Home / Pernikahan / Nikahi Aku atau Aku Mati / RESPON DI LUAR NALAR

Share

RESPON DI LUAR NALAR

Author: Gra_Violla
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Itu pacar kamu kenapa ke sini, sih, Ga?” tanya Bu Diana pada putranya dengan suara setengah berbisik. Setelah berjabat tangan dan mempersilahkan tamunya duduk di ruang tamu, wanita berkaca mata itu langsung masuk ke ruang belakang. Tangannya menarik lengan sang putra—yang awalnya hendak menemani sang pacar di ruang tamu.

“Ya memang, kenapa, Bu? Ya, silaturohmi, mungkin.” Dengan dipenuhi rasa takut dan was-was, Anggara menjawab. Beberapa detik melihat roman wajah sang ibu yang tampak kurang senang, ia pun melanjutkan perkataannya.”Atau mungkin ada yang ingin dia sampaikan, Bu. Penting. Hehehe.” Anggara nyengir. Padahal dalam hati, pria berkumis tipis itu tidak bisa mengontrol rasa dag-dig-dug yang menjajah jiwanya.

“Penting apa, sih? Alasan! Mau ketemu kamu aja kali. Cewek kok, main ke tempat cowok begini. Tandanya cewek genit,” ucap Bu Diana sembari berjalan ke arah ruang tamu.

Di sana sudah ada Nirmala yang deg-degan menunggu moment dirinya memberanikan diri meminta restu pada ibu sang pacar. Melihat orang yang sedari tadi ditunggu telah datang, jantungnya semakin berdenyut lebih kencang dan kedua lutut bergetar hebat. Seumur hidup, dirinya tidak pernah merasa se-nerveous ini.

“Tante...” Nirmala berusaha mencairkan suasana.

Dengan malas, Bu Diana membalas sapaan pacar putra semata wayangnya dengan anggukan dan senyum segaris.

Ini memang bukan kali pertama Bu Diana bertemu sosok gadis yang baru kemarin dibahas putranya itu. Dirinya ingat betul bahwa wanita berkulit cokelat itu pernah datang ke rumah ini, dulu sekali. Waktu itu diperkenalkan sebagai teman saja. Meski pada akhirnya, sang putra mengakuinya sebagai pacar.

Sejak berpacaran dengan Anggara, Nirmala memang sudah kerap mendengar cerita tentang sosok ibu sang pacar. Meskipun ia sering merutuk bahwa calon mertuanya itu orang yang egois, keras kepala dan tidak punya perasaan, tapi tetap saja, begitu melihat sosok itu di hadapan, dirinya tak berkutik. Mungkin, aura tegas dan kuat di guratan wajah berkelas itu yang membuatn pacarnya juga sangat takut pada sang ibu, pikir Nirmala.

 “Apa kabar, Bu?” Karena tidak ada respon suara dari sapaannya, Nirmala menanyakan kabar, yang sudah ia tanyakan saat di teras depan tadi.

“Ya. Seperti yang kamu lihat. Baik-baik saja, ‘kan?” Kedua tangan Bu Diana diangkat sejajar dengan wajah lonjongnya, seolah untuk menunjukkan bahwa dia sangat percaya diri. Tak lama kemudian, kedua tangan yang dipenuhi dengan gelang emas itu bersedekap, diikuti kaki bersilang.

“Oh, Alhamdulillah. Syukurlah,” jawab Nirmala dengan hati mulai merasa tidak nyaman. “Pantes aja si Anggara selama ini takut banget sama wanita ini. Modelnya aja kayak persis preman. Sombong pula,” katanya dalam hati.

Beberapa saat terjadi kekosongan. Nirmala menatap Anggara sambil menggerakkan bola mata. Ia berharap telepatinya berhasil membuat sang kekasih memecah keheningan. Sayang, pria itu tak peka.

“Ada apa ke mari, Mbak? Tumben?” Tak dinyana Bu Diana tiba-tiba bersuara. Kedua netranya yang dilengkapi dengan kaca mata itu terlihat naik turun, seolah sedang membaca gerak gerik sang tamu.

Mendengar pertanyaan tersebut, Nirmala tersadar bahwa kehadirannya belum diketahui sang calon mertua. Ia mendadak sangat gregetan pada pacarnya yang hanya duduk tanpa sepatah kata.

“Apa Anggara tidak bilang sama Ibu?” Saat melontarkan pertanyaan ini, dada Nirmala terasa sesak. Ia tidak menyangka jika sang kekasih sebegitu pengecutnya--tidak mengatakan pada ibunya bahwa ia akan ke mari untuk membahas tentang pernikahan. Mendadak ia ingin menjerit sekeras-kerasnya.

“Bilang apa?” Bu Diana justru kaget dan bertanya balik. Di tatapnya wanita bergaun semi formal itu tajam, kemudian beralih pada sang putra yang terlihat sangat kaku dan muram.

Nirmala sudah tidak bisa menutupi kekecewaan, sehingga air matanya mulai menerobos iris mata secara brutal.

“Anggara ... kau belum bilang sama Ibu?” Nirmala bertanya pada kekasihnya sembari menangis. Mulut pria itu seolah terkunci rapat.

“Ada apa sebenarnya ini?” Bu Diana sangat kaget, karena tiba-tiba tamunya itu menangis sesenggukan.

“Bukankah Anggara sudah pernah membicarakan tentang pernikahan kami, Bu?” Dengan isak tangis yang tertahan—karena takut tetangga mendengar--, Nirmala berusaha menguatkan diri.

