Zhafira mengerjapkan mata, menyesuaikan netra dari cahaya sinar matahari yang menerobos melalui celah tirai.
“Apa? Sinar matahari?” batin Zhafira terkejut sekaligus bingung.Zhafira menegakan tubuh, langsung menoleh ke arah jendela.Benar, itu sinar matahari. Kepalanya kembali menoleh ke arah sebaliknya di mana jam dinding tergantung di sana dan mendapati waktu telah menunjukan pukul delapan pagi.Zhafira belum pernah seterlambat ini bangun di hari senin.Pasti karena semalaman Kaivan menggempurnya tanpa ampun.Pasalnya selama weekend kemarin, Kaivan jarang ada di rumah, pria itu ikut kakeknya main golf bersama klien.Tapi Zhafira diberi kebebasan untuk hang out bersama Bella dan Nova jadi Zhafira tidak kesepian.“Mas, bangun! Kita udah kesiangan, alarm enggak bunyi ya?!” Zhafira berseru setelah mengguncang tubuh Kaivan lantas menyingkap selimut hendak turun dari atas ranjang.Usai makan siang, Kaivan membawa Zhafira jalan-jalan mengelilingi tempat-tempat indah yang terkenal dan wajib dikunjungi oleh pelancong setiap kali datang ke Paris apalagi pasangan yang saling mencintai seperti Kaivan dan Zhafira. Mulai dari museum, monumen hingga berakhir di menara Eifel yang terkenal. Banyak foto mereka abadikan dan Kaivan langsung posting di media sosialnya dengan caption ‘A baby-making vacation’ disetiap foto mesra bersama Zhafira yang diunggahnya. Lalu Kaivan mengambil foto Zhafira secara candit ketika sang istri menoleh ke samping sambil tersenyum menatap takjub menara Eifel. Surai Zhafira tertiup angin, senyumnya tulus penuh syukur dan sorot matanya teduh. Kaivan langsung mengunggahnya di sosial media dengan menuliskan caption ‘Malaikat cantikku ... ibu dari anak-anakku.’ Hati perempuan mana yang tidak ‘meleyot’ apalagi si pelaku adalah seorang Taipan tampan seperti Kaivan. Zh
“Jadi kamu, alasan Imelda meninggalkanku?” Kaivan bertanya dengan nada suara yang ia buat setenang mungkin meski hatinya sedang meradang. Bukan karena belum move on dari Imelda tapi karena gosip miring tentang Imelda dan Marco yang beredar di antara para teman semasa kuliahnya ternyata benar. Marco adalah sahabat Kaivan ketika menempuh pendidikan perkuliahan di Amerika, pria itu adalah anak dari salah satu Mafia berpengaruh di Italy. Para sahabatnya yang lain pernah memberi tau Kaivan jika Marco dan Imelda mengkhianatinya tapi Kaivan tidak percaya dan membantah keras karena saat itu Imelda juga menyanggah gosip tersebut. Namun, sekarang Kaivan percaya dan benar-benar merasa dipecundangi. “Maaf, aku tidak bisa mengendalikannya ... aku ....” Marco tidak mampu melanjutkan, kalimatnya tertahan di tenggorokan. “Jadi, benar kata teman-teman kita? Kamu dan Imelda mengkhianatiku sudah sejak lama?” cecar Kaivan dingin da
Zhafira masih dilanda gundah dan insecure berlebihan pasalnya mantan tunangan suaminya begitu cantik, blasteran dan anak pengusaha sukses di Belanda. Bahkan kini Imelda memegang perusahaan Daddy-nya di Indonesia. Sementara dirinya hanya seorang karyawan Bank biasa. Mungkin Imelda berpikir bahwa Kaivan mendapatkan istri yang levelnya jauh di bawah Imelda. Zhafira menggelengkan kepala dan gesekan kepala Zhafira di dada bidang Kaivan yang polos menyadarkan pria itu dari menikmati hormon Endorfin setelah pelepasan tadi. “Kenapa Yang?” Kaivan bertanya. “Enggak,” jawab Zhafira berdusta. “Cerita donk, apa yang kamu rasain? Ungkapin Yang, jangan dipendem ... kalau kamu mau mukul aku juga boleh.” Kaivan berkata demikian agar ronde dua nanti Zhafira melakukannya dengan sepenuh hati. Tapi Zhafira sedang tidak mood menyahut, hatinya masih dongkol. “Yang, matahari boleh bersina
“Imelda pacaran sama Marco,” celetuk Kaivan dengan wajah murung. Gerry tertawa pelan menanggapi, pria itu merapihkan berkas-berkas yang telah Kaivan tanda-tangani. Menghirup napas dalam untuk mulai bicara. “Jangan bilang kalau lo pernah memperingati gue dulu,” sela Kaivan membuat mulut Gerry yang sudah menganga terkatup kembali. “Kita pernah bahas ini dan lo enggak percaya waktu itu.” “Dia di Indonesia dan Marco sama kita di Amerika, trus kapan mereka ketemuannya? Ya jelas lah gue enggak percaya.” “Apapun bisa mereka lakukan, Kai ... mereka memiliki akses, fasilitas dan duit ... jarak bukan masalah.” Gerry lantas pergi setelah berkata demikian, enggan membahas Imelda lagi agar Kaivan juga tidak memikirkan perempuan itu lagi. Pasalnya ketika Kaivan terpuruk—dirinya yang sibuk menghandle pekerjaan kantor. Selain itu Kaivan telah memiliki Zhafira, tidak semestinya masih memikirka
