"Jaga bicaramu, Ga!" Neni tunjuk Arga tegas, ia menolak keras pembelaan anaknya pada gadis bernama Meliana yang kini telah berubah menjadi seorang janda.
Setelah mengantar Meliana kembali ke rumah kontrakan itu, Arga putar kemudinya ke rumah sang ibu yang cukup jauh, rumah baru di mana dulu Arga memutuskan untuk pindah bersama keluarganya setelah Meliana menikah.
Juna sudah berusaha menghentikan, bahkan ia sampai rela meminjam mobil kantor untuk menyusul Arga, tapi sampai tengah jalan mobil itu mogok, mau tidak mau Juna harus menunggu jemputan dari bengkel langganan kantornya.
"Apa yang Ibu katakan ke Amel itu kasar, kejam ... Amel tidak seburuk itu, Bu!" batinnya tersayat mendengar kenyataan bahwa ibunya lah yang menjadi penyebab Meliana pergi waktu itu.
"Ibu seperti itu untuk kebaikanmu, kau bisa menikah dengan wanita lain yang jauh lebih-"
"Lebih apa? Lebih apa, Bu? Lihat aku sekarang, aku menjadi duda setelah menikah tiga bulan dengan Nia. Ibu menolak Amel dan mempertemukanku dengan Nia, padahal Ibu tahu kondisi kesehatan Nia juga buruk, kenapa?"
Neni tidak bisa menjawab, alasan terbesarnya adalah status sosial keluarga Meliana yang dia anggap tidak satu level dengannya, walau Nia juga sakit, setidaknya Nia berasal dari keluarga yang baik, terlihat harmonis, berbeda dengan pandangan orang pada keluarga Meliana selama ini.
"Ibu tidak tahu kalau Nia sakit," ungkap Neni.
"Bohong!"
"Benar, Ibu tidak tahu, jangan terpengaruh dengan ucapan Meliana, Arga!"
"Amel tidak bicara apapun tentang Nia, dia tidak tahu apa-apa tentang Nia, tapi Ibu tahu ... Tidak mungkin Ibu tidak tahu, sedang waktu Nia merasa kesakitan di rumah sakit, Ibu berbicara empat mata dengan dokter itu, Bapak dan Juna saksinya!" setengah berteriak Arga membuka semuanya.
Hari ini, kenyataan pahit dan penuh luka itu terbuka dengan jelas. Arga harus mendengar semua hal yang telah menjadi salah paham selama ini sampai ia membenci Meliana, dan setelah ia tahu, pertemuannya dengan Meliana tidak akan pernah berlanjut lagi karena Arga telah berjanji untuk tidak menemui atau menjalin hubungan apa-apa dengan Meliana setelah penjelasan itu Arga dapat.
Tubuh Arga bergetar hebat seiring dengan emosinya yang meluap, wajahnya memerah dan kepalanya terasa terbakar.
"Kalau Ibu tidak suka dengan Amel, bicaralah yang baik, jangan menyakiti hatinya. Amel sakit itu sama dengan Nia yang tidak pernah berharap ada penyakit di tubuhnya,Bu ...."
Arga terduduk lemah, orang yang selama ini ia patuhi dan junjung tinggi, ternyata kejam meskipun tujuannya memang untuk kebaikan, tapi cara itu tetaplah salah, tidak ada manusia yang terlahir di bumi ini mau menjadi sarang penyakit.
"Terus, sekarang kau mau apa? Menikah sama Meliana yang sudah sendiri juga, begitu?" tanya Neni bernada menantang.
"Menikah?" ulang Arga. Sontak Neni mengangguk meskipun restu tidak akan turun dengan mudah.
Arga tertawa miris, "Setelah apa yang sudah Ibu katakan dan perbuat ke Amel, Ibu masih bisa bertanya aku akan menikah dengan dia, begitu? Neni mengangguk lagi. "Bahkan Ibu tahu kalau aku sudah mencintai Nia, Ibu masih bisa bertanya seperti itu, menuduhku seperti itu?"
Neni mengangguk, "Memangnya apalagi yang kau inginkan selain menikah dan hidup bersama wanita itu," jawabnya.
"Aku datang ke rumah Ibu bukan untuk meminta restu menjalin hubungan dengan Amel karena itu tidak mungkin lagi, aku datang ke rumah ini karena aku ingin Ibu mengaku dan meminta maaf, aku datang ke depan Ibu karena ingin membela hak Amel yang waktu itu Ibu renggut dengan kejam!" jelas Arga.
