"Ngapain kamu tanya soal Sita?" tanya Sam melotot dan manyun pada Bulan, mereka sedang berada di kamar lama Sam sekarang seperti yang mami Dara mau.
Bulan menggedikkan kedua bahunya. "Tanya aja, Bang. Kalian deket banget tadi sampe pelukan, dia bukan mah-"
"Nggak usah ceramahin gue!" potong Sam menutup telinganya, lalu bergegas mengganti baju tanpa peduli saat itu Bulan pun kesusahan melepaskan aneka aksesoris di kepalanya, sepanjang perjalanan kembali ke rumah pun seperti itu, masih menempel di kepala Bulan. "Gue mau ke luar, lo tidur aja sendiri!"
"Bang, kalau mami sama papi tanya gimana?" Bulan berusaha menahan suaminya itu, sungguh dia harus ekstra sabar menghadapi Sam.
"Bebas lo mau ngarang apa, intinya kasih tahu mereka baik-baik!" jawab Sam menggeser tubuh Bulan sehingga dia bisa segera ke luar dan pergi ke tempat yang sudah dia janjikan bersama teman yang lain, termasuk ada Sita di sana bersama Leon.
Bulan memejamkan matanya sembari mengusap dada, baru saja satu hari dia pindah ke rumah suami, sudah seperti itu sabarnya diuji. Mau tidak mau malam itu dia harus melewatkannya seorang diri, padahal dia berharap ada kegiatan lebih baik dibandingkan saat berada di rumahnya sana, di sana Sam tidak nyaman tidur dan kerap terganggu, sedangkan di tempat ini sudah nyaman, tetapi Samnya yang enggan. Bulan tidak lantas tidur, dia mengisi malam pertamanya di suami dengan beribadah sebisanya, bahkan dia juga mengaji dengan suara lirih agar orang tua Sam tidak mendengar bila mereka tidak sengaja lewat depan kamar itu, sebisa mungkin dia tidak membuat orang lain curiga kalau Sam tidak ada di rumah bersamanya. Tetapi, kegaduhan terjadi selang dua jam berlalu, saat Bulan ingin meneruskan bacaannya, suara gaduh terdengar begitu jelas dari jendela kamarnya, gadis itu pun bergegas memeriksa apa yang sebenarnya terjadi.
"Bang!" pekiknya tidak percaya, Sam bergelantungan dan sedang berusaha naik. "Abang ngapain? Katanya mau pergi, kok-"
"Ngomong entar aja, bantuin gue, buruan!" lagi-lagi Sam tidak memberikan kesempatan pada Bulan untuk berbicara, dengan sisa tenaga yang dia punya, dia pun berhasil naik setelah dibantu tarik oleh Bulan dari atas, sungguh Bulan tidak tahu kalau sudah ada tali seperti itu di jendela kamar Sam. "Gila, gue hampir aja ketangkep anak buah si pemimpin upacara!"
Kening Bulan terlipat. "Pemimpin upacara siapa? Abang lagi ngomongin siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan mertua kesayangan lo itu, hah?! Gue udah enak-enakan dansa sambil minum, ada aja yang ikutin, nyebelin! Ambilin baju ganti gue!"
Bulan patuh, sebenarnya dia ingin bertanya lebih banyak dan mungkin bisa tertawa bersama dengan suaminya itu, tetapi melihat betapa kesalnya wajah Sam sejak berhasil naik, Bulan mengurungkannya. Aroma parfum wanita dan alkohol pun melekat di baju suaminya, Bulan hanya bisa menggelengkan kepala lemah, tidak tahu apa yang harus dia lakukan kalau mertuanya tahu masalah malam ini, sedangkan dia harus berpura-pura tidak tahu. Sabar, Bulan meminta dirinya sabar dulu, tidak mungkin dia berulah dan tegas pada sang suami di hari pertamanya pindah, tetapi yang pasti Bulan akan memberikan waktu untuk melihat sejauh apa suaminya berulah, kalau tidak bisa dia toleransi lagi dengan patuhnya, Bulan akan bertindak, biar saja.
"Ini, Bang. Terus, ini Abang mau ke luar lagi atau gimana?"
"Yaelah, lo kira gue mau mati cepet apa, hah? Gue mau rebahan aja, minggir!" jawabnya menggeser posisi Bulan.
