Nathan datang lagi dan menunggu di depan gerbang rumah Erin. Ia lagi-lagi membawa buket bunga tulip yang baru untuk diberikan kepada gadis bermata coklat tersebut. Meski ia tidak tahu apakah gadis itu akan menerimanya atau tidak.
Cuaca hari itu sudah buruk sejak pagi, namun Nathan tetap menunggu dengan sabar meski di tengah rintik gerimis. Walaupun kondisi badannya sedang kurang sehat karena sempat kehujanan kemarin, ia tidak ingin melewatkan satu hari pun untuk menunjukkan kesungguhannya meminta maaf.
Tepat pukul lima Erin kembali ke rumah. Ia menatap sekilas ke arah Nathan lalu langsung masuk ke kediamannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Nathan tetap menunggu di depan gerbang meski kali ini kepalanya sudah mulai terasa pusing. ‘Apa aku pulang dulu sekarang? Kepala ku rasanya sakit sekali.’
Drrrkkk… Erin membuka gerbang berwarna hitam itu dengan ekspresi dinginnya. Ia tampak sudah berganti pakaian dengan baju yang nyaman digunakan.
“Masuklah.”
“Boleh?” tanya Nathan memastikan.
“Ya.”
Nathan mengikuti langkah Erin tanpa mengatakan apapun. Ia merasa lega namun juga khawatir di saat yang bersamaan.
“Duduk,” ucap Erin masih dengan ekspresi dinginnya.
“Ini… .” Nathan menyerahkan buket bunga tulip putih itu kepada Erin.
Erin menghela nafas panjang namun tetap menerima buket bunga tersebut.
“Aku mau minta maaf…,” ucap Nathan pelan.
“Minta maaf untuk apa?”
“Ehmm… aku melakukan hal yang buruk dan nyakitin kamu.” Tangan Nathan tampak bergetar karena kedinginan.
“Tunggu sebentar.” Erin langsung bangkit dan melangkah pergi meninggalkan Nathan di ruang tamu. Beberapa menit kemudian gadis bermata coklat itu kembali dengan membawa satu cangkir teh hangat. Ia langsung menyodorkan minuman itu untuk Nathan.
Nathan memandangi teh hangat di gelas itu. Ia merasa malu karena dalam keadaan marah pun, Erin masih memperhatikannya yang sedang kedinginan. Laki-laki bermata hitam itu mengambil teh hangat tersebut dan meminumnya.
“Maaf,” ucap Nathan lagi dengan mata yang berkaca-kaca. Jika diperbolehkan, mungkin ia akan memohon-mohon untuk dimaafkan. Hanya saja ia tidak ingin membuat Erin merasa tidak nyaman.
Erin terdiam dengan ekspresi datar. Kali ini gadis itu merasa kesal dengan dirinya sendiri yang masih merasa ikut sedih saat melihat Nathan berekspresi seperti itu.
“Maaf…,” ucap Nathan lagi.
“Hentikan.”
“Apa yang harus ku lakuin supaya kamu maafin aku?”
Erin terdiam selama beberapa waktu. “Berusahalah lebih banyak sampai aku bisa ngerasain kalau kamu tulus.”
“Aku bener-bener nyesel… Aku mau berusaha lebih baik dan nggak membuat kamu kecewa lagi… .”
‘Kenapa kamu nggak berusaha seperti sejak dulu? Kenapa malah berselingkuh?’ ucap Erin dalam hati.
“Ya… .”
“Apa kamu bakal maafin aku?”
“Mungkin suatu waktu nanti… Sebelum itu ada yang mau ku tanyain… Sebenernya apa alasan mu berselingkuh?”
Nathan terdiam di tempatnya, ia tidak ingin menutupi apapun lagi namun ia juga tidak mau terkesan beralasan dan menyalahkan Erin.
Erin menghela nafas panjang, ia kembali berbicara. “Aku selalu denger dari banyak orang, banyak komentar pada kasus perselingkuhan… Kebanyakan dari mereka selalu menyalahkan pasangan wanitanya karena berbagai hal, ada yang disebut kurang memperhatikan pasangannya, ada yang menyebut terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, jadi yang kamu lakukan itu apa karena aku?”