Neni berdecak kesal, ia tidak peduli dengan air mata putranya, sampai detik ini dia tidak berminat untuk minta maaf atau sekedar merasa menyakini Meliana, lagipula apa yang ia lakukan dirasa sudah benar di mana Meliana terbukti tidak bisa memberikan keturunan dan ditinggalkan suaminya, bagi Neni semua itu sudah benar.
"Ibu tidak akan minta maaf, dia tidak bisa punya anak kan, itu artinya dia memang benar tidak sempurna. Pergi dan carilah wanita yang terjamin kesehatannya, yang bisa memberimu keturunan, lupakan Meliana, mengerti!"
Neni tinggalkan Arga yang masih terduduk pasrah itu, hatinya terus tersayat dan mungkin rasa sakit seperti ini yang dulu Meliana rasakan setelah mendengar ucapan ibunya.
Dan Arga sendiri tidak tahu sampai dirinya ikut membenci Meliana, dia tidak ada ketika gadis itu membutuhkan bahu untuk bersandar, dia tidak ada ketika Meliana membutuhkan kekuatan, pasti Meliana melalui semua waktunya dengan berat meskipun bibirnya berucap telah mencintai Natan, pria yang Meliana pilih menjadi seorang suami.
"Maaf, Mel, maaf ...."
Penyesalan itu kini tidak berarti lagi, sebenarnya ia sempat bertemu Meliana dulu setelah menikah dengan Nia, rasa benci itu sempat membuat Arga hampir membuat Meliana celaka, beruntung ada orang lewat yang menarik Meliana sehingga gadis itu tidak terjatuh dengan keras.
"Maaf ...." berakhir, dia sudah berjanji tidak akan menemui Meliana lagi.
***
Mata sembab itu menjadi tanda bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi, tapi bibirnya Meliana sudah mengembangkan senyuman yang begitu menentramkan.
Rika bantu mencatat semua akun yang akan Meliana hubungi sebagai suplier, mereka sepakat untuk menjadi penjual daster online, Rika sendiri juga sudah tidak bekerja saat ni.
"Kau sudah lega?" tanya Rika, ia seduh teh manis hangat untuk Meliana yang merasa kedinginan.
"Hem, kau benar ... Seharusnya aku katakan semua ini pada Arga di taman itu, aku akan lebih merasa tenang, tapi ini sudah cukup."
Rika ulas senyum, sebenarnya ia berharap mereka berdua masih bisa berteman, tapi keputusan Meliana juga tidak bisa disalahkan, Meliana tidak mau Arga bertengkar dengan ibunya hanya karena ingin pertemanan mereka diakui.
Kalau saat ini Arga marah pada ibunya, paling tidak esok hari mereka bisa berbaikan kembali, mengingat Arga tidak akan menemui Meliana.
"Apa kau benar-benar tidak ingin-"
"Jangan bertanya padaku tentang keputusan ini, aku tidak mau Arga menjadi jauh dari Ibunya ... Semua itu Ibunya lakukan demi kebaikan dan masa depan Arga sendiri, Rik," potong Meliana, ia tahu arah pembicaraan Rika.
"Baiklah, kalau begitu kita mulai menghubungi satu per satu kontak yang kau kumpulkan ... Kita harus cepat karena setiap hari butuh uang untuk makan, iya kan?"
"Ehehehehhe ... Semangat!" Meliana kepalkan kedua tangannya, ia angkat tinggi dengan senyum merekahnya.
Kenyataan itu memang pahit untuk didengarkan dan dirasakan, tapi hidup memang butuh rasa yang tidak tepat agar kita mengerti dan mengenal mana yang lebih tepat, sederhana seperti itu sebenarnya.
Meliana tatap hamparan langit luas itu, ia percaya saat ini Arga juga menatapnya dan ia berharap Arga bisa hidup lebih baik lagi meskipun mereka tidak akan pernah bersatu.
"Kenapa, Rik?" menoleh heran pada Rika yang tertegun menatap layar ponselnya.
Rika menoleh kaku, bibirnya ingin berucap, tapi lidahnya keluh.
"Ada apa?" Meliana rebut ponsel itu.
