Tidak ada yang tahu apa yang Arga lakukan sepulang kerja, dia berdiri di dekat rumah kontrakan Meliana. Informasi yang mudah sekali ia dapatkan dari bagian personalia di kantor barunya, kebetulan Arga pernah satu kampus dulu.
Entah apa yang Arga fikirkan dan harapkan hingga semua ini bertolak belakang dengan ucapannya, dia datang menemui Meliana, tapi bukan karena ingin wanita itu menjadi pendamping dan pemilik hatinya seperti dulu lagi, Arga hanya ingin rasa penasaran di dalam hatinya terjawab saat ini.
"Arga," sapa Rika yang baru saja berbelanja di mini market tidak jauh dari rumah itu.
Arga menoleh kaget, "Kau ada di sini?" tanya Arga.
"Apa kau lupa kalau rumahku tidak jauh dari sini? Aku sedang menemani Meliana sekaligus mau belajar berjualan online, kau sendiri?"
Tenggorokan Arga terasa tercekat, dia tertangkap basah, tapi ini Rika, ada harapan untuk bisa masuk dan bertemu Meliana melalui Rika di sini.
"Aku mau menemuinya," jawab Arga jujur.
"Untuk apa? Meliana tidak mau bertemu denganmu, dan kau tahu ... Sejak bertemu denganmu di kantor kemarin, dia menangis semalaman, entah karena apa," jelas Rika, ia hendak meminta Arga menyerah saja untuk bertemu Meliana saat ini.
"Karena itu ... Aku mau menemuinya karena aku merasa ada yang janggal dengan semua ini." Arga bersikeukeh untuk menemui Meliana.
Rika terpaksa menyetujuinya, barang kali dengan pertemuan dan penjelasan ini tidak ada lagi kesalah pahaman di antara keduanya, Rika rasa memang ada hal yang Meliana sembunyikan selama ini.
Tidak mungkin Meliana tiba-tiba meninggalkan Arga dan menikah kilat waktu itu, Rika akui hubungan mereka tidak jelas, terjebak pada sebuah status yang entah mau dibawa ke mana dan seperti apa, banyak pria dan wanita yang dekat dengan keduanya sampai Meliana putuskan untuk menerima pinangan dari salah satu di antara mereka yang dekat dengannya, lama-lama hati Meliana pun juga jatuh cinta.
Arga duduk di ruang tamu, di dalam sana Rika tengah berusaha membujuk Meliana untuk menemui Arga.
Gadis itu pun ke luar kamar, memakai piyama panjang dengan gaya khas Meliana yang tidak pernah berubah seperti dulu, Arga hafal itu.
"Kalau tujuanmu ke tempat ini hanya untuk membuat aku kembali berteman denganmu, lupakan, itu akan sia-sia!" ucap Meliana tegas, dia sudah memperingatkan dari awal sebelum dia hanyut sendiri dengan ucapan Arga.
Arga tersenyum samar, ia pandangi wajah kesal Meliana yang sudah sangat lama tidak ia lihat, sejak menikah Meliana tidak pernah aktif di media sosial lagi.
"Aku tidak berniat untuk itu, kalaupun tidak bisa, aku tidak masalah .. Kedatanganku ke mari hanya untuk bertanya hal yang kau sembunyikan dariku beberapa tahun lalu, Mel." Arga tatap dalam Meliana yang sontak memalingkan wajah.
"Tidak ada yang aku sembunyikan," jawab Meliana singkat.
"Tidak mungkin, kau pasti berbohong, dalam sekejap kau mengajakku bertengkar dan memutuskan kita untuk saling melupakan, kau juga membawa pria lain ke hadapanku, mengenalkan padaku kalau itu adalah pria yang kau cintai, lalu kau juga pergi begitu saja setelah memakiku. Pasti ada yang membuatmu berubah seperti itu, jujurlah!" pinta Arga, itu yang dia tunggu dari dulu, ia ingin mendengar alasan Meliana meninggalkan semuanya waktu itu.