“Tidak… itu karena aku egois. Aku hanya nuntut tanpa coba paham posisi mu… ,” jawab Nathan lirih.
Erin menatap Nathan, mata gadis itu tampak berkaca-kaca. Gadis bermata coklat itu bisa mengerti dengan baik kesungguhan yang diucapkan Nathan.
‘Kenapa kamu secepat itu sadarnya? Padahal aku berharap kamu tetap bersikap nggak tau diri supaya aku bisa balas dendam dengan nyaman,’ gumam Erin dalam hati.
“Aku akan mempertimbangkan maafin kamu atau nggak setelah lihat dan yakin kalau kamu itu nggak sedang pura-pura.”
Nathan memandangi teh yang mulai dingin itu. “Ya, aku akan berusaha.”
Erin menghela nafas panjang lalu bangkit dari tempat duduknya. “Aku ingin istirahat, setelah hujan reda pulang lah.”
“Iya,” ucap Nathan pasrah. Meski masih ingin berbicara tentang banyak hal, ia tidak ingin mengganggu waktu istirahat Erin.
Gadis bermata coklat itu melangkah menuju kamarnya, meninggalkan Nathan di ruang tamu dengan teh yang sudah hampir menjadi dingin.
***
Erin memandangi buket bunga tulip itu sejenak lalu segera membuangnya ke tempat sampah. Ia merasa benci dengan dirinya sendiri yang sesekali masih memikirkan laki-laki yang sudah mengkhinatinya itu.
“Kamu pasti senang kan karena diberikan kesempatan?” gumam Erin pelan. Gadis bermata coklat itu memejamkan matanya, ia mengepalkan tangannya erat.
Tok..tok..
“Ya?”
“Ini papa.”
Klek…
“Ada apa, Pa?”
“Tadi kamu menyuruh Nathan masuk?”
“Ya, apa dia masih belum pulang?”
“Sudah pulang kok baru saja.” Harsano hampir saja berpikir bahwa anaknya memaafkan laki-laki itu, namun saat melihat buket bunga di tempat sampah, ayah Erin hanya menghela nafas.
“Yasudah, istirahatlah,” ucap Harsano mengakhiri pembicaraan.
“Pa… Erin masih belum bisa memaafkanya.”
Harsano menatap putrinya dengan ekspresi sendu, ia mengusap pelan kepala Erin. “Papa nggak akan maksa kamu memaafkan anak itu.”
“Pa, kalau Erin melakukan sesuatu yang buruk karena merasa sakit hati dan berubah menjadi orang jahat, apa Papa akan kecewa sama Erin?”
Harsano diam sejenak, ia bisa menebak sedikit arah pembicaraan putrinya. “Papa bisa mengerti rasanya dikhianati oleh orang yang paling dipercaya. Semakin besar rasa percaya, saat dikhianati rasa sakitnya akan sama besarnya pula. Apa pun yang kamu lakukan, kamu tetap putri Papa, tapi Papa harap kamu nggak melakukan sesuatu yang bisa merusak dirimu sendiri.”
Mata Erin berkaca-kaca mendengar jawaban ayahnya. Gadis bermata coklat itu menggangguk pelan tanpa mengucapkan apa pun.
Hatinya terasa sakit karena meski telah mendengar nasehat dari ayahnya, keinginan balas dendamnya tidak berkurang sedikit pun. Ia tidak mengerti kenapa ia terus teringat saat Nathan bersama dengan Mina. Meski ia berusaha melupakan itu, justru semuanya terlihat semakin jelas.
Harsano ikut merasa sedih melihat kepedihan yang dirasakan putrinya. Ia tahu betul betapa besar rasa cinta Erin kepada Nathan. Pria paruh baya itu rasanya juga ingin memukul Nathan yang telah menyakiti putri kesayangannya.
“Istirahatlah, Papa mau mandi dulu.”
“Papa baru banget pulang ya?”
“Iya, Papa khawatir putri kesayangan Papa menangis lagi karena seorang laki-laki br*ngsek yang datang terus.”
