“Apa maksud mu hamil? Kita tidak pernah melakukan hal seperti itu, Mina,” ucap Nathan bingung.
“Aku tau… aku hanya ingin minta tolong kamu jelaskan kepada Andrian… ."
“Jangan libatin aku sama kebodohan yang kamu lakukan.”
“Hiks... Hiks… Aku udah coba hubungin Andrian dan ngabarin dia, tapi karena dia tau informasi tentang kejadian di kampus itu, dia ragu kalau ini anak dia… .”
Nathan mengepalkan tangannya. “Dulu kenapa kamu nyangkal waktu ku tanya tentang rumor kamu punya pacar?”
Suara di seberang telfon itu hening. Perempuan bernama Mina itu sebenarnya juga sedang bermain-main dengan Nathan saat merasa kesepian karena kekasihnya bekerja di luar kota. Meski begitu Nathan selalu menolak untuk melakukan hal lebih jauh dengannya.
“Jangan hubungin aku lagi, aku nggak mau berurusan lagi sama kamu!” ucap Nathan dengan ekspresi kesal. Ia segera mematikan telfon tersebut.
Klik…
Nathan langsung mematikan ponselnya. Kepalanya terasa sakit, entah kenapa masalah datang secara bersamaan ketika hidupnya sudah sekacau itu. Ia memang pernah mendengar bahwa Mina memiliki kekasih yang bekerja di kota yang berbeda, tapi saat Nathan bertanya tentang hal itu, Mina membantah hal tersebut.
Jari tangan Nathan menyentuh layar ponselnya lagi, tatapan matanya memandang ke arah kontak Erin. ‘Dengan cara apa aku harus meminta maaf ke Erin?’
Klek…
Nathan menoleh ke arah pintu. Ibunya berdiri dengan ekspresi dinginnya. “Ayah mu sudah menunggu di ruang keluarga.”
Nathan segera bangkit dari ranjangnya tanpa menjawab ucapan ibunya. Ia segera melangkah menuju ruang keluarga tanpa mengatakan apapun.
Hardion, ayah Nathan, telah berada di ruang tengah dengan ekspresi datar. Suasana itu mengingatkannya kejadian beberapa hari lalu saat foto dirinya dengan Mina tersebar di media sosial. Nathan duduk di seberang ayah dan ibunya, ia masih menunduk karena merasakan suasana yang membuatnya tidak nyaman.
“Apa kamu sudah meminta maaf kepada Erin?” tanya Hardion.
“Erin masih belum mau mengangkat telfon, tapi nanti Nathan bermaksud menemui ke rumahnya langsung.”
Hardion mengangguk. “Jika bisa, mintalah kesempatan kepadanya untuk menjalin hubungan lagi. Tunjukkan ketulusan dan kesungguhan mu dan jangan melakukan hal bodoh lagi.”
Nathan menatap ayahnya dengan ekspresi bingung. Namun ia tidak menanyakan apapun meski kepalanya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Laki-laki bermata hitam itu hanya mengangguk. Laki-laki bermata hitam itu memang sudah memikirkan semuanya selama beberapa hari belakangan ini dan menyadari kesalahannya. Ia telah sangat egois karena tidak memikirkan posisi Erin dan malah mencari perhatian kepada perempuan lain.
“Jika Erin tidak memaafkan mu, kembalilah lagi setiap hari di jam yang sama sampai dia mau bicara dengan mu. Kalau kamu menunjukkan kesungguhan mu ia pasti akan luluh,” ucap Hardion menyarankan.
“Iya, Nathan mengerti. Kalau begitu Nathan pergi dulu.” Laki-laki bermata hitam itu langsung bangkit dan melangkah pergi meninggalkan rumah itu.
Nathan berkali-kali menghela nafas. Ia sebenarnya hanya ingin meminta maaf tanpa mengharapkan hal lain, tapi hati kecilnya juga berharap bisa memperbaiki semua dan memulai kembali hubungannya dengan Erin.