"Aku bilang tidak ada yang aku sembunyikan, aku memang kesal dengan sikapmu dan aku memang mau menikah, gadis yang sudah menikah tidak mungkin meladeni pria selain suaminya, aku hanya melakukan itu!"
"Tapi, bukan berarti kau memutus hubungan baik yang sudah tejalin, lagipula aku tidak akan memutus pertemanan kita kalau kau menikah dengan pria lain, kenapa harus kau pergi waktu itu? Kau bahkan tidak mau melihat wajahku lagi, itu tidak adil, Mel ...."
"Apa yang tidak adil?" mata Meliana menggenang, bibirnya berkedut tanda kalau ada duka yang ingin pecah di sana.
Arga tarik tangan itu dan mengajak Meliana ke luar rumah paksa, dia pinjam mobil Juna untuk membawa Meliana pergi. Arga tidak peduli dengan penolakan yang Meliana tunjukkan.
"Egois!" sentak Meliana, ia sudah terkunci di dalam mobil.
"Terserah kamu mau ngomong apa!" balas Arga, ia kemudikan mobil itu menjauh dan entah ke mana, dia yang tahu tujuannya, mencari tempat di mana mereka pernah duduk bersama.
Berulang kali Meliana memakinya, mengatakan kalau Arga adalah pria yang tidak jelas dan egois, semua Arga dengarkan dan lupakan, biar saja Meliana mengumpat tentangnya apa saja, dia dan hatinya ingin mendengar semua yang dirasa tidak adil itu.
Sampailah pada sebuah taman di dekat danau tempat mereka dulu sering berjanji untuk bertemu, membagi cerita dan beban yang ada di pundak mereka.
"Kau boleh memakiku tidak jelas, egois atau apa, terserah, Mel! Tapi, aku tidak bisa berbohong kalau aku ingin mendengar semua alasan yang kau sembunyikan dulu," jelas Arga berucap pelan, ia tekan kedua bahu Meliana yang merapat, gadis itu menunduk, air matanya jatuh dan dengan cepat Arga hapus lembut.
"Aku mohon setelah ini pergilah dan jangan ganggu aku," pinta Meliana, sisa isakan itu mengiris hati Arga juga.
Biarlah orang melihat mereka duduk berdua dan dekat, mereka sudah sama-sama sendiri saat ini.
"Oke, aku akan pergi dan tidak mengganggumu kalau kau jelaskan semuanya," putus Arga, ia tidak rela, tapi harus ia relakan.
Meliana hapus sisa air matanya, ia tatap Arga dalam sama seperti dulu di mana mereka tidak pernah bisa saling berbohong satu sama lain, sama seperti di mana cinta dalam diam itu muncul tanpa sadar, Meliana munculkan sorot mata yang sudah terkubur lama itu.
Dari dulu seperti inilah Arga, walau ribuan kali bibirnya berkata tidak peduli dengan Meliana, raganya bertolak belakang, begitu juga dengan hatinya.
"Waktu itu ... Ibumu datang menemuiku, dia memintaku untuk pergi jauh darimu, tidak akan pernah hadir lagi dengan alasan apapun. Dia tidak suka dengan hubungan yang kita jalin dan aku ... Ga, kalau kau berfikir aku meninggalkanmu dengan mudah itu salah, aku memohon pada Ibumu waktu itu, tapi dia menolak, dan setelah aku dengarkan penjelasannya, aku rasa itu masuk akal, jadi aku putuskan untuk pergi," ungkap Meliana getir, batinnya tercabik-cabik mengatakan semua ini.
"Kenapa kau tidak mengatakan hal itu kepadaku? Dan kenapa Ibu tidak setuju denganmu?" Arga usap dadanya yang bergemuruh.
"Kalau aku katakan semua itu, kau pasti akan bertengkar dengan Ibumu dan tidak ada perjodohanmu dengan Nia, gadis baik pilihan Ibumu."
