“Mas David ini–“ Ucapan pria bermata hitam itu terhenti setelah melihat David dan Erin yang sedang duduk sangat dekat. Nathan segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. David langsung menurunkan tangannya dengan gugup lalu bangkit dari tempat duduknya. “Oh kamu sudah kembali?” Nathan mencoba mengendalikan ekspresinya. “Ya, ini hasil pertemuan tadi baru aja diprint mas Denis.” Erin terdiam di tempatnya, ia hanya memandangi David dan Nathan secara bergantian tanpa mengucapkan apa pun. “Kerja bagus,” ucap David memuji hasil kerja adiknya. “Kamu sekarang ikut kerja disini juga, Nathan?” tanya Erin tiba-tiba. Pria bermata hitam itu tampak canggung. “Iya, aku mau memanfaatkan waktu ku lebih baik dan belajar secara langsung.” Tatapan mata keduanya bertemu tapi Nathan langsung mengalihkan pandangannya. “Aku permisi dulu, mas David, Erin.” Perempuan yang sejak tadi duduk di sofa itu mengangguk sedangkan David ikut keluar dari ruangan tersebut. Suasana ruang kerja itu menjadi heni
Erin terbangun setelah sinar matahari mulai masuk melalui jendela kamar. Matanya mengerjap beberapa kali dan ia berusaha mengumpulkan kesadarannya. Setelah menyadari ia tidur di ranjang, Erin tampak bingung. ‘Apa mas David memindahkan ku?’ Tangan Erin menyentuh bagian samping kanan ranjangnya kemudian tatapannya beralih ke sekeliling lalu berhenti pada jam digital di atas meja. /klek…/ Pintu kamar itu terbuka, David masuk dengan kaos yang basah oleh keringat. Ia baru saja selesai olahraga pagi. “Oh kamu sudah bangun? Aku nggak membangunkan mu karena sepertinya kamu kelelahan.” “Mas David memindahkan ku semalam?” “Ya… .” “Ehmm, tidur di sofa tidak nyaman, aku nggak keberatan kalau mas David juga tidur disini,” ucap Erin ragu. David mengernyitkan keningnya. “Kamu nggak perlu memaksakan diri.” “Nggak, aku terlalu banyak merepotkan… .” Pria bermata hitam itu mengalihkan pandangannya. Ia menahan diri untuk mengiyakan ucapan Erin. “Aku mandi dulu,” ucap David yang kemudian langs
“Ayolah David, aku hanya menagih janji ku. Lagi pula pernikahan mu dengan Erin hanya kontrak, kenapa kamu begitu membelanya?” Pria bermata coklat itu menatap Niki yang tampak serius dengan ucapannya. “Bukannya aku sudah bilang kalau aku mencintainya?” Niki tertawa lalu mengalihkan pandangannya. “Aku tau kamu hanya berpura-pura.” “Aku nggak berpura-pura.” “Aku tau alasan kamu membantunya bahkan rela menikah kontrak dengannya,” ucap Niki pelan. David terdiam di tempatnya sambil memijat dahinya. Ia bisa mengetahui Niki sangat serius dengan ucapannya dan wanita itu memang tidak pernah bicara omong kosong kepadanya. Ekspresi Niki melunak saat melihat David yang tampak kesulitan. “Maafkan aku, aku hanya ingin mencoba memperbaiki semua. Aku ingin kembali seperti dulu, Nicho lebih baik memiliki sosok ayah seperti mu.” Pria bermata coklat itu ingin bertanya tentang maksud perkataan Niki tapi suara teriakan Amelian dari lantai dasar membuat keduanya kaget. Pria bermata hitam itu melihat
