Keesokan harinya, pagi Bian disambut dengan satu pesan dari Yuna. Gadis itu mengabari jika selama tiga hari ia akan berlibur ke tempat neneknya. Mungkin akan sulit menghubunginya karena kondisi jaringan seluler di sana kurang baik.
Senyum Bian seketika merekah. Itu artinya selama tiga hari kedepan, dirinya tidak akan diusik oleh Yuna. Dirinya akan bebas dari cerewetnya gadis itu. “It’s like freedom days!” sorak Bian.
Secepat kilat Bian beranjak dari tempat tidur. Ia ingin fokus kerja dan lembur hari ini. Dengan begitu selama akhir pekan nanti, ia bisa menikmati waktu dengan bebas. Tidak akan ada Yuna yang merengek manja dan membuatnya sakit kepala.
Andra dan Amba heran melihat putra sulungnya yang tampak begitu bahagia pagi ini. Mereka baru saja membahas hubungan antara Bian dan Yuna.
"Tumben senyum-senyum terus?" tanya sang papa.
Masih dengan senyum yang terlukis di wajahnya, Bian menjawab, "Yuna lagi ke tempat neneknya. Artinya, Bian nggak akan sakit kepala selama tiga hari."
Amba memilih diam saja. Pembahasan sudah berganti masalah pekerjaan di kantor. Entah mengapa pikirannya justru terus tertuju pada Yuna.
Gadis itu mengutarakan niat untuk putus dengan Bian dengan meminta izinnya. Yuna meminta maaf karena telah membuatnya kecewa, sedangkan putranya sendiri malah terlihat begitu bahagia.
Kemarin ia menduga jika Yuna akan menangis histeris dan merengek padanya. Namun, di luar dugaan Amba, gadis itu tampak begitu tegar.
Kala dirinya bertanya alasan Yuna memilih ingin mengakhiri hubungan dengan putranya, jawaban Yuna cukup mengejutkannya. Gadis itu benar-benar memberikannya kejutan.
Flashback on
"Boleh tante tahu alasan kamu ingin putus sama Bian?" tanya Amba yang berusaha menguasai kejutan yang diutarakan Yuna.
"Menurut Yuna, Kak Bian tipe cowok yang membosankan," ucap Yuna sambil mengusap gelas tehnya.
Amba mengangguk membenarkan. Putranya memang terlihat acuh tak acuh dalam hubungan mereka. Rencana perjodohan antara Bian dan Yuna, seolah tidak penting bagi putranya.
"Sudah cukup Yuna merasa berjuang sendiri. Meski Yuna cewek, lemah dan nggak bisa apa-apa, tapi Yuna masih punya harga diri, Tante. Kalau dipaksakan, aku ataupun Kak Bian sama-sama nggak bahagia," lanjut Yuna tersenyum walau tak sampai ke mata.
Flashback off
"Ma, Mama!" panggil Andra.
"Ha? Kenapa, Pa?" tanya Amba panik.
Suami dan putranya menggeleng lalu terkekeh. "Mama melamunkan apa pagi-pagi? Muka ganteng kita berdua memangnya tidak menarik?" kelakar Bian.
"Anggap saja begitu," jawab Amba yang kini membuat suami dan putra sulungnya melongo.
"Mama aneh banget. Apa masih marah soal semalam aku bahas Yuna? Argh! Stop Bian, nggak ada Yuna lagi. Setidaknya jangan pikirkan gadis itu selama tiga hari," batin Bian menghibur diri.
Kedua pria beda generasi itu memutuskan untuk berangkat bersama. Bukan tanpa alasan, Bian sudah mengutarakan niatnya ingin lembur dan akan menginap di kantor. Rencananya besok dia akan ke Bali menghadiri pesta ulang tahun temannya.
Selama perjalanan ke kantor, Bian sibuk menanggapi perihal kerja sama dari salah satu relasi bisnis papanya. Saat berhenti karena lampu lalu lintas, mata Bian tertuju pada gerobak rujak yang terparkir di sisi jalan. Entah mengapa ia menelan saliva membayangkan segar dan asamnya mangga.