Arga raup wajahnya kasar, dan jawaban Meliana berikutnya semakin membuatnya terkejut, sebuah alasan yang membuat hatinya ikut menangis bersama dengan pedihnya hati Meliana.
"Waktu itu aku sempat sakit dan kabar yang beredar dari penyakitku, aku tidak akan bisa mempunyai anak nantinya ... Ibumu tahu itu, aku juga bukan dari keluarga mampu yang bisa makan sesuai dengan standart kesehatan yang ada, kau tahu juga sampai detik ini aku berpisah dari Natan juga karena hal itu, aku tidak bisa memberinya anak, Ga ...."
Air mata Meliana tumpah ruah, ia jelaskan semua bukan bertujuan untuk mendapatkan Arga kembali, semua ini hanya untuk memperjelas semua dan membuat Arga tidak berat menjauh darinya.
"Mel," Arga sebut nama itu sembari menakup wajah basah Meliana yang tampak rapuh, duka itu Meliana tanggung seorang diri.
"Pergilah, Ga ... Kau sudah berjanji padaku tadi," balas Meliana.
Kalau bisa ia ingin bersama Arga kembali, tapi dia bukan orang yang bisa menyempurnakan Arga di masa nanti.
"Jaga bicaramu, Ga!" Neni tunjuk Arga tegas, ia menolak keras pembelaan anaknya pada gadis bernama Meliana yang kini telah berubah menjadi seorang janda.Setelah mengantar Meliana kembali ke rumah kontrakan itu, Arga putar kemudinya ke rumah sang ibu yang cukup jauh, rumah baru di mana dulu Arga memutuskan untuk pindah bersama keluarganya setelah Meliana menikah.Juna sudah berusaha menghentikan, bahkan ia sampai rela meminjam mobil kantor untuk menyusul Arga, tapi sampai tengah jalan mobil itu mogok, mau tidak mau Juna harus menunggu jemputan dari bengkel langganan kantornya."Apa yang Ibu katakan ke Amel itu kasar, kejam ... Amel tidak seburuk itu, Bu!" batinnya tersayat mendengar kenyataan bahwa ibunya lah yang menjadi penyebab Meliana pergi waktu itu."Ibu seperti itu untuk kebaikanmu, kau bisa menikah dengan wanita lain yang jauh lebih-""Lebih apa? Lebih apa, Bu? Lihat aku sekarang, aku menjadi duda setelah
"Ada apa?" tanya Meliana setengah berteriak, ia rebut ponsel itu karena panik.Rika masih tertegun dan tifak bisa menjawab apa-apa, baru saja tadi dia membuat status di status instagramnya, dalam sekejap banjir dukungan juga ada yang sudah tidak sabar untuk membeli, mereka percaya dengan pilihan Rika."Ini gila dan luar biasa, kita harus menemukan suplier yang tepat, Mel!" Rika genggam tangan Meliana yang bebas."Bener, kita harus temukan paling lambat besok pagi, ikan yang sudah mendekat tidak boleh kita sia-sia kan, mulai hubungi saja," putus Meliana, ia rela tidak tidur semalaman untuk menemukan suplier daster jawa tengah yang hits saat ini.Satu per satu kontak mereka hubungi, menunggu jawaban yang beruntung sekali tengah malam masih dilayani, bahkan mereka dipersilahkan untuk masuk ke grup reseller daster itu."Bagus, beneran!" seru Meliana, ia tidak menyangka akan menemukan suplier
"Bagaimana respon mereka?" Meliana tidak sabar dengan hasil posting pertama yang Rika lakukan.Jujur saja, dalam hal media sosial dan segalanya yang berhubungan dengan jaringan luas itu, Rika lah penguasanya.Meliana kalah jauh, disamping itu dia juga sudah lama tidak aktif di media sosial, otomatis banyak teman yang sudah lupa dan hilang."Sold out," ucap Rika sembari membusungkan dadanya."Benarkah?" Meliana pastikan ulang, dan memang benar adanya, dasyer satu seri itu hampir menjadi rebutan teman-teman Rika dulu di kantor.Meliana juga kenal, tapi tidak terlalu akrab.Semua ingin mencobanya hari ini, mau tidak mau Meliana dan Rika harus mengantar ke kantor, tempat di mana mereka dulu mencari rezeki.Meliana siapkan semuanya, termasuk nota, semua harus tercatat rapi hingga mereka bisa membuat kesimpulan selama bulan pertama percobaan usaha ini.