“Aku sudah diberitahu kak Niki… .” Erin menyandarkan punggungnya di sofa sambil menatap ke arah David yang baru saja selesai mandi pada sore itu. “Aku belum sempat memberitahu mu karena ada pekerjaan yang nggak bisa ku tinggalkan hari ini.” Pandangan keduanya bertemu tapi Erin segera mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ada keraguan yang tersirat dari matanya. “Nggak apa-apa, lagi pula kak Niki udah mengatakannya… .” David mencoba mengamati wajah Erin. Ekspresi tenang perempuan itu berbeda dengan tatapan matanya. “Apa kamu keberatan?” tanya David setelah beberapa waktu terdiam. “Nggak, malah aku merasa sejak awal seharusnya memberinya kesempatan.” Pria bermata hitam yang sedang mengeringkan rambutnya itu mengernyitkan keningnya. Setelah mendengar perkataan Erin, ia yakin bahwa istri kontraknya tersebut sudah mengetahui perasaan Niki. “Aku udah berpesan ke kak Niki untuk berhati-hati, jadi aku harap mas David juga melakukan hal yang sama.” Erin mengatakan hal tersebut tanpa m
‘Kenapa dia ada di tempat seperti ini? Lalu siapa wanita itu?’ “Kenapa Dan?” tanya Erga yang bingung melihat temannya menghentikan langkah. “Nggak ada apa-apa, salah lihat orang,” jawab Daniel asal yang kemudian langsung menarik temannya menjauh. Ia tidak ingin David mengetahui keberadaannya. Pria tampan itu juga tidak ingin temannya melihat apa yang ia lihat meski ia sendiri tidak yakin ada yang mengenal David. “Kan udah gue bilang nggak bakal ada kenalan kita yang akan ke tempat ini,” ucap Erga sambil tertawa. Daniel tidak membalas ucapan temannya karena ia sedang sibuk memikirkan berbagai kemungkinan dari apa yang baru saja dilihatnya. ‘Kenapa mas David bersama wanita lain di tempat ini saat jam segini? Tapi sepertinya aku pernah lihat wanita itu…,’ ucap Daniel dalam hati. Pria dengan potongan rambut pendek itu sebelumnya sudah menyerah mendekati Erin dan menghormati keputusan perempuan itu. Meski masih kesulitan mengatur perasaannya, ia tidak lagi berusaha memaksakan diriny
“Kok bisa ya kak Nathan dorong cewek sampai jatuh begitu?” ucap perempuan berambut pendek dengan suara pelan. “Itu Emmy kan? Mereka tuh pacaran nggak sih?” sahut perempuan berjaket jeans. “Ada yang bilang mereka cuma teman, tapi ada juga yang bilang mereka pacaran sih." "Berarti pertengkaran antara pasangan? Tapi nggak perlu sampai dorong gitu lah.” Erin menatap kedua perempuan yang baru masuk perpustakan itu dengan tatapan tajam, tapi ia tidak mengatakan apa pun. Kedua perempuan yang merasa dipandangi oleh Erin itu pun langsung menghentikan percakapannya lalu melangkah menuju tempat duduk di ujung ruangan. Keduanya masih berbisik sambil menatap Erin. “Kenapa rin?” tanya Livi tiba-tiba. “Nggak, cuma heran aja kenapa banyak orang suka bergosip,” jawab Erin pelan. “Kan seru,” sahut Jessie sambil tertawa kecil. Walau jarang ikut membicarakan gosip, ia cukup senang menjadi pendengar untuk gosip yang banyak dibicarakan. Perempuan bermata coklat itu kembali fokus mengerjakan tugas
David baru saja datang ketika Erin sedang membaringkan tubuhnya di sofa dengan tetapan kosong ke arah langit-langit kamar. Perempuan itu tidak bergerak meski David memasuki ruangan itu. Tatapan matanya seolah memandang ke tempat yang jauh dan pikirannya sedang tidak ada di tempat. Ekspresi yang menunjukkan pemiliknya sedang berpikir keras itu dipandangi David dalam waktu lama. ‘Apa yang sedang dia pikirkan sampai tidak sadar aku datang?’ tanya David dalam hati. Pandangan pria bermata coklat itu beralih ke jam di atas meja dekat tempat tidur. Ia menghela nafas lalu segera pergi ke kamar mandi. Erin masih pada posisi yang sama bahkan setelah David selesai mandi dan hal tersebut membuat pria itu merasa heran. Meski awalnya tidak ingin menganggu kegiatan perempuan itu, ia justru merasa terganggu melihatnya yang tidak seperti biasa. Langkahnya mendekat ke arah Erin perlahan, lalu diletakannya kaleng minuman yang baru saja ia ambil dari lemari pendingin. Kesadaran Erin kembali sepenu