“Apa? Tidak. Anggara tidak mengatakan apa-apa, kecuali meminta pendapat saya bagaimana kalau dia punya pacar. Itu aja.” Kali ini Bu Diana mendelik ke arah putranya—yang tampak sangat sedih.

Marah dan kecewa mendadak menyatu di dada Nirmala. Ia sungguh tak menyangka jika pria yang selama ini dikenal baik, tulus, dan penuh kasih sayang itu telah berbohong. Terlebih ini menyangkut masa depannya. Mendengar penuturan Bu Diana, dirinya merasa tidak berarti dan putus asa. Kalaulah punya kekuatan super, ia ingin segera menghilang secepat mungkin.

“Bu, putra Ibu sudah berkali-kali mengingkari janji untuk menikahi saya. Ini sudah ke tiga kali. Huhuhu.” Tangis Nirmala meledak-ledak.

Bu Diana tampak sangat kaget.  Ia menoleh pada putranya kembali.

“Anggara! Ada apa ini?” Bu Diana menatap sang putra tajam.

“Bu, izinkan kami menikah. Ya?” Anggara tiba-tiba bersimpuh di depan wanita yang paling ditakuti. Perasaannya tidak karuan. Sementara Nirmala tidak kuasa untuk mengeluarkan kata-kata lagi.

“Ibu, kan, sudah bilang. Umurmu baru 27 tahun. Nikahnya tunggu nanti kalau sudah kepala tiga. Sifat masih kayak anak kecil begitu mau kawin. Mau bagaimana rumah tangga kamu nanti? Kalau langsung punya anak, mau dikasih makan apa anak kamu? Kerja aja masih sama Ibu, kok, mau kawin!” Bu Diana sangat kesal. Ia tidak menyangka jika obrolan beberapa waktu lalu—tentang pernikahan dengan putranya--justru membawa mimpi buruk.

“Tapi, Bu ... bukankah Ibu pernah bilang kalau umur 27 aku sudah boleh menikah?” Anggara masih bersimpuh di kaki sang ibu.

“Tidak! “ Bu Diana naik pitam. Ia tatap wanita muda yang tengah menangis di hadapannya. Semula ia lihat dari ujung kepala, lalu turun hingga perut.

“Kenapa ngotot ingin putraku menikahimu? Apa kau sedang hamil cucuku, hah?” Tatap Bu Diana tajam-- yang langsung disambut tatapan kaget sepasang muda mudi di hadapannya bebarengan. Keduanya tidak menyangka jika pikiran wanita paruh baya itu begitu jauh.

“Ibu!” pekik Anggara kaget.

“Hanya ada satu alasan kenapa seorang perempuan ngotot ingin minta dinikahi. Tidak ada lain kecuali hamil di luar nikah.”

“Bu, kami tidak serendah itu.” Susah payah Nirmala mengeluarkan kata karena isakan tangisnya yang tak tertahan. Namun, demi perkataan yang jauh dari fakta, membuat wanita mungil itu perlu untuk meluruskan.

“Bu, kami ini tau norma. Pacaran kami sehat. Kumohon jangan perparah situasi ini. Kali ini saja kabulkan permintaanku.” Anggara mencoba untuk bersuara lebih lantang. Baru kali ini ia melakukannya, karena tidak tega melihat sang pacar yang tampak sangat terpukul.” Selama ini aku selalu menuruti semua permintaan Ibu, ‘kan?” imbuhnya sembari memberanikan diri menatap sang ibu.

Tiba-tiba Bu Diana hendak ambrug. Darah tingginya kumat.

“Ibu  nggak habis fikir. Bisa-bisa Ibu mati mendadak kalau begini. Duh, Gusti!” Bu Diana  memegangi kepala, sementara Anggara langsung sigap memapah sang ibu.

“Kamu sungguh keterlaluan, Anggara! Selama ini kamu membelot. Sudah Ibu katakan jangan pacaran sebelum dewasa. Begini, kan, jadinya. Ibu pusing!”

“Bu, apa selama ini Anggara tidak pernah cerita apa pun sama Ibu?” tanya Nirmala sangat penasaran. Air matanya terasa sudah kering. Sesenggukannya pun sudah berhenti. Kekuatan dan keinginan untuk menangis sudah habis saking kaget dan sakit hati. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dialami detik ini.

“Cerita apa? Anggara itu anak rumahan. Dia anak laki-laki yang patuh sama Ibunya. Apa pun yang aku mau dan perintah, pasti manut dan lakukan. Tapi tak dinyana akan ada bencana seperti ini.”

“Kami sudah menjalin hubungan selama lima tahun lebih, Bu. Selama tiga kali dia ingkar mau menikahiku. Bahkan, keluarga besar saya sudah menanti kehadiran keluarga Ibu.”

“Apa? Aduh, kepalaku! Aku nggak bisa mikir. Kamu sangat keterlaluan, Anggara. Ibu mau ke rumah Tante Ayu. Bawa mama ke sana.”

“Telpon saja, ya, Bu?” ucap Anggara panik.

Melihat ibunya sudah tidak bertenaga dan ngos-ngosan, dengan cepat Anggara menghubungi tante Ayu. Dia adalah satu-satunya anggota keluarga terdekat. Keduanya sangat akrab, sehingga jika ada suatu masalah, mereka akan dengan cepat saling berbagi.

Kepanikan segera terjadi, lantaran Bu Diana napasnya mendadak ngos-ngosan. Tak lama kemudian, beberapa anggota keluarga Tante Ayu datang.

Melihat Budenya kepayahan, Dika—sepupu Anggara-- segera memapah ke kamar.