"Ada apa?" tanya Meliana setengah berteriak, ia rebut ponsel itu karena panik.Rika masih tertegun dan tifak bisa menjawab apa-apa, baru saja tadi dia membuat status di status instagramnya, dalam sekejap banjir dukungan juga ada yang sudah tidak sabar untuk membeli, mereka percaya dengan pilihan Rika."Ini gila dan luar biasa, kita harus menemukan suplier yang tepat, Mel!" Rika genggam tangan Meliana yang bebas."Bener, kita harus temukan paling lambat besok pagi, ikan yang sudah mendekat tidak boleh kita sia-sia kan, mulai hubungi saja," putus Meliana, ia rela tidak tidur semalaman untuk menemukan suplier daster jawa tengah yang hits saat ini.Satu per satu kontak mereka hubungi, menunggu jawaban yang beruntung sekali tengah malam masih dilayani, bahkan mereka dipersilahkan untuk masuk ke grup reseller daster itu."Bagus, beneran!" seru Meliana, ia tidak menyangka akan menemukan suplier
"Bagaimana respon mereka?" Meliana tidak sabar dengan hasil posting pertama yang Rika lakukan.Jujur saja, dalam hal media sosial dan segalanya yang berhubungan dengan jaringan luas itu, Rika lah penguasanya.Meliana kalah jauh, disamping itu dia juga sudah lama tidak aktif di media sosial, otomatis banyak teman yang sudah lupa dan hilang."Sold out," ucap Rika sembari membusungkan dadanya."Benarkah?" Meliana pastikan ulang, dan memang benar adanya, dasyer satu seri itu hampir menjadi rebutan teman-teman Rika dulu di kantor.Meliana juga kenal, tapi tidak terlalu akrab.Semua ingin mencobanya hari ini, mau tidak mau Meliana dan Rika harus mengantar ke kantor, tempat di mana mereka dulu mencari rezeki.Meliana siapkan semuanya, termasuk nota, semua harus tercatat rapi hingga mereka bisa membuat kesimpulan selama bulan pertama percobaan usaha ini.
Arga sugar rambutnya ke belakang berulang kali, ia mengesah tanpa henti karena keberaniannya menahan langkah Meliana tadi."Kau yakin hanya membayangkan saja tadi?" Juna lebih panik dari Arga."Hem, aku hanya membayangkan saja saat aku melihat wajanya.""Sungguh, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau sampai kau benar-benar mengatakan hal itu pada Meliana, dia bisa saja pergi dari kota ini," jelas Juna, menguap sudah kepanikannya."Aku juga berfikir seperti itu." Arga menunduk, ia hela nafas berulang kali sampai dirasa ia benar-benar tenang.Tadi, dia memang menahan Meliana dan memojokkan gadis itu, tapi belum sempat ia berkata apa-apa, bayangan buruk dari ucapan yang jujur dari hatinya itu sudah membuatnya ketakutan.Meliana pasti tidak akan pernah mau menemuinya lagi meskipun itu tidak sengaja, Arga mau tidak mau harus menahan diri yang mulai sadar kalau sampai detik ini dia masih sangat mencintai Me
Tidak ada satu panggilan pun yang Meliana jawab, ia yakin sedari tadi Rika menunggunya di rumah dengan banyak barang yang siap untuk mereka ambil gambar dan posting.Tapi, di sinilah Meliana berhenti, di tempat yang dia benci untuk pertama kali datang sekaligus, tempat di mana ia bertemu dengan Arga setelah sekian lama terpisah.Meliana menunduk dan tenggelam dalam siksaan batinnya, lagi-lagi nasib tidak berpihak kepadanya."Kenapa aku harus bertemu dengan wanita kejam itu lagi?" tangisnya terdengar memiluhkan.Mata bengkak dengan air mata yang tidak mau berhenti itu seolah menjadi tanda seberapa parah dan pedihnya hal yang menimpa Meliana hari ini.Dia bertemu lagi dengan ibu Arga,Wanita itu berdiri menghalangi motor Meliana yang hendak masuk ke area dekat rumah kontrakan, entah dari mana wanita itu tahu tempat tinggal baru Meliana, yang jelas pertemuan itu terjadi hari ini.Neni berga
"Kenapa tidak pernah berbagi dengan Ayah, Nak?" tanya Heri, batinnya teriris mendengar kebenaran yang selama ini Meliana sembunyikan darinya.Sebuah kenyataan pahit yang sama sekali tidak pernah diimpikan banyak orang dalam hidupnya."Apa menurut Ayah pilihan yang aku buat ini benar? Aku sungguh tidak bertujuan apapun selain memperbaiki kondisi tubuhku, itu saja."Heri mengangguk, "Apa yang sudah kamu pilih itu yang terbaik, kita tidak perlu berubah karena orang lain, tapi berubahlah karena memang ada hal yang perlu kamu perbaiki dalam hidupmu, orang lain hanya penikmat, sedang kita yang merasakan manfaatnya nanti. Ayah yakin kamu akan semakin merasa sehat dan bisa lincah berjualan bersama Rika," jawab Heri sembari memeluk putrinya.Gadis kecil yang ia besarkan dengan penuh cinta meskipun banyak kekurangan yang membuat Meliana tidak tumbuh seperti anak-anak lain seusianya, banyak yang Meliana lewatkan, tapi itu semua Heri b