Malam yang dinantikan Nathan tiba. Ia bersiap lebih awal sambil memikirkan susunan kalimat yang ingin dikatakan kepada Erin. “Kamu baik-baik saja?” tanya Amelian setengah berbisik. Ia sejak tadi mengamati ekspresi putranya yang tampak sedang memikirkan banyak hal. Pria bermata hitam itu tersenyum. “Aku baik-baik saja, bu.” Ucapannya penuh dengan keyakinan dan Amelian bisa melihat hal tersebut dengan jelas. Pandangan mata semua yang sedang duduk mengitari meja itu beralih ke arah David dan Erin yang baru saja datang. Erin memakai gaun hitam panjang dengan lengan pendek. Ia tampak lebih menawan dengan penataan rambut yang diikat pada bagian samping telinga sebelah kiri. “Maaf kami terlambat,” ucap David yang kemudian duduk disusul oleh Erin. “Nggak terlambat kok, masih ada satu lagi yang akan datang,” jawab Amelian sambil tersenyum. Dahi David mengernyit, ia mengamati sekeliling meja itu tapi merasa semua yang sudah seharusnya hadir telah lengkap. Tidak lama kemudian seorang wa
Suasana menjadi hening usai David membenarkan apa yang ditanyakan Erin. Pria tersebut tidak mengatakan hal lain dan membiarkan istrinya memahami pengakuannya. Erin tampak terkejut dengan apa yang didengarnya meski sudah mendengar hal tersebut dari Niki terlebih dahulu. Ia memandang ke arah cincin di jari kanannya dengan ekspresi cemas sekaligus lega. ‘Jadi, sebenarnya aku dan mas David saling menyukai?’ “Itu hanya akan membuat mu semakin bingung saat mengambil keputusan kan?” tanya Davis setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama. Pandangan mata Erin beralih ke arah David. “Nggak… bukan begitu, aku hanya sedang berpikir.” “Jangan mempertimbangkan tentang ini, jangan pikirkan aku, kita bisa lakukan sesuai rencana.” “Nggak, tunggu dulu,” balas Erin dengan ekspresi cemas. Perempuan tersebut sejak tadi berusaha menyusun kalimat yang ingin dikatakan. Namun otaknya kali ini terasa sulit berfungsi sebagaimana mestinya. “Erin, dengar, aku mengatakan itu bukan untuk membuat mu bingung,
Semua asumsi dan pikiran buruk memenuhi kepalanya. David menghela nafas panjang lagi lalu memijat dahinya pelan. Ia berusaha tidak memikirkan semua itu lebih dulu. Setelah membereskan barang-barang milik Erin, pria tersebut langsung pergi berbelanja bahan masakan dan membeli buah-buahan kesukaan istrinya. Meski ia dalam keadaan tidak tenang, pria tersebut tetap memasak karena ingin menyambut kepulangan istrinya dengan hangat. Erin terbangun menjelang sore hari ketika Harsano sudah pulang ke rumah. Semua makanan yang dimasak David sudah tersedia lengkap di meja makan. “Sepertinya aku tidur sangat lama? Kenapa papa atau mas David nggak membangunkan ku?” “Perjalanan dari Italia kan sangat jauh, tentu saja kamu harus cukup istirahat,” balas Harsano dengan senyum yang dipaksakan. ‘Kenapa papa ekspresinya begitu?’ “Ayo makan,” ucap Harsano memperbaiki ekspresinya. Makan malam yang diselenggarakan lebih awal tersebut berlangsung cukup hangat. Namun Erin merasa ada yang lain dari eksp