Bulan mengatupkan bibirnya, gadis itu pun memastikan jendela sudah tertutup dan merapihkan perlengkapan salatnya tadi, lalu mengambil posisi di samping Sam. Tidak ada lagi kasur atau tikar di kamar itu, Bulan hanya meletakan guling di tengah karena dia tahu Sam tidak ingin berdekatan dengan dirinya, bahkan dia masih memakai jilbabnya, khawatir Sam berulah dan dia harus ke luar kamar. Awalnya, mereka tampak sangat tenang, Sam sibuk dengan ponselnya dan berbaring membelakangi Bulan, sedangkan Bulan terlentang memeluk bantal kecil kesayangannya yang sengaja dibawa.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama, sebab Sam yang hendak mengambil gulingnya tanpa sengaja menyentuh tangan dan pinggang Bulan, keduanya pun melongo dan segera duduk saling berhadapan.
"Ngapain lo di sini?" tanya Sam meninggikan nada bicaranya.
"Ti-tidur, Bang," jawab Bulan terkejut, dia sendiri tadi hampir saja pergi ke alam mimpi.
"Ck! Enak aja lo mau tidur seranjang sama gue, sana di bawah aja pake tuh karpet bulu!" kata Sam mengusir, sebelah kakinya mendorong kecil kaki Bulan. "Sana! Siapa juga yang mau satu kasur sama lo, nggak selera gue!"
Bulan menggigit bibir bawahnya, kemudian perlahan pindah ke bawah yang hanya beralaskan karpet bulu, itu pun tidak terlalu lebar karena memang bukan tempat untuk tidur, itu hanya untuk meletakkan kaki saat duduk bersantai sebentar sebelum tidur, kalau dia bergerak sedikit sudah menyentuh lantai. Dingin, itu yang Bulan rasakan, suhu AC kamar Sam sangatlah rendah, sedangkan dia tidur di bawah tanpa ada selimut sama sekali, Bulan mendekap tubuhnya yang sedikit tertolong karena dia memakai piyama panjang dan jilbab. Perlahan gadis itu mulai tidak tahan, memanggil Sam pun percuma, Bulan beranjak mengambil kaos kaki dan tangan di tasnya, lalu berbaring lagi, tetapi itu tidak cukup membuatnya merasa lebih baik. Disisa waktu istirahat yang ada, Bulan memutuskan untuk kembali melanjutkan ibadahnya saja, lebih baik dia salat dan mengaji hingga subuh tiba daripada tersiksa tidur di lantai yang dingin hingga bibirnya memucat juga badannya terasa demam.
***
"Mana tuh bocah?" gumam Sam sembari mengucek matanya, pagi-pagi dia bangun sudah tidak ada, bahkan kamarnya sudah wangi lagi bersih, kecuali ranjang masih dia tiduri. "Weh, cah desa!"
Tidak ada jawaban sampai Sam beranjak mencari ke toilet, barang kali Bulan terjebak di sana karena tidak tahu fasilitas modern, tetapi tidak ada, Bulan tidak ada di kamarnya. Sam bergegas ke luar tanpa mencuci wajah lebih dulu, bahkan rambutnya masih berantakan. Langkahnya yang lebar dan tergesa-gesa membuatnya hampir saja menabrak tiang rumah, gawat kalau sampai sikapnya semalam diadukan Bulan pada kedua orang tuanya, yang ada dia akan mati hari itu.
Namun, dugaannya salah, Bulan sedang sibuk di dapur bersama sang ibu.
"Mami," panggil Sam dengan nafas tersengal.
Mami Dara dan Bulan sama-sama menoleh, kemudian mereka tersenyum pada Sam, seperti tidak ada dendam dan masalah sama sekali, Bulan seceria itu menemani ibunya memasak meskipun tahu sendiri dalam seminggu berapa kali ibunya itu akan ke dapur.
"Kenapa? Kamu ngira kalau istrimu yang pinter masak ini ilang?" tuduh mami Dara mendengus geli melihat wajah panik Sam.
"Itu, aku-"
"Yaudah, kalau masih pengen dipelukin, Bulan ke kamar aja sama Sam, biar Mami yang urus dapur. Sana!" mami Dara mendorong Bulan sampai ke depan Sam, keduanya pun semakin terjebak di sana, sebab menghindar atau tidak, akan tetap salah. "Udah sana, jangan malu-malu kalau mau tambah ronde!"
