Dia pulang membawa kecemasan dan rasa sesal yang menggunung, dari tangan dan isi kepalanya, Meliana masuk dan terbuang dari rumah ini.
Anak lelakinya yang malang, setelah menikah dengan Fira untuk kedua kalinya, Natan tampak tak berselera dan tak punya pandangan hidup.
Sungguh, berbeda saat Natan bersama Meliana dulu, selalu ada hal baru yang membuatnya marah, tapi Natan suka itu.
Pandangannya masih tertuju pada Natan, wajahnya kian menua dan kebahagiaan seolah terampas dari hidupnya.
Bukan salah Meliana atau Natan, tapi salahnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab atas kehidupan putranya sendiri.
Ia kira akan lebih baik memisahkan gadis seperti Meliana dari anaknya, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, rumah ini terbangun asal ide dan usulan Meliana, setiap sudutnya masih mengingatkan dan bisa mereka dengar gelak tawa Meliana di sana.
Kalau saja waktu bisa
"Kita harus pergi dari rumah ini, kamu dan aku!" Natan menatap lurus istrinya, tekadnya sudah bulat untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang ibunya.Fira masih belum paham apa maksud suaminya itu setelah semalam tak kembali ke kamar dan mereka terdiam cukup lama."Cepat, Fir!" titahnya mengeraskan suara."Iya, tapi dengarkan aku dulu!"Tidak, Natan tidak mau mendengarkan apapun dari Fira, intinya hari ini juga mereka harus ke luar dari rumah itu meskipun banyak larangan yang mengecam keduanya.Fira kemasi baju-baju yang sudah Natan pilihkan, ia kemudian berhenti sebentar saat ibu mertuanya berdiri di depan kamar mereka."Hentikan, Natan!" pinta sang ibu."Tidak, mau apa Ibu? Aku akan hidup sendiri bersama istriku, sudah cukup kekacauan yang Ibu buat, kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan menuruti kemauan Ibu untuk meningga
Natan dan semua masa lalu itu sudah berlalu kini, bahkan maaf yang sempat tertunda dan termaafkan tanpa diminta sudah berlayar juga hari itu.Meliana tatap lembar kosong di tangannya, itu milik Kirana seutuhnya, dia dan Arga telah berjanji untuk menutup masa lalu dan mengukir kenangan indah baru bersama.Biarlah cerita buruk yang mereka lewati di masa itu menjadi dogeng untuk anaknya sebelum tidur tanpa dia tahu siapa peran sesungguhnya di dalam sana.Hari ini, yang ada di depan Kirana hanyalah keluarga yang bahagia, keluarga yang mengenal banyak karakter yang lengkap di mana pembuat senyum dan keributan bercampur menjadi satu."Sayang, mana Kiran?" Arga memeluk pinggang yang kembali ramping itu, mengecup singkat pipi merah istrinya."Dia ada di kamar ibu, hari ini giliran ibu yang menjaganya. Dia menjadi rebutan di rumah ini, kenapa?" Meliana goyangkan sedikit tubuhnya, ke kanan dan kiri sampai Arga mengikutinya
“Oke, semoga hidupmu bahagia, bye!”Meliana meninggalkan ruang persidangan terakhir hari ini, dia telah sah berpisah dengan Natan, mantan suaminya yang telah mengarungi biduk rumah tangga bersamanya selama tiga tahun itu.Tidak ada air mata atau guratan sedih di wajah Meliana, bahkan wajahnya tampak bersinar dan segar seolah tidak ada masalah sama sekali.“Mel, jangan gila ... Aku mohon!” Rika mengejar temannya itu, dialah yang menjadi pendamping sekaligus perwakilan keluarga inti Meliana selama persidangan ini berlangsung.Meliana menoleh, tidak lupa ia bawa senyum lebarnya, “Apa maksudmu gila?”“Kau tidak bersalaman dengan mantan mertua dan saudara iparmu apa, hah?” Rika tunjuk keluarga Natan yang masih berkumpul di depan ruang persidangan.“Untuk apa?”“Mereka juga keluargamu selama ini, Mel.”“Keluarga tidak mungkin membuang anggota keluarganya,”
Meliana kosongkan waktunya, hari ini dia harus menata semua barang-barang di rumah yang baru ia sewa beberapa minggu lalu.Di rumah petak ini Meliana bersembunyi dari banyak kecaman keluarga suaminya, dia menenangkan diri sembari terus mengikuti peraturan yang ada.Masih teringat jelas di benak Meliana akan nasib malang dan ucapan kasar yang ia terima dari sang ibu mertua, tapi dari kejadian ini Meliana tersadar bahwa tidak akan pernah enak hidup di bawah kaki dan tangan orang lain.Ini hidupnya dan siapapun tidak berhak untuk ikut campur lagi, Meliana tutup buku diary lamanya, ia buka lembaran baru dengan status baru.Menjadi janda bukanlah hal yang mudah, Meliana harus tampil biasa di tengah mentalnya yang melemah, banyak anggapan miring di luar sana tentang seorang janda.“Kau tidak mau jalan-jalan sore ini?” tawar Rika, kakinya sudah gatal dan ingin menikmati matahari tenggelam.