Mobil hitam itu berhenti di sebuah toko bunga. Nathan membeli buket bunga tulip putih untuk diberikan kepada Erin sebagai permintaan maaf. Laki-laki bermata hitam itu tahu betul satu-satunya bunga yang disukai gadis itu.
Bunga tulip juga melambangkan perjalanan baru dan awal baru dalam hidup. Bagi Erin yang dulu pernah mengalami kehilangan yang amat sangat menyedihkan, bunga tulip putih selalu mengingatkannya bahwa segala sesuatu yang paling menyedihkan sekalipun bisa menjadi awal yang baru dalam hidup.
Nathan tersenyum, di saat seperti ini ia justru baru benar-benar memikirkan tentang Erin padahal sebelumnya yang ia khawatirkan pertama kali justru hal lain. Ia menyadari keegoisannya telah menghancurkan hati seorang gadis yang begitu mempercayainya.
***
Nathan tiba di depan rumah Erin pukul 5 sore. Biasanya Erin akan pulang di sekitar jam tersebut lalu akan kembali pergi pukul 7. Laki-laki bermata hitam itu sudah menghafal setiap kegiatan Erin karena dulu gadis bermata coklat itu selalu mengirim pesan kepadanya setiap akan melakukan rutinitasnya.
Tidak lama kemudian sebuah mobil berwarna biru datang dan langsung masuk ke rumah bercat kombinasi hitam putih itu. Setelah mobil tersebut masuk, penjaga rumah langsung kembali menutup gerbang tanpa mempedulikan Nathan yang berdiri di depan gerbang sejak tadi.
Seorang gadis berpakaian hitam turun dari mobil biru tersebut, tapi ia sama sekali tidak menoleh ke arah gerbang tempat Nathan berada.
“Erin!”
Erin melanjutkan langkahnya dengan ekspresi datar tanpa menoleh atau menjawab panggilan Nathan.
“Erin… .”
Braakk… Pintu berwarna hitam itu ditutup dengan kasar seolah menunjukkan suasana hati sang pemilik rumah.
Nathan terdiam di tempatnya. Ia memandang ke arah jendela di lantai dua yang merupakan ruang kamar Erin. Laki-laki bermata hitam itu berharap Erin melihatnya dari jendela tersebut. Namun tentu saja hal tersebut tidak dilakukan oleh gadis bermata coklat itu.
Langit sudah semakin gelap seiring matahari yang mulai terbenam. Nathan tetap berdiri di depan gerbang hitam itu dengan ekspresi sendu. Tidak lama kemudian sebuah mobil hitam kembali masuk ke dalam rumah itu. Seorang pria paruh baya turun lalu menoleh sebentar ke arah Nathan sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah.
Beberapa orang yang lewat mulai memperhatikan Nathan yang sejak tadi berdiri dengan buket bunga di tangan. Namun Nathan tampak tidak peduli, ia hanya menggenggam erat buket bunga itu sambil menatap ke arah jendela kamar Erin.
Waktu semakin berlalu, lampu di jalanan komplek tersebut mulai menyala. Nathan tetap di tempatnya tanpa bergeming sedikit pun. Kali ini tatapannya fokus ke buket bunga tulip yang ia genggam erat. Ia tahu Erin tidak mungkin mau menemuinya begitu saja setelah apa yang ia lakukan kepadanya selama ini.
Drrrtttt…
Nathan langsung menerima panggilan telfion dari kontak bernama ‘Erin Sayang’ itu.
“Kamu ngapain sih di depan situ berjam-jam? Pulang sana!” ucap Erin dengan nada tinggi.
“Aku mau minta maaf… .”
“Pulang sekarang! Kamu ganggu pemandangan tau nggak?”
Klik…
Nathan melihat layar ponselnya dengan ekspresi sendu. Ia melihat ke arah rumah tersebut sejenak lalu kembali masuk ke dalam mobilnya. Buket bunga tulip itu dibiarkan begitu saja di kursi sebelahnya.
