Usai tersebarnya informasi tentang Mina yang hamil, pembicaraan di antara mahasiswa kembali memanas. Nathan kembali mendapat hujatan karena dianggap sebagai laki-laki yang harus bertanggungjawab atas kehamilan Mina.
Erin juga mendapat sorotan karena terlihat dekat kembali dengan Nathan baru-baru ini. Namun gadis bermata coklat itu tampak tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Ia bahkan tidak masalah saat disebut sebagai perempuan yang mudah dibodohi.
“Erin, kamu habis kelas ada acara nggak?” tanya Livi memastikan.
“Aku udah ada janji ketemu sama seseorang, emang kenapa?”
“Yaaahh, ehmm… ada kakak tingkat jurusan lain yang minta dikenalin ke kamu.”
Erin memandang ke arah Livi dengan ekspresi datar. “Aku nggak tertarik."
Jessie menghela nafas. “Kenapa nggak dicoba dulu sih rin? Biar bisa cepet move on.”
“Iya ih, ini kakak tingkat ganteng loh,” ucap Livi meyakinkan.
Erin tersenyum. “Yaudah lain kali aku ikut.”<
“Jadi apa kamu bisa jelaskan tentang rumor yang sedang beredar saat ini, Nathan?” Laki-laki yang duduk di seberang orang tuanya itu memandangi ujung jarinya. “Saya sebelumnya sudah diberitahu oleh Mina, dia meminta saya ikut membantu menjelaskan ke pacarnya tentang kehamilan itu… ,” jawab Nathan ragu. Amelian dan Hardion mengernyitkan keningnya. “Kamu merekam telfon itu?” “Tidak yah.” Hardion menghela nafas panjang. “Jadi kamu tidak melakukannya?” “Ya, saya sudah mengatakan hal yang sebenarnya.” “Lalu bagaimana jika akhirnya nanti Mina mengatakan kalau kamu adalah ayah dari anak yang dikandungnya?” Nathan terdiam sejenak. “Saya bisa membuat kesepakatan jika Mina memang berbohong seperti itu.” “Kesepakatan apa maksud mu?” tanya Amelian. “Saya akan membuat kesepakatan untuk tes DNA saat anak itu lahir, jika saya tidak terbukti sebagai ayah dari anak itu, saya akan menuntut Mina,” jawab Nathan masih dengan me
“Emmy kenapa kamu malah belain Nathan yang sekarang jadi sorotan sih?”“Aku nggak bela, aku cuma ngelurusin gosip yang beredar,” jawab Emmy dengan ekspresi datar.“Ya buat apa gitu? Nanti kamu malah ikut dijadiin bahan pembicaraan sama orang-orang,” ucap Mia dengan ekspresi kesal.“Kalau yang diomongin bener ya nggak masalah, tapi kalau ada yang nyebar fitnah baru deh ku samperin.”Mia menghela nafas panjang. “Kejadian tadi pasti jadi bahan omongan, emangnya kamu nggak keberatan kalau orang lain jadi mulai cari tau tentang kamu gara-gara dianggap bela Nathan?”Emmy terdiam sejenak, ia tentu malas jika harus menjadi pusat perhatian orang-orang, apalagi jika sampai ada yang membahas tentang masa lalunya, namun ia mencoba terlihat tidak peduli tentang itu. “Biarin deh, ngapain juga harus ku pikirin?”Mia yang mendengar jawaban Emmy hanya bisa menghela nafas panjang berkali-kali. Perempuan berambut sebahu itu tidak tahu lagi harus berbuat apa kepada Emmy yang sering bersikap sesuka hatiny
Pagi itu gosip terbaru sudah menyebar begitu cepat usai beberapa orang melihat Erin dijemput oleh pria tampan. Namun belum ada yang mengetahui siapa pria tersebut. Meski begitu, banyak yang berasumsi bahwa pria itu adalah kekasih Erin yang baru. Rumor yang sebelumnya menyebutkan Erin kembali menjalin hubungan dengan Nathan pun mulai dipertanyakan kebenarannya. Namun Erin tidak menunjukkan reaksi yang berarti secara langsung. “Ckckck, orang-orang tiap hari kerjanya gosip mulu, nggak ada kegiatan lain apa?” ucap Livi menggerutu. Jessie tertawa. “Lu bukannya suka gosip juga?” Erin yang baru datang langsung ikut menyahut. “Emang ada gosip apa lagi?” Livi memandang ke arah Erin dengan ekspresi serius. “Gosip Erin punya pacar baru.” “Hah serius?” tanya Jessie kaget. “Gimana rin? Bener nggak tuh gosipnya?” tanya Livi memastikan. “Iya,” jawab Erin dengan ekspresi tenang. “Hah?!” ucap Livi dan Jessie bersamaan. “Bentar, kemarin kamu bukannya bilang yang jemput itu mas David?” tanya L
