Yuna mengulas senyum kala keluar dari mobilnya. Dengan menenteng sebuah paper bag berisi kue kesukaan Bian, Yuna menghampiri ART keluarga Kawiraginandra.
"Selamat sore, Bibi. Apa Tante Amba ada di dalam?" tanya Yuna.
"Selamat sore juga, Nona. Makin cantik saja," puji wanita yang sedang menyiram bunga itu. "Nyonya ada di dalam, lagi buat puding."
"Oh iya Bi, ini coklat buat keponakan Bibi. Kemarin aku janji sama dia. Aku titip ya, soalnya aku nggak bisa lama-lama," ucap Yuna mengulurkan sebungkus coklat dari dalam tas selempangnya.
"Terima kasih ya, Nona. Tiap kali ke sini, pasti ada saja yang Nona kasih buat keponakan saya," ujar wanita itu terharu. Ia sangat berharap gadis itu yang kelak menjadi nyonya mudanya.
"Sama-sama, Bi. Yuna masuk dulu, ya," pamitnya.
Yuna meneguhkan hati lalu mengayuh langkah menghampiri ibu dari pacarnya. Amba sedang menuang adonan pudingnya ketika Yuna masuk ke dapur.
“Hai, Sayang. Tumben nggak telpon dulu, tante kayak lagi dikasih surprise, deh,” ujar Amba.
“Tante tahu aja, Yuna mau kasih kejutan,” ungkapnya tersipu sembari meletakkan paper bag di atas meja.
Amba mengakhiri kesibukannya di dapur. Kala hendak beranjak ke ruang tengah, Yuna menahan tangannya.
“Tante, ada yang mau Yuna sampaikan. Yuna tahu Tante akan terkejut, tapi pilihan ini sudah tepat,” ungkap Yuna meremas jemarinya gugup.
Amba mengangguk lalu bertanya, “Mau bilang apa, Sayang?”
“Sepertinya … Yuna tidak bisa jadi ….” Yuna menelan saliva dengan jantung bertalu kencang.
Harapannya selama ini harus ia relakan. Tangis Yuna pecah di pelukan wanita yang ia kira kelak akan menjadi ibu mertuanya. Lebih dari itu, ia resah memikirkan nasib anak-anaknya kelak dengan keputusannya ini.
***
Melihat putra sulungnya dengan lahap mengunyah kue kesukaannya, Amba menghampiri dan duduk di sampingnya. "Tadi Yuna ke sini. Dia yang bawakan kue itu buat kamu.”
Kunyahan di mulut Bian terhenti. Keningnya berkerut dalam pertanda laki-laki itu tidak tahu rencana kedatangan pacarnya. Bian heran, biasanya Yuna akan mengabarinya jika gadis itu akan berkunjung ke rumahnya.
"Tumben, dia nggak bilang sama aku kalau mau ke sini? Biasanya dia laporan, sampai mau pakai baju mana, juga tanya sama aku. Cocoknya yang warna biru atau kuning atau pakai aksesoris apa yang cocok sama dresnya? Aku kadang kasihan sama ponselku. Nggak bisa istirahat gara-gara Yuna berisik," ungkap Bian santai seolah tanpa beban.
Amba mengernyit lalu menatap heran putra sulungnya. "Kamu kenapa seperti itu, Nak? Setengah tahun pacaran sama Yuna, memangnya kamu masih belum bisa menerima sifat manjanya?"
Bian memutar bola matanya jengah. "Ma, kalau boleh jujur, Bian tuh capek jadi pacarnya Yuna. Dia itu bukan tipeku, Ma. Sedari awal Bian sudah bilang, jangan berharap lebih dengan hubungan kami. Rencana perjodohan ini tuh nggak bakal berhasil, Ma."
"Gadis yang kamu sukai kayak siapa?" tanya Amba sambil menggonta-ganti chanel televisi.
"Standar kayak adik iparku. Kalau bisa, dia juga pintar bergaul, mandiri dan aku mau yang seksi. Pacarku yang sekarang itu bocah, Ma. Dia itu nggak dewasa sama sekali, tapi kekanakan. Bukannya punya kekasih, teman-temanku bilang aku ke sana kemari bawa adik perempuan," papar Bian bangga dengan kriterianya.