Laki-laki bermata hitam itu mencoba mengirim pesan kepada Erin. Ia memberitahu gadis itu bahwa besok ia akan datang lagi sampai Erin mau berbicara dan menemuinya. Pesan yang dikirimkan oleh Nathan itu sepertinya sudah dibaca, namun tidak ada balasan dari Erin. Nathan hanya bisa menghela nafas panjang, penyesalannya sekarang sudah tidak ada gunanya lagi.
*****
Esoknya pada jam yang sama, Nathan kembali menunggu di depan rumah Erin dengan membawa buket bunga tulip putih yang baru saja dibelinya dari toko. Namun lagi-lagi Erin tetap masih belum ingin menemui maupun berbicara dengannya. Gadis bermata coklat itu hanya mengirim pesan kepada Nathan untuk meminta laki-laki itu pulang.Pada hari berikutnya Nathan kembali melakukan hal serupa, namun respon Erin juga masih tetap sama. Erin akan langsung masuk ke dalam rumah tanpa menoleh meski Nathan memanggil namanya berkali-kali. Meski begitu hari ini laki-laki bermata hitam itu menunggu lebih lama daripada hari kemarin.Angin malam itu bertiup lebih kencang namun Nathan tetap menunggu dengan sabar di depan gerbang. Ia tidak masalah jika harus melakukan hal itu puluhan atau bahkan ratusan kali. Nathan ingin menunjukkan rasa bersalahnya dan kesungguhannya meminta maaf.Awan mendung dari arah utara mulai menyebar ke daerah tersebut. Tidak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Meski begitu Nathan
Nathan kembali ke rumah dengan keadaan basah kuyup. Kakaknya telah menunggu di ruang tengah dengan ekspresi datar. “Darimana saja kamu?” “Dari rumah Erin… .” “Berhentilah melakukan hal itu setiap hari.” Nathan diam, ia melanjutkan langkahnya menuju kamar. Buket bunga yang sejak tadi dibawa itu diletakkan berjajar dengan buket bunga lainnya di dekat jendela ruangan bernuansa putih tersebut. Laki-laki bermata coklat itu menghela nafas panjang sambil menatap buket bunga tulip putih itu. Tok..tok..tok.. “Ya?” Klek… Amelian tampak kaget saat melihat Nathan masih memakai pakaiannya yang basah. “Kamu ini kenapa tidak mandi dan ganti baju langsung setelah kehujanan begitu?” ucap Amelian dengan eskpresi cemas. “Iya ini baru mau mandi, ada apa ibu tiba-tiba ke kamar Nathan?” “Ayah mu menyuruh mu ke ruang kerjanya.” “Iya, nanti Nathan akan kesana setelah mandi.” Amelian mengangguk lalu kembali ke ru
Nathan datang lagi dan menunggu di depan gerbang rumah Erin. Ia lagi-lagi membawa buket bunga tulip yang baru untuk diberikan kepada gadis bermata coklat tersebut. Meski ia tidak tahu apakah gadis itu akan menerimanya atau tidak. Cuaca hari itu sudah buruk sejak pagi, namun Nathan tetap menunggu dengan sabar meski di tengah rintik gerimis. Walaupun kondisi badannya sedang kurang sehat karena sempat kehujanan kemarin, ia tidak ingin melewatkan satu hari pun untuk menunjukkan kesungguhannya meminta maaf. Tepat pukul lima Erin kembali ke rumah. Ia menatap sekilas ke arah Nathan lalu langsung masuk ke kediamannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Nathan tetap menunggu di depan gerbang meski kali ini kepalanya sudah mulai terasa pusing. ‘Apa aku pulang dulu sekarang? Kepala ku rasanya sakit sekali.’ Drrrkkk… Erin membuka gerbang berwarna hitam itu dengan ekspresi dinginnya. Ia tampak sudah berganti pakaian dengan baju yang nyaman digunakan. “Masu
