Beberapa menit kemudian, bukan sebuah alamat yang dikirim oleh Arga. Isi pesan dari sahabatnya itu adalah pesan yang diteruskan dari Yuna. Yuna meminta untuk tidak menemuinya, kecuali Bian setuju dengan syarat yang diajukannya.
Hanya geraman dan umpatan yang bersahutan dalam mobil Bian. Laki-laki itu tidak menyangka jika sikap Yuna padanya bisa berubah sedrastis ini. Isi pesan itu begitu kaku dan terkesan tegas.
Bian tak kehabisan akal. Ia mampir ke sebuah outlet dan membeli kartu baru untuk menghubungi Yuna. Sedikit lega karena gadis itu menanggapinya. Walau tanggapannya tidak sebaik yang diharapkan Bian.
“Kak Bian nggak perlu ke sini. Menemani tunangan ke salon itu hanya buang-buang waktu, bukan?” ucap Yuna kembali menyindir telak Bian yang selama ini sering mengatakan hal itu.
“Tapi Yun, kena-”
Klik!
Bian menghembuskan napas lewat mulut. Kedua pipinya sampai menggembung maksimal. Ia bahkan menggaruk kepalanya frustasi.
“Yuna habis makan apa? Atau jangan-jangan ... dia kerasukan?” gumam Bian. Sejak gadis itu pulang liburan, dia semakin aneh.
Yuna bahkan mengirim pesan dan mengingatkan batas waktu yang berikannya. Besok siang Bian harus memutuskan untuk menerima atau menolak syarat darinya. Begitu juga peringatan jika tersisa kurang dari seminggu waktu untuk enam bulan hubungan mereka harus berakhir.
Pulang ke rumah tentu hanya akan membuat Bian jadi bahan tertawaan mamanya. Datang ke rumah Arga dan menunggu Yuna pulang hanya akan mengundang kecurigaan orang tua mereka. Ke apartemen saudara kembarnya hanya akan dianggap perusuh. Bian bingung dan merasa jadi serba salah.
Menatap kontak ponsel Yuna, Bian masih ragu untuk kembali menghubunginya. Pikirnya, gadis itu akan semakin besar kepala. Bian sadar jika gadis itu sepertinya sedang bermain tarik ulur dengannya.
“Telpon saja Bian, jangan sampai kamu menyesal,” batin Bian menekan hold hijau dan menunggu Yuna menjawab panggilannya.
“Halo?” sapa seseorang yang tidak mungkin suara Yuna.
Deg!
Bian menatap layar ponselnya dan yakin tidak salah kontak. “Kenapa yang jawab laki-laki?” batin Bian dengan perasaan yang tak karuan.
Setelah kesekian kalinya mengumpat, Bian akhirnya bisa terbebas dari kemacetan jalan. Sembari menekan pedal gas, ia melirik jam tangannya. Ia ingin membuktikan ucapan pria yang menjawab telponnya tadi.
Bian tiba di kafe yang dikatakan pria tak dikenal yang katanya menemukan ponsel itu di kolong mejanya. Dengan tak sabaran, Bian mengedarkan pandangan saat kembali menghubungi ponsel Yuna.
Karyawan kafe menghampiri Bian. “Maaf Kak, tadi yang nemu udah pamit duluan. Dianya lagi buru-buru, jadi titip sama saya,” ujar pemuda itu mengulurkan ponsel yang dibawanya.
“Terima kasih,” balas Bian kemudian memesan secangkir kopi.
Setelah memilih meja sudut, Bian mencoba membuka ponsel Yuna. Akan tetapi, ia tidak tahu sandinya. Berkali-kali ia mencoba tapi gagal.
“Jangan bilang …,” gumam Bian mencoba menekan tanggal lahirnya sendiri.
Berhasil. Bian tercengang.
Baru sekali jempolnya mengusap layar ponsel, wallpaper ponsel gadis itu membuat Bian tertegun. Bukan foto sang pemilik ponsel, melainkan foto dirinya yang dibalut kemeja hitam dan vest abu-abu saat duduk di kursi kerjanya. Foto yang entah kapan diambil Yuna. Yang pasti, dari potret itu ia menyadari bahwa dirinya mengabaikan gadis itu saat berkunjung ke kantornya.
