Plak!
Ini tamparan kesekian kalinya untuk Sam karena telah melewati batas, besok dia akan menikah dan memulai kehidupan baru, tapi apa yang terjadi malam ini tidak mencerminkan kebaikan akan masa depan yang Hardja bayangkan.
Dia salah menilai putranya sendiri, disaat Bulan dan orang di rumah ini mengadakan acara kirim doa bersama, yang menjadi calon pengantin justru asik mabuk.
“Pi, udah!” kata mami Dara menarik suaminya menjauh.
“Kamu belain anak ini?”
“Bukan, Papi jangan salah paham dong! Mami mikir kesehatan Papi, kita harus istirahat biar besok kondisi kita nggak lemah. Urusan Sam, nanti aja!” jawab mami Dara tidak tahu lagi, yang dia pikirkan hanya suaminya, bisa saja besok masuk angin atau sakit kepala, mereka akan sakit sendiri.
Mau tidak mau Hardja meninggalkan Sam sendiri di kamarnya bersama pelayan laki-laki di rumah ini, dia yang akan membantu menyadarkan Sam dan persiapan besok pagi. Sementara Sam masih setengah sadar, mulai mengeluh dan menggosok pipinya yang sudah memerah, belum lagi kepala belakangnya, cukup keras tadi Hardja membenturkan Sam agar cepat sadar.
Samar-samar Sam seperti mendengar isakan tangis seorang gadis yang tadi bersamanya, tidak lain itu Sita. Sebelum Sita pergi, Sam sempat mendengar gadis itu terisak membelakanginya, lalu saat mobilnya berjalan, Sita sempat melihat ke arahnya dan di sana Sam bisa melihat Sita menitihkan air mata.
Kenapa?
Sam ingin menghubungi temannya itu, akan tetapi rasa sakit di kepalanya semakin menjadi dan rasanya dia tidak bisa berdiri selain pasrah pada maid yang membantunya.
“Tuan minum air putih dan obat ini!” katanya memberikan Sam obat, lalu membaringkan Sam dan menutupi tubuhnya dengan selimut. “Selamat istirahat, Tuan. Saya akan datang membantu Anda besok pagi lagi, selamat malam,” ucapnya pergi.
Sam tidak menjawab, kepalanya sangat sakit, semua yang dia lihat seakan berputar dan sekarang dia hanya mampu memejamkan matanya perlahan.
Keesokan harinya, tidak heran bila dia melihat wajah kedua orang tuanya terlihat marah saat dia ke luar kamar, pasti semalam dia telah ketahuan mabuk dan pulang dengan kondisi mengenaskan. Sam cengar-cengir menuruni anak tangga, berjalan mendekati mami Dara sambil manyun-manyun merayu ibunya itu.
Namun, mami Dara menepis tangannya, menatap tajam Sam dengan memberikan isyarat agar putranya itu segera minta maaf pada Hardja, atau mereka akan menjadi batu selama perjalanan.
“Pi-“
“Memalukan!” sambar Hardja melotot pada Sam, dia pun menunjuk putranya itu. “Awas kamu, setelah menikah masih seperti orang tidak berpendidikan!”
“Pi, kemarin itu cuman pesta bujang biasa, lagian Papi dulu masa nggak gitu sebelum nikah sama Mami, hem? Kan, sama aja, aku cuman-“ Sam bersembunyi ke balik punggung ibunya, tangan Hardja sudah menggantung di udara ingin memukulnya.
Kalau tidak dihentikan, dua orang ini akan membuat acara hari ini batal. Mami Dara memaksa keduanya berdamai, sebelum mereka pergi dan pernikahan berlangsung, keduanya harus berbaikan dan saling memaafkan. Sam pun berjanji seadanya bahwa dia tidak akan memalukan seperti semalam.
Sebelum pergi, Sam sempat memeriksa ponselnya, tidak ada pesan dari Sita maupun Leon. Pikiran Sam mulai melayang ke kejadian semalam, disaat Leon dan Sita berciuman, laki-laki itu berdecih.
Ternyata, sudah sejauh itu hubungan keduanya, tapi tetap Sam harap Leon tidak mengajak Sita ke batas yang tidak seharusnya. Dan dia percaya, Sita bukan gadis yang mudah diajak melewati batas.