Nathan merasa senang karena Erin mau memberikan kesempatan untuknya agar bisa dimaafkan. Ia benar-benar menyesal sehingga ingin menunjukkan kesungguhannya untuk Erin. Laki-laki bermata hitam itu tidak tahu bahwa apapun tindakannya nanti adalah hal yang sia-sia di hadapan gadis itu. “Kamu kelihatannya lagi seneng?” tanya David yang tampak sudah bersiap berangkat bekerja. “Erin udah mau ngomong sama aku.” David diam, ia hanya menghela nafas panjang namun tidak mengatakan apa pun lagi. Laki-laki bermata coklat itu mulai mengambil roti isi yang sudah disiapkan oleh ibunya. Hardion yang mendengar percakapan dua putranya itu ikut bertanya. “Erin sudah memaafkan mu?” “Ehmm, belum tapi Erin sudah mau diajak bicara.” Hardion mengangguk. “Bagus, kamu bisa mengundangnya makan bersama supaya dia merasa dekat lagi.” David menatap ayahnya dengan ekspresi heran. Ia tidak mengerti kenapa ayahnya tampak ikut campur dengan urusan percintaan anak
Nathan dan Erin sudah kembali dekat selama beberapa hari ini. Informasi tentang kedekatan dua orang itu menjadi bahan pembicaraan oleh banyak mahasiswa. Banyak yang mengatakan Erin bodoh karena memberikan kesempatan lagi pada orang yang berselingkuh, ada juga yang memaki Nathan yang disebut tidak tahu diri. Erin enggan bereaksi seolah tidak terpengaruh oleh semua pembicaraan tersebut. Sekarang gadis bermata coklat itu sedang menikmati perannya sebagai seorang perempuan bodoh yang menerima kembali kekasihnya yang berselingkuh. “Kamu yakin mau makan malam dengan keluarga Nathan?” tanya Harsano memastikan. “Ya.” Harsano menatap putrinya dengan tatapan yang teduh. “Kamu mau papa antar?” “Nggak usah pa, Nathan akan menjemput kesini.” “Baiklah, kalau ada apa-apa langsung hubungi papa, ya?” “Iya.” Setelah mendengar klakson mobil, Erin pun pamit kepada ayahnya dan segera melangkah keluar. Nathan sudah menunggu di depan gerbang
Hubungan Erin dan Nathan semakin membaik seiring waktu, lebih tepatnya ‘terlihat membaik’. Nathan benar-benar berusaha berubah dan menunjukkan ketulusannya kepada Erin. Ia bahkan tidak lagi mempermasalahkan jika Erin lebih mementingkan pekerjaan dan kuliahnya sekarang. Laki-laki bermata hitam itu bersungguh-sungguh menunjukkan perubahan dan mencoba bertanggungjawab pada apa yang telah dilakukannya dulu. Walaupun keadaan tidak berubah secepat itu bagi orang yang sudah mendapat cap tukang selingkuh. “Kak Layla, ada yang nyariin,” ucap seorang gadis berkuncir dua. “Siapa?” tanya Layla memastikan. “Ehmm… Kak Nathan.” Semua yang ada di ruang sekre BEM itu berpandangan dengan ekspresi heran. “Nggak usah ditemuin, La,” ucap Rian menyarankan. “Jangan gitu dong, dia emang udah lakuin kesalahan, tapi dulunya kan dia temen kita juga.” “Rian bener, aku juga berpendapat lebih baik nggak usah nemuin dia,” sahut Riza ikut memberi sara
Suasana damai pagi itu dikejutkan oleh adanya rumor kehamilan Mina yang tersebar luas. Gosip yang sebelumnya telah mereda mulai kembali memanas. Kabar tersebut juga sampai di telinga Erin. “Erin!” pangil Livi yang datang tergesa-gesa. Erin yang saat itu sedang fokus merapikan tugas yang akan dikumpulkan menatap Livi dengan ekspresi heran. “Kamu kenapa pagi-pagi udah ngos-ngosan gitu?” “Kamu udah denger rumor yang beredar?” “Rumor apaan?” “Katanya Mina hamil,” ucap Livi masih sambil mengatur nafas. Jessie yang saat itu baru saja datang langsung menjatuhkan roti yang digenggamnya. “Hah?!” Erin diam, entah kenapa ia merasakan sesuatu yang tidak nyaman meski ia yakin sudah tidak ada rasa cinta dalam hatinya. ‘Apa karena sebenarnya aku berharap dia benar-benar berubah?’ “Tuh kan gue bilang juga apa, jangan pernah kasih kesempatan ke orang kayak gitu,” gerutu Jessie sambil memungut rotinya lalu membuangnya ke tempat sampah.