“Bude kenapa, Bude?” Beberapa anggota keluarga tante Ayu yang turut serta ikut panik.

Tidak ada jawaban.

Nirmala yang ingin ikut masuk, dilarang salah satu anggota keluarga dan meminta wanita mengenaskan itu untuk pulang.

Anggara yang hatinya runtuh sebenarnya tak kuasa menyaksikan punggung sang pacar menjauh. Namun, ia tidak bisa meninggalkan sang ibu dalam kondisi seperti itu. Tak lama kemudian, tiba-tiba sebuah pesan pendek membuatnya terbelalak.

“Itu pacar kamu kenapa ke sini, sih, Ga?” tanya Bu Diana pada putranya dengan suara setengah berbisik. Setelah berjabat tangan dan mempersilahkan tamunya duduk di ruang tamu, wanita berkaca mata itu langsung masuk ke ruang belakang. Tangannya menarik lengan sang putra—yang awalnya hendak menemani sang pacar di ruang tamu.

“Ya memang, kenapa, Bu? Ya, silaturohmi, mungkin.” Dengan dipenuhi rasa takut dan was-was, Anggara menjawab. Beberapa detik melihat roman wajah sang ibu yang tampak kurang senang, ia pun melanjutkan perkataannya.”Atau mungkin ada yang ingin dia sampaikan, Bu. Penting. Hehehe.” Anggara nyengir. Padahal dalam hati, pria berkumis tipis itu tidak bisa mengontrol rasa dag-dig-dug yang menjajah jiwanya.

“Penting apa, sih? Alasan! Mau ketemu kamu aja kali. Cewek kok, main ke tempat cowok begini. Tandanya cewek genit,” ucap Bu Diana sembari berjalan ke arah ruang tamu.

Di sana sudah ada Nirmala yang deg-degan menunggu moment dirinya memberanikan diri meminta restu pada ibu sang pacar. Melihat orang yang sedari tadi ditunggu telah datang, jantungnya semakin berdenyut lebih kencang dan kedua lutut bergetar hebat. Seumur hidup, dirinya tidak pernah merasa se-nerveous ini.

“Tante...” Nirmala berusaha mencairkan suasana.

Dengan malas, Bu Diana membalas sapaan pacar putra semata wayangnya dengan anggukan dan senyum segaris.

Ini memang bukan kali pertama Bu Diana bertemu sosok gadis yang baru kemarin dibahas putranya itu. Dirinya ingat betul bahwa wanita berkulit cokelat itu pernah datang ke rumah ini, dulu sekali. Waktu itu diperkenalkan sebagai teman saja. Meski pada akhirnya, sang putra mengakuinya sebagai pacar.

Sejak berpacaran dengan Anggara, Nirmala memang sudah kerap mendengar cerita tentang sosok ibu sang pacar. Meskipun ia sering merutuk bahwa calon mertuanya itu orang yang egois, keras kepala dan tidak punya perasaan, tapi tetap saja, begitu melihat sosok itu di hadapan, dirinya tak berkutik. Mungkin, aura tegas dan kuat di guratan wajah berkelas itu yang membuatn pacarnya juga sangat takut pada sang ibu, pikir Nirmala.

 “Apa kabar, Bu?” Karena tidak ada respon suara dari sapaannya, Nirmala menanyakan kabar, yang sudah ia tanyakan saat di teras depan tadi.

“Ya. Seperti yang kamu lihat. Baik-baik saja, ‘kan?” Kedua tangan Bu Diana diangkat sejajar dengan wajah lonjongnya, seolah untuk menunjukkan bahwa dia sangat percaya diri. Tak lama kemudian, kedua tangan yang dipenuhi dengan gelang emas itu bersedekap, diikuti kaki bersilang.

“Oh, Alhamdulillah. Syukurlah,” jawab Nirmala dengan hati mulai merasa tidak nyaman. “Pantes aja si Anggara selama ini takut banget sama wanita ini. Modelnya aja kayak persis preman. Sombong pula,” katanya dalam hati.

Beberapa saat terjadi kekosongan. Nirmala menatap Anggara sambil menggerakkan bola mata. Ia berharap telepatinya berhasil membuat sang kekasih memecah keheningan. Sayang, pria itu tak peka.

“Ada apa ke mari, Mbak? Tumben?” Tak dinyana Bu Diana tiba-tiba bersuara. Kedua netranya yang dilengkapi dengan kaca mata itu terlihat naik turun, seolah sedang membaca gerak gerik sang tamu.

Mendengar pertanyaan tersebut, Nirmala tersadar bahwa kehadirannya belum diketahui sang calon mertua. Ia mendadak sangat gregetan pada pacarnya yang hanya duduk tanpa sepatah kata.

“Apa Anggara tidak bilang sama Ibu?” Saat melontarkan pertanyaan ini, dada Nirmala terasa sesak. Ia tidak menyangka jika sang kekasih sebegitu pengecutnya--tidak mengatakan pada ibunya bahwa ia akan ke mari untuk membahas tentang pernikahan. Mendadak ia ingin menjerit sekeras-kerasnya.

“Bilang apa?” Bu Diana justru kaget dan bertanya balik. Di tatapnya wanita bergaun semi formal itu tajam, kemudian beralih pada sang putra yang terlihat sangat kaku dan muram.

Nirmala sudah tidak bisa menutupi kekecewaan, sehingga air matanya mulai menerobos iris mata secara brutal.

“Anggara ... kau belum bilang sama Ibu?” Nirmala bertanya pada kekasihnya sembari menangis. Mulut pria itu seolah terkunci rapat.