"Seksi? Maksudnya yang pamer-pamer lekuk tubuhnya?" tanya sang mama.
Bian menelan lebih dulu kemudian menjawab, "Bukan juga. Maksud Bian tuh lebih kepada pesona seorang wanita, Ma."
"Mama cuma mau mengingatkan kamu, jangan sampai kamu menyia-nyiakan hati yang tulus. Contohnya gadis seperti Yuna. Kalau itu sampai terjadi, jangan harap mama mau bantuin kamu," ujar Amba melirik sinis sebagai tanda peringatan tegasnya.
Bian mengulum senyum lalu berkata, "Justru aku berharap waktu cepat bergulir, Ma. Supaya Bian bisa cepat-cepat mengakhiri hubungan dengan Yuna saat tepat hubungan kami cukup enam bulan."
"Dan mungkin kamu akan terkejut nantinya. Yuna mengatakan sesuatu sama mama, tadinya mama mau bilang sama kamu. Tapi, melihat reaksi kamu barusan, lebih baik mama diam dan menunggu saat yang tepat. Ya, seperti yang kamu bilang barusan," ujar wanita itu kecewa.
Bian yang melihat wajah kesal mamanya mengernyit. Apa salahnya yang hanya merasa sedang curhat? Sebelum wanita berambut pendek itu masuk ke dalam kamar, ia berbalik menatap putranya sendu.
"Ada apa, Ma? Kok Mama kayak mau nangis?" Bian semakin bingung.
"Hari ini mama menyadari kalau harapan mama pupus. Sepertinya Yuna benar-benar tidak bisa menjadi menantu mama," ungkapnya tanpa peduli apa yang hendak putranya katakan.
Bian terdiam menatap pintu jati itu. Tidak seperti ini yang ada dalam ekspektasinya. Reaksi papa dan mamanya memang sama-sama kecewa, tapi tanggapan mereka berbeda.
"Ini yang nggak gue suka dari wanita, bikin serba salah," batin Bian yang dengan santai kembali mengambil potongan kue di piring. Tanpa sadar kue itu habis seiring tayangan komedi yang ditontonnya.
Begitu tayangan berganti, Bian menelan saliva karena tayangan iklan yang menampilkan masakan khas Jepang. Entah kenapa ia mendadak ingin makan susyi. Bian begidik membayangkan dirinya makan makanan mentah kesukaan Yuna.
Bian mencoba mengenyahkan pikirannya. Namun, ia justru tersiksa sendiri. Biasanya Yuna akan membawa makan siang ke kantornya. Di antara menu yang biasa dibuat Yuna adalah susyi ala Yuna. Bisa disebut demikian, karena gadis itu memodifikasi menu dengan menggunakan bahan matang. Yang penting bentukannya mirip seperti susyi agar ia bisa memakannya.
“Arggh! Kenapa jadi lapar lagi?” batin Bian menggerutu.
Dengan malas Bian keluar kamar dan membuat mie rebus. Pukul dua dini hari ia merasa keroncongan. Tak berselang lama, semangkuk sajian instan itu sudah ludes. Saat ia hendak mencuci mangkok bekas makannya, ia melihat kotak kue yang dimakannya tadi.
“Bagaimana caranya memutuskan pacar tanpa menyakiti hatinya?” gumam Bian mengusap perutnya.
Bukannya beranjak dari dapur, Bian justru duduk anteng dan mulai berselancar di internet untuk mendapatkan referensi. Tanpa Bian sadari jika ada sepasang mata yang menyipit menatapnya heran bergantian dengan jam dinding.
"Dia mau sahur atau lagi kesurupan? Sejak kapan Bian mau makan mie instan? Akhir-akhir ini selera makannya aneh sekali," gumamnya menggeleng lalu kembali ke kamar.
