“Imelda pacaran sama Marco,” celetuk Kaivan dengan wajah murung.
Gerry tertawa pelan menanggapi, pria itu merapihkan berkas-berkas yang telah Kaivan tanda-tangani.Menghirup napas dalam untuk mulai bicara.“Jangan bilang kalau lo pernah memperingati gue dulu,” sela Kaivan membuat mulut Gerry yang sudah menganga terkatup kembali.“Kita pernah bahas ini dan lo enggak percaya waktu itu.”“Dia di Indonesia dan Marco sama kita di Amerika, trus kapan mereka ketemuannya? Ya jelas lah gue enggak percaya.”“Apapun bisa mereka lakukan, Kai ... mereka memiliki akses, fasilitas dan duit ... jarak bukan masalah.”Gerry lantas pergi setelah berkata demikian, enggan membahas Imelda lagi agar Kaivan juga tidak memikirkan perempuan itu lagi.Pasalnya ketika Kaivan terpuruk—dirinya yang sibuk menghandle pekerjaan kantor.Selain itu Kaivan telah memiliki Zhafira, tidak semestinya masih memikirka“Ibu Zhafira mengidap PCOS!” Kaivan dan Zhafira tertegun mendengar penuturan dokter setelah membaca hasil lab yang Zhafira lakukan minggu lalu. “Jadi Ibu Zhafira memiliki gangguan hormonal yang membuat sel telur sulit matang dan gagal dilepaskan ke rahim sehingga menyebabkan Ibu Zhafira kesulitan untuk hamil,” terang dokter Maximus. “Tapi saya masih bisa hamil ‘kan dok?” Zhafira bertanya penuh harap. “Masih donk, tapi Ibu harus merubah gaya hidup dengan makanan-makanan sehat dan kita akan theraphy obat-obatan ... setelah itu kita bisa melakukan inseminasi, gimana?” Dokter memberikan penawaran program yang bisa Kaivan dan Zhafira jalani. “Deal!!” seru Kaivan dan Zhafira serempak. Keduanya semangat untuk melakukan apapun yang dokter perintahkan untuk kehamilan Zhafira. Dokter lebih lanjut menjelaskan tentang syndrom tersebut yang bisa berakhir pada kanker. Tapi Zhafira tampak tegar, mendeng
Ting ... Tong ... Suara bel berbunyi membuat Zhafira mengerutkan kening tapi tak ayal melangkah cepat untuk membuka pintu. “Bunda?” gumam Zhafira tidak percaya. “Surprise!” seru Aura-bunda dari Kaivan kemudian memeluk menantunya. “Bunda sama siapa?” Zhafira bertanya setelah Aura mengurai pelukan. “Bunda sendiri, kemarin Kai telepon Bunda katanya kalian ada di sini buat berobat ... trus Kai minta Bunda dateng buat nemenin kamu karena Kai harus pulang ke Jakarta ... ya jadi, Bunda ke sini ... Kai enggak cerita?” Zhafira menggelengkan kepala. “Mas Kai enggak cerita apa-apa, malah tadi pagi sempet drama dulu ... Mas Kai enggak mau pulang tapi Fira usir.” Aura tergelak. “Manja ya Kai?” “Iya Bun, meluk perut Fira terus ... padahal udah rapih mau pergi ... Pilotnya udah teleponin.” Zhafira terdengar menggerutu. “Di antara anak laki-laki Bunda, yang paling nyantai kerjanya
“Kenapa lo telepon Kaivan? Si Imelda ‘kan bukan ceweknya lagi.” Gerry memprotes tindakan Richard. “Trus gue harus telepon siapa? Elo?” Richard balik menyerang, pria itu tidak terima. “Ya kalian bisa urus sendiri ... atau kasih ke keluarganya, Kaivan udah punya istri kenapa malah kasih tau Kaivan.” Gerry mengatakannya tanpa perasaan. “Heh! Lo enggak punya hati ya, kita semua tau kalau Imelda pacaran sama Kaivan udah tiga belas tahun lebih bahkan sebelum lo kenal Kaivan—Kaivan udah pacaran sama Imelda ... Kaivan harus tau tentang Imelda, apalagi sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Imelda enggak berhenti manggil nama Kaivan.” Rifani tampak emosi ketika berkata demikian sampai melototkan matanya pada Gerry. “Ya terus urusannya sama Kai apa? Imelda cuma mantan, udah enggak ada hubungan lagi ... trus sekarang apa? Memangnya Kai bisa apa? Selamat ya Rifani—lo udah bawa Kaivan ke kehancuran rumah tangganya,” sindir Gerry ketus. “Tenang