Kedua alis Bian nyaris bertaut kala melihat notifikasi pengingat yang muncul. Seharusnya sore ini Yuna mengajaknya nonton film di bioskop. Kali ini bukan film romansa kesukaan Yuna, melainkan film genre action kesukaan Bian.
“Aku bahkan tidak tahu kalau aktor idolaku merilis film baru,” batin Bian yang mengakui jika belakangan ini ia memang sibuk. Mengepakkan sayap bisnis ke negri tetangga bukanlah semudah yang dibayangkannya selama ini.
Kalau saja Yuna tidak mengabaikannya, gadis itu pasti sudah datang ke kantor. Kemudian mengajaknya ke bioskop dengan antusias. Namun, semua itu tak terjadi mengingat Yuna sengaja memblokir nomornya.
Jari Bian sibuk menggulir layar ponsel. Ketika ia menemukan satu folder galeri dengan namanya, rasa penasaran Bian semakin membuncah. Berkali-kali ia mencoba sandi untuk membuka folder itu sampai kepalanya mau pecah.
“Gadis ini, kenapa suka sekali bikin aku sakit kepala?! Sial!” umpat Bian yang akhirnya menyerah karena sandi terakhir yang dicobanya masih saja tidak tepat.
Tak ingin pulang dengan dicecar oleh kedua orang tuanya, Bian putuskan untuk datang ke rumah Yuna. Ia bisa beralasan untuk membawakan ponsel itu sehingga orang tua Yuna tidak akan curiga. Setelah berkendara kurang lebih setengah jam, Bian tiba di rumah dengan desain bergaya aristekstur Eropa itu.
“Adek lo belum pulang?” tanya Bian ketika mendapati sahabatnya yang membukakan pintu.
Pria yang baru saja selesai mandi itu mengangguk tak bersemangat. Bian masuk dan menyusul langkah Arga ke kamar. Rumah besar itu tampak sepi seperti kuburan. Asisten rumah tangga tak satu pun terlihat.
“Om sama tante ke mana, Ar?”
“Kata Bibi lagi keluar kota, ada kolega yang adain resepsi.”
Bian hanya mengangguk hingga langkahnya berhenti di depan pintu kamar Yuna yang bersebelahan dengan kamar Arga. Seingatnya, terakhir kali masuk ke dalam kamar gadis itu, saat ia masih SMA.
Tanpa Bian duga, Arga justru membuka pintu kamar itu. Ternyata Arga hendak mencari charger ponsel. Saat itulah Bian melihat tampilan kamar itu sudah jauh berbeda. Nuansa kamarnya disominasi putih dan kuning.
Keningnya berkerut mendapati frame berisi fotonya yang tertidur menelungkupkan badan di meja kerjanya. Dari background, Bian menebak mungkin foto itu diambil setahun yang lalu saat masih awal dirinya bekerja di perusahaan papanya.
“Yuna itu kalau udah sayang, pakai banget. Tapi, kalau udah benci, ujungnya bodo amat,” kata Arga menarik lengan Bian agar kembali keluar. “Lo bikin masalah apa sama adek gue?”
Deg!