“Ada apa sebenarnya ini?” Bu Diana sangat kaget, karena tiba-tiba tamunya itu menangis sesenggukan.

“Bukankah Anggara sudah pernah membicarakan tentang pernikahan kami, Bu?” Dengan isak tangis yang tertahan—karena takut tetangga mendengar--, Nirmala berusaha menguatkan diri.

“Apa? Tidak. Anggara tidak mengatakan apa-apa, kecuali meminta pendapat saya bagaimana kalau dia punya pacar. Itu aja.” Kali ini Bu Diana mendelik ke arah putranya—yang tampak sangat sedih.

Marah dan kecewa mendadak menyatu di dada Nirmala. Ia sungguh tak menyangka jika pria yang selama ini dikenal baik, tulus, dan penuh kasih sayang itu telah berbohong. Terlebih ini menyangkut masa depannya. Mendengar penuturan Bu Diana, dirinya merasa tidak berarti dan putus asa. Kalaulah punya kekuatan super, ia ingin segera menghilang secepat mungkin.

“Bu, putra Ibu sudah berkali-kali mengingkari janji untuk menikahi saya. Ini sudah ke tiga kali. Huhuhu.” Tangis Nirmala meledak-ledak.

Bu Diana tampak sangat kaget.  Ia menoleh pada putranya kembali.

“Anggara! Ada apa ini?” Bu Diana menatap sang putra tajam.

“Bu, izinkan kami menikah. Ya?” Anggara tiba-tiba bersimpuh di depan wanita yang paling ditakuti. Perasaannya tidak karuan. Sementara Nirmala tidak kuasa untuk mengeluarkan kata-kata lagi.

“Ibu, kan, sudah bilang. Umurmu baru 27 tahun. Nikahnya tunggu nanti kalau sudah kepala tiga. Sifat masih kayak anak kecil begitu mau kawin. Mau bagaimana rumah tangga kamu nanti? Kalau langsung punya anak, mau dikasih makan apa anak kamu? Kerja aja masih sama Ibu, kok, mau kawin!” Bu Diana sangat kesal. Ia tidak menyangka jika obrolan beberapa waktu lalu—tentang pernikahan dengan putranya--justru membawa mimpi buruk.

“Tapi, Bu ... bukankah Ibu pernah bilang kalau umur 27 aku sudah boleh menikah?” Anggara masih bersimpuh di kaki sang ibu.

“Tidak! “ Bu Diana naik pitam. Ia tatap wanita muda yang tengah menangis di hadapannya. Semula ia lihat dari ujung kepala, lalu turun hingga perut.

“Kenapa ngotot ingin putraku menikahimu? Apa kau sedang hamil cucuku, hah?” Tatap Bu Diana tajam-- yang langsung disambut tatapan kaget sepasang muda mudi di hadapannya bebarengan. Keduanya tidak menyangka jika pikiran wanita paruh baya itu begitu jauh.

“Ibu!” pekik Anggara kaget.

“Hanya ada satu alasan kenapa seorang perempuan ngotot ingin minta dinikahi. Tidak ada lain kecuali hamil di luar nikah.”

“Bu, kami tidak serendah itu.” Susah payah Nirmala mengeluarkan kata karena isakan tangisnya yang tak tertahan. Namun, demi perkataan yang jauh dari fakta, membuat wanita mungil itu perlu untuk meluruskan.

“Bu, kami ini tau norma. Pacaran kami sehat. Kumohon jangan perparah situasi ini. Kali ini saja kabulkan permintaanku.” Anggara mencoba untuk bersuara lebih lantang. Baru kali ini ia melakukannya, karena tidak tega melihat sang pacar yang tampak sangat terpukul.” Selama ini aku selalu menuruti semua permintaan Ibu, ‘kan?” imbuhnya sembari memberanikan diri menatap sang ibu.

Tiba-tiba Bu Diana hendak ambrug. Darah tingginya kumat.

“Ibu  nggak habis fikir. Bisa-bisa Ibu mati mendadak kalau begini. Duh, Gusti!” Bu Diana  memegangi kepala, sementara Anggara langsung sigap memapah sang ibu.

“Kamu sungguh keterlaluan, Anggara! Selama ini kamu membelot. Sudah Ibu katakan jangan pacaran sebelum dewasa. Begini, kan, jadinya. Ibu pusing!”

“Bu, apa selama ini Anggara tidak pernah cerita apa pun sama Ibu?” tanya Nirmala sangat penasaran. Air matanya terasa sudah kering. Sesenggukannya pun sudah berhenti. Kekuatan dan keinginan untuk menangis sudah habis saking kaget dan sakit hati. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dialami detik ini.

“Cerita apa? Anggara itu anak rumahan. Dia anak laki-laki yang patuh sama Ibunya. Apa pun yang aku mau dan perintah, pasti manut dan lakukan. Tapi tak dinyana akan ada bencana seperti ini.”

“Kami sudah menjalin hubungan selama lima tahun lebih, Bu. Selama tiga kali dia ingkar mau menikahiku. Bahkan, keluarga besar saya sudah menanti kehadiran keluarga Ibu.”

“Apa? Aduh, kepalaku! Aku nggak bisa mikir. Kamu sangat keterlaluan, Anggara. Ibu mau ke rumah Tante Ayu. Bawa mama ke sana.”

“Telpon saja, ya, Bu?” ucap Anggara panik.

Melihat ibunya sudah tidak bertenaga dan ngos-ngosan, dengan cepat Anggara menghubungi tante Ayu. Dia adalah satu-satunya anggota keluarga terdekat. Keduanya sangat akrab, sehingga jika ada suatu masalah, mereka akan dengan cepat saling berbagi.

