“Kai ....” Suara lemah Imelda membuat Kaivan mendongak.
Pria itu duduk di kursi yang berada di sisi ranjang Imelda yang kini telah dipindahkan ke ruang rawat inap VIP.Tangannya menggenggam tangan Imelda cukup lama sejak Imelda masih tertidur tadi.“Mel ... mau minum? Atau makan? Laper enggak? Apa yang sakit?”Imelda dihujani banyak pertanyaan dari Kaivan membuat bibir perempuan itu tersenyum dengan mata memanas karena haru sekaligus bahagia.Begitu lah Kaivan, akan selalu menjadi kekasih yang penuh perhatian.Kaivannya yang dulu telah kembali tapi Imelda harus menahan diri karena sekarang status pria itu adalah suami orang.“Aku mau minum aja, Kai ... boleh tolong ambilkan air?” Imelda meminta.“Sebentar.” Kaivan langsung berdiri, mengisi gelas kosong dengan air dari dispenser kemudian memasukan sedotan dan mendekatkan ke bibir Imelda.“Makasih Kai,” kata Imelda setelah tenggKaivan pikir undangan sang grandpa bukan tentang dirinya tapi ketika ia tiba di rumah Edward—sudah banyak mobil keluarganya terparkir di sana. Perasaan Kaivan mulai tidak enak. “Duduk Kai!” titah Edward dingin. Dua abangnya-Kama dan Arkana ada di sana termasuk sang kakek Kallandra tapi Kaivan tidak menemukan istri mereka bahkan sang grandma pun tidak ada. Kaivan duduk di single sofa di ruang tamu rumah Edward tanpa sempat menyalami abang dan kakeknya kadung ciut ketika melihat tampang garang para pria Gunadhya yang sudah lebih dulu duduk di sana. “Si Zara pasti ngadu nih kayanya.” Kaivan membatin. Semua mata menatap ke arah Kaivan dengan sorot mata tajam menghakimi. “Akhir-akhir ini hampir tiap hari Grandpa liat mobil kamu di parkiran VIP ... awalnya Grandpa heran karena enggak biasanya kamu ke rumah sakit tanpa minta rekomendasi Grandpa, ternyata lagi jengukin mantan.” Kaivan menelan sal
Zhafira bergegas menuju pintu ketika mendengar suara benda tersebut dibuka dari luar. Ia tau jika itu pasti suaminya karena hanya Kaivan yang mengetahui pascode unit apartemen yang kini mereka tinggali sementara. “Mas Kai,” panggil Zhafira sebelum presensinya tiba dihadapan Kaivan. Tampang kuyu Kaivan langsung memenuhi pandangan mata Zhafira. “Mas Kai.” Zhafira melirih dengan raut sendu. Tadi pagi Kaivan meminta doa sebelum melakukan presentasi dengan klien besar untuk meyakinkannya menjalin kerja sama dengan AG Group. Tapi melihat Kaivan yang sekrang tampak sedih membuat Zhafira berpikir jika presentasi suaminya tidak berjalan lancar. Zhafira merentangkan kedua tangan langsung memeluk suaminya ketika langkah gontai Kaivan berhenti tepat di depannya. “Everything is gonna be okay,” kata Zhafira menenangkan. “Mas bisa usaha lagi nanti,” sambung Zhafira sok tau. Kaiva
“Kenapa muka lo?” celetuk Arkana bertanya pada Kaivan yang baru saja tiba. Sepulang kerja, Kama meminta Arkana dan Kaivan agar menemuinya disebuah coffe shop untuk membicarakan mengenai bisnis. “Emangnya kenapa muka gue?” Kaivan balik bertanya tidak santai. “Enggak dikasih jatah sama Fira ya?” tebak Kama bermaksud meledek tapi tidak mengira jika tebakannya benar. Kaivan mengangguk lesu. “Anjuran dokter setelah Fira theraphy jangan dibuahi dulu selama satu bulan.” Adunya pada sang kakak pertama. “Masih ada cara lain, Kai ... tuh belajar sama Arkana.” Kama memberi saran. “Fira tuh polos banget Bang, kalau gue ajarin gaya bercinta enggak biasa aja—awal-awal dia kaya yang enggak menikmati ... apalagi kalau disuruh ngemut ‘si Joni’ enggak akan mau kayanya.” Kaivan tentu tau cara lain yang dimaksud Kama itu apa. Arkana dan Kama sampai tergelak kencang mendengar penuturan sang adik yang sebenarn
