Ponsel yang Zhafira letakan di atas meja berdering, Zhafira yang sedang melanjutkan menggambar sebuah bangunan lantas meletakan pensilnya dan mengganti dengan alat komunikasi canggih tersebut.
Langsung menggeser icon hijau setelah melihat foto mamanya memenuhi layar.“Ya Ma?” Zhafira menjawab panggilan tersebut.“Fir, Mama lagi di Jakarta nih ... kebetulan mampir ke kantor kamu tapi katanya kamu udah resign, kenapa kamu resign enggak kasih tau Mama.” Dewi terdengar emosi diujung panggilan sana.“Mama di Jakarta?” Zhafira langsung berdiri dari kursinya.“Mama ke rumah orang tua Mas Kai aja ya, kita ngobrol di sini.”“Ya udah, tapi ada makanan ‘kan Fir ... Mama sama Om Jo laper nih, tadi kita abis belanja keperluan konveksi.”“Ada Ma, nanti Fira minta pak Haris siapin.” Zhafira mengatakannya setengah hati karena mengetahui sang mama akan datang bersama suaminya.“Ya udah, kirim alamatnya ya“Baru pulang Mas?” Zhafira bertanya dengan suara serak saat terjaga dari tidurnya karena mendengar langkah kaki Kaivan memasuki kamar. “Iya.” Kaivan menjawab singkat tanpa ekspresi kemudian masuk ke dalam kamar mandi sambil membuka kancing kemeja. Tidak lama Kaivan keluar dari kamar mandi dan masuk ke dalam walk in closet untuk memakai pakaian tidur. Zhafira menunggu, duduk di atas ranjang. “Fira buatin minum ya Mas.” Zhafira mengatakannya sambil bergerak turun dari atas ranjang. “Enggak usah, tidur lagi aja Fir, udah tengah malem.” Kaivan naik ke atas ranjang lalu merebahkan tubuhnya dengan posisi terlentang. Satu tangannya ia simpan di kening, mata Kaivan menutup dan raut wajahnya tampak lelah. “Mau Fira pijitin Mas? Kayanya Mas capek banget.” Zhafira sudah dalam posisi berbaring menghadap Kaivan. “Enggak usah, kita tidur aja.” Dingin. Kaivan menjadi
“Kamu mau liburan ke Bali sama Bella Nova? Aku siapin akomodasinya, kalian bisa nginep di resort punya kakek.” Kaivan yang merasa bersalah memberi penawaran. Ia berniat mengganti sakit hati Zhafira dengan liburan bersama Bella Nova. “Enggak usah, kita jalan-jalan di Jakarta aja ... lagian Bella Nova senin harus kerja ... kalau libur panjang mungkin kita bisa ke Bali.” Zhafira menolak secara halus. Sedari tadi wajahnya tertunduk untuk menghidari bersitatap dengan Kaivan, menyembunyikan matanya yang bengkak. “Dari kantor nanti aku langsung ke Bandara ya, Fir ... jadi enggak balik dulu ke rumah.” Kaivan mengulang rencananya yang tadi malam sempat ia utarakan kepada Zhafira hanya untuk menguar canggung di antara mereka. Tiba-tiba saja Kaivan gugup. “Iya, hati-hati ya Mas.” Kaivan memegang pundak Zhafira, menariknya pelan untuk memberikan pelukan sebelum pergi. Zhafira
Waktu tempuh Kuala Lumpur – Jakarta semestinya paling lama dua jam apalagi Kaivan menggunakan privat jet yang bisa ditempuh lebih cepat. Kaivan memberitau keberangkatannya sore tadi dan hingga tengah malam suaminya belum juga tiba di rumah. Zhafira cemas tapi lagi-lagi segan menghubungi langsung suaminya. Ia malah menghubungi Gerry. “Ya Fir,” sahut Gerry dari ujung panggilan sana. “Kamu belum tidur?” Suara berat nan parau khas bangun tidur terdengar jelas. “Pak Gerry, maaf Fira ganggu ... Pak Gerry ikut turnamen golf sama Mas Kai, enggak?” “Enggak Fir, itu khusus para pengusaha muda ... kalau aku ‘kan kacungnya Kaivan, jadi enggak diundang lagian kemarin aku diutus Kaivan ngecek proyek di Surabaya ... kenapa Fir? Kaivan belum sampe rumah?” Gerry menegakan tubuh, memfokuskan dirinya pada Zhafira. “Belum ... tadi sore Mas Kai bilang udah di Bandara tapi belum pulang sampe sekara
“Jadi apa ya kira-kira yang cocok buat Mas Kai?” Zhafira bertanya dalam sambungan telepon kepada Bella. Ia sudah berada di Mall bergengsi di Kota ini untuk membeli kado ulang tahun Kaivan. “Dasi atau dompet atau kemeja, cari aja yang harganya paling mahal atau lo—“ “Fir, laki lo udah kaya raya jadi lo enggak perlu kasih kado ... lo kasih pesta kejutan aja,” sela Nova yang menyambar ponsel Bella dari telinga gadis itu. “Oh gitu ya, Nov ... tapi aku pengen kasih sesuatu.” “Iya, lo kasihnya kejutan aja ... pas dia pulang lo pake lingery paling seksi trus tiduran di atas ranjang sambil bawa kue ulang tahun ... hadiah mah dia bisa beli sendiri.” Zhafira tertawa mendengar saran Nova, baru membayangkannya saja ia sudah malu. “Ya udah, aku pertimbangkan ya sarannya ... aku tutup dulu teleponnya, sorry ganggu kalian yang lagi kerja.” “Oke, sukses buat kejutannya ya Fir.” “Thanks Nov.”