“Imelda pacaran sama Marco,” celetuk Kaivan dengan wajah murung. Gerry tertawa pelan menanggapi, pria itu merapihkan berkas-berkas yang telah Kaivan tanda-tangani. Menghirup napas dalam untuk mulai bicara. “Jangan bilang kalau lo pernah memperingati gue dulu,” sela Kaivan membuat mulut Gerry yang sudah menganga terkatup kembali. “Kita pernah bahas ini dan lo enggak percaya waktu itu.” “Dia di Indonesia dan Marco sama kita di Amerika, trus kapan mereka ketemuannya? Ya jelas lah gue enggak percaya.” “Apapun bisa mereka lakukan, Kai ... mereka memiliki akses, fasilitas dan duit ... jarak bukan masalah.” Gerry lantas pergi setelah berkata demikian, enggan membahas Imelda lagi agar Kaivan juga tidak memikirkan perempuan itu lagi. Pasalnya ketika Kaivan terpuruk—dirinya yang sibuk menghandle pekerjaan kantor. Selain itu Kaivan telah memiliki Zhafira, tidak semestinya masih memikirka
“Ibu Zhafira mengidap PCOS!” Kaivan dan Zhafira tertegun mendengar penuturan dokter setelah membaca hasil lab yang Zhafira lakukan minggu lalu. “Jadi Ibu Zhafira memiliki gangguan hormonal yang membuat sel telur sulit matang dan gagal dilepaskan ke rahim sehingga menyebabkan Ibu Zhafira kesulitan untuk hamil,” terang dokter Maximus. “Tapi saya masih bisa hamil ‘kan dok?” Zhafira bertanya penuh harap. “Masih donk, tapi Ibu harus merubah gaya hidup dengan makanan-makanan sehat dan kita akan theraphy obat-obatan ... setelah itu kita bisa melakukan inseminasi, gimana?” Dokter memberikan penawaran program yang bisa Kaivan dan Zhafira jalani. “Deal!!” seru Kaivan dan Zhafira serempak. Keduanya semangat untuk melakukan apapun yang dokter perintahkan untuk kehamilan Zhafira. Dokter lebih lanjut menjelaskan tentang syndrom tersebut yang bisa berakhir pada kanker. Tapi Zhafira tampak tegar, mendeng
Ting ... Tong ... Suara bel berbunyi membuat Zhafira mengerutkan kening tapi tak ayal melangkah cepat untuk membuka pintu. “Bunda?” gumam Zhafira tidak percaya. “Surprise!” seru Aura-bunda dari Kaivan kemudian memeluk menantunya. “Bunda sama siapa?” Zhafira bertanya setelah Aura mengurai pelukan. “Bunda sendiri, kemarin Kai telepon Bunda katanya kalian ada di sini buat berobat ... trus Kai minta Bunda dateng buat nemenin kamu karena Kai harus pulang ke Jakarta ... ya jadi, Bunda ke sini ... Kai enggak cerita?” Zhafira menggelengkan kepala. “Mas Kai enggak cerita apa-apa, malah tadi pagi sempet drama dulu ... Mas Kai enggak mau pulang tapi Fira usir.” Aura tergelak. “Manja ya Kai?” “Iya Bun, meluk perut Fira terus ... padahal udah rapih mau pergi ... Pilotnya udah teleponin.” Zhafira terdengar menggerutu. “Di antara anak laki-laki Bunda, yang paling nyantai kerjanya
“Kenapa lo telepon Kaivan? Si Imelda ‘kan bukan ceweknya lagi.” Gerry memprotes tindakan Richard. “Trus gue harus telepon siapa? Elo?” Richard balik menyerang, pria itu tidak terima. “Ya kalian bisa urus sendiri ... atau kasih ke keluarganya, Kaivan udah punya istri kenapa malah kasih tau Kaivan.” Gerry mengatakannya tanpa perasaan. “Heh! Lo enggak punya hati ya, kita semua tau kalau Imelda pacaran sama Kaivan udah tiga belas tahun lebih bahkan sebelum lo kenal Kaivan—Kaivan udah pacaran sama Imelda ... Kaivan harus tau tentang Imelda, apalagi sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Imelda enggak berhenti manggil nama Kaivan.” Rifani tampak emosi ketika berkata demikian sampai melototkan matanya pada Gerry. “Ya terus urusannya sama Kai apa? Imelda cuma mantan, udah enggak ada hubungan lagi ... trus sekarang apa? Memangnya Kai bisa apa? Selamat ya Rifani—lo udah bawa Kaivan ke kehancuran rumah tangganya,” sindir Gerry ketus. “Tenang