Kepanikan segera terjadi, lantaran Bu Diana napasnya mendadak ngos-ngosan. Tak lama kemudian, beberapa anggota keluarga Tante Ayu datang.

Melihat Budenya kepayahan, Dika—sepupu Anggara-- segera memapah ke kamar.

“Bude kenapa, Bude?” Beberapa anggota keluarga tante Ayu yang turut serta ikut panik.

Tidak ada jawaban.

Nirmala yang ingin ikut masuk, dilarang salah satu anggota keluarga dan meminta wanita mengenaskan itu untuk pulang.

Anggara yang hatinya runtuh sebenarnya tak kuasa menyaksikan punggung sang pacar menjauh. Namun, ia tidak bisa meninggalkan sang ibu dalam kondisi seperti itu. Tak lama kemudian, tiba-tiba sebuah pesan pendek membuatnya terbelalak.

Related chapters

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   KEPULANGAN

    “Aku sungguh kecewa sama kamu, Gara! Pokoknya, pilih aku atau ibumu. Titik!”Dalam perjalanan pulang dari rumah Bu Diana, Nirmala masih kuasa untuk menuliskan kalimat putus asanya di layar ponsel dan mengirimnya pada sang kekasih. Tangisnya yang tadi sempat berhenti, mendadak berderai kembali. Ia sungguh tidak mempedulikan banyak pasang mata yang menatap penuh pertanyaan dan nyinyiran. Harapannya hanya satu, yaitu segera tiba di rumah Fitonia. Dirinya perlu untuk curhat dan meluapkan segala rasa kecewa hari ini. Jika tidak, jiwanya yang hancur berkeping-keping meminta tumbal mahal, sebagaimana dulu pernah ia lakukan.###Anggara masih terpaku menatap layar ponsel. Sebuah pesan dari kekasih membuat dirinya sangat terbebani. Tiba-tiba saja lamunannya buyar oleh tepukan tangan di punggung kanan.“Heh, malah nglamun. Itu ibumu perlu dirujuk ke rumah sakit. Tensinya tinggi. Tiba-tiba down dan berhalusinasi,” suara sepupunya mengagetkan.Tanpa menunggu, Anggara langsung masuk ke kamar. Ia m

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Di Ujung Tanduk

    Nirmala tertunduk lesu di pojok kamar. Beberapa jam setelah dirinya dikunci sang bapak, wanita yang berada dalam fase dewasa awal itu seperti orang linglung dan putus asa. Digenggamnya ponsel erat-erat sepanjang waktu. Tatapannya kosong. Sesekali dipandanginya benda di tangannya itu penuh harapan, lalu beralih ke arah jendela kamar yang berada di atasnya. Hidupnya benar-benar layaknya telah berada dalam tahanan. Dirinya tidak menyangka jika di tahun 2015 ini masih ada orang yang memenjarakan anaknya sendiri demi sebuah perjodohan.“Kukira Siti Nurbaya itu cuma ada di dongeng aja.” Kalimat yang terdiri dari delapan kata itu meluncur ringan dari hati terdalam. Bibirnya tersenyum getir.“Agggrrrr!!!” Nirmala mengerang putus asa. Jikalau tidak ingat Blackberry yang ia genggam itu adalah hasil jerih payah kekasihnya, tentu sudah dibanting berkali-kali. “Kamu benar-benar membuatku gila, Gara!!! Bahkan, setelah kukirimi pesan itu pun, kau tidak segera menghubungiku. Oh, kau malah menon-aktif

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Fakta Mengejutkan

    “Apa?” Karena saking kagetnya, lengkingan suara Nirmala hampir saja terdengar hingga ruang tamu. Namun, saat itu suara ramah tamah antara keluarga Pak Harsono dan sang tamu yang begitu riuh berhasil mengaburkan suara yang berasal dari kamar si gadis.“Ya, kamu tidak salah dengar. Bapak berhutang banyak pada keluarga Pak Jaksa. Rasanya tidak mungkin kita bisa menebusnya. Paling tidak dalam waktu dekat ini. Itulah mengapa, suka atau tidak, mau atau tidak, kau jadi tumbalnya.” Suara di seberang telepon sana benar-benar sempurna membuat drama kehidupan Nirmala sangat mengenaskan. Seseorang yang seharusnya bisa menyelamatkan hidupnya, justru menghilang beberapa tahun lalu dan tiba-tiba datang membawa berita sangat buruk.Butuh waktu beberapa detik untuk dirinya bisa berfikir dan menerima kabar mengagetkan itu. Air mata tidak lagi bisa keluar, padahal batinnya terus saja menjerit kesakitan. Masalah satu belum selesai, kini tambah lagi dengan fakta baru yang sangat mengoyakkan jiwanya.“Aku

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Kebimbangan

    Pertemuan itu sangat meriah, tapi tidak dengan suasana hati Nirmala yang sepi dan kacau. Pikiran tentang kekasihnya masih memenuhi otak. Sampai detik dirinya menyerah dan keluar kamar untuk berpartisipasi ke acara ramah tamah itu, Anggara sama sekali belum menghubungi. Hingga, keputusasaan dan kesedihan terpancar jelas di raut wajahnya yang manis.Tidak ingin tamu kehormatannya menaruh curiga dan kecewa, berulang kali Pak Harsono memberi sinyal pada sang istri untuk menyadarkan anak gadis untuk tersenyum ramah.“Tersenyumlah, Nak. Demi keluarga kita,” ucap Bu Harsono berbisik di telinga sang putri dengan lembut. Nirmala yang pikirannya sedang tidak di tempat segera tersadar oleh bisikan ibunya itu. Jika saja ia tidak ingat akan kata-kata dan pesan kakak laki-laki satu-satunya tentang masa depan sang ibu dan dirinya, tentu mengunci rapat-rapat bibirnya pasti akan dilakukan. Namun, ia tidak kuasa menerima kenyataan jika acara ini berakhir buruk, maka bapak akan terimbas secara ekonomi d