“Erin nggak nangis lagi kok. Yaudah Papa sana mandi.”
Harsano tersenyum lalu berlalu pergi meninggalkan Erin yang masih terdiam di ambang pintu. Gadis bermata coklat itu tersenyum getir melihat buket bunga di tempat sampah itu.
‘Kamu mungkin berpikir bisa memanfaatkan ku lagi, tapi aku yang sekarang bukan Erin yang kamu kenal dulu, Nathan,’ gumam Erin dalam hati dengan eskpresi dingin.
*****
Nathan merasa senang karena Erin mau memberikan kesempatan untuknya agar bisa dimaafkan. Ia benar-benar menyesal sehingga ingin menunjukkan kesungguhannya untuk Erin. Laki-laki bermata hitam itu tidak tahu bahwa apapun tindakannya nanti adalah hal yang sia-sia di hadapan gadis itu. “Kamu kelihatannya lagi seneng?” tanya David yang tampak sudah bersiap berangkat bekerja. “Erin udah mau ngomong sama aku.” David diam, ia hanya menghela nafas panjang namun tidak mengatakan apa pun lagi. Laki-laki bermata coklat itu mulai mengambil roti isi yang sudah disiapkan oleh ibunya. Hardion yang mendengar percakapan dua putranya itu ikut bertanya. “Erin sudah memaafkan mu?” “Ehmm, belum tapi Erin sudah mau diajak bicara.” Hardion mengangguk. “Bagus, kamu bisa mengundangnya makan bersama supaya dia merasa dekat lagi.” David menatap ayahnya dengan ekspresi heran. Ia tidak mengerti kenapa ayahnya tampak ikut campur dengan urusan percintaan anak
Nathan dan Erin sudah kembali dekat selama beberapa hari ini. Informasi tentang kedekatan dua orang itu menjadi bahan pembicaraan oleh banyak mahasiswa. Banyak yang mengatakan Erin bodoh karena memberikan kesempatan lagi pada orang yang berselingkuh, ada juga yang memaki Nathan yang disebut tidak tahu diri. Erin enggan bereaksi seolah tidak terpengaruh oleh semua pembicaraan tersebut. Sekarang gadis bermata coklat itu sedang menikmati perannya sebagai seorang perempuan bodoh yang menerima kembali kekasihnya yang berselingkuh. “Kamu yakin mau makan malam dengan keluarga Nathan?” tanya Harsano memastikan. “Ya.” Harsano menatap putrinya dengan tatapan yang teduh. “Kamu mau papa antar?” “Nggak usah pa, Nathan akan menjemput kesini.” “Baiklah, kalau ada apa-apa langsung hubungi papa, ya?” “Iya.” Setelah mendengar klakson mobil, Erin pun pamit kepada ayahnya dan segera melangkah keluar. Nathan sudah menunggu di depan gerbang
Hubungan Erin dan Nathan semakin membaik seiring waktu, lebih tepatnya ‘terlihat membaik’. Nathan benar-benar berusaha berubah dan menunjukkan ketulusannya kepada Erin. Ia bahkan tidak lagi mempermasalahkan jika Erin lebih mementingkan pekerjaan dan kuliahnya sekarang. Laki-laki bermata hitam itu bersungguh-sungguh menunjukkan perubahan dan mencoba bertanggungjawab pada apa yang telah dilakukannya dulu. Walaupun keadaan tidak berubah secepat itu bagi orang yang sudah mendapat cap tukang selingkuh. “Kak Layla, ada yang nyariin,” ucap seorang gadis berkuncir dua. “Siapa?” tanya Layla memastikan. “Ehmm… Kak Nathan.” Semua yang ada di ruang sekre BEM itu berpandangan dengan ekspresi heran. “Nggak usah ditemuin, La,” ucap Rian menyarankan. “Jangan gitu dong, dia emang udah lakuin kesalahan, tapi dulunya kan dia temen kita juga.” “Rian bener, aku juga berpendapat lebih baik nggak usah nemuin dia,” sahut Riza ikut memberi sara
Suasana damai pagi itu dikejutkan oleh adanya rumor kehamilan Mina yang tersebar luas. Gosip yang sebelumnya telah mereda mulai kembali memanas. Kabar tersebut juga sampai di telinga Erin. “Erin!” pangil Livi yang datang tergesa-gesa. Erin yang saat itu sedang fokus merapikan tugas yang akan dikumpulkan menatap Livi dengan ekspresi heran. “Kamu kenapa pagi-pagi udah ngos-ngosan gitu?” “Kamu udah denger rumor yang beredar?” “Rumor apaan?” “Katanya Mina hamil,” ucap Livi masih sambil mengatur nafas. Jessie yang saat itu baru saja datang langsung menjatuhkan roti yang digenggamnya. “Hah?!” Erin diam, entah kenapa ia merasakan sesuatu yang tidak nyaman meski ia yakin sudah tidak ada rasa cinta dalam hatinya. ‘Apa karena sebenarnya aku berharap dia benar-benar berubah?’ “Tuh kan gue bilang juga apa, jangan pernah kasih kesempatan ke orang kayak gitu,” gerutu Jessie sambil memungut rotinya lalu membuangnya ke tempat sampah.