***
Bian mengedikkan bahu. “Bukan gue, Bro. Tapi adek lo yang bikin masalah. Dia minta dinikahi sehari aja. Gila nggak, tuh?” batin Bian. Ia belum sanggup berbagi masalah ini dengan Arga. “Lo nggak nyusulin Yuna?” tanya Arga kala mengulurkan minuman kaleng dari kulkas kecilnya. Bian menggeleng lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Sepulang dari kantor ia bergegas menyusul Yuna. Nyatanya, ia tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Yuna masih mengabaikannya. Sialnya lagi, ponsel Yuna malah tertinggal di kafe. Sungguh, gadis itu masih saja ceroboh. Bian merasakan tubuh dan pikirannya lelah. Empuknya alas tidur membuat sejenak tubuhnya rileks. Rasa kantuk perlahan menghampiri. “Bian, apa lo serius suka sama Yuna?” tanya Arga tiba-tiba. Hilang sudah rasa kantuk Bian. Bian yang sejak tadi memejamkan mata akhirnya beringsut menegakkan punggung. Ditatapnya Arga yang menerawang jauh keluar jendela kamar. Entah kenapa, Arga tiba-tiba bertanya hal ini. Mung
“Kumohon Papi sama Mami mau merestui pernikahan ini. Aku tidak mau anakku lahir dan dicap anak haram. Kumohon maafkan Arga kali ini saja, Pi, Mi,” pintanya memeluk kaki maminya. Wanita ayu dengan rambut digelung itu mendongak menatap suaminya yang mondar-mandir. “Mas …,” lirihnya. “Kita akan menikahkan mereka bulan ini juga. Ingat, minta kekasihmu tinggal di rumah ini sampai bayi kalian lahir! Papi tidak ingin cucu papi lahir cacat karena kebiasaan buruknya. Jangan kira papi tidak tahu kalau wanita itu kadang menenggak alkohol bersamamu!” cecarnya lagi berlalu tanpa mau menatap putranya lagi. “Maafkan Arga, Mi,” ucap Arga mengenggelamkan wajahnya di atas kedua lutut wanita yang telah melahirkannya itu. “Mami butuh waktu untuk memaafkan kamu. Buktikan penyesalanmu ini dengan memperlakukan istri dan anakmu dengan sebaik mungkin. Mami kecewa, tapi kesalahan ini bukan hanya kamu sepihak. Harusnya kami juga lebih tegas dengan meminta kalian segera menikah,
Arga kira membuat sahabatnya kembali merenung dan memikirkan hubungannya dengan Yuna akan membuat Bian sadar. Setengah tahun yang mereka lalui bersama bukanlah hubungan kerja. Ada kedekatan yang tercipta meski sahabatnya itu seringkali memungkiri perasaanya. Yuna terkekeh lalu menoel pipi kakaknya. “Dia kayak gunung. Dari jauh kelihatan indah dan mengagumkan. Setelah Yuna mulai kenal, dia ternyata membosankan. Dia baik, tapi tidak bisa dipungkiri, Yuna merasa disayang sebatas adiknya saja, nggak lebih. Dipaksain juga nggak bakalan bahagia. Itu juga kan, yang saat ini Kak Arga lakukan?” tutur Yuna yang membuat Arga terdiam. “Aku nggak mau kalau hubungan persahabatan kalian hancur cuma gara-gara aku. Berpura-pura mencintai seseorang juga akan membuat kita hidup dengan kepalsuan. Aku mana bisa bahagia?” lanjut Yuna mengedikkan bahu. Arga mengangguk-angguk. “Ternyata kamu udah dewasa ya?” “Aku belajar sejak semakin dekat dengan Kak Bian. Mungkin sifatnya