Ekspresi Elisa masih tampak tetap teduh. Namun ada sedikit rasa cemas yang terpancar dari sorot matanya. “Lalu apa yang kamu inginkan?” “Aku hanya nggak mau membohongi semua orang lebih lama lagi, nek.” Wanita tua di sebelah Erin tersebut tersenyum. “Kali ini nenek tidak akan memaksakan satu hal, nenek akan mendukung apa pun keputusan mu.” “Aku akan coba berpikir lagi.” “Kamu bisa membicarakan itu dengannya, katakan secara jujur lalu ambil keputusan setelah kamu tidak lagi bimbang.” Elisa bangkit dari tempat duduknya lalu mengusap kepala Erin sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar tersebut. Erin menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan ekspresi sendu. Semua perasaan yang muncul membuat ia semakin bingung. ‘Walau mendengar semuanya, kenapa aku tetap terus teringat kalau mas David membantu ku karena merasa berhutang budi?’ Ia bukannya tidak bisa melihat ketulusan Dav
“Ini tentang David kan?” tanya Elisa lagi. Pupil mata Erin membesar setelah mendengar ucapan sang nenek. Namun ia tidak mengiyakan secara langsung tebakan Elisa. “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, kali ini nenek tidak akan sembarangan berkomentar,” ucap Elisa meyakinkan. Tatapan mata tua itu tampak teduh, tapi tetap tidak berhasil meyakinkan Erin untuk bercerita lebih dulu. Erin sudah terlanjur menganggap sang nenek membenci David. Baginya menceritakan tentang pria tersebut hanya akan membawa hal yang lebih buruk. Elisa masih menunggu dengan tenang selama selama beberapa waktu. Namun Erin tetap diam dengan ekspresi ragu. “David beberapa kali menghubungi nenek untuk menanyakan keadaan mu...,” ucap Elisa setelah cukup lama terdiam di tempatnya. “Mas David menghubungi nenek?” “Ya.” “Kenapa? Mas David kan bisa bertanya langsung ke Erin…” “Kamu menghindarinya, jadi dia bertanya langsung ke nenek.” Pandangan mata Erin beralih ke arah lain dengan ekspreii gelisah. ‘Jadi mas D
Niki menatap Erin dalam waktu lama. Ia beberapa kali menghela nafas kemudian menggelengkan kepalanya pelan. “Sudahlah, itu bukan urusan ku juga. Semoga semua rencana mu berjalan lancar.” Wanita bermata hazel itu bermaksud melangkah pergi, tapi Erin menahan pergelangan tangannya. “Tunggu, jelaskan dulu.” “Untuk apa?” Erin melepaskan genggaman tangannya. “Tolong jelaskan dulu, paling nggak, aku bisa tau hal yang sebenarnya.” “Apa David nggak mengatakannya padamu?” Perempuan di seberang Niki itu menggenggam tangannya sendiri sambil berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. “Sepertinya udah, tapi ku pikir itu hanya ucapan asal untuk menenangkan ku.” “Asal? Apa kamu nggak bisa membedakan bagaimana raut wajah seseorang saat mengatakan hal yang sesungguhnya?!” Intonasi suaranya meninggi. Niki tidak bisa menahan emosinya karena menghadapi Erin yang memilih buta akan semua hal di sekelilingnya. “Aku nggak mau salah paham…,” balas Erin beralasan. Ada jeda yang cukup panjang sebelum
Waktu berlalu cepat, tidak terasa Erin sudah berada di Italia selama hampir 4 bulan lamanya. Musim dingin kali ini datang lebih cepat dari tahun sebelumnya. Salju putih menyelimuti banyak kota sejak awal bulan. Erin tetap menjalani hari demi hari dengan baik. Belajar tentang bisnis, ikut memberi solusi pada masalah-masalah yang sedang terjadi pada perusahaan yang dikelola tante dan neneknya. Meski Erin sering teringat David, ia tetap melakukan semua kegiatannya dengan sempurna. Ia berusaha mengatur otaknya agar membedakan urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Bertambahnya usia dan pertemuannya dengan berbagai orang dengan latar belakang berbeda juga membuat ia banyak belajar tentang kehidupan. Perempuan itu menyadari banyak hal. Semua yang sudah dilakukannya dan balas dendamnya yang tidak membawa manfaat apa pun pada akhirnya akan melukai banyak orang, termasuk dirinya sendiri. “Kamu beneran mau berangkat sendiri? Tidak perlu nenek temani?”
