena meskipun nenek dan kakeknya memiliki cukup banyak anak dan cucu, hanya dia seorang yang menemani dari sekolah dasar hingga lulus SMA. Ini adalah kali pertama ia memasuki ruangan tersebut setelah balik kampung lima tahun yang lalu. Sudah pasti tempatnya terlihat tak terawat, berdebu dan sawang ada di mana-mana.

Di sana, Fitonia mulai mencari-cari sesuatu di tumpukan kardus. Setelah gagal beberapa kali, akhirnya setengah jam kemudian ia menemukan benda yang dicari. Dengan penuh dramatis, wanita berkaca mata itu membuka binder bersampul karakter ‘Tersayang’, lalu menarik sebuah potret segerombolan anak sekolah berseragam putih biru yang tersimpan di dalam. Sepasang matanya yang dinaungi bulu mata hitam lentik itu sangat antusias menatap salah satu potret siswa yang tengah tersenyum begitu manis—senyum yang memaksanya untuk jatuh hati di kemudian hari.

“Kamu sangat cantik. Hati kamu juga baik. Pintar sudah pasti, karena kamu selalu juara kompetensi. Tapi, apa patut kamu aku sukai?”

Fitonia senyam-senyum membaca surat cinta dari salah satu siswa di potret yang ia dekap. Bagi dirinya yang pada waktu itu adalah sang primadona, mendapat surat cinta bukanlah hal yang luar biasa. Saking kelewat sering, ia sampai lupa siapa saja yang pernah mengutarakan rasa kagum dan mengajaknya pacaran. Entah karena takdir atau apa, surat yang ada di tangan sekarang adalah surat satu-satunya yang masih dipunya dalam kondisi yang bagus.

Rasanya ia ingin terus di tempat itu sembari bernostalgia. Tak henti-henti wanita ber-IQ 120 itu mengucapkan kata “andai saja” sambil hanyut dalam lamunan. Namun, tak lama kemudian, ia segera menutup buku tersebut, mengembalikan ke tumpukan buku paling bawah, lalu beranjak ke luar. Suara gaduh di kamar tempat Nirmala tidur memaksa untuk segera berlari. Betapa terkejutnya wanita lemah lembut itu melihat keadaaan sang sahabat yang tadi ia tinggalkan sedang tertidur pulas, kini telah bangun dalam keadaan di luar nalar.

“Astaghfirullah, Mala!!!” Fitonia menjerit sekeras-kerasnya melihat apa yang terjadi dengan Nirmala di depan mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status