“Sam, ini cincin pernikahan kalian. Nanti, kamu pasangkan ke Bulan, terus jangan lupa kecup kening!” bisik mami Dara genit.
Sam menarik sedikit sebelah sudut bibirnya, dia saja tidak tahu kapan cincin pernikahan ini dibeli, tiba-tiba saja sudah ada dan tinggal dia berikan. Pernikahan yang akan dia lewati ini benar-benar konyol, anggap saja dia hanya berkompromi dengan kehidupan kedua orang tuanya dan menjaga harga diri.
Sesampainya di sana, musik sambutan yang telah disiapkan oleh pemuda kampung pun diperdengarkan, mami Dara dan Hardja terlihat sangat senang, berbeda dengan Sam. Berulang kali dia berusaha menutup telinganya, bagi Sam ini sangat buruk lagi menyakiti telinganya, terlebih lagi ini disebutnya kampungan, tidak berkelas sama sekali.
“Cantiknya, Pi!” kata mami Dara memuji Bulan yang sudah siap di ruang tamu, gadis itu berdiri dan bersalaman dengan keduanya. “Mami nggak salah milih kamu, Lan. Sehat-sehat ya, Nak!”
“Makasi, Te-“
“Mami, udah jadi mami kamu, hayo!” potong mami Dara protes.
Bulan terkekeh, lalu mengubah panggilannya. “Makasi, Mi. Ayo, masuk ... sebentar lagi, pak penghulunya datang!”
Mereka pun mengangguk, Hardja hanya membawa saksi dan tiga orang kerabatnya saja, untuk keluarga besar akan hadir di acara resepsi supaya di sini Bulan tidak terlalu direpotkan dengan banyaknya tamu meskipun juga bisa diatur semuanya.
Sam melihat Bulan dari atas sampai bawah, lagi-lagi penampilan Bulan dengan baju pengantin serba tertutup itu mengusik matanya, dia tidak suka. Selama ini, pernikahan yang Sam bayangkan, dia akan berdiri dengan gadis yang memakai baju pengantin sedikit terbuka lagi seksi, belahan indahnya yang menyembul itu terlihat, bukan seperti kue lemper yang dibungkus ini. Dia tidak tersenyum sama sekali pada Bulan, melewati gadis itu seakan berlawanan, bukan dua insan yang akan menyatu.
“Kenapa, Nduk?” tanya Iwan begitu Bulan kembali duduk di sampingnya.
Bulan tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa, Pak. Semoga lancar ya, Pak, hari ini ...” ucapnya menjawab.
“Aamiin, itu pak penghulunya datang. Bismillah!”
***
Keberuntungan mempunyai otak cerdas dengan daya ingat tinggi, Sam kembali menyombongkan dirinya sebelum dan setelah mengucapkan kalimat sakral yang mampu mengubah statusnya dalam sekejap.
Dia memang mabuk semalam dan kepalanya sangat sakit, tapi dia sudah menghafalkan dengan cepat siapa nama lengkap Bulan dan Iwan sehingga acara hari ini selesai dengan cepat. Bulan telah sah menjadi istrinya, gadis sederhana dan tidak menarik itu telah menikah dengan dirinya yang luar biasa tampan lagi sukses. Cincin yang tadi mami Dara berikan, Sam pasangkan ke jari manis kanan Bulan, dia juga patuh saat mami Dara memintanya mencium kening Bulan lagi mengulurkan tangannya agar Bulan mencium punggung tangan yang penuh dosa itu.
“Sam, gendong Bulan deh! Mami mau punya foto kamu kayak Mami sama Papi dulu, digendong gitu, ayo!” titah mami Dara dengan semua kehebohannya.
Sam tergelak. “Mami, nggak-“
“Jangan nolak, Mami, ayo!” paksa mami Dara, mau tidak mau Sam pun patuh menggendong Bulan untuk mengambil gambar sejenak.
Keduanya bertatapan, Bulan tampak malu-malu, sedangkan Sam memicingkan matanya dan sedikit menaikkan sebelah sudut bibirnya meremehkan Bulan.
“Lo bukan tipe gue!” bisik Sam sembari menurunkan Bulan, mengibaskan kedua tangannya seolah Bulan itu debu. “Sanaan lo, jangan deket-deket!”