Usai tersebarnya informasi tentang Mina yang hamil, pembicaraan di antara mahasiswa kembali memanas. Nathan kembali mendapat hujatan karena dianggap sebagai laki-laki yang harus bertanggungjawab atas kehamilan Mina. Erin juga mendapat sorotan karena terlihat dekat kembali dengan Nathan baru-baru ini. Namun gadis bermata coklat itu tampak tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Ia bahkan tidak masalah saat disebut sebagai perempuan yang mudah dibodohi. “Erin, kamu habis kelas ada acara nggak?” tanya Livi memastikan. “Aku udah ada janji ketemu sama seseorang, emang kenapa?” “Yaaahh, ehmm… ada kakak tingkat jurusan lain yang minta dikenalin ke kamu.” Erin memandang ke arah Livi dengan ekspresi datar. “Aku nggak tertarik." Jessie menghela nafas. “Kenapa nggak dicoba dulu sih rin? Biar bisa cepet move on.” “Iya ih, ini kakak tingkat ganteng loh,” ucap Livi meyakinkan. Erin tersenyum. “Yaudah lain kali aku ikut.”
Suasana menjadi hening usai David membenarkan apa yang ditanyakan Erin. Pria tersebut tidak mengatakan hal lain dan membiarkan istrinya memahami pengakuannya. Erin tampak terkejut dengan apa yang didengarnya meski sudah mendengar hal tersebut dari Niki terlebih dahulu. Ia memandang ke arah cincin di jari kanannya dengan ekspresi cemas sekaligus lega. ‘Jadi, sebenarnya aku dan mas David saling menyukai?’ “Itu hanya akan membuat mu semakin bingung saat mengambil keputusan kan?” tanya Davis setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama. Pandangan mata Erin beralih ke arah David. “Nggak… bukan begitu, aku hanya sedang berpikir.” “Jangan mempertimbangkan tentang ini, jangan pikirkan aku, kita bisa lakukan sesuai rencana.” “Nggak, tunggu dulu,” balas Erin dengan ekspresi cemas. Perempuan tersebut sejak tadi berusaha menyusun kalimat yang ingin dikatakan. Namun otaknya kali ini terasa sulit berfungsi sebagaimana mestinya. “Erin, dengar, aku mengatakan itu bukan untuk membuat mu bingung,
Semua asumsi dan pikiran buruk memenuhi kepalanya. David menghela nafas panjang lagi lalu memijat dahinya pelan. Ia berusaha tidak memikirkan semua itu lebih dulu. Setelah membereskan barang-barang milik Erin, pria tersebut langsung pergi berbelanja bahan masakan dan membeli buah-buahan kesukaan istrinya. Meski ia dalam keadaan tidak tenang, pria tersebut tetap memasak karena ingin menyambut kepulangan istrinya dengan hangat. Erin terbangun menjelang sore hari ketika Harsano sudah pulang ke rumah. Semua makanan yang dimasak David sudah tersedia lengkap di meja makan. “Sepertinya aku tidur sangat lama? Kenapa papa atau mas David nggak membangunkan ku?” “Perjalanan dari Italia kan sangat jauh, tentu saja kamu harus cukup istirahat,” balas Harsano dengan senyum yang dipaksakan. ‘Kenapa papa ekspresinya begitu?’ “Ayo makan,” ucap Harsano memperbaiki ekspresinya. Makan malam yang diselenggarakan lebih awal tersebut berlangsung cukup hangat. Namun Erin merasa ada yang lain dari eksp
Ekspresi Elisa masih tampak tetap teduh. Namun ada sedikit rasa cemas yang terpancar dari sorot matanya. “Lalu apa yang kamu inginkan?” “Aku hanya nggak mau membohongi semua orang lebih lama lagi, nek.” Wanita tua di sebelah Erin tersebut tersenyum. “Kali ini nenek tidak akan memaksakan satu hal, nenek akan mendukung apa pun keputusan mu.” “Aku akan coba berpikir lagi.” “Kamu bisa membicarakan itu dengannya, katakan secara jujur lalu ambil keputusan setelah kamu tidak lagi bimbang.” Elisa bangkit dari tempat duduknya lalu mengusap kepala Erin sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar tersebut. Erin menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan ekspresi sendu. Semua perasaan yang muncul membuat ia semakin bingung. ‘Walau mendengar semuanya, kenapa aku tetap terus teringat kalau mas David membantu ku karena merasa berhutang budi?’ Ia bukannya tidak bisa melihat ketulusan Dav