"Ada apa denganku?" batin Bian menggeleng pelan.
Setibanya di kantor, Bian benar-benar fokus dengan pekerjaannya. Saat istirahat makan siang pun ia makan di ruangannya. Sekretarisnya bahkan sudah pamit duluan saat jam kantor berakhir.
Satu persatu tumpukan map dibuka dan ditutup. Tumpukan yang semula menggunung di bagian kiri mejanya, kini sudah berpindah ke bagian kanan. Setelah meregangkan tubuhnya, senyum Bian merekah.
Denting jarum jam sesekali beradu dengan suara pendingin ruangan. Bian beranjak merebahkan tubuhnya di sofa sembari memeriksa ponselnya. Satu persatu pesan dari keluarga ia balas. Termasuk pesan dari supir keluarga yang mengabari jika mobil sport-nya sudah harus diservis.
Bian mengernyit karena tidak mendapati satu pun pesan dari Yuna. Ketika mengetuk foto profil gadis itu, terlihat tulisan ‘online’ yang menandakan jika Yuna sedang aktif dengan ponselnya.
“Tumben, seharian Yuna nggak pernah ganggu? Apa dia seharian ini jadi putri tidur?” batin Bian mengernyit heran.
Niat yang semula ingin mengetik pesan untuk Yuna ia urungkan. Jangan sampai gadis itu malah tidak berhenti mengirim pesan saat dirinya sudah ingin pulang dan beristirahat.
Bian memilih bertukar pesan dengan teman-temannya. Bertanya siapa saja dan kapan tepatnya mereka akan berangkat ke Bali akhir pekan ini. Sesekali Bian terkekeh membaca balasan komentar dari teman-temannya.
Sementara Yuna yang duduk di balkon kamarnya menatap nanar layar ponselnya. Ia melihat kontak Bian dalam keadaan ‘online’ beberapa saat lalu. Namun, pria itu sama sekali tidak mengirimkan pesan satu kata pun padanya.
“Jangan harap dia mau tahu kabar kamu. Seharian ini kamu memikirkannya, tapi dia sama sekali tidak menelpon atau mengirim pesan. Dia mungkin sedang bahagia lepas darimu Yuna,” batin gadis itu meringis.
Lagi-lagi ia menitikkan air mata. Memikirkan Bian selalu saja membuat hatinya lemah. Tak dapat dipungkiri, di hatinya masih ada cinta.
Selama ini, selalu saja dirinya yang berusaha. Bian hanya akan bersikap manis padanya saat ada orang lain. Kalau saja ia boleh jujur, Bian … pria itu memang mulai membosankan di matanya.
Sejak beberapa hari terakhir ia mengurung diri di vila. Berada di dekat keluarganya hanya akan membuat mereka curiga. Setiap kali memikirkan nasibnya yang kelak akan melahirkan tanpa seorang suami di sisinya, membuat Yuna tak kuasa menahan air mata. Belum lagi memikirkan nasib anak-anaknya kelak.
“Sebelum aku pergi, akan kuberikan hadiah yang tidak akan pernah kamu lupakan. Hadiah yang tidak akan bisa diberikan oleh orang lain,” gumam Yuna tersenyum miris menatap foto Bian di ponselnya.