Sam menganga melihat kamar yang akan dia tempati nanti malam, di bagian atas tidak ada plafonnya, langsung terlihat barisan kayu dan genteng, tampak celah-celan di mana menjadi peluang bagi tikus dan hewan lainnya masuk meskipun belum ada tanda-tandanya. Dan satu lagi, tembok pembatas antara kamar Bulan dan Iwan itu tidak utuh sampai atas, bila dia bersuara sedikit keras saja, Iwan bisa mendengar mereka, begitu sebaliknya. Itu, katanya Bulan baru saja memasang pendingin ruangan, benar adanya. Tapi, bukan untuk kamar Bulan saja, melainkan dibagi dengan kamar Iwan karena kondisi tembok pembatas yang tidak utuh. “Gila, gue naik kursi aja udah kelihatan tuh orang lagi ngapain di sebelah. Ini niat apa nggak bikin kamar?” gerutu Sam berkacak pinggang, dia benar-benar memeriksa tinggi tembok itu. Dari satu sudut ke sudut lainnya, sampai rambutnya berubah putih juga dia tidak akan menemukan kamar mandi di kamar Bulan. Itu artinya dia harus ke luar kamar bila ingin buang air atau mandi, lal
“LAN!” Iwan berteriak di depan kamar. Sekarang, bukan hanya Bulan di kamar itu, tapi ada menantunya. Tidak mungkin Iwan main masuk, kalau yang di dalam ternyata sedang bermain maling-malingan, dia akan malu. Tapi, sejauh ini memang rumah mereka aman dari maling, baru kali ini Iwan mendengar Bulan berteriak seperti itu. Sementara itu, Sam membekap mulut Bulan dengan kedua tangannya, meminta gadis itu diam. Bulan pun mengangguk, bodohnya dia bisa berteriak seperti itu, pasti Iwan sangat cemas. “Eh, Nak Sam ... Bapak ke sini cuman itu loh-“ astaga, mana bisa Iwan melanjutkannya, apalagi Sam ke luar dengan kancing baju terbuka sebagian. “-Sam, tadi Bulan teriak, itu kenapa?” sambungnya. Sam tersenyum sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal, malu, tapi biarlah. “Maaf ya, Pak, kalau tadi Bulan teriak dan bangunin Bapak. Nggak apa, kami cuman lagi main aja, Pak,” jawab Sam malu-malu, lebih tepatnya dia sedang bergaya malu-malu saja agar Iwan tidak curiga. Iwan melorotkan kedua ba
Berat meninggalkan Iwan sendirian di rumah ini meskipun ada pesuruh dari kedua mertuanya yang senantiasa menjaga nanti, tetap saja Bulan merasa akan jauh lebih baik bila Iwan ikut bersamanya. Namun, Iwan memutuskan untuk tidak ikut, acara resepsi yang akan digelar di kota besar itu pun tanpa kedatangan Iwan karena kondisinya yang tak memungkinkan. Dan siang ini, Sam memboyong Bulan ke kota setelah sempat berziarah ke makan ibu kandung Bulan lebih dulu. “Mas-“ Sam menekan jari telunjuknya di depan mulut Bulan. “Lo bisa nggak sih kalau manggil gue jangan begitu?!” “Em, emangnya aku harus manggil kamu apa?” balas Bulan bingung. “Di tempat gue, nggak ada yang dipanggil ‘Mas’, dikiranya nanti aku yang jagain rumah atau kang kebun. Panggil yang lain!” titahnya kesal. Bulan berpikir sejenak, dia bingung karena setiap panggilan yang dia utarakan, tidak cocok, Sam menolaknya. Laki-laki itu sungguh membuat kesabarannya harus dipertebal lagi, baru hitungan jam menikah saja rasanya sudah am