“Ar, Yuna udah tidur?” tanya Arga yang baru saja selesai mandi. Sebagian kepenatannya sudah berkurang. Namun, masih saja ada resah. “Udah.” Usapan handuk di kepalanya terhenti. “Dia nggak nangis atau panik gitu? Ponselnya kan, hilang?” Bian melirik ke arah ponsel Yuna yang kartunya sudah ia ganti dengan kartu barunya tadi. Terdengar Arga sedang menghela napas panjang lalu menimpali, “Dia bilang ponselnya jatuh entah di mana. Udah coba ditelpon berkali-kali, tapi udah nggak aktif. Dilacak pun percuma, cuma buang tenaga. Apalagi saat dia bilang, isinya cuma masa lalu yang emang pengen dia buang.” Deg! Buang? Apakah itu termasuk dirinya? Bian sudah melihat sebagian besar isi ponsel itu. Ada banyak hal tentangnya di dalam benda pipih itu. “Gue lebih heran lagi pas dia bilang mau putusin lo. Katanya lo kayak gunung,” kekeh Arga menatap tumbler yang ditempeli catatan khusus dari adiknya. Isinya teh chamomile. “Gunung? Maksudnya apa?” “Nanti lo tanya sendiri. Intinya, lo nggak seper
“Yuna.” Sekali lagi suara Bian terdengar.Mata Yuna kembali berkaca-kaca. Berapa kali lagi ia harus mengalah? Suara derit kursi membuat Yuna bergeming dan memilih diam menatap gelas minumannya yang tersisa separuh.“Kak Bian pergi aja. Aku bisa pergi sendiri atau minta dibelikan sama sekretarisnya papi,” sahut Yuna mendadak kehilangan nafsu makan.“Hari ini aku cuti.”Jawaban Bian tidak hanya mengejutkan Yuna. Pun demikian dengan kedua orang tuanya. Cuti adalah kata keramat bagi Bian dan pagi ini, laki-laki itu mengatakannya seakan tanpa beban.“Sarapan yang banyak, biar punya tenaga. Sekalian kita jalan-jalan ke mana kamu mau,” tambah Bian yang kembali melanjutkan sarapannya.Kali ini mata Yuna berbinar. Diratama dan Ningrum tertular senyum kala melihat putrinya tersipu dan mengangguk malu-malu. Yuna kemudian pamit ke kamar untuk mengambil tasanya.“Nggak usah dandan!” teriak Arga ketika adiknya sudah menaiki tangga.“Enggak kok, aku udah cantik!” balas Yuna berteriak sampai seisi ru
Membayangkan kelak anak-anaknya hidup tanpa sosok seorang ayah membuat hatinya teriris. Perlahan suara tangis tertahan itu terdengar sesegukan. Bian semakin bingung dengan Yuna.“Sebenarnya ada apa, Yuna? Siapa yang sudah menyakiti kamu?” bisik Bian membalas pelukan Yuna dan menepuk-nepuk punggungnya.Bibir Yuna bergetar dan matanya terpejam. Pertahanannya mulai goyah. “Kamu, Kak,” batin Yuna menjerit tertahan.“Hai, Bian. Tumben kamu di sini?” sapa suara merdu yang seketika menghentikan tangis Yuna.Rasanya Yuna enggan berbalik. Apalagi melepaskan pelukan hangat yang mungkin akan menjadi pelukan yang terakhir kali. Namun, di sisi lain ia penasaran siapa gerangan yang menyapa Bian?***Bian menjentikkan jari di depan wajah Yuna yang melamun. Jejeran ponsel dengan berbagai merek dan variasi itu belum ada satu pun dilirik oleh sosok yang mengenakan dres hitam bermotif volkadot itu. Karyawan gerai hanya
Byur ....Semburan dari minuman berwarna hitam itu menodai kemeja putih Arga. Suara batuknya belum reda karena turut tersedak. Informasi yang ditangkap gendang telinganya bagai kabar baru yang menggelegar.“Lo bilang apa barusan?” tanya Arga kembali meletakkan cangkir kopinya.Matanya membelalak nyaris keluar dari kelopak matanya. Tangan kirinya menarik berlembar-lembar tisu untuk menyeka dagunya. Ia masih terlampau syok akan tutur sahabatnya.“Gue mau lo jadi wali nikah,” ulang Bian membuka matanya perlahan.Ia sudah bisa menebak reaksi Arga. Namun, tetap saja ia tidak bisa tenang mengingat pembahasan mereka kali ini bukanlah hal sepele. Pernikahan singkat dan tiba-tiba. Belum lagi harus mereka rahasiakan.“Jadi lo ngajak gue liburan ke Bogor buat nikah?! Bukan buat refreshing?!” tuntut Arga melotot.Bian mengangguk dan menjelaskan permintaan Yuna. Berkali-kali Arga menggeleng tak percaya dengan apa yang diinginkan adiknya. Laki-laki yang tadinya sibuk menghubungi pihak WO untuk acar