***
Tiga hari berlalu dan mereka kembali menyambut hari Senin. Bian kembali dengan kesibukannya di kantor, mendapat pesan ajakan makan siang dari Yuna. Isi pesannya ada hal penting yang harus mereka bahas berdua saja.Meja di ruangan luas itu tampak penuh dengan banyak orang yang sedang mengisi perut. Karyawan resto sejak tadi wara-wiri melayani penikmat sajian. Termasuk Bian dan Yuna yang juga sedang menikmati makan siang. Namun, satu kalimat yang dilontarkan Yuna membuat Bian tersedak."Kamu bilang apa barusan?!" sentak Bian yang tak habis pikir dengan ucapan Yuna beberapa detik yang lalu.“Nikahi aku sehari saja!” ulang Yuna.Bian menggeleng pelan. Gadis yang mengajaknya makan siang bersama ini, sudah gila. Setelah tiga hari tanpa kabar, Yuna datang membawa permintaan yang terdengar seperti petir yang menggelegar."Kamu sadar dengan kekonyolan kamu barusan, Yuna?" tanya Bian memijat kepalanya."Sepertinya dia benar-benar tidak tahu. Mungkin saat melakukannya, dia tidak sadar sama sekal
Kemarin Bian bisa lega sejenak. Sahabatnya menghubunginya bukan untuk membahas Yuna. Arga justru menggodanya karena belakangan ini adiknya tampak bahagia. Bian justru dilanda dilema berat. Permintaan aneh Yuna perlahan membuatnya migrain.Keresahannya itu tak luput dari mata kedua orang tuanya. Andra dan Amba sejujurnya sangat penasaran. Akan tetapi, mereka juga enggan bertanya karena menduga jika semua itu ada hubungannya dengan Yuna.“Setelah mengatakan permintaan gilanya itu, kenapa gadis ini tidak membalas satu pun pesan dariku?” gumam Bian melempar ponselnya ke sofa.“Tumben kamu pulang cepat? Biasanya kalau nggak nemenin Yuna, kamu milih lembur di kantor. Oh … mama lupa, dia udah bisa nyetir, jadi nggak bakalan mau repotin kamu lagi,” ucap Amba meletakkan camilan di meja.“Mama habis arisan?” tanya sang suami dan Amba mengangguk.“Kenapa tidak minta dijemput sama papa? Bukannya Mama biasanya arisan di kafe dekat kantor?” tanya Andra mengernyit heran.Amba menghela napas lalu ber
Beberapa menit kemudian, bukan sebuah alamat yang dikirim oleh Arga. Isi pesan dari sahabatnya itu adalah pesan yang diteruskan dari Yuna. Yuna meminta untuk tidak menemuinya, kecuali Bian setuju dengan syarat yang diajukannya. Hanya geraman dan umpatan yang bersahutan dalam mobil Bian. Laki-laki itu tidak menyangka jika sikap Yuna padanya bisa berubah sedrastis ini. Isi pesan itu begitu kaku dan terkesan tegas. Bian tak kehabisan akal. Ia mampir ke sebuah outlet dan membeli kartu baru untuk menghubungi Yuna. Sedikit lega karena gadis itu menanggapinya. Walau tanggapannya tidak sebaik yang diharapkan Bian. “Kak Bian nggak perlu ke sini. Menemani tunangan ke salon itu hanya buang-buang waktu, bukan?” ucap Yuna kembali menyindir telak Bian yang selama ini sering mengatakan hal itu. “Tapi Yun, kena-” Klik! Bian menghembuskan napas lewat mulut. Kedua pipinya sampai menggembung maksimal. Ia bahkan menggaruk kepalanya frust