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Surprise di Kencan Perdana

    “Mister Dana!” Nirmala cemberut mengetahui kancing terakhir yang dipegang adalah urutan nama orang asing yang beberapa jam ini diketahuinya. Padahal dalam hati, ia berharap nama Anggara-lah yang akan menjadi urutan terakhir. Namun, tetap saja, keduanya sebenarnya bukan pilihan yang diharapkan, karena sama-sama akan sangat memalukan.“Ah, persetan dengan rasa malu. Urusan masa depan nomor satu. Toh, cuma makan malam. Aku juga yakin bisa melunasinya segera. Setelah ini harus cari part time job yang bergaji tinggi. Ya, harus!” Gadis berhidung mungil itu menguatkan diri, tangan kanannya mengepal penuh semangat, pun dengan kepalanya manggut-manggut merasa yakin pilihannya pasti terbaik. Maka, tanpa menunggu lagi, ia memencet kedua belas nomor yang diberikan Siska tadi siang.“Halo.” Panggilan teleponnya langsung direspon begitu cepat, hingga Nirmala yang belum menyiapkan kata-kata pun kaget.” Halo. Dengan siapa ini?” suara berat khas cowok di seberang telepon kembali bertanya. Kali ini de

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Dinner Dengan Orang Asing

    Setelah keluar dari parkiran radio, pemuda yang melapisi baju hem kotak-kotak monochrome dengan jaket berbahan levis tebal itu melajukan motor tak tentu arah. Mencari Mister Dana adalah tujuan utamanya saat ini, bukan lagi memberi suprise malam mingguan seperti pada awal dirinya ke luar rumah. Tapi di mana? Ia tidak kenal secara personal dengan sosok yang terkenal gila duit, gila wanita dan gila party. Hanya beberapa kali mendengar teman-temannya menyebut nama tersebut.Pikirannya kacau. Ia memang belum sebulan mengenal sosok bernama Nirmala yang beberapa minggu ini menjadi pacarnya. Namun, entah kenapa, begitu mendengar gadis yang setiap bercerita adalah tentang keluarga berantakan dan mimpi-mimpi indah masa depan, hatinya begitu tergugah untuk menolong. Dirinya pun heran, mengapa tidak cerita tentang kesulitan ekonomi kepadanya. Padahal, kalau bercerita, pastilah akan ia bantu.Tiba-tiba suara klakson mobil mengagetkan, membangunkan dirinya dari lamunan. Motor sedikit oleng. Untung

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Di Antara Dua Wanita

    BAB XIVDi Antara Dua WanitaBegitu sampai rumah, Anggara langsung bergegas mencari ponsel miliknya. Ia ingat baik-baik, dua hari lalu, saat terakhir menggunakan gawai tersebut adalah saat menerima pesan singkat dari Nirmala di depan kamar ibunya. Dan, benar, benda itu masih tergeletak di sana.Dengan penuh rasa bersalah, diraihnya benda tersebut. Sayangnya, kondisi sudah dalam keadaan mati. Langsung saja ia mengecas. Setelah menunggu beberapa menit dan daya terisi cukup untuk mengaktifkan kembali, segera ia memencet tombol on off.Panggilan sebanyak 16 kali dan beberapa tumpukan chat yang sebagian besar dari Nirmala terpampang di sana. Pemuda yang semasa hidupnya hampir tak pernah marah itu langsung merasa lesu. Pikirannya langsung melayang pada keadaan kekasihnya. Jika saja dirinya lebih berani dan tegas untuk pulang ke rumah mengambil ponsel yang tertinggal, tentu hal mencemaskan tidak akan ia rasakan.Sayang, sang ibu yang selama dua hari berada di rumah sakit itu selalu memintany

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Aksi Nekat, Demi Cinta

    “Lho, Bee, katanya dikunci sama bapak kamu. Kenapa bisa sampai sini?” Anggara benar-benar tidak menyangka jika pacarnya itu nekad sudah berada di pintu gerbang rumah. padahal, di salah satu isi pesan yang dikirim wanita mungi itu mengabarkan kalau dirina tidak bisa kemana-mana lantaran dikurung sang bapak.“Kamu itu sebenarnya perduli nggak sih, sama aku? Sayang nggak, sih? Kalau perduli dan sayang, kenapa kamu ingkar janji? Kenapa tidak memperjuangkan aku? Enggak memilih aku dan datang ke rumahku segera? Hah? Kalau pun enggak, kenapa kamu selama ini begitu care sama aku? Selalu bantuin aku? Argh!” Bukannya menjawab pertanyaan pacarnya, Nirmala justru memberondok pemuda yang tampak cemas di hadapannya dengan pertanyaan. Alhasil, Anggara bingung hendak menjawab.“Jangan diam aja. Coba jawab, kenapa dua hari enggak ada kabar. Ditelfon belasan kali nggak diangkat. Di messanger nggak jawab. Maumu apa, sih?” Saking putus asanya, Nirmala sontak mengepalkan kedua telapak tangan, lalu memukul