***
Keesokan harinya, pagi Bian disambut dengan satu pesan dari Yuna. Gadis itu mengabari jika selama tiga hari ia akan berlibur ke tempat neneknya. Mungkin akan sulit menghubunginya karena kondisi jaringan seluler di sana kurang baik.Senyum Bian seketika merekah. Itu artinya selama tiga hari kedepan, dirinya tidak akan diusik oleh Yuna. Dirinya akan bebas dari cerewetnya gadis itu. “It’s like freedom days!” sorak Bian.Secepat kilat Bian beranjak dari tempat tidur. Ia ingin fokus kerja dan lembur hari ini. Dengan begitu selama akhir pekan nanti, ia bisa menikmati waktu dengan bebas. Tidak akan ada Yuna yang merengek manja dan membuatnya sakit kepala.Andra dan Amba heran melihat putra sulungnya yang tampak begitu bahagia pagi ini. Mereka baru saja membahas hubungan antara Bian dan Yuna."Tumben senyum-senyum terus?" tanya sang papa.Masih dengan senyum yang terlukis di wajahnya, Bian menjawab, "Yuna lagi ke tempat neneknya. Artinya, Bian nggak akan sakit kepala selama tiga hari."Amba m
Tiga hari berlalu dan mereka kembali menyambut hari Senin. Bian kembali dengan kesibukannya di kantor, mendapat pesan ajakan makan siang dari Yuna. Isi pesannya ada hal penting yang harus mereka bahas berdua saja.Meja di ruangan luas itu tampak penuh dengan banyak orang yang sedang mengisi perut. Karyawan resto sejak tadi wara-wiri melayani penikmat sajian. Termasuk Bian dan Yuna yang juga sedang menikmati makan siang. Namun, satu kalimat yang dilontarkan Yuna membuat Bian tersedak."Kamu bilang apa barusan?!" sentak Bian yang tak habis pikir dengan ucapan Yuna beberapa detik yang lalu.“Nikahi aku sehari saja!” ulang Yuna.Bian menggeleng pelan. Gadis yang mengajaknya makan siang bersama ini, sudah gila. Setelah tiga hari tanpa kabar, Yuna datang membawa permintaan yang terdengar seperti petir yang menggelegar."Kamu sadar dengan kekonyolan kamu barusan, Yuna?" tanya Bian memijat kepalanya."Sepertinya dia benar-benar tidak tahu. Mungkin saat melakukannya, dia tidak sadar sama sekal
Kemarin Bian bisa lega sejenak. Sahabatnya menghubunginya bukan untuk membahas Yuna. Arga justru menggodanya karena belakangan ini adiknya tampak bahagia. Bian justru dilanda dilema berat. Permintaan aneh Yuna perlahan membuatnya migrain.Keresahannya itu tak luput dari mata kedua orang tuanya. Andra dan Amba sejujurnya sangat penasaran. Akan tetapi, mereka juga enggan bertanya karena menduga jika semua itu ada hubungannya dengan Yuna.“Setelah mengatakan permintaan gilanya itu, kenapa gadis ini tidak membalas satu pun pesan dariku?” gumam Bian melempar ponselnya ke sofa.“Tumben kamu pulang cepat? Biasanya kalau nggak nemenin Yuna, kamu milih lembur di kantor. Oh … mama lupa, dia udah bisa nyetir, jadi nggak bakalan mau repotin kamu lagi,” ucap Amba meletakkan camilan di meja.“Mama habis arisan?” tanya sang suami dan Amba mengangguk.“Kenapa tidak minta dijemput sama papa? Bukannya Mama biasanya arisan di kafe dekat kantor?” tanya Andra mengernyit heran.Amba menghela napas lalu ber