"Ngapain kamu tanya soal Sita?" tanya Sam melotot dan manyun pada Bulan, mereka sedang berada di kamar lama Sam sekarang seperti yang mami Dara mau. Bulan menggedikkan kedua bahunya. "Tanya aja, Bang. Kalian deket banget tadi sampe pelukan, dia bukan mah-" "Nggak usah ceramahin gue!" potong Sam menutup telinganya, lalu bergegas mengganti baju tanpa peduli saat itu Bulan pun kesusahan melepaskan aneka aksesoris di kepalanya, sepanjang perjalanan kembali ke rumah pun seperti itu, masih menempel di kepala Bulan. "Gue mau ke luar, lo tidur aja sendiri!" "Bang, kalau mami sama papi tanya gimana?" Bulan berusaha menahan suaminya itu, sungguh dia harus ekstra sabar menghadapi Sam. "Bebas lo mau ngarang apa, intinya kasih tahu mereka baik-baik!" jawab Sam menggeser tubuh Bulan sehingga dia bisa segera ke luar dan pergi ke tempat yang sudah dia janjikan bersama teman yang lain, termasuk ada Sita di sana bersama Leon. Bulan memejamkan matanya sembari mengusap dada, baru saja satu hari dia
"Iya, Bang?" Bulan mengerutkan keningnya tipis, mereka sudah berada di kamar dengan pintu terkunci rapat. "Abang mau sesuatu?" Sam memejamkan matanya singkat, pusing sekali menghadapi wanita satu itu, selain penampilannya yang membuat sakit mata, ternyata juga banyak bicara dan pandai sekali memberikan jawaban yang sialnya terkadang Sam banyak kalahnya. "Lo tau kalau harus jaga nama baik gue, kan? Bisa-bisanya, lo ke luar kamar nggak bilang-bilang, hah? Kalau mami tanya gue di mana, gimana? Lo jawab apa? Gue habis kabur, terus capek, akhirnya molor bangun gitu?" tuduh lelaki itu sambil menunjuk wajah Bulan. "Abang tenang aja, aku nggak jawab gitu kok. Maaf ya, Bang, aku nggak pamit. Tadi, dingin aja di sini dan kalau aku udah coba bangunin kamu, tapi rada susah. Maafin ya, Bang?" Alih-alih ikut meledak seperti Sam, Bulan justru mengambil bawahnya sehingga amarah lelaki itu hilang. "Yaudah, lo harus tau itu pokoknya. Beda kalau nanti udah tinggal di rumah sendiri, lo bebas mau pam
“Aku nggak salah denger, Mam?” Sam merotasikan kedua bola matanya. Drama apa ini? Laki-laki tampan dengan kharisma yang mampu membuat para gadis di luar sana mabuk kepayang itu mengekor pada ibunya, baru saja dia pulang setelah hampir satu minggu berada di luar kota untuk membantu pekerjaan sang ayah, sekarang telinganya berdenging mendengar kabar aneh. “Mami yakin, cowok se ganteng aku itu nggak bisa cari cewek sampe harus dijodohin?” tanyanya lagi. “Mami ...” Wanita itu diam saja, hanya menyengir kuda melihat kehebohan putranya yang baru saja kembali dan harus setuju dengan rencana perjodohan yang dibuat. Sam sudah pantas untuk menikah, sampai detik ini sekalipun Sam selalu mengatakan banyak gadis yang rela antri untuk bersamanya, tidak ada satu pun yang mendapatkan persetujuan. Penampilan mereka yang terbuka dan kehidupan mereka yang cenderung bebas lagi gila kerja, alasan-alasan itu yang membuat Sam gagal membawa para gadis itu ke jenjang lebih serius. Lagipula, Sam mencari p
Kecewa, patah, hancur, tidak menyangka dan semua rasa yang buruk itu berkumpul menjadi satu, membebani Sam. Jadi, selama ini dia dan Leon mencintai gadis yang sama diwaktu yang sama juga, sedang gadis yang mereka cintai itu jelas tidak akan bisa menjadi milik bersama. “Bego!” umpatnya. Belum selesai semua rasa buruk itu memakan dan menyiksa batinnya, Leon dan Sita berencana mengajak Sam untuk berkencan bersama. Hal gila yang muncul karena pengakuan gila Sam sendiri, dia mengaku sudah memiliki pasangan dan tidak mungkin seorang laki-laki tampan sepertinya hidup seorang diri dengan hati yang sepi. Sial! Sekarang, di mana dia harus mencari pasangan? “Bego, lo sumpah bego, Sam!” umpatnya lagi, kali ini dia benar-benar merasa bodoh. Hatinya masih berdarah-darah melihat Sita mencintai Leon, kotak berisi cincin emas dengan ukuran jari Sita itu pun sekarang harus dia buang sia-sia, hebatnya lagi dia masih mempunyai gengsi yang besar hingga menjerumuskannya pada puncak masalah. Ya, dia