Arga sugar rambutnya ke belakang berulang kali, ia mengesah tanpa henti karena keberaniannya menahan langkah Meliana tadi."Kau yakin hanya membayangkan saja tadi?" Juna lebih panik dari Arga."Hem, aku hanya membayangkan saja saat aku melihat wajanya.""Sungguh, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau sampai kau benar-benar mengatakan hal itu pada Meliana, dia bisa saja pergi dari kota ini," jelas Juna, menguap sudah kepanikannya."Aku juga berfikir seperti itu." Arga menunduk, ia hela nafas berulang kali sampai dirasa ia benar-benar tenang.Tadi, dia memang menahan Meliana dan memojokkan gadis itu, tapi belum sempat ia berkata apa-apa, bayangan buruk dari ucapan yang jujur dari hatinya itu sudah membuatnya ketakutan.Meliana pasti tidak akan pernah mau menemuinya lagi meskipun itu tidak sengaja, Arga mau tidak mau harus menahan diri yang mulai sadar kalau sampai detik ini dia masih sangat mencintai Me
Tidak ada satu panggilan pun yang Meliana jawab, ia yakin sedari tadi Rika menunggunya di rumah dengan banyak barang yang siap untuk mereka ambil gambar dan posting.Tapi, di sinilah Meliana berhenti, di tempat yang dia benci untuk pertama kali datang sekaligus, tempat di mana ia bertemu dengan Arga setelah sekian lama terpisah.Meliana menunduk dan tenggelam dalam siksaan batinnya, lagi-lagi nasib tidak berpihak kepadanya."Kenapa aku harus bertemu dengan wanita kejam itu lagi?" tangisnya terdengar memiluhkan.Mata bengkak dengan air mata yang tidak mau berhenti itu seolah menjadi tanda seberapa parah dan pedihnya hal yang menimpa Meliana hari ini.Dia bertemu lagi dengan ibu Arga,Wanita itu berdiri menghalangi motor Meliana yang hendak masuk ke area dekat rumah kontrakan, entah dari mana wanita itu tahu tempat tinggal baru Meliana, yang jelas pertemuan itu terjadi hari ini.Neni berga
"Kenapa tidak pernah berbagi dengan Ayah, Nak?" tanya Heri, batinnya teriris mendengar kebenaran yang selama ini Meliana sembunyikan darinya.Sebuah kenyataan pahit yang sama sekali tidak pernah diimpikan banyak orang dalam hidupnya."Apa menurut Ayah pilihan yang aku buat ini benar? Aku sungguh tidak bertujuan apapun selain memperbaiki kondisi tubuhku, itu saja."Heri mengangguk, "Apa yang sudah kamu pilih itu yang terbaik, kita tidak perlu berubah karena orang lain, tapi berubahlah karena memang ada hal yang perlu kamu perbaiki dalam hidupmu, orang lain hanya penikmat, sedang kita yang merasakan manfaatnya nanti. Ayah yakin kamu akan semakin merasa sehat dan bisa lincah berjualan bersama Rika," jawab Heri sembari memeluk putrinya.Gadis kecil yang ia besarkan dengan penuh cinta meskipun banyak kekurangan yang membuat Meliana tidak tumbuh seperti anak-anak lain seusianya, banyak yang Meliana lewatkan, tapi itu semua Heri b
Ada rasa yang tidak biasa ketika mereka berdua bertemu, Meliana yang ragu-ragu untuk tersenyum dan mata Arga yang malu-malu untuk mengakui kalau ini adalah hal yang ia tunggu-tunggu.Canggung, itu yang terjadi saat ini, baik Meliana maupun Arga sama-sama tidak tahu harus berbuat apa dan memulai pertemuan ini dengan sapaan apa.Meliana angkat satu tangannya, melambai kaku pada Arga yang sontak berjalan mendekat.Jujur, ingin Arga peluk gadis yang tengah berdiri di depannya itu, tapi ia tidak mau gegabah, Meliana sudah mau menemuinya saja itu hal yang patut ia syukuri dalam-dalam."Ha-hai," sapa Meliana gugup.Arga tersenyum canggung, "Ha-hai juga," balasnya dengan suara bergetar, kakinya saja tidak bisa tenang berdiri di dekat Meliana."Kenapa?" Meliana tunjuk kaki Arga yang bingung mau bergaya seperti apa."Tidak, ak-aku ... Gugup, Mel."Meliana tergelak mendengarnya, tawa ya