Beberapa menit kemudian, bukan sebuah alamat yang dikirim oleh Arga. Isi pesan dari sahabatnya itu adalah pesan yang diteruskan dari Yuna. Yuna meminta untuk tidak menemuinya, kecuali Bian setuju dengan syarat yang diajukannya. Hanya geraman dan umpatan yang bersahutan dalam mobil Bian. Laki-laki itu tidak menyangka jika sikap Yuna padanya bisa berubah sedrastis ini. Isi pesan itu begitu kaku dan terkesan tegas. Bian tak kehabisan akal. Ia mampir ke sebuah outlet dan membeli kartu baru untuk menghubungi Yuna. Sedikit lega karena gadis itu menanggapinya. Walau tanggapannya tidak sebaik yang diharapkan Bian. “Kak Bian nggak perlu ke sini. Menemani tunangan ke salon itu hanya buang-buang waktu, bukan?” ucap Yuna kembali menyindir telak Bian yang selama ini sering mengatakan hal itu. “Tapi Yun, kena-” Klik! Bian menghembuskan napas lewat mulut. Kedua pipinya sampai menggembung maksimal. Ia bahkan menggaruk kepalanya frust
Bian mengedikkan bahu. “Bukan gue, Bro. Tapi adek lo yang bikin masalah. Dia minta dinikahi sehari aja. Gila nggak, tuh?” batin Bian. Ia belum sanggup berbagi masalah ini dengan Arga. “Lo nggak nyusulin Yuna?” tanya Arga kala mengulurkan minuman kaleng dari kulkas kecilnya. Bian menggeleng lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Sepulang dari kantor ia bergegas menyusul Yuna. Nyatanya, ia tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Yuna masih mengabaikannya. Sialnya lagi, ponsel Yuna malah tertinggal di kafe. Sungguh, gadis itu masih saja ceroboh. Bian merasakan tubuh dan pikirannya lelah. Empuknya alas tidur membuat sejenak tubuhnya rileks. Rasa kantuk perlahan menghampiri. “Bian, apa lo serius suka sama Yuna?” tanya Arga tiba-tiba. Hilang sudah rasa kantuk Bian. Bian yang sejak tadi memejamkan mata akhirnya beringsut menegakkan punggung. Ditatapnya Arga yang menerawang jauh keluar jendela kamar. Entah kenapa, Arga tiba-tiba bertanya hal ini. Mung
“Kumohon Papi sama Mami mau merestui pernikahan ini. Aku tidak mau anakku lahir dan dicap anak haram. Kumohon maafkan Arga kali ini saja, Pi, Mi,” pintanya memeluk kaki maminya. Wanita ayu dengan rambut digelung itu mendongak menatap suaminya yang mondar-mandir. “Mas …,” lirihnya. “Kita akan menikahkan mereka bulan ini juga. Ingat, minta kekasihmu tinggal di rumah ini sampai bayi kalian lahir! Papi tidak ingin cucu papi lahir cacat karena kebiasaan buruknya. Jangan kira papi tidak tahu kalau wanita itu kadang menenggak alkohol bersamamu!” cecarnya lagi berlalu tanpa mau menatap putranya lagi. “Maafkan Arga, Mi,” ucap Arga mengenggelamkan wajahnya di atas kedua lutut wanita yang telah melahirkannya itu. “Mami butuh waktu untuk memaafkan kamu. Buktikan penyesalanmu ini dengan memperlakukan istri dan anakmu dengan sebaik mungkin. Mami kecewa, tapi kesalahan ini bukan hanya kamu sepihak. Harusnya kami juga lebih tegas dengan meminta kalian segera menikah,
Arga kira membuat sahabatnya kembali merenung dan memikirkan hubungannya dengan Yuna akan membuat Bian sadar. Setengah tahun yang mereka lalui bersama bukanlah hubungan kerja. Ada kedekatan yang tercipta meski sahabatnya itu seringkali memungkiri perasaanya. Yuna terkekeh lalu menoel pipi kakaknya. “Dia kayak gunung. Dari jauh kelihatan indah dan mengagumkan. Setelah Yuna mulai kenal, dia ternyata membosankan. Dia baik, tapi tidak bisa dipungkiri, Yuna merasa disayang sebatas adiknya saja, nggak lebih. Dipaksain juga nggak bakalan bahagia. Itu juga kan, yang saat ini Kak Arga lakukan?” tutur Yuna yang membuat Arga terdiam. “Aku nggak mau kalau hubungan persahabatan kalian hancur cuma gara-gara aku. Berpura-pura mencintai seseorang juga akan membuat kita hidup dengan kepalsuan. Aku mana bisa bahagia?” lanjut Yuna mengedikkan bahu. Arga mengangguk-angguk. “Ternyata kamu udah dewasa ya?” “Aku belajar sejak semakin dekat dengan Kak Bian. Mungkin sifatnya