Bian mengedikkan bahu. “Bukan gue, Bro. Tapi adek lo yang bikin masalah. Dia minta dinikahi sehari aja. Gila nggak, tuh?” batin Bian. Ia belum sanggup berbagi masalah ini dengan Arga. “Lo nggak nyusulin Yuna?” tanya Arga kala mengulurkan minuman kaleng dari kulkas kecilnya. Bian menggeleng lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Sepulang dari kantor ia bergegas menyusul Yuna. Nyatanya, ia tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Yuna masih mengabaikannya. Sialnya lagi, ponsel Yuna malah tertinggal di kafe. Sungguh, gadis itu masih saja ceroboh. Bian merasakan tubuh dan pikirannya lelah. Empuknya alas tidur membuat sejenak tubuhnya rileks. Rasa kantuk perlahan menghampiri. “Bian, apa lo serius suka sama Yuna?” tanya Arga tiba-tiba. Hilang sudah rasa kantuk Bian. Bian yang sejak tadi memejamkan mata akhirnya beringsut menegakkan punggung. Ditatapnya Arga yang menerawang jauh keluar jendela kamar. Entah kenapa, Arga tiba-tiba bertanya hal ini. Mung
“Kumohon Papi sama Mami mau merestui pernikahan ini. Aku tidak mau anakku lahir dan dicap anak haram. Kumohon maafkan Arga kali ini saja, Pi, Mi,” pintanya memeluk kaki maminya. Wanita ayu dengan rambut digelung itu mendongak menatap suaminya yang mondar-mandir. “Mas …,” lirihnya. “Kita akan menikahkan mereka bulan ini juga. Ingat, minta kekasihmu tinggal di rumah ini sampai bayi kalian lahir! Papi tidak ingin cucu papi lahir cacat karena kebiasaan buruknya. Jangan kira papi tidak tahu kalau wanita itu kadang menenggak alkohol bersamamu!” cecarnya lagi berlalu tanpa mau menatap putranya lagi. “Maafkan Arga, Mi,” ucap Arga mengenggelamkan wajahnya di atas kedua lutut wanita yang telah melahirkannya itu. “Mami butuh waktu untuk memaafkan kamu. Buktikan penyesalanmu ini dengan memperlakukan istri dan anakmu dengan sebaik mungkin. Mami kecewa, tapi kesalahan ini bukan hanya kamu sepihak. Harusnya kami juga lebih tegas dengan meminta kalian segera menikah,
Arga kira membuat sahabatnya kembali merenung dan memikirkan hubungannya dengan Yuna akan membuat Bian sadar. Setengah tahun yang mereka lalui bersama bukanlah hubungan kerja. Ada kedekatan yang tercipta meski sahabatnya itu seringkali memungkiri perasaanya. Yuna terkekeh lalu menoel pipi kakaknya. “Dia kayak gunung. Dari jauh kelihatan indah dan mengagumkan. Setelah Yuna mulai kenal, dia ternyata membosankan. Dia baik, tapi tidak bisa dipungkiri, Yuna merasa disayang sebatas adiknya saja, nggak lebih. Dipaksain juga nggak bakalan bahagia. Itu juga kan, yang saat ini Kak Arga lakukan?” tutur Yuna yang membuat Arga terdiam. “Aku nggak mau kalau hubungan persahabatan kalian hancur cuma gara-gara aku. Berpura-pura mencintai seseorang juga akan membuat kita hidup dengan kepalsuan. Aku mana bisa bahagia?” lanjut Yuna mengedikkan bahu. Arga mengangguk-angguk. “Ternyata kamu udah dewasa ya?” “Aku belajar sejak semakin dekat dengan Kak Bian. Mungkin sifatnya
“Ar, Yuna udah tidur?” tanya Arga yang baru saja selesai mandi. Sebagian kepenatannya sudah berkurang. Namun, masih saja ada resah. “Udah.” Usapan handuk di kepalanya terhenti. “Dia nggak nangis atau panik gitu? Ponselnya kan, hilang?” Bian melirik ke arah ponsel Yuna yang kartunya sudah ia ganti dengan kartu barunya tadi. Terdengar Arga sedang menghela napas panjang lalu menimpali, “Dia bilang ponselnya jatuh entah di mana. Udah coba ditelpon berkali-kali, tapi udah nggak aktif. Dilacak pun percuma, cuma buang tenaga. Apalagi saat dia bilang, isinya cuma masa lalu yang emang pengen dia buang.” Deg! Buang? Apakah itu termasuk dirinya? Bian sudah melihat sebagian besar isi ponsel itu. Ada banyak hal tentangnya di dalam benda pipih itu. “Gue lebih heran lagi pas dia bilang mau putusin lo. Katanya lo kayak gunung,” kekeh Arga menatap tumbler yang ditempeli catatan khusus dari adiknya. Isinya teh chamomile. “Gunung? Maksudnya apa?” “Nanti lo tanya sendiri. Intinya, lo nggak seper