“Waduh, anak ganteng Mami udah siap aja. Gitu loh, semangat mau ketemu sama calon istri!” kata mami Dara menggoda Sam, menyenggol-nyenggol pinggul putranya. “Mami ...” geram Sam mengajukan protes. Wanita itu justru tertawa, rasanya tidak sabar bertemu dengan calon menantu dan keluarga calon besan. Seharusnya, ini sudah sejak lama, hanya saja Hardja memberikan kesempatan pada Bulan untuk menyelesaikan kuliahnya lebih dulu, gadis itu sangat berbakat di balik penampilan sederhananya. Setelah makan bersama, tiga orang itu pergi dengan dibantu supir, mami Dara melarang kedua jagoannya mengemudi karena mereka butuh tenaga penuh saat prosesi perkenalan. Jangan sampai sakit pinggangnya kambuh, belum lagi nanti Sam beralasan mengantuk saat bertemu dengan Bulan. Sesampainya di depan kampung Bulan, mobil tidak bisa masuk karena gangnya sempit, mau tidak mau mereka parkir di lapangan dan berjalan kaki sekitar lima menit untuk sampai ke rumah gadis itu. “Gila ya, gini gimana coba mau ngapeln
"Iya, Bang?" Bulan mengerutkan keningnya tipis, mereka sudah berada di kamar dengan pintu terkunci rapat. "Abang mau sesuatu?" Sam memejamkan matanya singkat, pusing sekali menghadapi wanita satu itu, selain penampilannya yang membuat sakit mata, ternyata juga banyak bicara dan pandai sekali memberikan jawaban yang sialnya terkadang Sam banyak kalahnya. "Lo tau kalau harus jaga nama baik gue, kan? Bisa-bisanya, lo ke luar kamar nggak bilang-bilang, hah? Kalau mami tanya gue di mana, gimana? Lo jawab apa? Gue habis kabur, terus capek, akhirnya molor bangun gitu?" tuduh lelaki itu sambil menunjuk wajah Bulan. "Abang tenang aja, aku nggak jawab gitu kok. Maaf ya, Bang, aku nggak pamit. Tadi, dingin aja di sini dan kalau aku udah coba bangunin kamu, tapi rada susah. Maafin ya, Bang?" Alih-alih ikut meledak seperti Sam, Bulan justru mengambil bawahnya sehingga amarah lelaki itu hilang. "Yaudah, lo harus tau itu pokoknya. Beda kalau nanti udah tinggal di rumah sendiri, lo bebas mau pam
"Ngapain kamu tanya soal Sita?" tanya Sam melotot dan manyun pada Bulan, mereka sedang berada di kamar lama Sam sekarang seperti yang mami Dara mau. Bulan menggedikkan kedua bahunya. "Tanya aja, Bang. Kalian deket banget tadi sampe pelukan, dia bukan mah-" "Nggak usah ceramahin gue!" potong Sam menutup telinganya, lalu bergegas mengganti baju tanpa peduli saat itu Bulan pun kesusahan melepaskan aneka aksesoris di kepalanya, sepanjang perjalanan kembali ke rumah pun seperti itu, masih menempel di kepala Bulan. "Gue mau ke luar, lo tidur aja sendiri!" "Bang, kalau mami sama papi tanya gimana?" Bulan berusaha menahan suaminya itu, sungguh dia harus ekstra sabar menghadapi Sam. "Bebas lo mau ngarang apa, intinya kasih tahu mereka baik-baik!" jawab Sam menggeser tubuh Bulan sehingga dia bisa segera ke luar dan pergi ke tempat yang sudah dia janjikan bersama teman yang lain, termasuk ada Sita di sana bersama Leon. Bulan memejamkan matanya sembari mengusap dada, baru saja satu hari dia