Sesaat setelah Erin pergi…..Nathan duduk terdiam di gazebo kecil usai Erin pergi meninggalkannya. Laki-laki bermata hitam itu berusaha mengatur nafasnya yang terasa semakin berat. Suhu tubuhnya semakin tinggi hingga membuat pandangan matanya tampak kabur.Hari ini ia seharusnya beristirahat di rumah. Namun karena ingin segera menemui Erin, ia mengabaikan kondisi tubuhnya yang sedang memburuk.Brukk… Buku yang sedang di pegang seorang gadis berambut panjang jatuh begitu saja saat melihat Nathan masih ada di gazebo kecil itu.Nathan menoleh namun pandangan matanya tampak kabur. Ia kembali menunduk sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit. Tidak lama kemudian tubuh laki-laki bermata hitam itu langsung ambruk.“Eh? Hei hei jangan pingsan disini,” ucap Emmy panik.Gadis berambut panjang itu segera membereskan bukunya yang tadi jatuh lalu segera mendekat ke arah Nathan yang sudah tidak sadarkan diri.Emmy melihat ke sekeliling untuk meminta tolong namun tidak ada siapapun di dekat ta
Nathan tampak sudah membuka mata, Ia masih menahan rasa sakit di bagian kepala meski kesadarannya sudah pulih. Walau begitu ia samar-samar bisa mengenali semua orang yang ada di ruangan itu. “Kamu sudah sadar?” tanya David yang mendekat ke arah Nathan. Begitu melihat David, Nathan tampak sangat marah. “Nggak usah pura-pura peduli atau masang ekspresi khawatir begitu.” David menatap Nathan dengan ekspresi bingung, begitupun dengan Layla, Riza dan Gerry. “Apa tadi saat pingsan kepala mu membentur sesuatu?” tanya David memastikan. “Nggak, tapi mungkin ada sedikit gangguan di kepala ku karena terlalu kaget denger mas David pacaran sama Erin,” jawab Nathan malas. Riza dan Gerry memandang ke arah Layla dengan ekspresi kaget. “Ehmm.. kami tunggu di luar ya, mas David,” ucap Layla cepat yang kemudian segera menarik keluar dua temannya. Ia tidak ingin terlibat dalam pertengkaran dua saudara tersebut. David melangkahkan kakinya menuju sofa lalu duduk dengan tenang. “Tadi kamu menemui Er
Usai mengantarkan teman-teman Nathan, David mencoba menghubungi Erin namun gadis itu tidak menerima panggilan telfon darinya.Drrrttt… klik“Ya halo?”“Kamu dimana sekarang?”“Saya baru saja mengantar teman-teman Nathan kembali ke kampusnya, bu.”“Cepat kembali kesini!”Klik…Panggilan telfon itu langsung ditutup meski David masih belum mangatakan apa pun.Pria bermata coklat itu mengernyitkan keningnya. Ia bisa menebak hanya dari mendengar suara ibunya yang tampak marah. ‘Apa Nathan sudah memberitahu semuanya ke ibu?’Tatapan mata David yang sedang fokus ke jalan beralih ke sebuah mobil merah yang dikenalinya. Pria tampan itu menghentikan kendaraannya lalu memastikan bahwa yang dilihatnya itu memang benar milik Erin.‘Dia di bar? Jam segini? Memangnya tidak ada kelas?’ gumam David dalam hati. Ia mencoba kembali menghubungi Erin namun lagi-lagi gadis itu tidak menjawab panggilan darinya.David memarkir kendaraannya di halaman bar itu lalu segera masuk ke tempat yang tampak mewah terse
“Kamu menjalin hubungan dengan Erin?” tanya Hardion begitu David masuk ke ruang kerjanya. David menatap ayahnya dengan ekspresi datar. “Ya.” Hardion mengangguk sambil mengelus jenggotnya yang sudah mulai memutih. Pria tua itu tampak tidak marah. “Kamu menyukai Erin sejak lama?” David diam sejenak. ‘Nathan pasti sudah mengatakan semuanya… .’ “Ya, saya menyayangi Erin sejak lama, saya tidak ingin melihatnya bersedih, maafkan saya…” “Kenapa kamu minta maaf?” David mengambil jeda sejenak, mencoba menemukan rangkaian kata yang tepat. “Karena Nathan dulunya bertunangan dengan Erin…” Pria tua yang sedang duduk itu mengangguk. “Ya tidak apa-apa, kalau Erin sudah tidak menyukai Nathan dan memilih mu, kamu tidak perlu minta maaf, perasaan itu bukan sesuatu yang salah.” Kalimat yang diucapkan Erin kembali terngiang di telinga David. ‘Bagaimana bisa Erin tau kalau ayah akan mendukung?’ “Kamu harus memperlakukan Erin dengan baik, jangan sampai melakukan tindakan bodoh seperti Nathan,” uca