Ada rasa yang tidak biasa ketika mereka berdua bertemu, Meliana yang ragu-ragu untuk tersenyum dan mata Arga yang malu-malu untuk mengakui kalau ini adalah hal yang ia tunggu-tunggu.Canggung, itu yang terjadi saat ini, baik Meliana maupun Arga sama-sama tidak tahu harus berbuat apa dan memulai pertemuan ini dengan sapaan apa.Meliana angkat satu tangannya, melambai kaku pada Arga yang sontak berjalan mendekat.Jujur, ingin Arga peluk gadis yang tengah berdiri di depannya itu, tapi ia tidak mau gegabah, Meliana sudah mau menemuinya saja itu hal yang patut ia syukuri dalam-dalam."Ha-hai," sapa Meliana gugup.Arga tersenyum canggung, "Ha-hai juga," balasnya dengan suara bergetar, kakinya saja tidak bisa tenang berdiri di dekat Meliana."Kenapa?" Meliana tunjuk kaki Arga yang bingung mau bergaya seperti apa."Tidak, ak-aku ... Gugup, Mel."Meliana tergelak mendengarnya, tawa ya
Minggu pagi, bagi mereka yang pekerja kantoran, hari ini adalah hari malas sedunia atau hari di mana mereka bisa sepanjang waktu bersama keluarga untuk menyegarkan fikiran.Berbeda dengan para pedagang seperti Meliana dan Rika, dua gadis berparas manis nan cantik itu sibuk menata barang dagangan dengan peralatan seadanya, beberapa daster ada yang terpajang, ada juga yang masih terlipat rapi.Daster Rumah Holic, itu nama toko online yang Rika dan Meliana buat.Ini hari pertama mereka membuka dagangan di depan umum dan langsung bertemu dengan pelanggan yang tentu belum mengenal, sebagian mata sudah melirik dan mencuri pandang saat Meliana sibuk menata barang dagangannya itu, ada jutga yang sudah sempat mampir dan berjanji kembali lagi setelah semuanya beres."Kita mulai ya," ucap Meliana bersemangat.Rika mengangguk, ia baru saja selesai memasang stand banner dan beberapa lebel harga, semua yang terpajang di sana siap u
"Aku ingatkan sekali lagi, jangan usik dan atur hidup Arga!" ulang Harto tegas.Ia sudah muak dengan semua rencana Neni selama ini, bukan membuat bahagia Arga, tapi justru sengsara, sampai detik ini hanya senyum sekilas saja yang mampir pada diri Arga, tidak selamanya."Dia anakku!" balas Neni."Dia anakku juga dan kau ... Tolong, hentikan drama bodohmu itu, dia tidak akan pernah bahagia dan biarkan kali ini dia menjalani hidupnya dengan tenang!"Harto tahu niat Neni dan tujuannya itu baik, tapi cara yang Neni terapkan pada Arga salah, selama ini Arga tidak menjadi dirinya sendiri.Arga terlalu patuh dan penurut pada Neni sejak kecil, lambat laun Arga tampak terpaksa, selalu ada keluh kesah yang ia sembunyikan dari Neni selama ini."Kau ingin anakmu bahagia, biarkan dia bahagia, biarkan dia menjadi dirinya sendiri, bukan boneka yang kau gerakkan agar kau yang harus bahagia, aku muak dengan semua ini!" tega
Natan dan semua masa lalu itu sudah berlalu kini, bahkan maaf yang sempat tertunda dan termaafkan tanpa diminta sudah berlayar juga hari itu.Meliana tatap lembar kosong di tangannya, itu milik Kirana seutuhnya, dia dan Arga telah berjanji untuk menutup masa lalu dan mengukir kenangan indah baru bersama.Biarlah cerita buruk yang mereka lewati di masa itu menjadi dogeng untuk anaknya sebelum tidur tanpa dia tahu siapa peran sesungguhnya di dalam sana.Hari ini, yang ada di depan Kirana hanyalah keluarga yang bahagia, keluarga yang mengenal banyak karakter yang lengkap di mana pembuat senyum dan keributan bercampur menjadi satu."Sayang, mana Kiran?" Arga memeluk pinggang yang kembali ramping itu, mengecup singkat pipi merah istrinya."Dia ada di kamar ibu, hari ini giliran ibu yang menjaganya. Dia menjadi rebutan di rumah ini, kenapa?" Meliana goyangkan sedikit tubuhnya, ke kanan dan kiri sampai Arga mengikutinya