“Ar, Yuna udah tidur?” tanya Arga yang baru saja selesai mandi. Sebagian kepenatannya sudah berkurang. Namun, masih saja ada resah. “Udah.” Usapan handuk di kepalanya terhenti. “Dia nggak nangis atau panik gitu? Ponselnya kan, hilang?” Bian melirik ke arah ponsel Yuna yang kartunya sudah ia ganti dengan kartu barunya tadi. Terdengar Arga sedang menghela napas panjang lalu menimpali, “Dia bilang ponselnya jatuh entah di mana. Udah coba ditelpon berkali-kali, tapi udah nggak aktif. Dilacak pun percuma, cuma buang tenaga. Apalagi saat dia bilang, isinya cuma masa lalu yang emang pengen dia buang.” Deg! Buang? Apakah itu termasuk dirinya? Bian sudah melihat sebagian besar isi ponsel itu. Ada banyak hal tentangnya di dalam benda pipih itu. “Gue lebih heran lagi pas dia bilang mau putusin lo. Katanya lo kayak gunung,” kekeh Arga menatap tumbler yang ditempeli catatan khusus dari adiknya. Isinya teh chamomile. “Gunung? Maksudnya apa?” “Nanti lo tanya sendiri. Intinya, lo nggak seper
Dari balik kaca jendela taksi online, sepasang mata tak hentinya menitikkan cairan bening. Ia melihat para pelayat yang keluar masuk melintasi gerbang rumahnya. Suasana duka menyelimuti kediaman keluarga Diratama. Keluarga itu berduka setelah kehilangan putri bungsu mereka.“Maaf kalau aku egois. Papi sama mami akan sangat malu saat tahu aku hamil di luar nikah. Kak Bian sama sekali tidak ingat. Dia pasti akan meragukan anak dalam kandunganku,” batin Yuna menekan dadanya yang sesak.Sebelum Yuna meminta supir taksi online kembali melaju, ia melihat calon kakak iparnya keluar. Tasya terus saja menggerutu. Langkahnya yang disentak diikuti oleh mamanya. Perlahan ia menurunkan sedikit kaca mobil agar bisa mendengar percakapan mereka.“Tasya! Tasya! Dengarkan mama!” bentak wanita itu sembari menarik lengan putrinya.“Apa lagi sih, Ma?” sahut Tasya yang sudah gerah dan ingin cepat kembali ke apartemennya.
Sepasang mata sembab itu menatap sendu ke arah layar televisi di sebuah klinik kecil. Bibirnya bergetar ingin mengatakan sesuatu. Namun, ia tidak sanggup mengungkapkan apa yang saat ini tengah ia alami. Rasanya masih sulit percaya ia lolos dari maut.“Kasihan sekali para penumpang pesawat itu. Katanya, tidak ada satu pun yang selamat. Banyak yang menduga, cadangan oksigen di pesawat habis. Makanya, penumpang pesawat itu tidak ada yang keluar sebelum pesawatnya jatuh,” komentar salah seorang perawat.“Huh ... keluarga korban pasti sangat terpukul. Yang kudengar, salah satu penumpangnya adalah putri mentri,” sambung yang lain.OB yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya mengepel lantai turut berkata, “Pesawatnya jatuh dan patah jadi dua karena membentur karang yang cukup besar. Jadi banyak korban yang hanyut dan tenggelam.”“Tapi masih ada juga yang masih bisa diselamatkan jasadnya karena masih duduk di bangku pesawat. Tubuhnya tidak terbawa arus karena masih terpasang sabuk pengaman,”