“Yuna.” Sekali lagi suara Bian terdengar.Mata Yuna kembali berkaca-kaca. Berapa kali lagi ia harus mengalah? Suara derit kursi membuat Yuna bergeming dan memilih diam menatap gelas minumannya yang tersisa separuh.“Kak Bian pergi aja. Aku bisa pergi sendiri atau minta dibelikan sama sekretarisnya papi,” sahut Yuna mendadak kehilangan nafsu makan.“Hari ini aku cuti.”Jawaban Bian tidak hanya mengejutkan Yuna. Pun demikian dengan kedua orang tuanya. Cuti adalah kata keramat bagi Bian dan pagi ini, laki-laki itu mengatakannya seakan tanpa beban.“Sarapan yang banyak, biar punya tenaga. Sekalian kita jalan-jalan ke mana kamu mau,” tambah Bian yang kembali melanjutkan sarapannya.Kali ini mata Yuna berbinar. Diratama dan Ningrum tertular senyum kala melihat putrinya tersipu dan mengangguk malu-malu. Yuna kemudian pamit ke kamar untuk mengambil tasanya.“Nggak usah dandan!” teriak Arga ketika adiknya sudah menaiki tangga.“Enggak kok, aku udah cantik!” balas Yuna berteriak sampai seisi ru
Dari balik kaca jendela taksi online, sepasang mata tak hentinya menitikkan cairan bening. Ia melihat para pelayat yang keluar masuk melintasi gerbang rumahnya. Suasana duka menyelimuti kediaman keluarga Diratama. Keluarga itu berduka setelah kehilangan putri bungsu mereka.“Maaf kalau aku egois. Papi sama mami akan sangat malu saat tahu aku hamil di luar nikah. Kak Bian sama sekali tidak ingat. Dia pasti akan meragukan anak dalam kandunganku,” batin Yuna menekan dadanya yang sesak.Sebelum Yuna meminta supir taksi online kembali melaju, ia melihat calon kakak iparnya keluar. Tasya terus saja menggerutu. Langkahnya yang disentak diikuti oleh mamanya. Perlahan ia menurunkan sedikit kaca mobil agar bisa mendengar percakapan mereka.“Tasya! Tasya! Dengarkan mama!” bentak wanita itu sembari menarik lengan putrinya.“Apa lagi sih, Ma?” sahut Tasya yang sudah gerah dan ingin cepat kembali ke apartemennya.
Sepasang mata sembab itu menatap sendu ke arah layar televisi di sebuah klinik kecil. Bibirnya bergetar ingin mengatakan sesuatu. Namun, ia tidak sanggup mengungkapkan apa yang saat ini tengah ia alami. Rasanya masih sulit percaya ia lolos dari maut.“Kasihan sekali para penumpang pesawat itu. Katanya, tidak ada satu pun yang selamat. Banyak yang menduga, cadangan oksigen di pesawat habis. Makanya, penumpang pesawat itu tidak ada yang keluar sebelum pesawatnya jatuh,” komentar salah seorang perawat.“Huh ... keluarga korban pasti sangat terpukul. Yang kudengar, salah satu penumpangnya adalah putri mentri,” sambung yang lain.OB yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya mengepel lantai turut berkata, “Pesawatnya jatuh dan patah jadi dua karena membentur karang yang cukup besar. Jadi banyak korban yang hanyut dan tenggelam.”“Tapi masih ada juga yang masih bisa diselamatkan jasadnya karena masih duduk di bangku pesawat. Tubuhnya tidak terbawa arus karena masih terpasang sabuk pengaman,”
