Arga sugar rambutnya ke belakang berulang kali, ia mengesah tanpa henti karena keberaniannya menahan langkah Meliana tadi.
"Kau yakin hanya membayangkan saja tadi?" Juna lebih panik dari Arga.
"Hem, aku hanya membayangkan saja saat aku melihat wajanya."
"Sungguh, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau sampai kau benar-benar mengatakan hal itu pada Meliana, dia bisa saja pergi dari kota ini," jelas Juna, menguap sudah kepanikannya.
"Aku juga berfikir seperti itu." Arga menunduk, ia hela nafas berulang kali sampai dirasa ia benar-benar tenang.
Tadi, dia memang menahan Meliana dan memojokkan gadis itu, tapi belum sempat ia berkata apa-apa, bayangan buruk dari ucapan yang jujur dari hatinya itu sudah membuatnya ketakutan.
Meliana pasti tidak akan pernah mau menemuinya lagi meskipun itu tidak sengaja, Arga mau tidak mau harus menahan diri yang mulai sadar kalau sampai detik ini dia masih sangat mencintai Meliana.
Bahkan, dia tidak peduli bila banyak orang nanti membicarakannya, entah itu cinta lama bersemi kembali atau yang lain, intinya masa depan itu ada bersama Meliana.
"Jangan merasa bersalah pada Nia," ucap Juna mendadak, kening Arga sontak terlipat mendengarnya.
"Apa maksudmu?"
"Kau selama ini takut membuka diri pada wanita lain karena takut menyakiti hati Nia, dia sudah tenang di sana dan dia pasti juga ingin kau bahagia di sini, hidup ini harus terus berjalan dan mendengarkan ocehan orang tidak akan pernah ada habisnya."
"Lalu, apa yang harus aku lakukan? Meliana tidak akan pernah bisa aku temui begitu saja," balas Arga pasrah, ia tidak mau membuat Meliana tidak nyaman melakukan apapun.
Arga mau senyum itu terus terbit di wajah Meliana meskipun ia hanya bisa melihat dari jauh untuk saat ini dan entah sampai kapan.
Sekali lagi, hatinya tidak bisa berbohong, kalau dulu dia menyembunyikan rasa ini, sekarang tidak akan lagi, bila kesempatan itu tiba dan Meliana sudah bisa menerima pertemuan mereka, Arga akan katakan semua isi hatinya.
Mungkin ini jodoh, bisa saja ....
"Pagi dan di taman matahari tenggelam itu, Meliana dan Rika akan berjualan daster di sana. Kau bisa mendekati dia, tapi jangan terlihat kalau semua itu sengaja," ucap Juna.
"Rika yang memberitahumu?"
Juna mengangguk, siapa lagi yang bisa berbagi seperti ini kalau bukan Rika, gadis itu juga ingin melihat Meliana kembali sumringah seperti dulu, melupakan semua luka yang selalu Meliana tutupi dengan topeng kuatnya.
***
Meliana ambil berkas resmi perpisahannya dengan Natan, ia tidak tersenyum sama sekali bertemu mantan suaminya itu, ia justru muak kala mengingat mereka pernah hidup bersama selama tiga tahun.
Makan, pergi, tidur dan melakukan banyak hal bersama. Meliana bergegas menandatangi surat tanda terima dan beranjak pergi meninggalkan Natan yang masih ingin membaca isi surat itu, bahkan pria itu sudah menanyakan perihal ketentuan untuk mengurus dokumen bila ia menikah lagi.
"Kau," ucap Meliana, ia terkejut melihat teman belanjanya di komplek perumahan Natan dulu, mereka selalu bertemu saat membeli sayuran.
"Hai, Mel. Apa kabar?"
"Baik, Fir. Sedang apa di sini?" Meliana tidak melihat apapun, selain tas tenteng yang ada di tangan Fira, bisa ia tebak harga tas mahal itu.
Fira cengar-cengir, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sembari menunjuk samar punggung Natan di dalam sana.
"Kau datang bersama Natan?"
"Iya, aku menemaninya."
"Apa! Apa Ibunya tidak akan marah, dia kan mau menjodohkan Natan dengan gadis pilihannya, dia jug-"
"Itu aku, Mel. Aku adalah gadis yang akan menikah dengan mantan suamimu."