“Bagaimana saksi?” tanya penghulu yang duduk di samping Arya.“Sah!!!” seru empat orang yang dihadirkan Arya dan Bian untuk jadi saksi pernikahan.Mata Yuna berkaca-kaca mendengar kata yang mengukuhkan hubungan sakral antara dirinya dan Bian. Baik Arya maupun Bian sama-sama melepas jabat tangan mereka. Semua orang di ruangan itu kompak mengangkat tangan dan membaca doa. Hingga pada penghujung doa kala mereka semua berseru mengaminkan lafaz-lafaz indah itu, Yuna tak kuasa menahan air mata.Merasakan usapan lembut di puncak kepalanya, Yuna menoleh. Ditatapnya wajah tampan Bian dan sorot matanya yang teduh. Tanpa diperintah, Yuna mengangsurkan tangan kanan untuk tunduk dan mencium punggung tangan suaminya. Ya, mereka sudah sah sebagai suami istri secara agama.Begitu Yuna hendak melepas tangan Bian, pria itu justru menguatkan genggaman. Kemudian membacakan doa pernikahan di ubun-ubun istrinya. Tak lupa ditutup dengan sebuah kecupan dalam dan cukup lama.“Aneh, perasaan kemarin-kemarin si
Dari balik kaca jendela taksi online, sepasang mata tak hentinya menitikkan cairan bening. Ia melihat para pelayat yang keluar masuk melintasi gerbang rumahnya. Suasana duka menyelimuti kediaman keluarga Diratama. Keluarga itu berduka setelah kehilangan putri bungsu mereka.“Maaf kalau aku egois. Papi sama mami akan sangat malu saat tahu aku hamil di luar nikah. Kak Bian sama sekali tidak ingat. Dia pasti akan meragukan anak dalam kandunganku,” batin Yuna menekan dadanya yang sesak.Sebelum Yuna meminta supir taksi online kembali melaju, ia melihat calon kakak iparnya keluar. Tasya terus saja menggerutu. Langkahnya yang disentak diikuti oleh mamanya. Perlahan ia menurunkan sedikit kaca mobil agar bisa mendengar percakapan mereka.“Tasya! Tasya! Dengarkan mama!” bentak wanita itu sembari menarik lengan putrinya.“Apa lagi sih, Ma?” sahut Tasya yang sudah gerah dan ingin cepat kembali ke apartemennya.
Sepasang mata sembab itu menatap sendu ke arah layar televisi di sebuah klinik kecil. Bibirnya bergetar ingin mengatakan sesuatu. Namun, ia tidak sanggup mengungkapkan apa yang saat ini tengah ia alami. Rasanya masih sulit percaya ia lolos dari maut.“Kasihan sekali para penumpang pesawat itu. Katanya, tidak ada satu pun yang selamat. Banyak yang menduga, cadangan oksigen di pesawat habis. Makanya, penumpang pesawat itu tidak ada yang keluar sebelum pesawatnya jatuh,” komentar salah seorang perawat.“Huh ... keluarga korban pasti sangat terpukul. Yang kudengar, salah satu penumpangnya adalah putri mentri,” sambung yang lain.OB yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya mengepel lantai turut berkata, “Pesawatnya jatuh dan patah jadi dua karena membentur karang yang cukup besar. Jadi banyak korban yang hanyut dan tenggelam.”“Tapi masih ada juga yang masih bisa diselamatkan jasadnya karena masih duduk di bangku pesawat. Tubuhnya tidak terbawa arus karena masih terpasang sabuk pengaman,”