"Kita harus pergi dari rumah ini, kamu dan aku!" Natan menatap lurus istrinya, tekadnya sudah bulat untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang ibunya.Fira masih belum paham apa maksud suaminya itu setelah semalam tak kembali ke kamar dan mereka terdiam cukup lama."Cepat, Fir!" titahnya mengeraskan suara."Iya, tapi dengarkan aku dulu!"Tidak, Natan tidak mau mendengarkan apapun dari Fira, intinya hari ini juga mereka harus ke luar dari rumah itu meskipun banyak larangan yang mengecam keduanya.Fira kemasi baju-baju yang sudah Natan pilihkan, ia kemudian berhenti sebentar saat ibu mertuanya berdiri di depan kamar mereka."Hentikan, Natan!" pinta sang ibu."Tidak, mau apa Ibu? Aku akan hidup sendiri bersama istriku, sudah cukup kekacauan yang Ibu buat, kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan menuruti kemauan Ibu untuk meningga
Dia pulang membawa kecemasan dan rasa sesal yang menggunung, dari tangan dan isi kepalanya, Meliana masuk dan terbuang dari rumah ini.Anak lelakinya yang malang, setelah menikah dengan Fira untuk kedua kalinya, Natan tampak tak berselera dan tak punya pandangan hidup.Sungguh, berbeda saat Natan bersama Meliana dulu, selalu ada hal baru yang membuatnya marah, tapi Natan suka itu.Pandangannya masih tertuju pada Natan, wajahnya kian menua dan kebahagiaan seolah terampas dari hidupnya.Bukan salah Meliana atau Natan, tapi salahnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab atas kehidupan putranya sendiri.Ia kira akan lebih baik memisahkan gadis seperti Meliana dari anaknya, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, rumah ini terbangun asal ide dan usulan Meliana, setiap sudutnya masih mengingatkan dan bisa mereka dengar gelak tawa Meliana di sana.Kalau saja waktu bisa
Pletak,Surti sentil kening anaknya yang tengah hamil muda itu, seperti biasa dan Juna sudah paham itu, di mana ibu mertua dan istrinya akan bertengkar setiap kali mereka bertemu.Sungguh, tidak akan pernah ada kedamaian di pertemuan mereka sebelum saling bersorak dan memprotes."Apa cucuku tumbuh baik di perut berlemak ini?" tanya Surti."Sur, kau ini!" Heri sudah lelah menegurnya, bahkan sudah menghabiskan satu botol air mineral, padahal baru saja tiba.Surti mengetuk perut Rika sebelum memutuskan untuk duduk ke samping Heri.Banyak barang yang mereka bawa dari kampung untuk anak Meliana, mereka harus pergi ke rumah sakit sekarang mengingat Heri ingin segera menggendong cucu pertamanya itu."Aku tidak bekerja, Bu. Tenang saja, kita akan berangkat setelah Rika mandi," ujar Juna.Plak,Beruntung Heri tahan laju tangam Su
"Ibuuuuu," panggil Meliana merintih, ia tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ada. Kedua tangannya terus meremat dan kini berpindah ke sisi ranjang dengan kedua kaki yang sudah tertekuk naik. Penyanggah di sana terpasang dengan baik, dokter dan timnya sudah bersiap di bawah beserta alat medis untuk penanganan berikutnya. Kali ini penanganan pasien khusus di mana ditemani oleh dua orang sekaligus, Meliana tidak mau melepas tangan Neni ataupun Arga, dia mengunci kuat dengan mata basahnya saat tangan itu dipaksa pindah ke sisi ranjang. Neni meminta kelonggaran dengan alasan yang sama di mana hanya dia ibu dari Meliana, bahkan cerita masa lalu terukir di sana, bergelimang dan terdengar hingga berlinang air mata. "Ibu, Arga!" Meliana memanggil sekali lagi saat gelombang dahsyat itu menyerangnya. Arga mendekat, ia usap kening dan kecup dalam di sana, tidak ada yang bisa ia lakukan selain dua hal it
Heri tak berhenti mengirimkan doa untuk anaknya yang tengah berjuang itu, begitu juga Surti yang ada di dekatnya, menyiapkan segala hal yang mungkin bisa mereka bawa ke rumah Arga, mereka akan menggantikan posisi Neni dan Harto di rumah itu mengingat Rika juga sedang hamil muda, butuh kekuatan pendamping agar tidak terlalu larut dalam suasana mencekam yang ada.Sementara di rumah sakit,Arga usap punggung dan perut bawah istrinya tanpa henti, matanya sudah sangat berat, tapi rintihan Meliana membuatnya kuat seketika.Arga tak hentinya melantunkan doa yang bisa membantu istrinya tenang, sedangkan Neni untuk sementara duduk karena tubuhnya ikut lemas.Semakin bertambah pembukaan Meliana, rasa sakit itu semakin dahsyat, semua berharap yang terbaik, entah itu normal atau nanti Meliana harus caesar, tidak masalah.Neni hanya ingin menantu dan cucunya itu sehat bersama, selamat dan bisa berada di dekatnya segera.