Hah,
Meliana tidak bisa berkata apa-apa, ia terperanga mendengar pengakuan gila dari gadis yang selama ini menjadi teman belanjanya di komplek perumahan Natan-mantan suaminya itu, bahkan Fira sempat berbicara buruk tentang kebiasaan ibu Natan di sana.
Meliana raup wajahnya berulang kali, dia sunguh tidak percaya.
"Kau-"
"Tidak masalah kalau kau anggap aku ini tukang tikung atau pengkhianat, tapi satu hal yang penting dalam hidup ini ... Uang, Mel. Aku bisa memberinya anak, tidak seperti dirimu yang mandul!"
Plak,
Kali ini Meliana terpancing untuk membakar dirinya dengan emosi, dia tidak peduli dengan siapa suaminya akan menikah lagi, selama wanita itu tidak membahas masalah kekurangannya, apalagi mereka pernah bersama dulu.
Fira usap pipinya yang sontak memerah, ia meringis dan mulai memanggil Natan. Pria itu sontak berlari ke luar dan mendorong tubuh Meliana menjauh, Meliana jatuh tersungkur dengan lampiran berkas yang berhamburan.
"Berani sekali kau!" tuding Natan bengis, cinta untuk Meliana sudah tidak ada di sana.
Kalau bisa memutar waktu, Meliana tidak akan sudi jatuh cinta dengan Natan ataupun menikah dan tidur dengan pria itu.
Sayang, nasi telah menjadi bubur, pada kenyataannya harta berharga itu telah menjadi milik Natan selama tiga tahun, Meliana ingin membersihkan diri dari bekas menjijikkan itu.
"Natan, dia membahas kekuranganku dan itu wajar kalau aku marah!" Meliana bangun dan membalas tegas.
Natan mengangguk, "Kekurangan yang benar kan? Aku juga mau menambahkan kalau aku tidak pernah bisa merasa puas denganmu yang kurang ahli dalam berhubungan itu," jawab Natan.
"Kau-"
"Aku tidak mau banyak bicara denganmu, Mel. Jadi, sekarang pergilah seperti saat persidangan terakhir kita waktu itu, kau bisa berjalan ringan dan sampai bertemu dengan pria yang bisa menerima kekuranganmu itu, bye!"
Ingin Meliana lempar kepala Natan dengan batu besar di dekatnya itu, ucapan Natan kali ini lebih parah dan terparah dari sebelumnya.
Bagaimana bisa Natan mengatakan hal intim seperti itu sedangkan selama ini dia yang selalu bersemangat mengajak Meliana melakukan hubungan suami-istri, bahkan Meliana masih ingat wajah puas Natan dan pujian yang pria itu berikan dulu karena sikapnya selama di ranjang.
Astaga, Meliana usap dadanya yang memburu karena emosi, satu saja kesalahan yang ia punya, semua keburukan muncul ke permukaan meskipun itu tidak benar adanya.
"Aku sama sekali tidak marah kalau kau mau menikah dengan gadis manapun, tapi ... Dasar pengkhianat!" gumam Meliana mengumpat geram.
Ia rapikan rambutnya yang terburai acak saat terjatuh tadi, lalu berjalan cepat menuju parkiran, mimik kesal di wajahnya masih saja ada, dia bersumpah tidak akan mau bertemu dengan mereka lagi meskipun mereka datang untuk menyesal dan meminta maaf.
"Apa dia harus mengatakan hal itu? Aku bahkan tidak pernah membongkar keburukannya, kepada Ayahku saja tidak." Meliana hapus air matanya yang jatuh untuk pertama kali dan itu berhubungan dengan Natan.
Dia terlalu kuat sampai tidak tahu kalau sebagian dari dirinya sudah rapuh, Meliana putar kemudi motornya, berkeliling sepanjang jalan yang selalu ia rasa tidak pernah memihak kepadanya.
"Aku juga ingin punya anak," gumam Meliana lirih, batinnya tercabik kembali.