Hah!
Bulan memejamkan matanya, tidak dia sangka akan mempunyai ibu mertua seperti mami Dara.
"Ayo, ikut gue!" titah Sam berbisik.
"Iya, Bang?" Bulan mengerutkan keningnya tipis, mereka sudah berada di kamar dengan pintu terkunci rapat. "Abang mau sesuatu?" Sam memejamkan matanya singkat, pusing sekali menghadapi wanita satu itu, selain penampilannya yang membuat sakit mata, ternyata juga banyak bicara dan pandai sekali memberikan jawaban yang sialnya terkadang Sam banyak kalahnya. "Lo tau kalau harus jaga nama baik gue, kan? Bisa-bisanya, lo ke luar kamar nggak bilang-bilang, hah? Kalau mami tanya gue di mana, gimana? Lo jawab apa? Gue habis kabur, terus capek, akhirnya molor bangun gitu?" tuduh lelaki itu sambil menunjuk wajah Bulan. "Abang tenang aja, aku nggak jawab gitu kok. Maaf ya, Bang, aku nggak pamit. Tadi, dingin aja di sini dan kalau aku udah coba bangunin kamu, tapi rada susah. Maafin ya, Bang?" Alih-alih ikut meledak seperti Sam, Bulan justru mengambil bawahnya sehingga amarah lelaki itu hilang. "Yaudah, lo harus tau itu pokoknya. Beda kalau nanti udah tinggal di rumah sendiri, lo bebas mau pam
“Aku nggak salah denger, Mam?” Sam merotasikan kedua bola matanya. Drama apa ini? Laki-laki tampan dengan kharisma yang mampu membuat para gadis di luar sana mabuk kepayang itu mengekor pada ibunya, baru saja dia pulang setelah hampir satu minggu berada di luar kota untuk membantu pekerjaan sang ayah, sekarang telinganya berdenging mendengar kabar aneh. “Mami yakin, cowok se ganteng aku itu nggak bisa cari cewek sampe harus dijodohin?” tanyanya lagi. “Mami ...” Wanita itu diam saja, hanya menyengir kuda melihat kehebohan putranya yang baru saja kembali dan harus setuju dengan rencana perjodohan yang dibuat. Sam sudah pantas untuk menikah, sampai detik ini sekalipun Sam selalu mengatakan banyak gadis yang rela antri untuk bersamanya, tidak ada satu pun yang mendapatkan persetujuan. Penampilan mereka yang terbuka dan kehidupan mereka yang cenderung bebas lagi gila kerja, alasan-alasan itu yang membuat Sam gagal membawa para gadis itu ke jenjang lebih serius. Lagipula, Sam mencari p
Kecewa, patah, hancur, tidak menyangka dan semua rasa yang buruk itu berkumpul menjadi satu, membebani Sam. Jadi, selama ini dia dan Leon mencintai gadis yang sama diwaktu yang sama juga, sedang gadis yang mereka cintai itu jelas tidak akan bisa menjadi milik bersama. “Bego!” umpatnya. Belum selesai semua rasa buruk itu memakan dan menyiksa batinnya, Leon dan Sita berencana mengajak Sam untuk berkencan bersama. Hal gila yang muncul karena pengakuan gila Sam sendiri, dia mengaku sudah memiliki pasangan dan tidak mungkin seorang laki-laki tampan sepertinya hidup seorang diri dengan hati yang sepi. Sial! Sekarang, di mana dia harus mencari pasangan? “Bego, lo sumpah bego, Sam!” umpatnya lagi, kali ini dia benar-benar merasa bodoh. Hatinya masih berdarah-darah melihat Sita mencintai Leon, kotak berisi cincin emas dengan ukuran jari Sita itu pun sekarang harus dia buang sia-sia, hebatnya lagi dia masih mempunyai gengsi yang besar hingga menjerumuskannya pada puncak masalah. Ya, dia