Menyadari Yuna pergi tanpa pamit, dua pria itu akhirnya memutuskan kembali ke Bandung. Di tangan mereka masing-masing ada surat yang diberikan Yuna. Saking paniknya, Arga langsung berlari ke mobil. Namun, Bian mencegah dan menyarankan agar mereka menyewa jasa supir untuk mengantar mereka pulang.Bagaimanapun, kepala Bian masih pusing. Ia tidak ingin mengambil resiko. Jangan sampai mereka berdua malah mengalami kecelakaan karena kurang konsentrasi dalam berkendara."Apa Yuna memasukkan sesuatu ke dalam kopi kita semalam?" tanya Arga mencoba menerka alasan mengapa mereka berdua bisa tertidur sepulas itu."Jangan tanyakan hal yang sudah pasti. Bukankah Yuna sendiri juga punya obat-obatan yang ditunjukkan pada kita? Aku sendiri tidak menduga jika dia sampai senekat ini," balas Bian yang membaca kalimat demi kalimat yang ditulis Yuna.Arga mengusap wajahnya kasar. Informasi tentang keberangkatan adiknya ke Seoul masih abu-abu. Benarkah Yuna berangkat ke sana? Bukankah adiknya sendiri minta
Malam mulai merayap dan keadaan vila tak sepenuhnya senyap. Pasangan baru itu duduk bersama menyaksikan tayangan komedi di televisi. Bian merasa sedikit aneh. Yuna lebih banyak diam, tapi lebih manja dari biasanya. Meski begitu, Bian sama sekali tidak menolak ketika Yuna bersandar manja padanya. Sesekali Bian mengecup puncak kepala Yuna dan menikmati aroma samponya yang wangi."Apa kalian memintaku tetap di sini untuk terus-menerus menyaksikan kalian bermesraan?" sindir Arga yang membawa sepiring nasi goreng.Yuna tersenyum lebar melihat sajian makan malam yang sejak tadi diidamkannya. Menu nasi goreng buatan kakaknya sendiri. Padahal, sejak beberapa waktu belakangan, Yuna tidak bisa makan nasi. Mau bagaimana lagi, aroma nasi matang selalu membuatnya mual."Suapin," ucap Yuna manja.Arga yang baru saja duduk di sofa meraih sendok untuk menyuapi adiknya. Ia tidak terkejut sama sekali kali karena sudah terbiasa menyuapi adiknya saat makan sepiring berdua. Namun, kali ini Yuna menggeleng
“Bagaimana saksi?” tanya penghulu yang duduk di samping Arya.“Sah!!!” seru empat orang yang dihadirkan Arya dan Bian untuk jadi saksi pernikahan.Mata Yuna berkaca-kaca mendengar kata yang mengukuhkan hubungan sakral antara dirinya dan Bian. Baik Arya maupun Bian sama-sama melepas jabat tangan mereka. Semua orang di ruangan itu kompak mengangkat tangan dan membaca doa. Hingga pada penghujung doa kala mereka semua berseru mengaminkan lafaz-lafaz indah itu, Yuna tak kuasa menahan air mata.Merasakan usapan lembut di puncak kepalanya, Yuna menoleh. Ditatapnya wajah tampan Bian dan sorot matanya yang teduh. Tanpa diperintah, Yuna mengangsurkan tangan kanan untuk tunduk dan mencium punggung tangan suaminya. Ya, mereka sudah sah sebagai suami istri secara agama.Begitu Yuna hendak melepas tangan Bian, pria itu justru menguatkan genggaman. Kemudian membacakan doa pernikahan di ubun-ubun istrinya. Tak lupa ditutup dengan sebuah kecupan dalam dan cukup lama.“Aneh, perasaan kemarin-kemarin si
Byur ....Semburan dari minuman berwarna hitam itu menodai kemeja putih Arga. Suara batuknya belum reda karena turut tersedak. Informasi yang ditangkap gendang telinganya bagai kabar baru yang menggelegar.“Lo bilang apa barusan?” tanya Arga kembali meletakkan cangkir kopinya.Matanya membelalak nyaris keluar dari kelopak matanya. Tangan kirinya menarik berlembar-lembar tisu untuk menyeka dagunya. Ia masih terlampau syok akan tutur sahabatnya.“Gue mau lo jadi wali nikah,” ulang Bian membuka matanya perlahan.Ia sudah bisa menebak reaksi Arga. Namun, tetap saja ia tidak bisa tenang mengingat pembahasan mereka kali ini bukanlah hal sepele. Pernikahan singkat dan tiba-tiba. Belum lagi harus mereka rahasiakan.“Jadi lo ngajak gue liburan ke Bogor buat nikah?! Bukan buat refreshing?!” tuntut Arga melotot.Bian mengangguk dan menjelaskan permintaan Yuna. Berkali-kali Arga menggeleng tak percaya dengan apa yang diinginkan adiknya. Laki-laki yang tadinya sibuk menghubungi pihak WO untuk acar