Tidak ada satu panggilan pun yang Meliana jawab, ia yakin sedari tadi Rika menunggunya di rumah dengan banyak barang yang siap untuk mereka ambil gambar dan posting.Tapi, di sinilah Meliana berhenti, di tempat yang dia benci untuk pertama kali datang sekaligus, tempat di mana ia bertemu dengan Arga setelah sekian lama terpisah.Meliana menunduk dan tenggelam dalam siksaan batinnya, lagi-lagi nasib tidak berpihak kepadanya."Kenapa aku harus bertemu dengan wanita kejam itu lagi?" tangisnya terdengar memiluhkan.Mata bengkak dengan air mata yang tidak mau berhenti itu seolah menjadi tanda seberapa parah dan pedihnya hal yang menimpa Meliana hari ini.Dia bertemu lagi dengan ibu Arga,Wanita itu berdiri menghalangi motor Meliana yang hendak masuk ke area dekat rumah kontrakan, entah dari mana wanita itu tahu tempat tinggal baru Meliana, yang jelas pertemuan itu terjadi hari ini.Neni berga
"Kenapa tidak pernah berbagi dengan Ayah, Nak?" tanya Heri, batinnya teriris mendengar kebenaran yang selama ini Meliana sembunyikan darinya.Sebuah kenyataan pahit yang sama sekali tidak pernah diimpikan banyak orang dalam hidupnya."Apa menurut Ayah pilihan yang aku buat ini benar? Aku sungguh tidak bertujuan apapun selain memperbaiki kondisi tubuhku, itu saja."Heri mengangguk, "Apa yang sudah kamu pilih itu yang terbaik, kita tidak perlu berubah karena orang lain, tapi berubahlah karena memang ada hal yang perlu kamu perbaiki dalam hidupmu, orang lain hanya penikmat, sedang kita yang merasakan manfaatnya nanti. Ayah yakin kamu akan semakin merasa sehat dan bisa lincah berjualan bersama Rika," jawab Heri sembari memeluk putrinya.Gadis kecil yang ia besarkan dengan penuh cinta meskipun banyak kekurangan yang membuat Meliana tidak tumbuh seperti anak-anak lain seusianya, banyak yang Meliana lewatkan, tapi itu semua Heri b
Ada rasa yang tidak biasa ketika mereka berdua bertemu, Meliana yang ragu-ragu untuk tersenyum dan mata Arga yang malu-malu untuk mengakui kalau ini adalah hal yang ia tunggu-tunggu.Canggung, itu yang terjadi saat ini, baik Meliana maupun Arga sama-sama tidak tahu harus berbuat apa dan memulai pertemuan ini dengan sapaan apa.Meliana angkat satu tangannya, melambai kaku pada Arga yang sontak berjalan mendekat.Jujur, ingin Arga peluk gadis yang tengah berdiri di depannya itu, tapi ia tidak mau gegabah, Meliana sudah mau menemuinya saja itu hal yang patut ia syukuri dalam-dalam."Ha-hai," sapa Meliana gugup.Arga tersenyum canggung, "Ha-hai juga," balasnya dengan suara bergetar, kakinya saja tidak bisa tenang berdiri di dekat Meliana."Kenapa?" Meliana tunjuk kaki Arga yang bingung mau bergaya seperti apa."Tidak, ak-aku ... Gugup, Mel."Meliana tergelak mendengarnya, tawa ya
Minggu pagi, bagi mereka yang pekerja kantoran, hari ini adalah hari malas sedunia atau hari di mana mereka bisa sepanjang waktu bersama keluarga untuk menyegarkan fikiran.Berbeda dengan para pedagang seperti Meliana dan Rika, dua gadis berparas manis nan cantik itu sibuk menata barang dagangan dengan peralatan seadanya, beberapa daster ada yang terpajang, ada juga yang masih terlipat rapi.Daster Rumah Holic, itu nama toko online yang Rika dan Meliana buat.Ini hari pertama mereka membuka dagangan di depan umum dan langsung bertemu dengan pelanggan yang tentu belum mengenal, sebagian mata sudah melirik dan mencuri pandang saat Meliana sibuk menata barang dagangannya itu, ada jutga yang sudah sempat mampir dan berjanji kembali lagi setelah semuanya beres."Kita mulai ya," ucap Meliana bersemangat.Rika mengangguk, ia baru saja selesai memasang stand banner dan beberapa lebel harga, semua yang terpajang di sana siap u
"Aku ingatkan sekali lagi, jangan usik dan atur hidup Arga!" ulang Harto tegas.Ia sudah muak dengan semua rencana Neni selama ini, bukan membuat bahagia Arga, tapi justru sengsara, sampai detik ini hanya senyum sekilas saja yang mampir pada diri Arga, tidak selamanya."Dia anakku!" balas Neni."Dia anakku juga dan kau ... Tolong, hentikan drama bodohmu itu, dia tidak akan pernah bahagia dan biarkan kali ini dia menjalani hidupnya dengan tenang!"Harto tahu niat Neni dan tujuannya itu baik, tapi cara yang Neni terapkan pada Arga salah, selama ini Arga tidak menjadi dirinya sendiri.Arga terlalu patuh dan penurut pada Neni sejak kecil, lambat laun Arga tampak terpaksa, selalu ada keluh kesah yang ia sembunyikan dari Neni selama ini."Kau ingin anakmu bahagia, biarkan dia bahagia, biarkan dia menjadi dirinya sendiri, bukan boneka yang kau gerakkan agar kau yang harus bahagia, aku muak dengan semua ini!" tega