Latest chapter

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Peran Tante Ayu

    Pening kepala sudah tidak bisa ditolerir lagi, Anggara memutuskan untuk berpamitan terlebih dahulu. Sang ibu memilih untuk masih tinggal menemani Bu Vera yang sendirian menunggui putrinya. Suami Bu Vera belum juga datang menjenguk sang putri alasan kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan.Langkah kaki lelaki itu pelan dan layu. Hatinya terombang-ambing pada kenyataan yang ada. Dia tidak mudah untuk berpaling, memang. Tapi, segala curahan hati Fitonia berhasil menggetarkan hatinya. Tidak mau hatinya semakin kacau, ia berusaha mengumpulkan energi untuk mempercepat langkah menuju kamar inap sang kekasih.Dia patut bersyukur karena tidak kepergok Nirmala atau ibunya saat sedang bersama Fitonia tadi. Padahal, Nirmala menyukai taman dan terhitung dua kali menghirup udara di taman tersebut selama menginap di rumah sakit itu.Anggara telah sampai di kamar yang telah beberapa kali dikunjunginya, tapi sepi. Ia urung untuk masuk, takut pasien sedang beristirahat.“Cari siapa, Mas?” tanya seseoran

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Curaharan Hati Pembawa Kebimbangan

    “Kemarin kamu tanya ‘kan, kapan awal aku menyukaimu?” ucap Fitonia masih berusaha menunggu pemuda di hadapan itu menatapnya.“Sungguh, aku menyesal terlambat membaca surat dari mu itu. Kukira, isi surat itu akan sama seperti surat dari cowok-cowok lain tentang yah... tidak jauh dari fisik dan otak. Rupanya, kamu menulis tentang hati, ketulusan hati. Maaf, sekali lagi maaf,” sesal Fitonia yang terlihat jelas dari raut wajah, menunduk beberapa saat seperti menahan sesuatu.Anggara mulai tertarik dan mengangkat wajahnya, menatap wanita yang kini telah berhasil menguasai diri dan siap melanjutkan cerita. Begitu mengetahui pemuda idaman menatap ke arahnya, senyum otomatis mengembang tanpa komando. Hatinya berbunga-bunga seolah telah berhasil merayu kumbang untuk mampir ke kelopaknya. “Waktu itu, kamu ingat, aku tengah mempersiapkan lomba yang memaksaku harus akrab dengan buku dan bimbingan sana-sini. Surat itu aku selipkan di buku eksiklopedia yang kupinjam dari almarhum kakek. Sampai rum

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Cinta Lama Bersemi Kembali, Mungkinkah?

    Anggara benar-benar merasa tidak nyaman berada dalam satu ruangan hanya berdua dengan Fitonia. Beberapa saat, pemuda yang bertekad hendak menyelesaikan masalah itu hanya diam, kikuk. Sementara itu, wanita muda yang tengah menunggu reaksi dari tamunya di kursi roda itu tidak kuasa untuk menatap pemuda tersebut. Ia berusaha membawa kedua netranya menyelusuri seisi ruangan.“Bagaimana kalau kita ngobrol di luar?” Tiba-tiba Anggara menyodorkan ponsel yang telah berisi ketikan tangan di sebuah note pada Fitonia.Beberapa saat, wanita itu tampak berpikir. Bayangannya langsung melayang pada kejadian terakhir kali yang membuatnya berada di sini—harapan kencan indah justru berakhir hujan air mata kepedihan. Rasa trauma sempat menghantui. Namun, dia teringat dengan ucapan Bu Diana di luar tadi dan berpikir, “mungkin ini kesempatan untuk bisa memperbaiki hati yang retak.”Akhirnya, Fitonia mengangguk. Lalu, dia mengambil ponsel di saku, mengetik sebuah kalimat di note, dan disodorkan pada pemu

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Masihkah Ada Harapan?

    Gadis itu sudah cukup lama terbangun dari tidurnya—tidur yang dibuat setelah meminum obat penenang. Kini, ia telah sadar dengan apa yang telah terjadi dan kenapa dirinya saat ini tengah berada di ruangan khas dengan dekorasi berwarna putih dan hijau—rumah sakit. Lalu, dia pun mulai menyibak kenangan permulaan begitu akrab dengan bangunan semacam ini.Flashback OnHati luka yang masih menganga itu dibawanya pergi dari tempat perantauan ke kampung halaman. Pemilik hati yang begitu tulus tapi dikhianati secara sadis itu berharap di tempat dirinya tumbuh dan dibesarkan oleh seorang kakek yang begitu tulus menyayanginya itu bisa sembuh.Ternyata, menyembuhkan luka itu tidak semudah dan secepat saat jatuh cinta. Terlebih, untuk seorang wanita yang memiliki bawan eccendentesiast. Dia begitu lihai menyembunyikan luka, rasa sakit, kecewa dan sedih dengan membalutnya bersama senyuman, tawa dan keceriaan. Di samping itu, ia tidak mau membebani sang kakek yang pada saat itu tengah sakit-sakitan ka

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Cobaan Terberat Anggara

    Ada yang mengganjal di hati Anggara setelah perdebatan antara dirinya dan sang ibu. Bukan hanya perkara tentang keteguhan hati ibunya yang belum mau menerima Nirmala sebagai istrinya dan justru masih ngotot ingin menjodohkan dengan Fitonia, tapi juga perkataan Tante Ayu.Lontaran kalimat tantenya itu membuatnya membuka kembali album tipis yang berhasil ia simpan. Dipandanginya salah satu potret dia dengan seorang lelaki tinggi tegap dan gagah seraya berucap, “andai ayah masih di sini, mungkin aku tidak akan sepusing ini. Apa benar yang dikatakan Tante Ayu tentang ayah? Kenapa begitu berbeda dengan cerita dari Ibu?”Dia memang seorang pria. Tapi, bukan berarti seorang pria tidak bisa menangis. Nyatanya, demi membayangkan kenangan indah bersama sang ayah, Anggara mulai menundukkan kepalanya yang terasa begitu berat. Tetes air mata perlahan berhasi menjebol benteng pertahanan dari ujung mata. Sungguh pemuda yang tengah berada dalam kebingunan dalam memutuskan sebuah pilihan pasangan hidu