“Waduh, anak ganteng Mami udah siap aja. Gitu loh, semangat mau ketemu sama calon istri!” kata mami Dara menggoda Sam, menyenggol-nyenggol pinggul putranya. “Mami ...” geram Sam mengajukan protes. Wanita itu justru tertawa, rasanya tidak sabar bertemu dengan calon menantu dan keluarga calon besan. Seharusnya, ini sudah sejak lama, hanya saja Hardja memberikan kesempatan pada Bulan untuk menyelesaikan kuliahnya lebih dulu, gadis itu sangat berbakat di balik penampilan sederhananya. Setelah makan bersama, tiga orang itu pergi dengan dibantu supir, mami Dara melarang kedua jagoannya mengemudi karena mereka butuh tenaga penuh saat prosesi perkenalan. Jangan sampai sakit pinggangnya kambuh, belum lagi nanti Sam beralasan mengantuk saat bertemu dengan Bulan. Sesampainya di depan kampung Bulan, mobil tidak bisa masuk karena gangnya sempit, mau tidak mau mereka parkir di lapangan dan berjalan kaki sekitar lima menit untuk sampai ke rumah gadis itu. “Gila ya, gini gimana coba mau ngapeln
Bulan memperhatikan lagi kondisi kamarnya, bukan tentang malam pengantin yang dia pikirkan, tapi lebih pada kenyamanan yang bisa diberikan pada laki-laki sombong itu. Dari mulai kasur sampai dengan pendingin ruangan, sudah dia bersihkan sampai tidak ada satu lapis debu pun. “Nduk, lagi apa?” tanya Iwan berjalan pelan ke kamar putrinya, berpegangan pada sisi pintu. “Pak ... kalau butuh apa-apa tinggal teriak aja, jangan maksa ke sini!” “Kamu ini, Bapak ke sini cuman pengen tahu kamu ini seharian sibuk apa? Benahin kamar kamu?” Iwan mengedarkan pandangannya, cat tembok kamar ini juga sudah diganti. “Kalian cuman semalam di sini, tapi Bapak seneng kamu begitu antusias nyambut suamimu, Nduk!” Bulan jadi malu sendiri, bukan itu masalahnya, dia hanya tidak mau ada keributan saat Sam tidur di kamar ini meskipun dia sendiri sudah merasa tidak akan baik-baik saja. Tanpa Iwan tahu, dia telah menyiapkan kasur busa lipat di bawah kolong ranjang untuk persiapan, siapa tahu laki-laki itu enggan
Plak! Ini tamparan kesekian kalinya untuk Sam karena telah melewati batas, besok dia akan menikah dan memulai kehidupan baru, tapi apa yang terjadi malam ini tidak mencerminkan kebaikan akan masa depan yang Hardja bayangkan. Dia salah menilai putranya sendiri, disaat Bulan dan orang di rumah ini mengadakan acara kirim doa bersama, yang menjadi calon pengantin justru asik mabuk. “Pi, udah!” kata mami Dara menarik suaminya menjauh. “Kamu belain anak ini?” “Bukan, Papi jangan salah paham dong! Mami mikir kesehatan Papi, kita harus istirahat biar besok kondisi kita nggak lemah. Urusan Sam, nanti aja!” jawab mami Dara tidak tahu lagi, yang dia pikirkan hanya suaminya, bisa saja besok masuk angin atau sakit kepala, mereka akan sakit sendiri. Mau tidak mau Hardja meninggalkan Sam sendiri di kamarnya bersama pelayan laki-laki di rumah ini, dia yang akan membantu menyadarkan Sam dan persiapan besok pagi. Sementara Sam masih setengah sadar, mulai mengeluh dan menggosok pipinya yang sudah
Sam menganga melihat kamar yang akan dia tempati nanti malam, di bagian atas tidak ada plafonnya, langsung terlihat barisan kayu dan genteng, tampak celah-celan di mana menjadi peluang bagi tikus dan hewan lainnya masuk meskipun belum ada tanda-tandanya. Dan satu lagi, tembok pembatas antara kamar Bulan dan Iwan itu tidak utuh sampai atas, bila dia bersuara sedikit keras saja, Iwan bisa mendengar mereka, begitu sebaliknya. Itu, katanya Bulan baru saja memasang pendingin ruangan, benar adanya. Tapi, bukan untuk kamar Bulan saja, melainkan dibagi dengan kamar Iwan karena kondisi tembok pembatas yang tidak utuh. “Gila, gue naik kursi aja udah kelihatan tuh orang lagi ngapain di sebelah. Ini niat apa nggak bikin kamar?” gerutu Sam berkacak pinggang, dia benar-benar memeriksa tinggi tembok itu. Dari satu sudut ke sudut lainnya, sampai rambutnya berubah putih juga dia tidak akan menemukan kamar mandi di kamar Bulan. Itu artinya dia harus ke luar kamar bila ingin buang air atau mandi, lal