Usai tersebarnya informasi tentang Mina yang hamil, pembicaraan di antara mahasiswa kembali memanas. Nathan kembali mendapat hujatan karena dianggap sebagai laki-laki yang harus bertanggungjawab atas kehamilan Mina. Erin juga mendapat sorotan karena terlihat dekat kembali dengan Nathan baru-baru ini. Namun gadis bermata coklat itu tampak tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Ia bahkan tidak masalah saat disebut sebagai perempuan yang mudah dibodohi. “Erin, kamu habis kelas ada acara nggak?” tanya Livi memastikan. “Aku udah ada janji ketemu sama seseorang, emang kenapa?” “Yaaahh, ehmm… ada kakak tingkat jurusan lain yang minta dikenalin ke kamu.” Erin memandang ke arah Livi dengan ekspresi datar. “Aku nggak tertarik." Jessie menghela nafas. “Kenapa nggak dicoba dulu sih rin? Biar bisa cepet move on.” “Iya ih, ini kakak tingkat ganteng loh,” ucap Livi meyakinkan. Erin tersenyum. “Yaudah lain kali aku ikut.”
“Jadi apa kamu bisa jelaskan tentang rumor yang sedang beredar saat ini, Nathan?” Laki-laki yang duduk di seberang orang tuanya itu memandangi ujung jarinya. “Saya sebelumnya sudah diberitahu oleh Mina, dia meminta saya ikut membantu menjelaskan ke pacarnya tentang kehamilan itu… ,” jawab Nathan ragu. Amelian dan Hardion mengernyitkan keningnya. “Kamu merekam telfon itu?” “Tidak yah.” Hardion menghela nafas panjang. “Jadi kamu tidak melakukannya?” “Ya, saya sudah mengatakan hal yang sebenarnya.” “Lalu bagaimana jika akhirnya nanti Mina mengatakan kalau kamu adalah ayah dari anak yang dikandungnya?” Nathan terdiam sejenak. “Saya bisa membuat kesepakatan jika Mina memang berbohong seperti itu.” “Kesepakatan apa maksud mu?” tanya Amelian. “Saya akan membuat kesepakatan untuk tes DNA saat anak itu lahir, jika saya tidak terbukti sebagai ayah dari anak itu, saya akan menuntut Mina,” jawab Nathan masih dengan me
“Emmy kenapa kamu malah belain Nathan yang sekarang jadi sorotan sih?”“Aku nggak bela, aku cuma ngelurusin gosip yang beredar,” jawab Emmy dengan ekspresi datar.“Ya buat apa gitu? Nanti kamu malah ikut dijadiin bahan pembicaraan sama orang-orang,” ucap Mia dengan ekspresi kesal.“Kalau yang diomongin bener ya nggak masalah, tapi kalau ada yang nyebar fitnah baru deh ku samperin.”Mia menghela nafas panjang. “Kejadian tadi pasti jadi bahan omongan, emangnya kamu nggak keberatan kalau orang lain jadi mulai cari tau tentang kamu gara-gara dianggap bela Nathan?”Emmy terdiam sejenak, ia tentu malas jika harus menjadi pusat perhatian orang-orang, apalagi jika sampai ada yang membahas tentang masa lalunya, namun ia mencoba terlihat tidak peduli tentang itu. “Biarin deh, ngapain juga harus ku pikirin?”Mia yang mendengar jawaban Emmy hanya bisa menghela nafas panjang berkali-kali. Perempuan berambut sebahu itu tidak tahu lagi harus berbuat apa kepada Emmy yang sering bersikap sesuka hatiny