“Eh, mau ke mana?” tanya Meliana, ia tahan tangan Rika.Rika terpaksa mundur kembali, ia tahu Meliana sudah tidak ingin bertemu kembali dengan Arga, masa lalu mereka sangatlah buruk.“Lihat siapa?” Meliana bertanya kembali, tidak mungkin bila ada pria yang mendadak melambaikan pada Rika di taman ini.“Ti-tidak, aku lupa mau apa tadi. Kau mau membeli sesuatu?”Meliana edarkan matanya, mulai memilih makanan dan minuman apa yang ingin ia beli.Tiba-tiba satu tangannya terangkat dan menunjuk ke arah pedagang kembang gula, Meliana sangat suka itu sejak dulu dan kembang gula bisa membuat dirinya lupa dengan masalah yang sedang ia hadapi.“Belikan aku itu, kau tadi berjanji akan membelikan apa saja yang aku mau, bukan?”Astaga,“Kau tidak bosan apa makan kembang gula?” Rika berusaha mengalihkan perhatian Meliana, ia lihat sekali lagi orang-orang yang tengah
"Mel, tolong dengarkan aku!"Sia-sia, Meliana tutup pintu kamarnya rapat, ia tidak ingin satu orang pun masuk ke sana, termasuk Rika.Air matanya kembali jatuh, lenyap sudah bayang santai yang Meliana tampilkan akhir-akhir ini, semua seolah kembali pada masa lalu di mana ia tertawa sembari bersandar pada bahu Arga.Dia, pria terbaik waktu itu, sebelum semuanya berakhir dan mereka terpisah karena satu hal yang tidak bisa Meliana jelaskan.Perasaan yang ada di hati dan tertanam subur di sana tidak pernah tersampaikan, terpaksa Meliana kubur dalam-dalam dan tidak berminat untuk menggalihnya kembali.Arga dan semua kenangan itu pun telah pergi seiring dengan keputusan Arga dan keluarganya meninggalkan kota ini.Tidak pernah Meliana bayangkan hari ini, pertemuan ini terjadi kembali. Ada duka yang mereka simpan,
"Amel?" gumam Arga.Ia tidak menyangka kalau akan bertemu dengan Meliana lagi, di tempat ia bekerja dan ternyata satu kantor dengan Meliana.Ada hati yang berkhianat saat ini, wajah dan mulutnya keras menyatakan tidak mau bertemu lagi, tapi dalam hati tidak ada yang tahu.Arga berlari menghampiri Meliana, tidak ia hiraukan Juna yang tertinggal di belakang dengan wajah bingung."Mel," sapanya gugup.Meliana menoleh, ia bawa kerutan kening yang sedari tadi terpajang di wajahnya, Meliana sudah sah ke luar dari kantor ini, hanya saja dia tidak mendapat izin untuk pulang lebih awal."Kau," ucap Meliana lirih, ia berbalik lagi dan berjalan acuh.Arga tarik tangan yang mengayun itu."Lepaskan!" pinta Meliana, ia tepis tangan Arga yang menggenggam tangannya
Tidak ada yang tahu apa yang Arga lakukan sepulang kerja, dia berdiri di dekat rumah kontrakan Meliana. Informasi yang mudah sekali ia dapatkan dari bagian personalia di kantor barunya, kebetulan Arga pernah satu kampus dulu.Entah apa yang Arga fikirkan dan harapkan hingga semua ini bertolak belakang dengan ucapannya, dia datang menemui Meliana, tapi bukan karena ingin wanita itu menjadi pendamping dan pemilik hatinya seperti dulu lagi, Arga hanya ingin rasa penasaran di dalam hatinya terjawab saat ini."Arga," sapa Rika yang baru saja berbelanja di mini market tidak jauh dari rumah itu.Arga menoleh kaget, "Kau ada di sini?" tanya Arga."Apa kau lupa kalau rumahku tidak jauh dari sini? Aku sedang menemani Meliana sekaligus mau belajar berjualan online, kau sendiri?"Tenggorokan Arga terasa tercekat, dia tertangkap basah, tapi ini Rika, ada ha
Natan dan semua masa lalu itu sudah berlalu kini, bahkan maaf yang sempat tertunda dan termaafkan tanpa diminta sudah berlayar juga hari itu.Meliana tatap lembar kosong di tangannya, itu milik Kirana seutuhnya, dia dan Arga telah berjanji untuk menutup masa lalu dan mengukir kenangan indah baru bersama.Biarlah cerita buruk yang mereka lewati di masa itu menjadi dogeng untuk anaknya sebelum tidur tanpa dia tahu siapa peran sesungguhnya di dalam sana.Hari ini, yang ada di depan Kirana hanyalah keluarga yang bahagia, keluarga yang mengenal banyak karakter yang lengkap di mana pembuat senyum dan keributan bercampur menjadi satu."Sayang, mana Kiran?" Arga memeluk pinggang yang kembali ramping itu, mengecup singkat pipi merah istrinya."Dia ada di kamar ibu, hari ini giliran ibu yang menjaganya. Dia menjadi rebutan di rumah ini, kenapa?" Meliana goyangkan sedikit tubuhnya, ke kanan dan kiri sampai Arga mengikutinya