Menyadari Yuna pergi tanpa pamit, dua pria itu akhirnya memutuskan kembali ke Bandung. Di tangan mereka masing-masing ada surat yang diberikan Yuna. Saking paniknya, Arga langsung berlari ke mobil. Namun, Bian mencegah dan menyarankan agar mereka menyewa jasa supir untuk mengantar mereka pulang.Bagaimanapun, kepala Bian masih pusing. Ia tidak ingin mengambil resiko. Jangan sampai mereka berdua malah mengalami kecelakaan karena kurang konsentrasi dalam berkendara."Apa Yuna memasukkan sesuatu ke dalam kopi kita semalam?" tanya Arga mencoba menerka alasan mengapa mereka berdua bisa tertidur sepulas itu."Jangan tanyakan hal yang sudah pasti. Bukankah Yuna sendiri juga punya obat-obatan yang ditunjukkan pada kita? Aku sendiri tidak menduga jika dia sampai senekat ini," balas Bian yang membaca kalimat demi kalimat yang ditulis Yuna.Arga mengusap wajahnya kasar. Informasi tentang keberangkatan adiknya ke Seoul masih abu-abu. Benarkah Yuna berangkat ke sana? Bukankah adiknya sendiri minta
Malam mulai merayap dan keadaan vila tak sepenuhnya senyap. Pasangan baru itu duduk bersama menyaksikan tayangan komedi di televisi. Bian merasa sedikit aneh. Yuna lebih banyak diam, tapi lebih manja dari biasanya. Meski begitu, Bian sama sekali tidak menolak ketika Yuna bersandar manja padanya. Sesekali Bian mengecup puncak kepala Yuna dan menikmati aroma samponya yang wangi."Apa kalian memintaku tetap di sini untuk terus-menerus menyaksikan kalian bermesraan?" sindir Arga yang membawa sepiring nasi goreng.Yuna tersenyum lebar melihat sajian makan malam yang sejak tadi diidamkannya. Menu nasi goreng buatan kakaknya sendiri. Padahal, sejak beberapa waktu belakangan, Yuna tidak bisa makan nasi. Mau bagaimana lagi, aroma nasi matang selalu membuatnya mual."Suapin," ucap Yuna manja.Arga yang baru saja duduk di sofa meraih sendok untuk menyuapi adiknya. Ia tidak terkejut sama sekali kali karena sudah terbiasa menyuapi adiknya saat makan sepiring berdua. Namun, kali ini Yuna menggeleng
“Bagaimana saksi?” tanya penghulu yang duduk di samping Arya.“Sah!!!” seru empat orang yang dihadirkan Arya dan Bian untuk jadi saksi pernikahan.Mata Yuna berkaca-kaca mendengar kata yang mengukuhkan hubungan sakral antara dirinya dan Bian. Baik Arya maupun Bian sama-sama melepas jabat tangan mereka. Semua orang di ruangan itu kompak mengangkat tangan dan membaca doa. Hingga pada penghujung doa kala mereka semua berseru mengaminkan lafaz-lafaz indah itu, Yuna tak kuasa menahan air mata.Merasakan usapan lembut di puncak kepalanya, Yuna menoleh. Ditatapnya wajah tampan Bian dan sorot matanya yang teduh. Tanpa diperintah, Yuna mengangsurkan tangan kanan untuk tunduk dan mencium punggung tangan suaminya. Ya, mereka sudah sah sebagai suami istri secara agama.Begitu Yuna hendak melepas tangan Bian, pria itu justru menguatkan genggaman. Kemudian membacakan doa pernikahan di ubun-ubun istrinya. Tak lupa ditutup dengan sebuah kecupan dalam dan cukup lama.“Aneh, perasaan kemarin-kemarin si
Byur ....Semburan dari minuman berwarna hitam itu menodai kemeja putih Arga. Suara batuknya belum reda karena turut tersedak. Informasi yang ditangkap gendang telinganya bagai kabar baru yang menggelegar.“Lo bilang apa barusan?” tanya Arga kembali meletakkan cangkir kopinya.Matanya membelalak nyaris keluar dari kelopak matanya. Tangan kirinya menarik berlembar-lembar tisu untuk menyeka dagunya. Ia masih terlampau syok akan tutur sahabatnya.“Gue mau lo jadi wali nikah,” ulang Bian membuka matanya perlahan.Ia sudah bisa menebak reaksi Arga. Namun, tetap saja ia tidak bisa tenang mengingat pembahasan mereka kali ini bukanlah hal sepele. Pernikahan singkat dan tiba-tiba. Belum lagi harus mereka rahasiakan.“Jadi lo ngajak gue liburan ke Bogor buat nikah?! Bukan buat refreshing?!” tuntut Arga melotot.Bian mengangguk dan menjelaskan permintaan Yuna. Berkali-kali Arga menggeleng tak percaya dengan apa yang diinginkan adiknya. Laki-laki yang tadinya sibuk menghubungi pihak WO untuk acar