"Kau yakin baik-baik saja, Mel?" tanya Arga untuk kesekian kalinya."Iya, tenang saja." Meliana teguk minuman yang Arga pesankan.Ini bisa menjadi kencan pertama mereka setelah banyak purnama yang terlewati, wajah cantik dan manis Meliana yang tidak pernah pudar dan pandangan penuh kekaguman yang juga tidak mau pergi dari mata Arga."Jangan melihatku seperti itu, aku malu!""Ehehheheh, aku rindu, Mel."Rona merah kembali beranii tampil di wajah Meliana, ia setengah menunduk membalas tatapan Arga, hilang sudah rasa sakit di sekujur tubuhnya karena ulah Neni tadi, wanita itu benar-benar tidak akan merestui mereka sampai kapanpun.Anehnya, tidak ada yang tahu alasan pasti dari perlakuan buruknya itu, bila membahas kekurangan Meliana, itu bukan hal yang bisa membuat dendamnya mendarah daging, bahkan sampai Neni tidak bisa memaafkan atau memberi kesempatan seperti para ibu lainnya, Meliana yakin ada hal lain ya
Satu minggu setelah pertemuan tragis di cafe itu terjadi, hanya berbalas pesan dan suara saja yang Meliana dan Arga lakukan.Keduanya belum bertemu, Arga yang sibuk dengan tugas barunya, sedangkan Meliana bersama Rika melakukan perjalanan jauh untuk melihat secara langsung konveksi daster yang selama ini menjadi suplier mereka.Tidak pernah ada rindu yang besar seperti ini di dalam hatinya, mengulas sebuah rindu yang sempat terkubur di masa lalu."Kau datang hanya untuk membahas gadis kampung tidak sempurna itu, hah?" Neni terlihat kesal menyambut kedatangan putranya.Arga mengangguk, "Apa yang Ibu inginkan sebenarnya? Apa alasan Ibu menghalangi aku dan Meliana dari dulu?""Dia tidak-""Tidak sempurna karena dia sakit, tapi bukan berarti dia tidak bisa sembuh, Bu. Katakan apa alasan Ibu melakukan semua ini sampai hari itu juga menjadi jebakan untukku!" pinta Arga.Mungkin ini tidaklah benar ber
Meliana ulas senyum lebar, setiap minggu akan ada wajah yang menjadi semangat untuknya mencari topangan hidup.Di taman yang terkenal dengan matahari tenggelamnya itu, Arga duduk di kejauhan, mengamati dan mengawasi Meliana selama berjualan.Sejak pagi buta hingga matahari tegak benderang dan membuat mata memicing untuk menikmatinya.Puluhan daster terjual, baik itu pembelian langsung ataupun yang berasal dari pesanan online, usaha kecil itu semakin berkembang dan melesat melebihi target Meliana diawal dulu."Minum dulu," ucap Arga.Meliana mengangguk, ia berhenti melipat daster dan mengambil duduk lesehan di samping Arga, pasar pagi sudah selesai, mereka bersiap-siap mengisi perut dan pulang."Hem, segarnya," ulas Meliana dengan kerjapan yang membuat Arga gemas.Mereka tidak muda lagi, tapi pertemuan ini seperti membuat mereka merasa muda, bahkan kemba
Natan dan semua masa lalu itu sudah berlalu kini, bahkan maaf yang sempat tertunda dan termaafkan tanpa diminta sudah berlayar juga hari itu.Meliana tatap lembar kosong di tangannya, itu milik Kirana seutuhnya, dia dan Arga telah berjanji untuk menutup masa lalu dan mengukir kenangan indah baru bersama.Biarlah cerita buruk yang mereka lewati di masa itu menjadi dogeng untuk anaknya sebelum tidur tanpa dia tahu siapa peran sesungguhnya di dalam sana.Hari ini, yang ada di depan Kirana hanyalah keluarga yang bahagia, keluarga yang mengenal banyak karakter yang lengkap di mana pembuat senyum dan keributan bercampur menjadi satu."Sayang, mana Kiran?" Arga memeluk pinggang yang kembali ramping itu, mengecup singkat pipi merah istrinya."Dia ada di kamar ibu, hari ini giliran ibu yang menjaganya. Dia menjadi rebutan di rumah ini, kenapa?" Meliana goyangkan sedikit tubuhnya, ke kanan dan kiri sampai Arga mengikutinya