Menyadari Yuna pergi tanpa pamit, dua pria itu akhirnya memutuskan kembali ke Bandung. Di tangan mereka masing-masing ada surat yang diberikan Yuna. Saking paniknya, Arga langsung berlari ke mobil. Namun, Bian mencegah dan menyarankan agar mereka menyewa jasa supir untuk mengantar mereka pulang.Bagaimanapun, kepala Bian masih pusing. Ia tidak ingin mengambil resiko. Jangan sampai mereka berdua malah mengalami kecelakaan karena kurang konsentrasi dalam berkendara."Apa Yuna memasukkan sesuatu ke dalam kopi kita semalam?" tanya Arga mencoba menerka alasan mengapa mereka berdua bisa tertidur sepulas itu."Jangan tanyakan hal yang sudah pasti. Bukankah Yuna sendiri juga punya obat-obatan yang ditunjukkan pada kita? Aku sendiri tidak menduga jika dia sampai senekat ini," balas Bian yang membaca kalimat demi kalimat yang ditulis Yuna.Arga mengusap wajahnya kasar. Informasi tentang keberangkatan adiknya ke Seoul masih abu-abu. Benarkah Yuna berangkat ke sana? Bukankah adiknya sendiri minta
Malam mulai merayap dan keadaan vila tak sepenuhnya senyap. Pasangan baru itu duduk bersama menyaksikan tayangan komedi di televisi. Bian merasa sedikit aneh. Yuna lebih banyak diam, tapi lebih manja dari biasanya. Meski begitu, Bian sama sekali tidak menolak ketika Yuna bersandar manja padanya. Sesekali Bian mengecup puncak kepala Yuna dan menikmati aroma samponya yang wangi."Apa kalian memintaku tetap di sini untuk terus-menerus menyaksikan kalian bermesraan?" sindir Arga yang membawa sepiring nasi goreng.Yuna tersenyum lebar melihat sajian makan malam yang sejak tadi diidamkannya. Menu nasi goreng buatan kakaknya sendiri. Padahal, sejak beberapa waktu belakangan, Yuna tidak bisa makan nasi. Mau bagaimana lagi, aroma nasi matang selalu membuatnya mual."Suapin," ucap Yuna manja.Arga yang baru saja duduk di sofa meraih sendok untuk menyuapi adiknya. Ia tidak terkejut sama sekali kali karena sudah terbiasa menyuapi adiknya saat makan sepiring berdua. Namun, kali ini Yuna menggeleng
“Bagaimana saksi?” tanya penghulu yang duduk di samping Arya.“Sah!!!” seru empat orang yang dihadirkan Arya dan Bian untuk jadi saksi pernikahan.Mata Yuna berkaca-kaca mendengar kata yang mengukuhkan hubungan sakral antara dirinya dan Bian. Baik Arya maupun Bian sama-sama melepas jabat tangan mereka. Semua orang di ruangan itu kompak mengangkat tangan dan membaca doa. Hingga pada penghujung doa kala mereka semua berseru mengaminkan lafaz-lafaz indah itu, Yuna tak kuasa menahan air mata.Merasakan usapan lembut di puncak kepalanya, Yuna menoleh. Ditatapnya wajah tampan Bian dan sorot matanya yang teduh. Tanpa diperintah, Yuna mengangsurkan tangan kanan untuk tunduk dan mencium punggung tangan suaminya. Ya, mereka sudah sah sebagai suami istri secara agama.Begitu Yuna hendak melepas tangan Bian, pria itu justru menguatkan genggaman. Kemudian membacakan doa pernikahan di ubun-ubun istrinya. Tak lupa ditutup dengan sebuah kecupan dalam dan cukup lama.“Aneh, perasaan kemarin-kemarin si
Byur ....Semburan dari minuman berwarna hitam itu menodai kemeja putih Arga. Suara batuknya belum reda karena turut tersedak. Informasi yang ditangkap gendang telinganya bagai kabar baru yang menggelegar.“Lo bilang apa barusan?” tanya Arga kembali meletakkan cangkir kopinya.Matanya membelalak nyaris keluar dari kelopak matanya. Tangan kirinya menarik berlembar-lembar tisu untuk menyeka dagunya. Ia masih terlampau syok akan tutur sahabatnya.“Gue mau lo jadi wali nikah,” ulang Bian membuka matanya perlahan.Ia sudah bisa menebak reaksi Arga. Namun, tetap saja ia tidak bisa tenang mengingat pembahasan mereka kali ini bukanlah hal sepele. Pernikahan singkat dan tiba-tiba. Belum lagi harus mereka rahasiakan.“Jadi lo ngajak gue liburan ke Bogor buat nikah?! Bukan buat refreshing?!” tuntut Arga melotot.Bian mengangguk dan menjelaskan permintaan Yuna. Berkali-kali Arga menggeleng tak percaya dengan apa yang diinginkan adiknya. Laki-laki yang tadinya sibuk menghubungi pihak WO untuk acar