“LAN!” Iwan berteriak di depan kamar. Sekarang, bukan hanya Bulan di kamar itu, tapi ada menantunya. Tidak mungkin Iwan main masuk, kalau yang di dalam ternyata sedang bermain maling-malingan, dia akan malu. Tapi, sejauh ini memang rumah mereka aman dari maling, baru kali ini Iwan mendengar Bulan berteriak seperti itu. Sementara itu, Sam membekap mulut Bulan dengan kedua tangannya, meminta gadis itu diam. Bulan pun mengangguk, bodohnya dia bisa berteriak seperti itu, pasti Iwan sangat cemas. “Eh, Nak Sam ... Bapak ke sini cuman itu loh-“ astaga, mana bisa Iwan melanjutkannya, apalagi Sam ke luar dengan kancing baju terbuka sebagian. “-Sam, tadi Bulan teriak, itu kenapa?” sambungnya. Sam tersenyum sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal, malu, tapi biarlah. “Maaf ya, Pak, kalau tadi Bulan teriak dan bangunin Bapak. Nggak apa, kami cuman lagi main aja, Pak,” jawab Sam malu-malu, lebih tepatnya dia sedang bergaya malu-malu saja agar Iwan tidak curiga. Iwan melorotkan kedua ba
"Iya, Bang?" Bulan mengerutkan keningnya tipis, mereka sudah berada di kamar dengan pintu terkunci rapat. "Abang mau sesuatu?" Sam memejamkan matanya singkat, pusing sekali menghadapi wanita satu itu, selain penampilannya yang membuat sakit mata, ternyata juga banyak bicara dan pandai sekali memberikan jawaban yang sialnya terkadang Sam banyak kalahnya. "Lo tau kalau harus jaga nama baik gue, kan? Bisa-bisanya, lo ke luar kamar nggak bilang-bilang, hah? Kalau mami tanya gue di mana, gimana? Lo jawab apa? Gue habis kabur, terus capek, akhirnya molor bangun gitu?" tuduh lelaki itu sambil menunjuk wajah Bulan. "Abang tenang aja, aku nggak jawab gitu kok. Maaf ya, Bang, aku nggak pamit. Tadi, dingin aja di sini dan kalau aku udah coba bangunin kamu, tapi rada susah. Maafin ya, Bang?" Alih-alih ikut meledak seperti Sam, Bulan justru mengambil bawahnya sehingga amarah lelaki itu hilang. "Yaudah, lo harus tau itu pokoknya. Beda kalau nanti udah tinggal di rumah sendiri, lo bebas mau pam
"Ngapain kamu tanya soal Sita?" tanya Sam melotot dan manyun pada Bulan, mereka sedang berada di kamar lama Sam sekarang seperti yang mami Dara mau. Bulan menggedikkan kedua bahunya. "Tanya aja, Bang. Kalian deket banget tadi sampe pelukan, dia bukan mah-" "Nggak usah ceramahin gue!" potong Sam menutup telinganya, lalu bergegas mengganti baju tanpa peduli saat itu Bulan pun kesusahan melepaskan aneka aksesoris di kepalanya, sepanjang perjalanan kembali ke rumah pun seperti itu, masih menempel di kepala Bulan. "Gue mau ke luar, lo tidur aja sendiri!" "Bang, kalau mami sama papi tanya gimana?" Bulan berusaha menahan suaminya itu, sungguh dia harus ekstra sabar menghadapi Sam. "Bebas lo mau ngarang apa, intinya kasih tahu mereka baik-baik!" jawab Sam menggeser tubuh Bulan sehingga dia bisa segera ke luar dan pergi ke tempat yang sudah dia janjikan bersama teman yang lain, termasuk ada Sita di sana bersama Leon. Bulan memejamkan matanya sembari mengusap dada, baru saja satu hari dia