Pagi itu gosip terbaru sudah menyebar begitu cepat usai beberapa orang melihat Erin dijemput oleh pria tampan. Namun belum ada yang mengetahui siapa pria tersebut. Meski begitu, banyak yang berasumsi bahwa pria itu adalah kekasih Erin yang baru. Rumor yang sebelumnya menyebutkan Erin kembali menjalin hubungan dengan Nathan pun mulai dipertanyakan kebenarannya. Namun Erin tidak menunjukkan reaksi yang berarti secara langsung. “Ckckck, orang-orang tiap hari kerjanya gosip mulu, nggak ada kegiatan lain apa?” ucap Livi menggerutu. Jessie tertawa. “Lu bukannya suka gosip juga?” Erin yang baru datang langsung ikut menyahut. “Emang ada gosip apa lagi?” Livi memandang ke arah Erin dengan ekspresi serius. “Gosip Erin punya pacar baru.” “Hah serius?” tanya Jessie kaget. “Gimana rin? Bener nggak tuh gosipnya?” tanya Livi memastikan. “Iya,” jawab Erin dengan ekspresi tenang. “Hah?!” ucap Livi dan Jessie bersamaan. “Bentar, kemarin kamu bukannya bilang yang jemput itu mas David?” tanya L
Suasana menjadi hening usai David membenarkan apa yang ditanyakan Erin. Pria tersebut tidak mengatakan hal lain dan membiarkan istrinya memahami pengakuannya. Erin tampak terkejut dengan apa yang didengarnya meski sudah mendengar hal tersebut dari Niki terlebih dahulu. Ia memandang ke arah cincin di jari kanannya dengan ekspresi cemas sekaligus lega. ‘Jadi, sebenarnya aku dan mas David saling menyukai?’ “Itu hanya akan membuat mu semakin bingung saat mengambil keputusan kan?” tanya Davis setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama. Pandangan mata Erin beralih ke arah David. “Nggak… bukan begitu, aku hanya sedang berpikir.” “Jangan mempertimbangkan tentang ini, jangan pikirkan aku, kita bisa lakukan sesuai rencana.” “Nggak, tunggu dulu,” balas Erin dengan ekspresi cemas. Perempuan tersebut sejak tadi berusaha menyusun kalimat yang ingin dikatakan. Namun otaknya kali ini terasa sulit berfungsi sebagaimana mestinya. “Erin, dengar, aku mengatakan itu bukan untuk membuat mu bingung,
Semua asumsi dan pikiran buruk memenuhi kepalanya. David menghela nafas panjang lagi lalu memijat dahinya pelan. Ia berusaha tidak memikirkan semua itu lebih dulu. Setelah membereskan barang-barang milik Erin, pria tersebut langsung pergi berbelanja bahan masakan dan membeli buah-buahan kesukaan istrinya. Meski ia dalam keadaan tidak tenang, pria tersebut tetap memasak karena ingin menyambut kepulangan istrinya dengan hangat. Erin terbangun menjelang sore hari ketika Harsano sudah pulang ke rumah. Semua makanan yang dimasak David sudah tersedia lengkap di meja makan. “Sepertinya aku tidur sangat lama? Kenapa papa atau mas David nggak membangunkan ku?” “Perjalanan dari Italia kan sangat jauh, tentu saja kamu harus cukup istirahat,” balas Harsano dengan senyum yang dipaksakan. ‘Kenapa papa ekspresinya begitu?’ “Ayo makan,” ucap Harsano memperbaiki ekspresinya. Makan malam yang diselenggarakan lebih awal tersebut berlangsung cukup hangat. Namun Erin merasa ada yang lain dari eksp
Ekspresi Elisa masih tampak tetap teduh. Namun ada sedikit rasa cemas yang terpancar dari sorot matanya. “Lalu apa yang kamu inginkan?” “Aku hanya nggak mau membohongi semua orang lebih lama lagi, nek.” Wanita tua di sebelah Erin tersebut tersenyum. “Kali ini nenek tidak akan memaksakan satu hal, nenek akan mendukung apa pun keputusan mu.” “Aku akan coba berpikir lagi.” “Kamu bisa membicarakan itu dengannya, katakan secara jujur lalu ambil keputusan setelah kamu tidak lagi bimbang.” Elisa bangkit dari tempat duduknya lalu mengusap kepala Erin sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar tersebut. Erin menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan ekspresi sendu. Semua perasaan yang muncul membuat ia semakin bingung. ‘Walau mendengar semuanya, kenapa aku tetap terus teringat kalau mas David membantu ku karena merasa berhutang budi?’ Ia bukannya tidak bisa melihat ketulusan Dav