Minggu pagi, bagi mereka yang pekerja kantoran, hari ini adalah hari malas sedunia atau hari di mana mereka bisa sepanjang waktu bersama keluarga untuk menyegarkan fikiran.Berbeda dengan para pedagang seperti Meliana dan Rika, dua gadis berparas manis nan cantik itu sibuk menata barang dagangan dengan peralatan seadanya, beberapa daster ada yang terpajang, ada juga yang masih terlipat rapi.Daster Rumah Holic, itu nama toko online yang Rika dan Meliana buat.Ini hari pertama mereka membuka dagangan di depan umum dan langsung bertemu dengan pelanggan yang tentu belum mengenal, sebagian mata sudah melirik dan mencuri pandang saat Meliana sibuk menata barang dagangannya itu, ada jutga yang sudah sempat mampir dan berjanji kembali lagi setelah semuanya beres."Kita mulai ya," ucap Meliana bersemangat.Rika mengangguk, ia baru saja selesai memasang stand banner dan beberapa lebel harga, semua yang terpajang di sana siap u
Natan dan semua masa lalu itu sudah berlalu kini, bahkan maaf yang sempat tertunda dan termaafkan tanpa diminta sudah berlayar juga hari itu.Meliana tatap lembar kosong di tangannya, itu milik Kirana seutuhnya, dia dan Arga telah berjanji untuk menutup masa lalu dan mengukir kenangan indah baru bersama.Biarlah cerita buruk yang mereka lewati di masa itu menjadi dogeng untuk anaknya sebelum tidur tanpa dia tahu siapa peran sesungguhnya di dalam sana.Hari ini, yang ada di depan Kirana hanyalah keluarga yang bahagia, keluarga yang mengenal banyak karakter yang lengkap di mana pembuat senyum dan keributan bercampur menjadi satu."Sayang, mana Kiran?" Arga memeluk pinggang yang kembali ramping itu, mengecup singkat pipi merah istrinya."Dia ada di kamar ibu, hari ini giliran ibu yang menjaganya. Dia menjadi rebutan di rumah ini, kenapa?" Meliana goyangkan sedikit tubuhnya, ke kanan dan kiri sampai Arga mengikutinya
"Kita harus pergi dari rumah ini, kamu dan aku!" Natan menatap lurus istrinya, tekadnya sudah bulat untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang ibunya.Fira masih belum paham apa maksud suaminya itu setelah semalam tak kembali ke kamar dan mereka terdiam cukup lama."Cepat, Fir!" titahnya mengeraskan suara."Iya, tapi dengarkan aku dulu!"Tidak, Natan tidak mau mendengarkan apapun dari Fira, intinya hari ini juga mereka harus ke luar dari rumah itu meskipun banyak larangan yang mengecam keduanya.Fira kemasi baju-baju yang sudah Natan pilihkan, ia kemudian berhenti sebentar saat ibu mertuanya berdiri di depan kamar mereka."Hentikan, Natan!" pinta sang ibu."Tidak, mau apa Ibu? Aku akan hidup sendiri bersama istriku, sudah cukup kekacauan yang Ibu buat, kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan menuruti kemauan Ibu untuk meningga