Membayangkan kelak anak-anaknya hidup tanpa sosok seorang ayah membuat hatinya teriris. Perlahan suara tangis tertahan itu terdengar sesegukan. Bian semakin bingung dengan Yuna.“Sebenarnya ada apa, Yuna? Siapa yang sudah menyakiti kamu?” bisik Bian membalas pelukan Yuna dan menepuk-nepuk punggungnya.Bibir Yuna bergetar dan matanya terpejam. Pertahanannya mulai goyah. “Kamu, Kak,” batin Yuna menjerit tertahan.“Hai, Bian. Tumben kamu di sini?” sapa suara merdu yang seketika menghentikan tangis Yuna.Rasanya Yuna enggan berbalik. Apalagi melepaskan pelukan hangat yang mungkin akan menjadi pelukan yang terakhir kali. Namun, di sisi lain ia penasaran siapa gerangan yang menyapa Bian?***Bian menjentikkan jari di depan wajah Yuna yang melamun. Jejeran ponsel dengan berbagai merek dan variasi itu belum ada satu pun dilirik oleh sosok yang mengenakan dres hitam bermotif volkadot itu. Karyawan gerai hanya
“Yuna.” Sekali lagi suara Bian terdengar.Mata Yuna kembali berkaca-kaca. Berapa kali lagi ia harus mengalah? Suara derit kursi membuat Yuna bergeming dan memilih diam menatap gelas minumannya yang tersisa separuh.“Kak Bian pergi aja. Aku bisa pergi sendiri atau minta dibelikan sama sekretarisnya papi,” sahut Yuna mendadak kehilangan nafsu makan.“Hari ini aku cuti.”Jawaban Bian tidak hanya mengejutkan Yuna. Pun demikian dengan kedua orang tuanya. Cuti adalah kata keramat bagi Bian dan pagi ini, laki-laki itu mengatakannya seakan tanpa beban.“Sarapan yang banyak, biar punya tenaga. Sekalian kita jalan-jalan ke mana kamu mau,” tambah Bian yang kembali melanjutkan sarapannya.Kali ini mata Yuna berbinar. Diratama dan Ningrum tertular senyum kala melihat putrinya tersipu dan mengangguk malu-malu. Yuna kemudian pamit ke kamar untuk mengambil tasanya.“Nggak usah dandan!” teriak Arga ketika adiknya sudah menaiki tangga.“Enggak kok, aku udah cantik!” balas Yuna berteriak sampai seisi ru
“Ar, Yuna udah tidur?” tanya Arga yang baru saja selesai mandi. Sebagian kepenatannya sudah berkurang. Namun, masih saja ada resah. “Udah.” Usapan handuk di kepalanya terhenti. “Dia nggak nangis atau panik gitu? Ponselnya kan, hilang?” Bian melirik ke arah ponsel Yuna yang kartunya sudah ia ganti dengan kartu barunya tadi. Terdengar Arga sedang menghela napas panjang lalu menimpali, “Dia bilang ponselnya jatuh entah di mana. Udah coba ditelpon berkali-kali, tapi udah nggak aktif. Dilacak pun percuma, cuma buang tenaga. Apalagi saat dia bilang, isinya cuma masa lalu yang emang pengen dia buang.” Deg! Buang? Apakah itu termasuk dirinya? Bian sudah melihat sebagian besar isi ponsel itu. Ada banyak hal tentangnya di dalam benda pipih itu. “Gue lebih heran lagi pas dia bilang mau putusin lo. Katanya lo kayak gunung,” kekeh Arga menatap tumbler yang ditempeli catatan khusus dari adiknya. Isinya teh chamomile. “Gunung? Maksudnya apa?” “Nanti lo tanya sendiri. Intinya, lo nggak seper