“Ini tentang David kan?” tanya Elisa lagi. Pupil mata Erin membesar setelah mendengar ucapan sang nenek. Namun ia tidak mengiyakan secara langsung tebakan Elisa. “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, kali ini nenek tidak akan sembarangan berkomentar,” ucap Elisa meyakinkan. Tatapan mata tua itu tampak teduh, tapi tetap tidak berhasil meyakinkan Erin untuk bercerita lebih dulu. Erin sudah terlanjur menganggap sang nenek membenci David. Baginya menceritakan tentang pria tersebut hanya akan membawa hal yang lebih buruk. Elisa masih menunggu dengan tenang selama selama beberapa waktu. Namun Erin tetap diam dengan ekspresi ragu. “David beberapa kali menghubungi nenek untuk menanyakan keadaan mu...,” ucap Elisa setelah cukup lama terdiam di tempatnya. “Mas David menghubungi nenek?” “Ya.” “Kenapa? Mas David kan bisa bertanya langsung ke Erin…” “Kamu menghindarinya, jadi dia bertanya langsung ke nenek.” Pandangan mata Erin beralih ke arah lain dengan ekspreii gelisah. ‘Jadi mas D
Niki menatap Erin dalam waktu lama. Ia beberapa kali menghela nafas kemudian menggelengkan kepalanya pelan. “Sudahlah, itu bukan urusan ku juga. Semoga semua rencana mu berjalan lancar.” Wanita bermata hazel itu bermaksud melangkah pergi, tapi Erin menahan pergelangan tangannya. “Tunggu, jelaskan dulu.” “Untuk apa?” Erin melepaskan genggaman tangannya. “Tolong jelaskan dulu, paling nggak, aku bisa tau hal yang sebenarnya.” “Apa David nggak mengatakannya padamu?” Perempuan di seberang Niki itu menggenggam tangannya sendiri sambil berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. “Sepertinya udah, tapi ku pikir itu hanya ucapan asal untuk menenangkan ku.” “Asal? Apa kamu nggak bisa membedakan bagaimana raut wajah seseorang saat mengatakan hal yang sesungguhnya?!” Intonasi suaranya meninggi. Niki tidak bisa menahan emosinya karena menghadapi Erin yang memilih buta akan semua hal di sekelilingnya. “Aku nggak mau salah paham…,” balas Erin beralasan. Ada jeda yang cukup panjang sebelum
Waktu berlalu cepat, tidak terasa Erin sudah berada di Italia selama hampir 4 bulan lamanya. Musim dingin kali ini datang lebih cepat dari tahun sebelumnya. Salju putih menyelimuti banyak kota sejak awal bulan. Erin tetap menjalani hari demi hari dengan baik. Belajar tentang bisnis, ikut memberi solusi pada masalah-masalah yang sedang terjadi pada perusahaan yang dikelola tante dan neneknya. Meski Erin sering teringat David, ia tetap melakukan semua kegiatannya dengan sempurna. Ia berusaha mengatur otaknya agar membedakan urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Bertambahnya usia dan pertemuannya dengan berbagai orang dengan latar belakang berbeda juga membuat ia banyak belajar tentang kehidupan. Perempuan itu menyadari banyak hal. Semua yang sudah dilakukannya dan balas dendamnya yang tidak membawa manfaat apa pun pada akhirnya akan melukai banyak orang, termasuk dirinya sendiri. “Kamu beneran mau berangkat sendiri? Tidak perlu nenek temani?”