Membayangkan kelak anak-anaknya hidup tanpa sosok seorang ayah membuat hatinya teriris. Perlahan suara tangis tertahan itu terdengar sesegukan. Bian semakin bingung dengan Yuna.“Sebenarnya ada apa, Yuna? Siapa yang sudah menyakiti kamu?” bisik Bian membalas pelukan Yuna dan menepuk-nepuk punggungnya.Bibir Yuna bergetar dan matanya terpejam. Pertahanannya mulai goyah. “Kamu, Kak,” batin Yuna menjerit tertahan.“Hai, Bian. Tumben kamu di sini?” sapa suara merdu yang seketika menghentikan tangis Yuna.Rasanya Yuna enggan berbalik. Apalagi melepaskan pelukan hangat yang mungkin akan menjadi pelukan yang terakhir kali. Namun, di sisi lain ia penasaran siapa gerangan yang menyapa Bian?***Bian menjentikkan jari di depan wajah Yuna yang melamun. Jejeran ponsel dengan berbagai merek dan variasi itu belum ada satu pun dilirik oleh sosok yang mengenakan dres hitam bermotif volkadot itu. Karyawan gerai hanya
“Yuna.” Sekali lagi suara Bian terdengar.Mata Yuna kembali berkaca-kaca. Berapa kali lagi ia harus mengalah? Suara derit kursi membuat Yuna bergeming dan memilih diam menatap gelas minumannya yang tersisa separuh.“Kak Bian pergi aja. Aku bisa pergi sendiri atau minta dibelikan sama sekretarisnya papi,” sahut Yuna mendadak kehilangan nafsu makan.“Hari ini aku cuti.”Jawaban Bian tidak hanya mengejutkan Yuna. Pun demikian dengan kedua orang tuanya. Cuti adalah kata keramat bagi Bian dan pagi ini, laki-laki itu mengatakannya seakan tanpa beban.“Sarapan yang banyak, biar punya tenaga. Sekalian kita jalan-jalan ke mana kamu mau,” tambah Bian yang kembali melanjutkan sarapannya.Kali ini mata Yuna berbinar. Diratama dan Ningrum tertular senyum kala melihat putrinya tersipu dan mengangguk malu-malu. Yuna kemudian pamit ke kamar untuk mengambil tasanya.“Nggak usah dandan!” teriak Arga ketika adiknya sudah menaiki tangga.“Enggak kok, aku udah cantik!” balas Yuna berteriak sampai seisi ru
“Ar, Yuna udah tidur?” tanya Arga yang baru saja selesai mandi. Sebagian kepenatannya sudah berkurang. Namun, masih saja ada resah. “Udah.” Usapan handuk di kepalanya terhenti. “Dia nggak nangis atau panik gitu? Ponselnya kan, hilang?” Bian melirik ke arah ponsel Yuna yang kartunya sudah ia ganti dengan kartu barunya tadi. Terdengar Arga sedang menghela napas panjang lalu menimpali, “Dia bilang ponselnya jatuh entah di mana. Udah coba ditelpon berkali-kali, tapi udah nggak aktif. Dilacak pun percuma, cuma buang tenaga. Apalagi saat dia bilang, isinya cuma masa lalu yang emang pengen dia buang.” Deg! Buang? Apakah itu termasuk dirinya? Bian sudah melihat sebagian besar isi ponsel itu. Ada banyak hal tentangnya di dalam benda pipih itu. “Gue lebih heran lagi pas dia bilang mau putusin lo. Katanya lo kayak gunung,” kekeh Arga menatap tumbler yang ditempeli catatan khusus dari adiknya. Isinya teh chamomile. “Gunung? Maksudnya apa?” “Nanti lo tanya sendiri. Intinya, lo nggak seper