"Kita harus pergi dari rumah ini, kamu dan aku!" Natan menatap lurus istrinya, tekadnya sudah bulat untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang ibunya.Fira masih belum paham apa maksud suaminya itu setelah semalam tak kembali ke kamar dan mereka terdiam cukup lama."Cepat, Fir!" titahnya mengeraskan suara."Iya, tapi dengarkan aku dulu!"Tidak, Natan tidak mau mendengarkan apapun dari Fira, intinya hari ini juga mereka harus ke luar dari rumah itu meskipun banyak larangan yang mengecam keduanya.Fira kemasi baju-baju yang sudah Natan pilihkan, ia kemudian berhenti sebentar saat ibu mertuanya berdiri di depan kamar mereka."Hentikan, Natan!" pinta sang ibu."Tidak, mau apa Ibu? Aku akan hidup sendiri bersama istriku, sudah cukup kekacauan yang Ibu buat, kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan menuruti kemauan Ibu untuk meningga
Dia pulang membawa kecemasan dan rasa sesal yang menggunung, dari tangan dan isi kepalanya, Meliana masuk dan terbuang dari rumah ini.Anak lelakinya yang malang, setelah menikah dengan Fira untuk kedua kalinya, Natan tampak tak berselera dan tak punya pandangan hidup.Sungguh, berbeda saat Natan bersama Meliana dulu, selalu ada hal baru yang membuatnya marah, tapi Natan suka itu.Pandangannya masih tertuju pada Natan, wajahnya kian menua dan kebahagiaan seolah terampas dari hidupnya.Bukan salah Meliana atau Natan, tapi salahnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab atas kehidupan putranya sendiri.Ia kira akan lebih baik memisahkan gadis seperti Meliana dari anaknya, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, rumah ini terbangun asal ide dan usulan Meliana, setiap sudutnya masih mengingatkan dan bisa mereka dengar gelak tawa Meliana di sana.Kalau saja waktu bisa
Pletak,Surti sentil kening anaknya yang tengah hamil muda itu, seperti biasa dan Juna sudah paham itu, di mana ibu mertua dan istrinya akan bertengkar setiap kali mereka bertemu.Sungguh, tidak akan pernah ada kedamaian di pertemuan mereka sebelum saling bersorak dan memprotes."Apa cucuku tumbuh baik di perut berlemak ini?" tanya Surti."Sur, kau ini!" Heri sudah lelah menegurnya, bahkan sudah menghabiskan satu botol air mineral, padahal baru saja tiba.Surti mengetuk perut Rika sebelum memutuskan untuk duduk ke samping Heri.Banyak barang yang mereka bawa dari kampung untuk anak Meliana, mereka harus pergi ke rumah sakit sekarang mengingat Heri ingin segera menggendong cucu pertamanya itu."Aku tidak bekerja, Bu. Tenang saja, kita akan berangkat setelah Rika mandi," ujar Juna.Plak,Beruntung Heri tahan laju tangam Su
"Ibuuuuu," panggil Meliana merintih, ia tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ada. Kedua tangannya terus meremat dan kini berpindah ke sisi ranjang dengan kedua kaki yang sudah tertekuk naik. Penyanggah di sana terpasang dengan baik, dokter dan timnya sudah bersiap di bawah beserta alat medis untuk penanganan berikutnya. Kali ini penanganan pasien khusus di mana ditemani oleh dua orang sekaligus, Meliana tidak mau melepas tangan Neni ataupun Arga, dia mengunci kuat dengan mata basahnya saat tangan itu dipaksa pindah ke sisi ranjang. Neni meminta kelonggaran dengan alasan yang sama di mana hanya dia ibu dari Meliana, bahkan cerita masa lalu terukir di sana, bergelimang dan terdengar hingga berlinang air mata. "Ibu, Arga!" Meliana memanggil sekali lagi saat gelombang dahsyat itu menyerangnya. Arga mendekat, ia usap kening dan kecup dalam di sana, tidak ada yang bisa ia lakukan selain dua hal it
Heri tak berhenti mengirimkan doa untuk anaknya yang tengah berjuang itu, begitu juga Surti yang ada di dekatnya, menyiapkan segala hal yang mungkin bisa mereka bawa ke rumah Arga, mereka akan menggantikan posisi Neni dan Harto di rumah itu mengingat Rika juga sedang hamil muda, butuh kekuatan pendamping agar tidak terlalu larut dalam suasana mencekam yang ada.Sementara di rumah sakit,Arga usap punggung dan perut bawah istrinya tanpa henti, matanya sudah sangat berat, tapi rintihan Meliana membuatnya kuat seketika.Arga tak hentinya melantunkan doa yang bisa membantu istrinya tenang, sedangkan Neni untuk sementara duduk karena tubuhnya ikut lemas.Semakin bertambah pembukaan Meliana, rasa sakit itu semakin dahsyat, semua berharap yang terbaik, entah itu normal atau nanti Meliana harus caesar, tidak masalah.Neni hanya ingin menantu dan cucunya itu sehat bersama, selamat dan bisa berada di dekatnya segera.