David langsung mengunjungi rumah orang tuanya setelah pulang kerja. Namun hanya ada Nicho karena saat itu Niki belum kembali.“Halo paman,” sapa Nicho sambil tersenyum begitu melihat David sampai di rumah tersebut.“Paman?”“Ya, mama sudah memberitahu ku dan melarang ku memanggil paman dengan sebutan daddy lagi…”Amelian menatap bocah kecil tersebut dengan ekspresi bingung. Ia juga cukup terkejut saat Nicho memanggil David dengan sebutan paman.Wanita tua itu memilih menyimpan rasa penasarannya lalu melangkah menuju dapur untuk meyiapkan makan malam.“Hmm begitu? Jadi Nicho tidak mau memanggil daddy lagi?” tanya David yang kemudian duduk di sebelah bocah tersebut.Bocah kecil itu menatap David dalam waktu lama lalu tersenyum. “Nicho tidak ingin merepotkan paman lebih banyak lagi.”Jawaban tersebut tidak menjawab pertanyaan David. Namun pria berkumis tipis itu tahu betul bahwa itu adalah keputusan yang sudah disepakati oleh Niki dan Nicho.Meski ada rasa tidak nyaman yang muncul dalam
Erin mematung di tempatnya saat mendengar pertanyaan David dari seberang telepon. Ia tidak menyangka akan ditanya tentang hal itu. ‘Kenapa mas David bertanya itu? Apa nenek mengatakan sesuatu? Tentu nggak, aku sudah memintanya untuk berpura-pura nggak tau…’ “Erin?” tanya David memastikan sambungan teleponnya tidak terputus. “Ya… aku masih disini…” “Jadi nenek mu tahu tentang itu?” tanya David lagi. “Nggak… kenapa mas David mikir begitu?” Hening, David yang tidak langsung menjawab semakin membuat Erin merasa cemas. ‘Apa mas David tau sesuatu?’ “Kamu udah janji mau jawab jujur…,” ucap David setelah terdiam cukup lama. “Aku sudah menjawab jujur, mas…” “Erin… kita udah sepakat untuk mengakhiri semua dengan cara baik, aku juga butuh mengetahui keadaan sebenarnya…” Perempuan bermata coklat itu menggenggam erat ponselnya. Matanya terpejam sedangkan ekspresinya tampak semakin cemas. “Kita bicarakan itu nanti ya? Aku sudah harus pergi ke kantor sebentar lagi…” /klik…/ Erin langsu
Penampilan Nathan terlihat berbeda dari biasanya. Itu pertama kalinya Emmy melihat Nathan memakai jas. Jas hitam tersebut membuat penampilan Nathan tampak lebih dewasa. Penataan rambutnya sekarang juga membuat pria itu terlihat semakin tampan. Kalau David memiliki tampilan pria matang yang menantang, Nathan justru terlihat sebagai pria muda segar yang tenang. “Emmy?” Perempuan berambut pendek itu langsung menggelengkan kepalanya pelan saat menyadari sudah terlalu lama menatap Nathan. “Ah maaf, aku sedang melamun…” “Tumben?” “Biasalah… ngomong-ngomong penampilan kak Nathan sekarang terlihat beda, aku sampai nggak mengenali…” “Aku nggak mau terus-terusan dibilang ngikutin penampilan mas David…” Emmy mengernyitkan keningnya. Tanpa sadar ia mulai membandingkan penampilan David dengan Nathan sebelumnya. Perempuan itu beberapa kali memang pernah melihat tampilan Nathan yang serupa dengan kakaknya. Namun ia tidak menilai buruk karena berpikir Nathan melakukan itu karena mengidolaka