“Ayang.” Panggilan sayang yang di ucapkan Kaivan dengan suara parau nan lemah itu membuat Zhafira yang sedang bersandar pada headboard menegakan tubuhnya. “Mas Kai kenapa?” tanya Zhafira panik. “Enggak apa-apa, kamu udah makan?” Kaivan mengalihkan pembicaraan setelah mendengar nada cemas istrinya. “Mas kemana aja? Tiga hari Mas enggak bisa dihubungi, chat juga lama balesnya ... are you oke?” Suara lembut Zhafira dengan nada yang tersirat banyak kekhawatiran itu membuat Kaivan tergugu dihantam perasaan bersalah yang begitu besar. “Maaas,” panggil Zhafira lagi karena tidak ada jawaban dari suaminya. “Iya, Mas enggak apa-apa ... cuma capek kerja aja,” sahut Kaivan tercekat. “Mas Kai udah sampe rumah?” “Baru sampe, Fir.” “Ya udah, Mas langsung bobo ya ... besok Fira telepon lagi.” Padahal Zhafira masih ingin mendengar suara suaminya lebih lama dan berharap Kaivan menah
Zhafira berulang kali menghubungi Kaivan tapi tidak ada jawaban dan malah tersambung pada voice mail. Ia cemas karena seharusnya Kaivan telah tiba di Singapura sesuai janji. Lelah menghubungi Kaivan tanpa mendapat jawaban akhirnya Zhafira menghubungi Gerry yang kemudian tersambung di nada panggil ketiga. “Hallo ... Pak Gerry.” “Ya Fir.” Zhafira menangkap nada yang lain dari biasanya dari sahutan Gerry barusan meski begitu ia tetap berpikiran positif. “Pak Gerry, Fira mau tanya ... tadi pesawat Mas Kai terbang jam berapa ya? Harusnya sekarang Mas Kai udah sampe ... Fira khawatir.” Hembusan napas terdengar panjang diujung telepon sana. Gerry mengusap wajahnya sambil memikirkan apa yang harus ia katakan pada Zhafira. Nada lembut yang tersirat banyak kekhawatiran itu seakan meremat jantung Gerry erat. “Gini Fir, tadi itu tiba-tiba ada trouble di proyek jadi Kai harus n
“Kai ....” Suara lemah Imelda membuat Kaivan mendongak. Pria itu duduk di kursi yang berada di sisi ranjang Imelda yang kini telah dipindahkan ke ruang rawat inap VIP. Tangannya menggenggam tangan Imelda cukup lama sejak Imelda masih tertidur tadi. “Mel ... mau minum? Atau makan? Laper enggak? Apa yang sakit?” Imelda dihujani banyak pertanyaan dari Kaivan membuat bibir perempuan itu tersenyum dengan mata memanas karena haru sekaligus bahagia. Begitu lah Kaivan, akan selalu menjadi kekasih yang penuh perhatian. Kaivannya yang dulu telah kembali tapi Imelda harus menahan diri karena sekarang status pria itu adalah suami orang. “Aku mau minum aja, Kai ... boleh tolong ambilkan air?” Imelda meminta. “Sebentar.” Kaivan langsung berdiri, mengisi gelas kosong dengan air dari dispenser kemudian memasukan sedotan dan mendekatkan ke bibir Imelda. “Makasih Kai,” kata Imelda setelah tengg
Kaivan pikir undangan sang grandpa bukan tentang dirinya tapi ketika ia tiba di rumah Edward—sudah banyak mobil keluarganya terparkir di sana. Perasaan Kaivan mulai tidak enak. “Duduk Kai!” titah Edward dingin. Dua abangnya-Kama dan Arkana ada di sana termasuk sang kakek Kallandra tapi Kaivan tidak menemukan istri mereka bahkan sang grandma pun tidak ada. Kaivan duduk di single sofa di ruang tamu rumah Edward tanpa sempat menyalami abang dan kakeknya kadung ciut ketika melihat tampang garang para pria Gunadhya yang sudah lebih dulu duduk di sana. “Si Zara pasti ngadu nih kayanya.” Kaivan membatin. Semua mata menatap ke arah Kaivan dengan sorot mata tajam menghakimi. “Akhir-akhir ini hampir tiap hari Grandpa liat mobil kamu di parkiran VIP ... awalnya Grandpa heran karena enggak biasanya kamu ke rumah sakit tanpa minta rekomendasi Grandpa, ternyata lagi jengukin mantan.” Kaivan menelan sal
Zhafira bergegas menuju pintu ketika mendengar suara benda tersebut dibuka dari luar. Ia tau jika itu pasti suaminya karena hanya Kaivan yang mengetahui pascode unit apartemen yang kini mereka tinggali sementara. “Mas Kai,” panggil Zhafira sebelum presensinya tiba dihadapan Kaivan. Tampang kuyu Kaivan langsung memenuhi pandangan mata Zhafira. “Mas Kai.” Zhafira melirih dengan raut sendu. Tadi pagi Kaivan meminta doa sebelum melakukan presentasi dengan klien besar untuk meyakinkannya menjalin kerja sama dengan AG Group. Tapi melihat Kaivan yang sekrang tampak sedih membuat Zhafira berpikir jika presentasi suaminya tidak berjalan lancar. Zhafira merentangkan kedua tangan langsung memeluk suaminya ketika langkah gontai Kaivan berhenti tepat di depannya. “Everything is gonna be okay,” kata Zhafira menenangkan. “Mas bisa usaha lagi nanti,” sambung Zhafira sok tau. Kaiva