David langsung mengunjungi rumah orang tuanya setelah pulang kerja. Namun hanya ada Nicho karena saat itu Niki belum kembali.“Halo paman,” sapa Nicho sambil tersenyum begitu melihat David sampai di rumah tersebut.“Paman?”“Ya, mama sudah memberitahu ku dan melarang ku memanggil paman dengan sebutan daddy lagi…”Amelian menatap bocah kecil tersebut dengan ekspresi bingung. Ia juga cukup terkejut saat Nicho memanggil David dengan sebutan paman.Wanita tua itu memilih menyimpan rasa penasarannya lalu melangkah menuju dapur untuk meyiapkan makan malam.“Hmm begitu? Jadi Nicho tidak mau memanggil daddy lagi?” tanya David yang kemudian duduk di sebelah bocah tersebut.Bocah kecil itu menatap David dalam waktu lama lalu tersenyum. “Nicho tidak ingin merepotkan paman lebih banyak lagi.”Jawaban tersebut tidak menjawab pertanyaan David. Namun pria berkumis tipis itu tahu betul bahwa itu adalah keputusan yang sudah disepakati oleh Niki dan Nicho.Meski ada rasa tidak nyaman yang muncul dalam
Erin mematung di tempatnya saat mendengar pertanyaan David dari seberang telepon. Ia tidak menyangka akan ditanya tentang hal itu. ‘Kenapa mas David bertanya itu? Apa nenek mengatakan sesuatu? Tentu nggak, aku sudah memintanya untuk berpura-pura nggak tau…’ “Erin?” tanya David memastikan sambungan teleponnya tidak terputus. “Ya… aku masih disini…” “Jadi nenek mu tahu tentang itu?” tanya David lagi. “Nggak… kenapa mas David mikir begitu?” Hening, David yang tidak langsung menjawab semakin membuat Erin merasa cemas. ‘Apa mas David tau sesuatu?’ “Kamu udah janji mau jawab jujur…,” ucap David setelah terdiam cukup lama. “Aku sudah menjawab jujur, mas…” “Erin… kita udah sepakat untuk mengakhiri semua dengan cara baik, aku juga butuh mengetahui keadaan sebenarnya…” Perempuan bermata coklat itu menggenggam erat ponselnya. Matanya terpejam sedangkan ekspresinya tampak semakin cemas. “Kita bicarakan itu nanti ya? Aku sudah harus pergi ke kantor sebentar lagi…” /klik…/ Erin langsu
Penampilan Nathan terlihat berbeda dari biasanya. Itu pertama kalinya Emmy melihat Nathan memakai jas. Jas hitam tersebut membuat penampilan Nathan tampak lebih dewasa. Penataan rambutnya sekarang juga membuat pria itu terlihat semakin tampan. Kalau David memiliki tampilan pria matang yang menantang, Nathan justru terlihat sebagai pria muda segar yang tenang. “Emmy?” Perempuan berambut pendek itu langsung menggelengkan kepalanya pelan saat menyadari sudah terlalu lama menatap Nathan. “Ah maaf, aku sedang melamun…” “Tumben?” “Biasalah… ngomong-ngomong penampilan kak Nathan sekarang terlihat beda, aku sampai nggak mengenali…” “Aku nggak mau terus-terusan dibilang ngikutin penampilan mas David…” Emmy mengernyitkan keningnya. Tanpa sadar ia mulai membandingkan penampilan David dengan Nathan sebelumnya. Perempuan itu beberapa kali memang pernah melihat tampilan Nathan yang serupa dengan kakaknya. Namun ia tidak menilai buruk karena berpikir Nathan melakukan itu karena mengidolaka