Berat meninggalkan Iwan sendirian di rumah ini meskipun ada pesuruh dari kedua mertuanya yang senantiasa menjaga nanti, tetap saja Bulan merasa akan jauh lebih baik bila Iwan ikut bersamanya. Namun, Iwan memutuskan untuk tidak ikut, acara resepsi yang akan digelar di kota besar itu pun tanpa kedatangan Iwan karena kondisinya yang tak memungkinkan. Dan siang ini, Sam memboyong Bulan ke kota setelah sempat berziarah ke makan ibu kandung Bulan lebih dulu. “Mas-“ Sam menekan jari telunjuknya di depan mulut Bulan. “Lo bisa nggak sih kalau manggil gue jangan begitu?!” “Em, emangnya aku harus manggil kamu apa?” balas Bulan bingung. “Di tempat gue, nggak ada yang dipanggil ‘Mas’, dikiranya nanti aku yang jagain rumah atau kang kebun. Panggil yang lain!” titahnya kesal. Bulan berpikir sejenak, dia bingung karena setiap panggilan yang dia utarakan, tidak cocok, Sam menolaknya. Laki-laki itu sungguh membuat kesabarannya harus dipertebal lagi, baru hitungan jam menikah saja rasanya sudah am
“LAN!” Iwan berteriak di depan kamar. Sekarang, bukan hanya Bulan di kamar itu, tapi ada menantunya. Tidak mungkin Iwan main masuk, kalau yang di dalam ternyata sedang bermain maling-malingan, dia akan malu. Tapi, sejauh ini memang rumah mereka aman dari maling, baru kali ini Iwan mendengar Bulan berteriak seperti itu. Sementara itu, Sam membekap mulut Bulan dengan kedua tangannya, meminta gadis itu diam. Bulan pun mengangguk, bodohnya dia bisa berteriak seperti itu, pasti Iwan sangat cemas. “Eh, Nak Sam ... Bapak ke sini cuman itu loh-“ astaga, mana bisa Iwan melanjutkannya, apalagi Sam ke luar dengan kancing baju terbuka sebagian. “-Sam, tadi Bulan teriak, itu kenapa?” sambungnya. Sam tersenyum sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal, malu, tapi biarlah. “Maaf ya, Pak, kalau tadi Bulan teriak dan bangunin Bapak. Nggak apa, kami cuman lagi main aja, Pak,” jawab Sam malu-malu, lebih tepatnya dia sedang bergaya malu-malu saja agar Iwan tidak curiga. Iwan melorotkan kedua ba
Sam menganga melihat kamar yang akan dia tempati nanti malam, di bagian atas tidak ada plafonnya, langsung terlihat barisan kayu dan genteng, tampak celah-celan di mana menjadi peluang bagi tikus dan hewan lainnya masuk meskipun belum ada tanda-tandanya. Dan satu lagi, tembok pembatas antara kamar Bulan dan Iwan itu tidak utuh sampai atas, bila dia bersuara sedikit keras saja, Iwan bisa mendengar mereka, begitu sebaliknya. Itu, katanya Bulan baru saja memasang pendingin ruangan, benar adanya. Tapi, bukan untuk kamar Bulan saja, melainkan dibagi dengan kamar Iwan karena kondisi tembok pembatas yang tidak utuh. “Gila, gue naik kursi aja udah kelihatan tuh orang lagi ngapain di sebelah. Ini niat apa nggak bikin kamar?” gerutu Sam berkacak pinggang, dia benar-benar memeriksa tinggi tembok itu. Dari satu sudut ke sudut lainnya, sampai rambutnya berubah putih juga dia tidak akan menemukan kamar mandi di kamar Bulan. Itu artinya dia harus ke luar kamar bila ingin buang air atau mandi, lal
Plak! Ini tamparan kesekian kalinya untuk Sam karena telah melewati batas, besok dia akan menikah dan memulai kehidupan baru, tapi apa yang terjadi malam ini tidak mencerminkan kebaikan akan masa depan yang Hardja bayangkan. Dia salah menilai putranya sendiri, disaat Bulan dan orang di rumah ini mengadakan acara kirim doa bersama, yang menjadi calon pengantin justru asik mabuk. “Pi, udah!” kata mami Dara menarik suaminya menjauh. “Kamu belain anak ini?” “Bukan, Papi jangan salah paham dong! Mami mikir kesehatan Papi, kita harus istirahat biar besok kondisi kita nggak lemah. Urusan Sam, nanti aja!” jawab mami Dara tidak tahu lagi, yang dia pikirkan hanya suaminya, bisa saja besok masuk angin atau sakit kepala, mereka akan sakit sendiri. Mau tidak mau Hardja meninggalkan Sam sendiri di kamarnya bersama pelayan laki-laki di rumah ini, dia yang akan membantu menyadarkan Sam dan persiapan besok pagi. Sementara Sam masih setengah sadar, mulai mengeluh dan menggosok pipinya yang sudah