Liburan bersama pun akhirnya terlaksana, berangkat dari Jakarta Kama, Arkana dan Kaivan beserta istri. Tentu saja Arshavina istri dari Kama begitu bahagia dan bukan hanya Arshavina—Zhafira yang paling bahagia karena ia adalah anak tunggal dan setelah menikahi Kaivan jadi memiliki banyak kakak yang menyayanginya. Beberapa jam lamanya Zhafira yang duduk di kabin tengah bersama Zara-istri dari Arkana dan Arshavina-istri dari Kama begitu antusias menceritakan tentang pengalaman theraphynya. “Mas Kai nemenin Fira di masa terakhir theraphy, Fira jadi semangat ... seneng banget bisa ditemanin Mas Kai ... Mas Kai juga sabar banget trus sayang sama Fira, Fira beruntung banget ya Mbak?” celoteh Zhafira panjang lebar. Zara dan Arshavina yang sudah mengetahui kelakuan Kaivan selama Zhafira di Singapura pun hanya bisa tersenyum miris kemudian saling melempar pandang saling tatap. Sebagai wanita tentu mereka tidak menyukai kelakuan Kaiva
Zhafira terduduk lesu di atas closet setelah melihat bercak darah di celana dalamnya. Ia mendapatkan menstruasi dan itu berarti program kehamilan yang dijalaninya gagal. Apa yang salah? Padahal Zhafira sudah melakukan semua yang disarankan oleh dokter. Air matanya luruh tidak terbendung. Zhafira kecewa. Theraphy dan program kehamilan ini telah menghabiskan banyak uang. Zhafira merasa hanya menjadi beban suaminya saja. Ia tidak berguna. Lama meratapi nasibnya di kamar mandi, Zhafira akhirnya keluar dari sana setelah air matanya mengering bersamaan dengan suara pintu kamar yang diketuk dari luar. “Masuk!” titah Zhafira kepada siapa pun yang mengetuk pintu. Ceklek. Dan pintu pun dibuka dari luar. “Nyonya makan siang ....” Pak Haris menghentikan kalimatnya ketika melihat mata Zhafira yang bengkak. “Apa yang terjadi?” tanya pak Haris lancang kemu
Zhafira bergegas bersiap bertemu Imelda dan kali ini ia tidak meminta ijin Kaivan. Hanya pamit kepada pak Haris dan mengatakan akan bertemu teman-temannya. Zhafira juga bersedia di antar driver, sebelumnya Zhafira meminta driver ke toko kue lalu mengantarnya ke apartemen Imelda. Imelda sendiri yang menjemputnya di lobby. “Fira.” “Imelda.” Keduanya saling berpelukan dan mencium pipi kanan juga kiri. Keduanya langsung menuju unit apartemen Imelda. “Padahal kamu enggak usah repot-repot, Fir.” Imelda menerima kue pemberian Zhafira kemudian meletekannya di piring agar mereka bisa menikmati bersama. Imelda juga membuat kopi untuk menemani mereka berbincang. “Aku enggak tau kamu sukanya apa jadi semoga kamu suka apa yang aku beli.” “Aku pemakan segala kok, tenang aja.” Imelda berkelakar mencetuskan tawa renyah Zhafira. “Jadi, Kaivan cer
Ponsel yang Zhafira letakan di atas meja berdering, Zhafira yang sedang melanjutkan menggambar sebuah bangunan lantas meletakan pensilnya dan mengganti dengan alat komunikasi canggih tersebut. Langsung menggeser icon hijau setelah melihat foto mamanya memenuhi layar. “Ya Ma?” Zhafira menjawab panggilan tersebut. “Fir, Mama lagi di Jakarta nih ... kebetulan mampir ke kantor kamu tapi katanya kamu udah resign, kenapa kamu resign enggak kasih tau Mama.” Dewi terdengar emosi diujung panggilan sana. “Mama di Jakarta?” Zhafira langsung berdiri dari kursinya. “Mama ke rumah orang tua Mas Kai aja ya, kita ngobrol di sini.” “Ya udah, tapi ada makanan ‘kan Fir ... Mama sama Om Jo laper nih, tadi kita abis belanja keperluan konveksi.” “Ada Ma, nanti Fira minta pak Haris siapin.” Zhafira mengatakannya setengah hati karena mengetahui sang mama akan datang bersama suaminya. “Ya udah, kirim alamatnya ya
“Baru pulang Mas?” Zhafira bertanya dengan suara serak saat terjaga dari tidurnya karena mendengar langkah kaki Kaivan memasuki kamar. “Iya.” Kaivan menjawab singkat tanpa ekspresi kemudian masuk ke dalam kamar mandi sambil membuka kancing kemeja. Tidak lama Kaivan keluar dari kamar mandi dan masuk ke dalam walk in closet untuk memakai pakaian tidur. Zhafira menunggu, duduk di atas ranjang. “Fira buatin minum ya Mas.” Zhafira mengatakannya sambil bergerak turun dari atas ranjang. “Enggak usah, tidur lagi aja Fir, udah tengah malem.” Kaivan naik ke atas ranjang lalu merebahkan tubuhnya dengan posisi terlentang. Satu tangannya ia simpan di kening, mata Kaivan menutup dan raut wajahnya tampak lelah. “Mau Fira pijitin Mas? Kayanya Mas capek banget.” Zhafira sudah dalam posisi berbaring menghadap Kaivan. “Enggak usah, kita tidur aja.” Dingin. Kaivan menjadi