Membayangkan kelak anak-anaknya hidup tanpa sosok seorang ayah membuat hatinya teriris. Perlahan suara tangis tertahan itu terdengar sesegukan. Bian semakin bingung dengan Yuna.“Sebenarnya ada apa, Yuna? Siapa yang sudah menyakiti kamu?” bisik Bian membalas pelukan Yuna dan menepuk-nepuk punggungnya.Bibir Yuna bergetar dan matanya terpejam. Pertahanannya mulai goyah. “Kamu, Kak,” batin Yuna menjerit tertahan.“Hai, Bian. Tumben kamu di sini?” sapa suara merdu yang seketika menghentikan tangis Yuna.Rasanya Yuna enggan berbalik. Apalagi melepaskan pelukan hangat yang mungkin akan menjadi pelukan yang terakhir kali. Namun, di sisi lain ia penasaran siapa gerangan yang menyapa Bian?***Bian menjentikkan jari di depan wajah Yuna yang melamun. Jejeran ponsel dengan berbagai merek dan variasi itu belum ada satu pun dilirik oleh sosok yang mengenakan dres hitam bermotif volkadot itu. Karyawan gerai hanya
“Yuna.” Sekali lagi suara Bian terdengar.Mata Yuna kembali berkaca-kaca. Berapa kali lagi ia harus mengalah? Suara derit kursi membuat Yuna bergeming dan memilih diam menatap gelas minumannya yang tersisa separuh.“Kak Bian pergi aja. Aku bisa pergi sendiri atau minta dibelikan sama sekretarisnya papi,” sahut Yuna mendadak kehilangan nafsu makan.“Hari ini aku cuti.”Jawaban Bian tidak hanya mengejutkan Yuna. Pun demikian dengan kedua orang tuanya. Cuti adalah kata keramat bagi Bian dan pagi ini, laki-laki itu mengatakannya seakan tanpa beban.“Sarapan yang banyak, biar punya tenaga. Sekalian kita jalan-jalan ke mana kamu mau,” tambah Bian yang kembali melanjutkan sarapannya.Kali ini mata Yuna berbinar. Diratama dan Ningrum tertular senyum kala melihat putrinya tersipu dan mengangguk malu-malu. Yuna kemudian pamit ke kamar untuk mengambil tasanya.“Nggak usah dandan!” teriak Arga ketika adiknya sudah menaiki tangga.“Enggak kok, aku udah cantik!” balas Yuna berteriak sampai seisi ru
“Ar, Yuna udah tidur?” tanya Arga yang baru saja selesai mandi. Sebagian kepenatannya sudah berkurang. Namun, masih saja ada resah. “Udah.” Usapan handuk di kepalanya terhenti. “Dia nggak nangis atau panik gitu? Ponselnya kan, hilang?” Bian melirik ke arah ponsel Yuna yang kartunya sudah ia ganti dengan kartu barunya tadi. Terdengar Arga sedang menghela napas panjang lalu menimpali, “Dia bilang ponselnya jatuh entah di mana. Udah coba ditelpon berkali-kali, tapi udah nggak aktif. Dilacak pun percuma, cuma buang tenaga. Apalagi saat dia bilang, isinya cuma masa lalu yang emang pengen dia buang.” Deg! Buang? Apakah itu termasuk dirinya? Bian sudah melihat sebagian besar isi ponsel itu. Ada banyak hal tentangnya di dalam benda pipih itu. “Gue lebih heran lagi pas dia bilang mau putusin lo. Katanya lo kayak gunung,” kekeh Arga menatap tumbler yang ditempeli catatan khusus dari adiknya. Isinya teh chamomile. “Gunung? Maksudnya apa?” “Nanti lo tanya sendiri. Intinya, lo nggak seper