“Ini tentang David kan?” tanya Elisa lagi. Pupil mata Erin membesar setelah mendengar ucapan sang nenek. Namun ia tidak mengiyakan secara langsung tebakan Elisa. “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, kali ini nenek tidak akan sembarangan berkomentar,” ucap Elisa meyakinkan. Tatapan mata tua itu tampak teduh, tapi tetap tidak berhasil meyakinkan Erin untuk bercerita lebih dulu. Erin sudah terlanjur menganggap sang nenek membenci David. Baginya menceritakan tentang pria tersebut hanya akan membawa hal yang lebih buruk. Elisa masih menunggu dengan tenang selama selama beberapa waktu. Namun Erin tetap diam dengan ekspresi ragu. “David beberapa kali menghubungi nenek untuk menanyakan keadaan mu...,” ucap Elisa setelah cukup lama terdiam di tempatnya. “Mas David menghubungi nenek?” “Ya.” “Kenapa? Mas David kan bisa bertanya langsung ke Erin…” “Kamu menghindarinya, jadi dia bertanya langsung ke nenek.” Pandangan mata Erin beralih ke arah lain dengan ekspreii gelisah. ‘Jadi mas D
Niki menatap Erin dalam waktu lama. Ia beberapa kali menghela nafas kemudian menggelengkan kepalanya pelan. “Sudahlah, itu bukan urusan ku juga. Semoga semua rencana mu berjalan lancar.” Wanita bermata hazel itu bermaksud melangkah pergi, tapi Erin menahan pergelangan tangannya. “Tunggu, jelaskan dulu.” “Untuk apa?” Erin melepaskan genggaman tangannya. “Tolong jelaskan dulu, paling nggak, aku bisa tau hal yang sebenarnya.” “Apa David nggak mengatakannya padamu?” Perempuan di seberang Niki itu menggenggam tangannya sendiri sambil berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. “Sepertinya udah, tapi ku pikir itu hanya ucapan asal untuk menenangkan ku.” “Asal? Apa kamu nggak bisa membedakan bagaimana raut wajah seseorang saat mengatakan hal yang sesungguhnya?!” Intonasi suaranya meninggi. Niki tidak bisa menahan emosinya karena menghadapi Erin yang memilih buta akan semua hal di sekelilingnya. “Aku nggak mau salah paham…,” balas Erin beralasan. Ada jeda yang cukup panjang sebelum
Waktu berlalu cepat, tidak terasa Erin sudah berada di Italia selama hampir 4 bulan lamanya. Musim dingin kali ini datang lebih cepat dari tahun sebelumnya. Salju putih menyelimuti banyak kota sejak awal bulan. Erin tetap menjalani hari demi hari dengan baik. Belajar tentang bisnis, ikut memberi solusi pada masalah-masalah yang sedang terjadi pada perusahaan yang dikelola tante dan neneknya. Meski Erin sering teringat David, ia tetap melakukan semua kegiatannya dengan sempurna. Ia berusaha mengatur otaknya agar membedakan urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Bertambahnya usia dan pertemuannya dengan berbagai orang dengan latar belakang berbeda juga membuat ia banyak belajar tentang kehidupan. Perempuan itu menyadari banyak hal. Semua yang sudah dilakukannya dan balas dendamnya yang tidak membawa manfaat apa pun pada akhirnya akan melukai banyak orang, termasuk dirinya sendiri. “Kamu beneran mau berangkat sendiri? Tidak perlu nenek temani?”