Dia pulang membawa kecemasan dan rasa sesal yang menggunung, dari tangan dan isi kepalanya, Meliana masuk dan terbuang dari rumah ini.Anak lelakinya yang malang, setelah menikah dengan Fira untuk kedua kalinya, Natan tampak tak berselera dan tak punya pandangan hidup.Sungguh, berbeda saat Natan bersama Meliana dulu, selalu ada hal baru yang membuatnya marah, tapi Natan suka itu.Pandangannya masih tertuju pada Natan, wajahnya kian menua dan kebahagiaan seolah terampas dari hidupnya.Bukan salah Meliana atau Natan, tapi salahnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab atas kehidupan putranya sendiri.Ia kira akan lebih baik memisahkan gadis seperti Meliana dari anaknya, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, rumah ini terbangun asal ide dan usulan Meliana, setiap sudutnya masih mengingatkan dan bisa mereka dengar gelak tawa Meliana di sana.Kalau saja waktu bisa
Pletak,Surti sentil kening anaknya yang tengah hamil muda itu, seperti biasa dan Juna sudah paham itu, di mana ibu mertua dan istrinya akan bertengkar setiap kali mereka bertemu.Sungguh, tidak akan pernah ada kedamaian di pertemuan mereka sebelum saling bersorak dan memprotes."Apa cucuku tumbuh baik di perut berlemak ini?" tanya Surti."Sur, kau ini!" Heri sudah lelah menegurnya, bahkan sudah menghabiskan satu botol air mineral, padahal baru saja tiba.Surti mengetuk perut Rika sebelum memutuskan untuk duduk ke samping Heri.Banyak barang yang mereka bawa dari kampung untuk anak Meliana, mereka harus pergi ke rumah sakit sekarang mengingat Heri ingin segera menggendong cucu pertamanya itu."Aku tidak bekerja, Bu. Tenang saja, kita akan berangkat setelah Rika mandi," ujar Juna.Plak,Beruntung Heri tahan laju tangam Su
"Ibuuuuu," panggil Meliana merintih, ia tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ada. Kedua tangannya terus meremat dan kini berpindah ke sisi ranjang dengan kedua kaki yang sudah tertekuk naik. Penyanggah di sana terpasang dengan baik, dokter dan timnya sudah bersiap di bawah beserta alat medis untuk penanganan berikutnya. Kali ini penanganan pasien khusus di mana ditemani oleh dua orang sekaligus, Meliana tidak mau melepas tangan Neni ataupun Arga, dia mengunci kuat dengan mata basahnya saat tangan itu dipaksa pindah ke sisi ranjang. Neni meminta kelonggaran dengan alasan yang sama di mana hanya dia ibu dari Meliana, bahkan cerita masa lalu terukir di sana, bergelimang dan terdengar hingga berlinang air mata. "Ibu, Arga!" Meliana memanggil sekali lagi saat gelombang dahsyat itu menyerangnya. Arga mendekat, ia usap kening dan kecup dalam di sana, tidak ada yang bisa ia lakukan selain dua hal it
Heri tak berhenti mengirimkan doa untuk anaknya yang tengah berjuang itu, begitu juga Surti yang ada di dekatnya, menyiapkan segala hal yang mungkin bisa mereka bawa ke rumah Arga, mereka akan menggantikan posisi Neni dan Harto di rumah itu mengingat Rika juga sedang hamil muda, butuh kekuatan pendamping agar tidak terlalu larut dalam suasana mencekam yang ada.Sementara di rumah sakit,Arga usap punggung dan perut bawah istrinya tanpa henti, matanya sudah sangat berat, tapi rintihan Meliana membuatnya kuat seketika.Arga tak hentinya melantunkan doa yang bisa membantu istrinya tenang, sedangkan Neni untuk sementara duduk karena tubuhnya ikut lemas.Semakin bertambah pembukaan Meliana, rasa sakit itu semakin dahsyat, semua berharap yang terbaik, entah itu normal atau nanti Meliana harus caesar, tidak masalah.Neni hanya ingin menantu dan cucunya itu sehat bersama, selamat dan bisa berada di dekatnya segera.