David dan Erin turun dari mobil hitam itu dengan ekspresi bingung. Nathan yang sudah menunggu sejak tadi langsung mendekat ke arah Erin. “Erin… .” “Kenapa kamu disini? Kamu bukannya masih harus dirawat di rumah sakit?” tanya Erin bingung. Tatapan Nathan beralih ke arah David yang berdiri tidak jauh darinya. Pria bermata coklat itu hanya terdiam tanpa mengucapkan satu kata pun. “Kakak ku yang deketin kamu lebih dulu kan?” tanya Nathan tiba-tiba. “Nathan kamu harus kembali ke rumah sakit,” ucap Erin mengabaikan pertanyaan yang diucapkan mantan kekasihnya itu. “Apa kakak ku memaksa menjalin hubungan dengan mu?” tanya Nathan lagi. David menghela nafas panjang. “Erin, bicaralah dengan Nathan sebentar, lalu Nathan kamu harus kembali ke rumah sakit setelah ini, ibu mengkhawatirkan mu.” Usai mengatakan itu, David langsung masuk kembali ke mobil hitam miliknya. Erin hanya menatap David dengan ekspresi kesal karena diminta berbicara dengan Nathan. “Aku merasa nyaman dengan mas David, s
Suasana menjadi hening usai David membenarkan apa yang ditanyakan Erin. Pria tersebut tidak mengatakan hal lain dan membiarkan istrinya memahami pengakuannya. Erin tampak terkejut dengan apa yang didengarnya meski sudah mendengar hal tersebut dari Niki terlebih dahulu. Ia memandang ke arah cincin di jari kanannya dengan ekspresi cemas sekaligus lega. ‘Jadi, sebenarnya aku dan mas David saling menyukai?’ “Itu hanya akan membuat mu semakin bingung saat mengambil keputusan kan?” tanya Davis setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama. Pandangan mata Erin beralih ke arah David. “Nggak… bukan begitu, aku hanya sedang berpikir.” “Jangan mempertimbangkan tentang ini, jangan pikirkan aku, kita bisa lakukan sesuai rencana.” “Nggak, tunggu dulu,” balas Erin dengan ekspresi cemas. Perempuan tersebut sejak tadi berusaha menyusun kalimat yang ingin dikatakan. Namun otaknya kali ini terasa sulit berfungsi sebagaimana mestinya. “Erin, dengar, aku mengatakan itu bukan untuk membuat mu bingung,
Semua asumsi dan pikiran buruk memenuhi kepalanya. David menghela nafas panjang lagi lalu memijat dahinya pelan. Ia berusaha tidak memikirkan semua itu lebih dulu. Setelah membereskan barang-barang milik Erin, pria tersebut langsung pergi berbelanja bahan masakan dan membeli buah-buahan kesukaan istrinya. Meski ia dalam keadaan tidak tenang, pria tersebut tetap memasak karena ingin menyambut kepulangan istrinya dengan hangat. Erin terbangun menjelang sore hari ketika Harsano sudah pulang ke rumah. Semua makanan yang dimasak David sudah tersedia lengkap di meja makan. “Sepertinya aku tidur sangat lama? Kenapa papa atau mas David nggak membangunkan ku?” “Perjalanan dari Italia kan sangat jauh, tentu saja kamu harus cukup istirahat,” balas Harsano dengan senyum yang dipaksakan. ‘Kenapa papa ekspresinya begitu?’ “Ayo makan,” ucap Harsano memperbaiki ekspresinya. Makan malam yang diselenggarakan lebih awal tersebut berlangsung cukup hangat. Namun Erin merasa ada yang lain dari eksp