David langsung mengunjungi rumah orang tuanya setelah pulang kerja. Namun hanya ada Nicho karena saat itu Niki belum kembali.“Halo paman,” sapa Nicho sambil tersenyum begitu melihat David sampai di rumah tersebut.“Paman?”“Ya, mama sudah memberitahu ku dan melarang ku memanggil paman dengan sebutan daddy lagi…”Amelian menatap bocah kecil tersebut dengan ekspresi bingung. Ia juga cukup terkejut saat Nicho memanggil David dengan sebutan paman.Wanita tua itu memilih menyimpan rasa penasarannya lalu melangkah menuju dapur untuk meyiapkan makan malam.“Hmm begitu? Jadi Nicho tidak mau memanggil daddy lagi?” tanya David yang kemudian duduk di sebelah bocah tersebut.Bocah kecil itu menatap David dalam waktu lama lalu tersenyum. “Nicho tidak ingin merepotkan paman lebih banyak lagi.”Jawaban tersebut tidak menjawab pertanyaan David. Namun pria berkumis tipis itu tahu betul bahwa itu adalah keputusan yang sudah disepakati oleh Niki dan Nicho.Meski ada rasa tidak nyaman yang muncul dalam
Erin mematung di tempatnya saat mendengar pertanyaan David dari seberang telepon. Ia tidak menyangka akan ditanya tentang hal itu. ‘Kenapa mas David bertanya itu? Apa nenek mengatakan sesuatu? Tentu nggak, aku sudah memintanya untuk berpura-pura nggak tau…’ “Erin?” tanya David memastikan sambungan teleponnya tidak terputus. “Ya… aku masih disini…” “Jadi nenek mu tahu tentang itu?” tanya David lagi. “Nggak… kenapa mas David mikir begitu?” Hening, David yang tidak langsung menjawab semakin membuat Erin merasa cemas. ‘Apa mas David tau sesuatu?’ “Kamu udah janji mau jawab jujur…,” ucap David setelah terdiam cukup lama. “Aku sudah menjawab jujur, mas…” “Erin… kita udah sepakat untuk mengakhiri semua dengan cara baik, aku juga butuh mengetahui keadaan sebenarnya…” Perempuan bermata coklat itu menggenggam erat ponselnya. Matanya terpejam sedangkan ekspresinya tampak semakin cemas. “Kita bicarakan itu nanti ya? Aku sudah harus pergi ke kantor sebentar lagi…” /klik…/ Erin langsu
Penampilan Nathan terlihat berbeda dari biasanya. Itu pertama kalinya Emmy melihat Nathan memakai jas. Jas hitam tersebut membuat penampilan Nathan tampak lebih dewasa. Penataan rambutnya sekarang juga membuat pria itu terlihat semakin tampan. Kalau David memiliki tampilan pria matang yang menantang, Nathan justru terlihat sebagai pria muda segar yang tenang. “Emmy?” Perempuan berambut pendek itu langsung menggelengkan kepalanya pelan saat menyadari sudah terlalu lama menatap Nathan. “Ah maaf, aku sedang melamun…” “Tumben?” “Biasalah… ngomong-ngomong penampilan kak Nathan sekarang terlihat beda, aku sampai nggak mengenali…” “Aku nggak mau terus-terusan dibilang ngikutin penampilan mas David…” Emmy mengernyitkan keningnya. Tanpa sadar ia mulai membandingkan penampilan David dengan Nathan sebelumnya. Perempuan itu beberapa kali memang pernah melihat tampilan Nathan yang serupa dengan kakaknya. Namun ia tidak menilai buruk karena berpikir Nathan melakukan itu karena mengidolaka