Berat meninggalkan Iwan sendirian di rumah ini meskipun ada pesuruh dari kedua mertuanya yang senantiasa menjaga nanti, tetap saja Bulan merasa akan jauh lebih baik bila Iwan ikut bersamanya. Namun, Iwan memutuskan untuk tidak ikut, acara resepsi yang akan digelar di kota besar itu pun tanpa kedatangan Iwan karena kondisinya yang tak memungkinkan. Dan siang ini, Sam memboyong Bulan ke kota setelah sempat berziarah ke makan ibu kandung Bulan lebih dulu. “Mas-“ Sam menekan jari telunjuknya di depan mulut Bulan. “Lo bisa nggak sih kalau manggil gue jangan begitu?!” “Em, emangnya aku harus manggil kamu apa?” balas Bulan bingung. “Di tempat gue, nggak ada yang dipanggil ‘Mas’, dikiranya nanti aku yang jagain rumah atau kang kebun. Panggil yang lain!” titahnya kesal. Bulan berpikir sejenak, dia bingung karena setiap panggilan yang dia utarakan, tidak cocok, Sam menolaknya. Laki-laki itu sungguh membuat kesabarannya harus dipertebal lagi, baru hitungan jam menikah saja rasanya sudah am
“LAN!” Iwan berteriak di depan kamar. Sekarang, bukan hanya Bulan di kamar itu, tapi ada menantunya. Tidak mungkin Iwan main masuk, kalau yang di dalam ternyata sedang bermain maling-malingan, dia akan malu. Tapi, sejauh ini memang rumah mereka aman dari maling, baru kali ini Iwan mendengar Bulan berteriak seperti itu. Sementara itu, Sam membekap mulut Bulan dengan kedua tangannya, meminta gadis itu diam. Bulan pun mengangguk, bodohnya dia bisa berteriak seperti itu, pasti Iwan sangat cemas. “Eh, Nak Sam ... Bapak ke sini cuman itu loh-“ astaga, mana bisa Iwan melanjutkannya, apalagi Sam ke luar dengan kancing baju terbuka sebagian. “-Sam, tadi Bulan teriak, itu kenapa?” sambungnya. Sam tersenyum sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal, malu, tapi biarlah. “Maaf ya, Pak, kalau tadi Bulan teriak dan bangunin Bapak. Nggak apa, kami cuman lagi main aja, Pak,” jawab Sam malu-malu, lebih tepatnya dia sedang bergaya malu-malu saja agar Iwan tidak curiga. Iwan melorotkan kedua ba
Sam menganga melihat kamar yang akan dia tempati nanti malam, di bagian atas tidak ada plafonnya, langsung terlihat barisan kayu dan genteng, tampak celah-celan di mana menjadi peluang bagi tikus dan hewan lainnya masuk meskipun belum ada tanda-tandanya. Dan satu lagi, tembok pembatas antara kamar Bulan dan Iwan itu tidak utuh sampai atas, bila dia bersuara sedikit keras saja, Iwan bisa mendengar mereka, begitu sebaliknya. Itu, katanya Bulan baru saja memasang pendingin ruangan, benar adanya. Tapi, bukan untuk kamar Bulan saja, melainkan dibagi dengan kamar Iwan karena kondisi tembok pembatas yang tidak utuh. “Gila, gue naik kursi aja udah kelihatan tuh orang lagi ngapain di sebelah. Ini niat apa nggak bikin kamar?” gerutu Sam berkacak pinggang, dia benar-benar memeriksa tinggi tembok itu. Dari satu sudut ke sudut lainnya, sampai rambutnya berubah putih juga dia tidak akan menemukan kamar mandi di kamar Bulan. Itu artinya dia harus ke luar kamar bila ingin buang air atau mandi, lal
Plak! Ini tamparan kesekian kalinya untuk Sam karena telah melewati batas, besok dia akan menikah dan memulai kehidupan baru, tapi apa yang terjadi malam ini tidak mencerminkan kebaikan akan masa depan yang Hardja bayangkan. Dia salah menilai putranya sendiri, disaat Bulan dan orang di rumah ini mengadakan acara kirim doa bersama, yang menjadi calon pengantin justru asik mabuk. “Pi, udah!” kata mami Dara menarik suaminya menjauh. “Kamu belain anak ini?” “Bukan, Papi jangan salah paham dong! Mami mikir kesehatan Papi, kita harus istirahat biar besok kondisi kita nggak lemah. Urusan Sam, nanti aja!” jawab mami Dara tidak tahu lagi, yang dia pikirkan hanya suaminya, bisa saja besok masuk angin atau sakit kepala, mereka akan sakit sendiri. Mau tidak mau Hardja meninggalkan Sam sendiri di kamarnya bersama pelayan laki-laki di rumah ini, dia yang akan membantu menyadarkan Sam dan persiapan besok pagi. Sementara Sam masih setengah sadar, mulai mengeluh dan menggosok pipinya yang sudah