"Kita harus pergi dari rumah ini, kamu dan aku!" Natan menatap lurus istrinya, tekadnya sudah bulat untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang ibunya.Fira masih belum paham apa maksud suaminya itu setelah semalam tak kembali ke kamar dan mereka terdiam cukup lama."Cepat, Fir!" titahnya mengeraskan suara."Iya, tapi dengarkan aku dulu!"Tidak, Natan tidak mau mendengarkan apapun dari Fira, intinya hari ini juga mereka harus ke luar dari rumah itu meskipun banyak larangan yang mengecam keduanya.Fira kemasi baju-baju yang sudah Natan pilihkan, ia kemudian berhenti sebentar saat ibu mertuanya berdiri di depan kamar mereka."Hentikan, Natan!" pinta sang ibu."Tidak, mau apa Ibu? Aku akan hidup sendiri bersama istriku, sudah cukup kekacauan yang Ibu buat, kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan menuruti kemauan Ibu untuk meningga
Dia pulang membawa kecemasan dan rasa sesal yang menggunung, dari tangan dan isi kepalanya, Meliana masuk dan terbuang dari rumah ini.Anak lelakinya yang malang, setelah menikah dengan Fira untuk kedua kalinya, Natan tampak tak berselera dan tak punya pandangan hidup.Sungguh, berbeda saat Natan bersama Meliana dulu, selalu ada hal baru yang membuatnya marah, tapi Natan suka itu.Pandangannya masih tertuju pada Natan, wajahnya kian menua dan kebahagiaan seolah terampas dari hidupnya.Bukan salah Meliana atau Natan, tapi salahnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab atas kehidupan putranya sendiri.Ia kira akan lebih baik memisahkan gadis seperti Meliana dari anaknya, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, rumah ini terbangun asal ide dan usulan Meliana, setiap sudutnya masih mengingatkan dan bisa mereka dengar gelak tawa Meliana di sana.Kalau saja waktu bisa
Pletak,Surti sentil kening anaknya yang tengah hamil muda itu, seperti biasa dan Juna sudah paham itu, di mana ibu mertua dan istrinya akan bertengkar setiap kali mereka bertemu.Sungguh, tidak akan pernah ada kedamaian di pertemuan mereka sebelum saling bersorak dan memprotes."Apa cucuku tumbuh baik di perut berlemak ini?" tanya Surti."Sur, kau ini!" Heri sudah lelah menegurnya, bahkan sudah menghabiskan satu botol air mineral, padahal baru saja tiba.Surti mengetuk perut Rika sebelum memutuskan untuk duduk ke samping Heri.Banyak barang yang mereka bawa dari kampung untuk anak Meliana, mereka harus pergi ke rumah sakit sekarang mengingat Heri ingin segera menggendong cucu pertamanya itu."Aku tidak bekerja, Bu. Tenang saja, kita akan berangkat setelah Rika mandi," ujar Juna.Plak,Beruntung Heri tahan laju tangam Su
"Ibuuuuu," panggil Meliana merintih, ia tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ada. Kedua tangannya terus meremat dan kini berpindah ke sisi ranjang dengan kedua kaki yang sudah tertekuk naik. Penyanggah di sana terpasang dengan baik, dokter dan timnya sudah bersiap di bawah beserta alat medis untuk penanganan berikutnya. Kali ini penanganan pasien khusus di mana ditemani oleh dua orang sekaligus, Meliana tidak mau melepas tangan Neni ataupun Arga, dia mengunci kuat dengan mata basahnya saat tangan itu dipaksa pindah ke sisi ranjang. Neni meminta kelonggaran dengan alasan yang sama di mana hanya dia ibu dari Meliana, bahkan cerita masa lalu terukir di sana, bergelimang dan terdengar hingga berlinang air mata. "Ibu, Arga!" Meliana memanggil sekali lagi saat gelombang dahsyat itu menyerangnya. Arga mendekat, ia usap kening dan kecup dalam di sana, tidak ada yang bisa ia lakukan selain dua hal it