Bulan memperhatikan lagi kondisi kamarnya, bukan tentang malam pengantin yang dia pikirkan, tapi lebih pada kenyamanan yang bisa diberikan pada laki-laki sombong itu. Dari mulai kasur sampai dengan pendingin ruangan, sudah dia bersihkan sampai tidak ada satu lapis debu pun. “Nduk, lagi apa?” tanya Iwan berjalan pelan ke kamar putrinya, berpegangan pada sisi pintu. “Pak ... kalau butuh apa-apa tinggal teriak aja, jangan maksa ke sini!” “Kamu ini, Bapak ke sini cuman pengen tahu kamu ini seharian sibuk apa? Benahin kamar kamu?” Iwan mengedarkan pandangannya, cat tembok kamar ini juga sudah diganti. “Kalian cuman semalam di sini, tapi Bapak seneng kamu begitu antusias nyambut suamimu, Nduk!” Bulan jadi malu sendiri, bukan itu masalahnya, dia hanya tidak mau ada keributan saat Sam tidur di kamar ini meskipun dia sendiri sudah merasa tidak akan baik-baik saja. Tanpa Iwan tahu, dia telah menyiapkan kasur busa lipat di bawah kolong ranjang untuk persiapan, siapa tahu laki-laki itu enggan
“Waduh, anak ganteng Mami udah siap aja. Gitu loh, semangat mau ketemu sama calon istri!” kata mami Dara menggoda Sam, menyenggol-nyenggol pinggul putranya. “Mami ...” geram Sam mengajukan protes. Wanita itu justru tertawa, rasanya tidak sabar bertemu dengan calon menantu dan keluarga calon besan. Seharusnya, ini sudah sejak lama, hanya saja Hardja memberikan kesempatan pada Bulan untuk menyelesaikan kuliahnya lebih dulu, gadis itu sangat berbakat di balik penampilan sederhananya. Setelah makan bersama, tiga orang itu pergi dengan dibantu supir, mami Dara melarang kedua jagoannya mengemudi karena mereka butuh tenaga penuh saat prosesi perkenalan. Jangan sampai sakit pinggangnya kambuh, belum lagi nanti Sam beralasan mengantuk saat bertemu dengan Bulan. Sesampainya di depan kampung Bulan, mobil tidak bisa masuk karena gangnya sempit, mau tidak mau mereka parkir di lapangan dan berjalan kaki sekitar lima menit untuk sampai ke rumah gadis itu. “Gila ya, gini gimana coba mau ngapeln
Kecewa, patah, hancur, tidak menyangka dan semua rasa yang buruk itu berkumpul menjadi satu, membebani Sam. Jadi, selama ini dia dan Leon mencintai gadis yang sama diwaktu yang sama juga, sedang gadis yang mereka cintai itu jelas tidak akan bisa menjadi milik bersama. “Bego!” umpatnya. Belum selesai semua rasa buruk itu memakan dan menyiksa batinnya, Leon dan Sita berencana mengajak Sam untuk berkencan bersama. Hal gila yang muncul karena pengakuan gila Sam sendiri, dia mengaku sudah memiliki pasangan dan tidak mungkin seorang laki-laki tampan sepertinya hidup seorang diri dengan hati yang sepi. Sial! Sekarang, di mana dia harus mencari pasangan? “Bego, lo sumpah bego, Sam!” umpatnya lagi, kali ini dia benar-benar merasa bodoh. Hatinya masih berdarah-darah melihat Sita mencintai Leon, kotak berisi cincin emas dengan ukuran jari Sita itu pun sekarang harus dia buang sia-sia, hebatnya lagi dia masih mempunyai gengsi yang besar hingga menjerumuskannya pada puncak masalah. Ya, dia