Ekspresi Elisa masih tampak tetap teduh. Namun ada sedikit rasa cemas yang terpancar dari sorot matanya. “Lalu apa yang kamu inginkan?” “Aku hanya nggak mau membohongi semua orang lebih lama lagi, nek.” Wanita tua di sebelah Erin tersebut tersenyum. “Kali ini nenek tidak akan memaksakan satu hal, nenek akan mendukung apa pun keputusan mu.” “Aku akan coba berpikir lagi.” “Kamu bisa membicarakan itu dengannya, katakan secara jujur lalu ambil keputusan setelah kamu tidak lagi bimbang.” Elisa bangkit dari tempat duduknya lalu mengusap kepala Erin sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar tersebut. Erin menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan ekspresi sendu. Semua perasaan yang muncul membuat ia semakin bingung. ‘Walau mendengar semuanya, kenapa aku tetap terus teringat kalau mas David membantu ku karena merasa berhutang budi?’ Ia bukannya tidak bisa melihat ketulusan Dav
“Ini tentang David kan?” tanya Elisa lagi. Pupil mata Erin membesar setelah mendengar ucapan sang nenek. Namun ia tidak mengiyakan secara langsung tebakan Elisa. “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, kali ini nenek tidak akan sembarangan berkomentar,” ucap Elisa meyakinkan. Tatapan mata tua itu tampak teduh, tapi tetap tidak berhasil meyakinkan Erin untuk bercerita lebih dulu. Erin sudah terlanjur menganggap sang nenek membenci David. Baginya menceritakan tentang pria tersebut hanya akan membawa hal yang lebih buruk. Elisa masih menunggu dengan tenang selama selama beberapa waktu. Namun Erin tetap diam dengan ekspresi ragu. “David beberapa kali menghubungi nenek untuk menanyakan keadaan mu...,” ucap Elisa setelah cukup lama terdiam di tempatnya. “Mas David menghubungi nenek?” “Ya.” “Kenapa? Mas David kan bisa bertanya langsung ke Erin…” “Kamu menghindarinya, jadi dia bertanya langsung ke nenek.” Pandangan mata Erin beralih ke arah lain dengan ekspreii gelisah. ‘Jadi mas D
Niki menatap Erin dalam waktu lama. Ia beberapa kali menghela nafas kemudian menggelengkan kepalanya pelan. “Sudahlah, itu bukan urusan ku juga. Semoga semua rencana mu berjalan lancar.” Wanita bermata hazel itu bermaksud melangkah pergi, tapi Erin menahan pergelangan tangannya. “Tunggu, jelaskan dulu.” “Untuk apa?” Erin melepaskan genggaman tangannya. “Tolong jelaskan dulu, paling nggak, aku bisa tau hal yang sebenarnya.” “Apa David nggak mengatakannya padamu?” Perempuan di seberang Niki itu menggenggam tangannya sendiri sambil berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. “Sepertinya udah, tapi ku pikir itu hanya ucapan asal untuk menenangkan ku.” “Asal? Apa kamu nggak bisa membedakan bagaimana raut wajah seseorang saat mengatakan hal yang sesungguhnya?!” Intonasi suaranya meninggi. Niki tidak bisa menahan emosinya karena menghadapi Erin yang memilih buta akan semua hal di sekelilingnya. “Aku nggak mau salah paham…,” balas Erin beralasan. Ada jeda yang cukup panjang sebelum
Waktu berlalu cepat, tidak terasa Erin sudah berada di Italia selama hampir 4 bulan lamanya. Musim dingin kali ini datang lebih cepat dari tahun sebelumnya. Salju putih menyelimuti banyak kota sejak awal bulan. Erin tetap menjalani hari demi hari dengan baik. Belajar tentang bisnis, ikut memberi solusi pada masalah-masalah yang sedang terjadi pada perusahaan yang dikelola tante dan neneknya. Meski Erin sering teringat David, ia tetap melakukan semua kegiatannya dengan sempurna. Ia berusaha mengatur otaknya agar membedakan urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Bertambahnya usia dan pertemuannya dengan berbagai orang dengan latar belakang berbeda juga membuat ia banyak belajar tentang kehidupan. Perempuan itu menyadari banyak hal. Semua yang sudah dilakukannya dan balas dendamnya yang tidak membawa manfaat apa pun pada akhirnya akan melukai banyak orang, termasuk dirinya sendiri. “Kamu beneran mau berangkat sendiri? Tidak perlu nenek temani?”