“Mas, Fira boleh minta sesuatu?” Zhafira bertanya sambil merapihkan dasi dan jas Kaivan. “Minta apa, Fir?” Kaivan balas bertanya. Pria itu tampak sibuk mengecek penampilannya karena hari ini akan melakukan pertemuan panjang dengan klien untuk membahas suatu proyek. “Mas pulangnya langsung ke rumah ya.” Kaivan mengusak puncak kepala Zhafira. “Memangnya kemana lagi aku pulang kalau bukan ke rumah, Fir?” “Fira tunggu ya Mas, semoga meeting-nya lancar trus Mas bisa pulang cepet.” Cup. Zhafira memberanikan diri mengecup pipi Kaivan setelah berkata demikian. Kaivan balas mengecup kening Zhafira. “Oke, aku usahain pulang cepet.” Kaivan berjanji. Setelah memastikan pakaian suaminya rapih dan siap dikihat banyak orang, Zhafira mengantar Kaivan hingga teras rumah. Mereka masih melakukan ritual perpisahan Kaivan pergi ke kantor seperti biasa, Zhafira mengecup pung
Zhafira berdiri di depan jendela kamar yang mengahadap gerbang menunggu kepulangan Kaivan. Sudah empat jam yang lalu ia berdiri di sana sambil memegang ponsel. Zhafira cemas karena Kaivan tidak memberi pesan apapun jika memang ia akan pulang terlambat. Tidak mungkin ‘kan Kaivan lupa akan permintaannya. “Mas Kai ... kok belum pulang.” Zhafira bergumam. Zhafira segan menghubungi Kaivan, khawatir suaminya sedang sibuk. Ia tidak ingin mengganggu Kaivan terlebih Zhafira mengetahui jika hari ini Kaivan bertemu dengan klien besar. “Masa sampe malem gini sih? Udah jam sebelas.” Gumaman Zhafira terdengar lagi dengan raut wajahnya yang penuh khawatir. Apakah ia harus menghubungi Gerry? Tapi bagaimana jika Gerry juga sibuk? Zhafira memutar tubuhnya ke belakang menatap cake ulang tahun dengan lilin tertancap di sana. Menghembuskan napas panjang, akhirnya Zhafira du
Keesokan harinya Kaivan bangun dengan kepala pengar, refleks menegakan tubuh ketika mendengar suara burung berkicau. Kaivan berusaha meraih kesadarannya dan ia ingat ada janji kepada Zhafira yang harus dipenuhi. Menoleh ke samping kiri, ia menemukan bagian ranjang Zhafira kosong. Lalu kepalanya memutar ke samping kanan menemukan aspirin dan air mineral untuk menghilangkan pengar. Pasti pak Haris yang menyimpannya di sana. Bergegas Kaivan meminum obat itu agar nyeri di kepala segera menghilang. Kaivan turun dari atas ranjang dan mendapati tubuhnya telah terbalut pakaian tidur. Memejamkan mata, ia mengingat-ngingat kembali memori yang tersimpan sebelum mabuk. Bagaimana ia bisa sampai di rumah sementara terakhir yang diingatnya adalah merayakan pesta ulang tahun di apartemen Imelda? “Fir,” panggil Kaivan seiring langkahnya menuju kamar mandi tapi ia tidak menemukan istrinya di sa
“Mel.” Kaivan menyapa. Seperti biasa, senyum ramah pria itu terkembang menambah ketampanannya. “Kai, aku baru tau kalau kita satu project.” Imelda yang ternyata datang lebih dulu langsung berdiri, balas menyapa Kaivan. Kaivan duduk di samping Imelda diikuti Gerry yang kemudian berkenalan dengan sekertaris Imelda yang baru. “Oh ya, kamu enggak berantem sama Fira ‘kan Kai? Kemarin Fira yang jemput kamu, aku jadi enggak hati sama Fira ...,” sesal Imelda yang terlihat jelas di wajahnya. “Aku bahkan belum bicara sama Fira, tadi waktu aku pergi—Fira lagi ke pasar ... tapi Fira enggak pernah marah kok—“ “Paling nangis,” sambar Gerry menyindir dengan nada ketus tapi Kaivan malah tertawa sumbang. “Fira itu malaikat.” Kaivan menambahkan sebuah pujian untuk Zhafira. Imelda tidak bisa bohong, jika hatinya cemburu. “Katanya dia nungguin kamu, Kai ... bener kata kamu, dia juga udah nyiapin