Malam itu, Meliana siapkan makanan kesukaan suaminya, perut yang membesar mungkin menghalanginya untuk bergerak cepat, tapi tidak membuat Meliana lantas malas untuk melayani suaminya.Arga masih mendapatkan apa yang ia mau, termasuk hak berkunjung pada buah hatinya itu."Dia makin suka bergerak ya, sayang?" tanya Arga sembari mengusap perut besar itu, menerima suapan dari sang istri yang terlihat mengembang akhir-akhir ini, apalagi bagian pipi Meliana. Meliana mengangguk, "Dia suka nyapa orang kayaknya, sampai kalau ada abang sayur itu waktu pagi, aku sama ibu kan milih, dia ikut gerak nonjol ke kanan atau kiri gitu loh, Ga," ungkapnya."Beneran? Penasaran aku sama dia jadinya, nggak sabar Ayah ketemu kamu, Dek sayang." Satu kecupan mendarat di perut buncit itu.Meliana terkekeh, anaknya itu terbilang sangat aktif, tapi saat mereka melakukan USG, dia sama sekali tidak menampilkan wa
Harto buka pintu kamar yang sontak tertutup rapat itu, Neni tampak di dalam sana dengan mata yang basah.Wanita itu berusaha menenangkan diri setelah mengomel di depan seolah memberi sambutan pada Rika dan Juna."Kabar baik yang kau dengar, lalu kenapa kau menangis?" tanya Harto.Neni menoleh, "Aku hanya terlalu senang dan aku tidak mau menunjukkannya pada anak-anak itu," jawabnya."Astaga, mereka kira kau tidak suka sampai Rika menangis di pelukan Amel."Klek,Belum selesai Harto berbicara dengan Neni, Meliana yang baru saja ia sebut itu masuk ke kamar, ia balikkan tubuhnya lalu mengulas senyum di sana."Boleh aku bicara dengan Ibu?" tanyanya."Kenapa? Kau mau berceramah padaku apa?" tuduh Neni ketus, tapi satu tangannya terulur meminta Meliana mendekat.Meliana sambut tangan itu, ia lantas duduk ke samping Neni dan berhadapa
Masih ingat dibenak Rika akan kejadian bulan lalu di mana dirinya harus berlari keliling rumah Arga tanpa alas kaki sebanyak sepuluh kali karena melakban mulut Neni dengan sengaja.Ia masih keukeh sampai hari ini untuk tidak terlalu banyak bicara pada ibu Arga dan ibu mertua Meliana itu, sekedarnya saja dan tetap melakukan apa yang Neni anjurkan selama proses programnya."Apa aku harus bersujud kepadanya, hah?" Rika berkacak pinggang."Kau tahu semua ini berkat bimbingan dan bantuan darinya, kenapa kau kejam sekali?" balas Juna, menyerah sudah kalau Rika mengibarkan bendera perang pada Neni.Aku harus apa dan aku masa bodoh, itu yang ada dibenak dua orang yang sedang mondar-mandir di depan rumah.Mereka endak berangkat ke klinik untuk pemeriksaan lanjutan, satu bulan pertama proses program kehamilan ini, mendekati hari datang bulan berikutnya, Rika wajib kontrol untuk memeriksakan kandunga