David langsung mengunjungi rumah orang tuanya setelah pulang kerja. Namun hanya ada Nicho karena saat itu Niki belum kembali.“Halo paman,” sapa Nicho sambil tersenyum begitu melihat David sampai di rumah tersebut.“Paman?”“Ya, mama sudah memberitahu ku dan melarang ku memanggil paman dengan sebutan daddy lagi…”Amelian menatap bocah kecil tersebut dengan ekspresi bingung. Ia juga cukup terkejut saat Nicho memanggil David dengan sebutan paman.Wanita tua itu memilih menyimpan rasa penasarannya lalu melangkah menuju dapur untuk meyiapkan makan malam.“Hmm begitu? Jadi Nicho tidak mau memanggil daddy lagi?” tanya David yang kemudian duduk di sebelah bocah tersebut.Bocah kecil itu menatap David dalam waktu lama lalu tersenyum. “Nicho tidak ingin merepotkan paman lebih banyak lagi.”Jawaban tersebut tidak menjawab pertanyaan David. Namun pria berkumis tipis itu tahu betul bahwa itu adalah keputusan yang sudah disepakati oleh Niki dan Nicho.Meski ada rasa tidak nyaman yang muncul dalam
Erin mematung di tempatnya saat mendengar pertanyaan David dari seberang telepon. Ia tidak menyangka akan ditanya tentang hal itu. ‘Kenapa mas David bertanya itu? Apa nenek mengatakan sesuatu? Tentu nggak, aku sudah memintanya untuk berpura-pura nggak tau…’ “Erin?” tanya David memastikan sambungan teleponnya tidak terputus. “Ya… aku masih disini…” “Jadi nenek mu tahu tentang itu?” tanya David lagi. “Nggak… kenapa mas David mikir begitu?” Hening, David yang tidak langsung menjawab semakin membuat Erin merasa cemas. ‘Apa mas David tau sesuatu?’ “Kamu udah janji mau jawab jujur…,” ucap David setelah terdiam cukup lama. “Aku sudah menjawab jujur, mas…” “Erin… kita udah sepakat untuk mengakhiri semua dengan cara baik, aku juga butuh mengetahui keadaan sebenarnya…” Perempuan bermata coklat itu menggenggam erat ponselnya. Matanya terpejam sedangkan ekspresinya tampak semakin cemas. “Kita bicarakan itu nanti ya? Aku sudah harus pergi ke kantor sebentar lagi…” /klik…/ Erin langsu
Penampilan Nathan terlihat berbeda dari biasanya. Itu pertama kalinya Emmy melihat Nathan memakai jas. Jas hitam tersebut membuat penampilan Nathan tampak lebih dewasa. Penataan rambutnya sekarang juga membuat pria itu terlihat semakin tampan. Kalau David memiliki tampilan pria matang yang menantang, Nathan justru terlihat sebagai pria muda segar yang tenang. “Emmy?” Perempuan berambut pendek itu langsung menggelengkan kepalanya pelan saat menyadari sudah terlalu lama menatap Nathan. “Ah maaf, aku sedang melamun…” “Tumben?” “Biasalah… ngomong-ngomong penampilan kak Nathan sekarang terlihat beda, aku sampai nggak mengenali…” “Aku nggak mau terus-terusan dibilang ngikutin penampilan mas David…” Emmy mengernyitkan keningnya. Tanpa sadar ia mulai membandingkan penampilan David dengan Nathan sebelumnya. Perempuan itu beberapa kali memang pernah melihat tampilan Nathan yang serupa dengan kakaknya. Namun ia tidak menilai buruk karena berpikir Nathan melakukan itu karena mengidolaka