Bulan memperhatikan lagi kondisi kamarnya, bukan tentang malam pengantin yang dia pikirkan, tapi lebih pada kenyamanan yang bisa diberikan pada laki-laki sombong itu. Dari mulai kasur sampai dengan pendingin ruangan, sudah dia bersihkan sampai tidak ada satu lapis debu pun. “Nduk, lagi apa?” tanya Iwan berjalan pelan ke kamar putrinya, berpegangan pada sisi pintu. “Pak ... kalau butuh apa-apa tinggal teriak aja, jangan maksa ke sini!” “Kamu ini, Bapak ke sini cuman pengen tahu kamu ini seharian sibuk apa? Benahin kamar kamu?” Iwan mengedarkan pandangannya, cat tembok kamar ini juga sudah diganti. “Kalian cuman semalam di sini, tapi Bapak seneng kamu begitu antusias nyambut suamimu, Nduk!” Bulan jadi malu sendiri, bukan itu masalahnya, dia hanya tidak mau ada keributan saat Sam tidur di kamar ini meskipun dia sendiri sudah merasa tidak akan baik-baik saja. Tanpa Iwan tahu, dia telah menyiapkan kasur busa lipat di bawah kolong ranjang untuk persiapan, siapa tahu laki-laki itu enggan
“Waduh, anak ganteng Mami udah siap aja. Gitu loh, semangat mau ketemu sama calon istri!” kata mami Dara menggoda Sam, menyenggol-nyenggol pinggul putranya. “Mami ...” geram Sam mengajukan protes. Wanita itu justru tertawa, rasanya tidak sabar bertemu dengan calon menantu dan keluarga calon besan. Seharusnya, ini sudah sejak lama, hanya saja Hardja memberikan kesempatan pada Bulan untuk menyelesaikan kuliahnya lebih dulu, gadis itu sangat berbakat di balik penampilan sederhananya. Setelah makan bersama, tiga orang itu pergi dengan dibantu supir, mami Dara melarang kedua jagoannya mengemudi karena mereka butuh tenaga penuh saat prosesi perkenalan. Jangan sampai sakit pinggangnya kambuh, belum lagi nanti Sam beralasan mengantuk saat bertemu dengan Bulan. Sesampainya di depan kampung Bulan, mobil tidak bisa masuk karena gangnya sempit, mau tidak mau mereka parkir di lapangan dan berjalan kaki sekitar lima menit untuk sampai ke rumah gadis itu. “Gila ya, gini gimana coba mau ngapeln
Kecewa, patah, hancur, tidak menyangka dan semua rasa yang buruk itu berkumpul menjadi satu, membebani Sam. Jadi, selama ini dia dan Leon mencintai gadis yang sama diwaktu yang sama juga, sedang gadis yang mereka cintai itu jelas tidak akan bisa menjadi milik bersama. “Bego!” umpatnya. Belum selesai semua rasa buruk itu memakan dan menyiksa batinnya, Leon dan Sita berencana mengajak Sam untuk berkencan bersama. Hal gila yang muncul karena pengakuan gila Sam sendiri, dia mengaku sudah memiliki pasangan dan tidak mungkin seorang laki-laki tampan sepertinya hidup seorang diri dengan hati yang sepi. Sial! Sekarang, di mana dia harus mencari pasangan? “Bego, lo sumpah bego, Sam!” umpatnya lagi, kali ini dia benar-benar merasa bodoh. Hatinya masih berdarah-darah melihat Sita mencintai Leon, kotak berisi cincin emas dengan ukuran jari Sita itu pun sekarang harus dia buang sia-sia, hebatnya lagi dia masih mempunyai gengsi yang besar hingga menjerumuskannya pada puncak masalah. Ya, dia