Heri tak berhenti mengirimkan doa untuk anaknya yang tengah berjuang itu, begitu juga Surti yang ada di dekatnya, menyiapkan segala hal yang mungkin bisa mereka bawa ke rumah Arga, mereka akan menggantikan posisi Neni dan Harto di rumah itu mengingat Rika juga sedang hamil muda, butuh kekuatan pendamping agar tidak terlalu larut dalam suasana mencekam yang ada.Sementara di rumah sakit,Arga usap punggung dan perut bawah istrinya tanpa henti, matanya sudah sangat berat, tapi rintihan Meliana membuatnya kuat seketika.Arga tak hentinya melantunkan doa yang bisa membantu istrinya tenang, sedangkan Neni untuk sementara duduk karena tubuhnya ikut lemas.Semakin bertambah pembukaan Meliana, rasa sakit itu semakin dahsyat, semua berharap yang terbaik, entah itu normal atau nanti Meliana harus caesar, tidak masalah.Neni hanya ingin menantu dan cucunya itu sehat bersama, selamat dan bisa berada di dekatnya segera.
Malam itu, Meliana siapkan makanan kesukaan suaminya, perut yang membesar mungkin menghalanginya untuk bergerak cepat, tapi tidak membuat Meliana lantas malas untuk melayani suaminya.Arga masih mendapatkan apa yang ia mau, termasuk hak berkunjung pada buah hatinya itu."Dia makin suka bergerak ya, sayang?" tanya Arga sembari mengusap perut besar itu, menerima suapan dari sang istri yang terlihat mengembang akhir-akhir ini, apalagi bagian pipi Meliana. Meliana mengangguk, "Dia suka nyapa orang kayaknya, sampai kalau ada abang sayur itu waktu pagi, aku sama ibu kan milih, dia ikut gerak nonjol ke kanan atau kiri gitu loh, Ga," ungkapnya."Beneran? Penasaran aku sama dia jadinya, nggak sabar Ayah ketemu kamu, Dek sayang." Satu kecupan mendarat di perut buncit itu.Meliana terkekeh, anaknya itu terbilang sangat aktif, tapi saat mereka melakukan USG, dia sama sekali tidak menampilkan wa
Harto buka pintu kamar yang sontak tertutup rapat itu, Neni tampak di dalam sana dengan mata yang basah.Wanita itu berusaha menenangkan diri setelah mengomel di depan seolah memberi sambutan pada Rika dan Juna."Kabar baik yang kau dengar, lalu kenapa kau menangis?" tanya Harto.Neni menoleh, "Aku hanya terlalu senang dan aku tidak mau menunjukkannya pada anak-anak itu," jawabnya."Astaga, mereka kira kau tidak suka sampai Rika menangis di pelukan Amel."Klek,Belum selesai Harto berbicara dengan Neni, Meliana yang baru saja ia sebut itu masuk ke kamar, ia balikkan tubuhnya lalu mengulas senyum di sana."Boleh aku bicara dengan Ibu?" tanyanya."Kenapa? Kau mau berceramah padaku apa?" tuduh Neni ketus, tapi satu tangannya terulur meminta Meliana mendekat.Meliana sambut tangan itu, ia lantas duduk ke samping Neni dan berhadapa
Masih ingat dibenak Rika akan kejadian bulan lalu di mana dirinya harus berlari keliling rumah Arga tanpa alas kaki sebanyak sepuluh kali karena melakban mulut Neni dengan sengaja.Ia masih keukeh sampai hari ini untuk tidak terlalu banyak bicara pada ibu Arga dan ibu mertua Meliana itu, sekedarnya saja dan tetap melakukan apa yang Neni anjurkan selama proses programnya."Apa aku harus bersujud kepadanya, hah?" Rika berkacak pinggang."Kau tahu semua ini berkat bimbingan dan bantuan darinya, kenapa kau kejam sekali?" balas Juna, menyerah sudah kalau Rika mengibarkan bendera perang pada Neni.Aku harus apa dan aku masa bodoh, itu yang ada dibenak dua orang yang sedang mondar-mandir di depan rumah.Mereka endak berangkat ke klinik untuk pemeriksaan lanjutan, satu bulan pertama proses program kehamilan ini, mendekati hari datang bulan berikutnya, Rika wajib kontrol untuk memeriksakan kandunga