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Isi Hati Seorang Ibu

    “Maksud kamu apa bicara seperti itu? Jangan campuri urusanku. Bukankah sudah berkali-kali kuperingatkan?” geram Bu Diana tidak bisa menyembunyikan amarah pada adik kembarnya yang tiba-tiba muncul.“Apa kamu tidak kasihan sama Anggara? Padahal, dia putramu, anak yang kamu kandung sendiri. Cobalah untuk sedikit saja memberi belas kasihan pada putramu ini, Mbak,” ujar Tante Ayu sembari merangkul pundak sang keponakan yang terlihat tak berdaya.“Justru karena dia putraku, anak yang aku kandung selama 9 bulan, yang aku lahirnya dengan perjuangan antara hidup dan mati, yang aku biayai segala urusannya, sudah patut kiranya dia patut dan tunduk padaku. Bukankah surga anak ada pada restu seorang ibu? Terlebih dia laki-laki yang selama hidupnya itu milik ibunya, milikku!” pekik Bu Diana benar-benar telah kehilangan empati. Dipandangi dua orang terdekatnya yang kompak memandanginya dengan tatapan prihatin.“Kamu sudah salah kaprah, Mbak. Bukan seperti itu konsepnya. Aku penasaran, apa sebenarnya

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Surga atau Neraka

    v“Kamu sudah bangun?” Pria yang sedari tadi ditatap hingga melamun dalam durasi lama itu terbangun dan kaget melihat wanita yang dijaganya hingga ketiduran telah bangun.Menyaksikan lelaki muda yang tampak masih mengantuk itu hendak berjalan mendekat, wanita yang telah duduk di tepi ranjang itu tiba-tiba menangis. Bibirnya bergetar hebat. Ia ingin mengatakan banyak hal, tapi kelu.Tapi, melihat bagaimana pemuda yang telah menemani dan berjuang mati-matian berada di sisinya itu berusaha menahan kantuk, akhirnya pertanyaan meluncur begitu saja, “apa kamu sudah tau tentang Fitonia?”Anggara menghentikan langkah yang tinggal beberapa sentimeter saja dari ranjang, demi mencari jawaban yang tepat untuk merespon pertanyaan. Ia ingat pesan dokter untuk tidak membuat pasien di hadapannya semakin depresi.“Jawab, Gara! Apa benar, kamu pernah mencintai Fitonia hingga memberinya surat cinta? Hah?” emosi Nirmala meledak. Anggara semakin kebingungan.“Kalau iya, kenapa kamu mau denganku? Setelah s

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Berkat Fitonia

    “Begini nih, berasa dunia cuma milik berdua, yang lain ngontrak!” Sebuah celetukan pengunjung pantai yang kebetulan lewat dan menyaksikan adegan romantis itu menyadarkan Nirmala dan Anggara. Mereka segera berdiri tegap dan kikuk.“Berarti kita ngontrak dong, Pah? Hihi,” sahut seorang wanita yang berjalan bersebelahan di samping pengunjung tadi sambil cekikikan dengan salah satu telapak tangan di mulut.Pemuda-pemudi yang jadi malu dan salah tingkah itu segera menjauh dari tempat tersebut. Keduanya berjalan tanpa suara. Masing-masing hanyut dalam pikiran dan sesekali pemuda yang telah menutup kepala dengan hoodie berdehem—seperti memberi sinyal.“Jadi, apa jawaban kamu, Mala?” ucap Anggara dengan suara pelan. Tangan kirinya menggaruk kepala yang tidak gatal.“Um, sebelum menjawab,aku mau tanya sesuatu, boleh?” Nirmala berusaha menatap lawan bicara untuk melihat ekspresi serius atau tidak.“Boleh, kita duduk di sana aja, ya?” ajak Anggara sambil menunjuk sebuah batang pohon lapuk yang r

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Pertanyaan Tak Terduga

    Gara-gara dapat kiriman SMS yang memabukkan, hingga tengah malam Nirmala tidak bisa tidur. Gadis yang tengah kasmaran itu membayangkan hal-hal indah hari esok. Bahkan, dia sudah bermimpi jika benar Anggara benar-benar menyukai, membalas rasa suka darinya dan jadian, maka dia adalah pria pertama yang menjadi cintanya.Alhasil, pagi hari berikutnya, ia bangun kesiangan. Untung saja hari ini adalah hari Minggu, tidak ada kuliah, tidak ada jadwal magang kerja juga. Jadwal kencan pun jam sepuluh. Itu artinya, masih cukup waktu untuk persiapan ini itu.Dia memang gadis sederhana yang hanya punya beberapa potong pakaian saja untuk bepergian. Itu pun formal yang biasanya untuk ke kampus atau kerja. Maklum, ia jarang hang out. Jadilah kini gadis yang memiliki belahan di tengah dagu itu bingung memilah baju yang hendak dikenakan untuk nge-date pertama kali seumur hidup.Awalnya, Nirmala ingin meminta bantuan teman untuk memilihkan pakaian yang pantas dan oke, sekalian make up tipis-tipis. Namun

DMCA.com Protection Status