Malam itu, Meliana siapkan makanan kesukaan suaminya, perut yang membesar mungkin menghalanginya untuk bergerak cepat, tapi tidak membuat Meliana lantas malas untuk melayani suaminya.Arga masih mendapatkan apa yang ia mau, termasuk hak berkunjung pada buah hatinya itu."Dia makin suka bergerak ya, sayang?" tanya Arga sembari mengusap perut besar itu, menerima suapan dari sang istri yang terlihat mengembang akhir-akhir ini, apalagi bagian pipi Meliana. Meliana mengangguk, "Dia suka nyapa orang kayaknya, sampai kalau ada abang sayur itu waktu pagi, aku sama ibu kan milih, dia ikut gerak nonjol ke kanan atau kiri gitu loh, Ga," ungkapnya."Beneran? Penasaran aku sama dia jadinya, nggak sabar Ayah ketemu kamu, Dek sayang." Satu kecupan mendarat di perut buncit itu.Meliana terkekeh, anaknya itu terbilang sangat aktif, tapi saat mereka melakukan USG, dia sama sekali tidak menampilkan wa
Harto buka pintu kamar yang sontak tertutup rapat itu, Neni tampak di dalam sana dengan mata yang basah.Wanita itu berusaha menenangkan diri setelah mengomel di depan seolah memberi sambutan pada Rika dan Juna."Kabar baik yang kau dengar, lalu kenapa kau menangis?" tanya Harto.Neni menoleh, "Aku hanya terlalu senang dan aku tidak mau menunjukkannya pada anak-anak itu," jawabnya."Astaga, mereka kira kau tidak suka sampai Rika menangis di pelukan Amel."Klek,Belum selesai Harto berbicara dengan Neni, Meliana yang baru saja ia sebut itu masuk ke kamar, ia balikkan tubuhnya lalu mengulas senyum di sana."Boleh aku bicara dengan Ibu?" tanyanya."Kenapa? Kau mau berceramah padaku apa?" tuduh Neni ketus, tapi satu tangannya terulur meminta Meliana mendekat.Meliana sambut tangan itu, ia lantas duduk ke samping Neni dan berhadapa
Masih ingat dibenak Rika akan kejadian bulan lalu di mana dirinya harus berlari keliling rumah Arga tanpa alas kaki sebanyak sepuluh kali karena melakban mulut Neni dengan sengaja.Ia masih keukeh sampai hari ini untuk tidak terlalu banyak bicara pada ibu Arga dan ibu mertua Meliana itu, sekedarnya saja dan tetap melakukan apa yang Neni anjurkan selama proses programnya."Apa aku harus bersujud kepadanya, hah?" Rika berkacak pinggang."Kau tahu semua ini berkat bimbingan dan bantuan darinya, kenapa kau kejam sekali?" balas Juna, menyerah sudah kalau Rika mengibarkan bendera perang pada Neni.Aku harus apa dan aku masa bodoh, itu yang ada dibenak dua orang yang sedang mondar-mandir di depan rumah.Mereka endak berangkat ke klinik untuk pemeriksaan lanjutan, satu bulan pertama proses program kehamilan ini, mendekati hari datang bulan berikutnya, Rika wajib kontrol untuk memeriksakan kandunga