Malam itu, Meliana siapkan makanan kesukaan suaminya, perut yang membesar mungkin menghalanginya untuk bergerak cepat, tapi tidak membuat Meliana lantas malas untuk melayani suaminya.Arga masih mendapatkan apa yang ia mau, termasuk hak berkunjung pada buah hatinya itu."Dia makin suka bergerak ya, sayang?" tanya Arga sembari mengusap perut besar itu, menerima suapan dari sang istri yang terlihat mengembang akhir-akhir ini, apalagi bagian pipi Meliana. Meliana mengangguk, "Dia suka nyapa orang kayaknya, sampai kalau ada abang sayur itu waktu pagi, aku sama ibu kan milih, dia ikut gerak nonjol ke kanan atau kiri gitu loh, Ga," ungkapnya."Beneran? Penasaran aku sama dia jadinya, nggak sabar Ayah ketemu kamu, Dek sayang." Satu kecupan mendarat di perut buncit itu.Meliana terkekeh, anaknya itu terbilang sangat aktif, tapi saat mereka melakukan USG, dia sama sekali tidak menampilkan wa
Harto buka pintu kamar yang sontak tertutup rapat itu, Neni tampak di dalam sana dengan mata yang basah.Wanita itu berusaha menenangkan diri setelah mengomel di depan seolah memberi sambutan pada Rika dan Juna."Kabar baik yang kau dengar, lalu kenapa kau menangis?" tanya Harto.Neni menoleh, "Aku hanya terlalu senang dan aku tidak mau menunjukkannya pada anak-anak itu," jawabnya."Astaga, mereka kira kau tidak suka sampai Rika menangis di pelukan Amel."Klek,Belum selesai Harto berbicara dengan Neni, Meliana yang baru saja ia sebut itu masuk ke kamar, ia balikkan tubuhnya lalu mengulas senyum di sana."Boleh aku bicara dengan Ibu?" tanyanya."Kenapa? Kau mau berceramah padaku apa?" tuduh Neni ketus, tapi satu tangannya terulur meminta Meliana mendekat.Meliana sambut tangan itu, ia lantas duduk ke samping Neni dan berhadapa
Masih ingat dibenak Rika akan kejadian bulan lalu di mana dirinya harus berlari keliling rumah Arga tanpa alas kaki sebanyak sepuluh kali karena melakban mulut Neni dengan sengaja.Ia masih keukeh sampai hari ini untuk tidak terlalu banyak bicara pada ibu Arga dan ibu mertua Meliana itu, sekedarnya saja dan tetap melakukan apa yang Neni anjurkan selama proses programnya."Apa aku harus bersujud kepadanya, hah?" Rika berkacak pinggang."Kau tahu semua ini berkat bimbingan dan bantuan darinya, kenapa kau kejam sekali?" balas Juna, menyerah sudah kalau Rika mengibarkan bendera perang pada Neni.Aku harus apa dan aku masa bodoh, itu yang ada dibenak dua orang yang sedang mondar-mandir di depan rumah.Mereka endak berangkat ke klinik untuk pemeriksaan lanjutan, satu bulan pertama proses program kehamilan ini, mendekati hari datang bulan berikutnya, Rika wajib kontrol untuk memeriksakan kandunga