Meliana kosongkan waktunya, hari ini dia harus menata semua barang-barang di rumah yang baru ia sewa beberapa minggu lalu.
Di rumah petak ini Meliana bersembunyi dari banyak kecaman keluarga suaminya, dia menenangkan diri sembari terus mengikuti peraturan yang ada. Masih teringat jelas di benak Meliana akan nasib malang dan ucapan kasar yang ia terima dari sang ibu mertua, tapi dari kejadian ini Meliana tersadar bahwa tidak akan pernah enak hidup di bawah kaki dan tangan orang lain. Ini hidupnya dan siapapun tidak berhak untuk ikut campur lagi, Meliana tutup buku diary lamanya, ia buka lembaran baru dengan status baru. Menjadi janda bukanlah hal yang mudah, Meliana harus tampil biasa di tengah mentalnya yang melemah, banyak anggapan miring di luar sana tentang seorang janda. “Kau tidak mau jalan-jalan sore ini?” tawar Rika, kakinya sudah gatal dan ingin menikmati matahari tenggelam. “Pergilah sendiri, aku tidak mau bertemu siapapun.” “Kenapa? Kita hanya pergi ke taman dan di sana tidak ada yang mengenalmu, Mel. Kita hanya akan menikmati senja sampai matahari itu tenggelam sempurna, kalau ada hal lain itu hanya kesibukan mulut kita mengunyah makanan, kau tahu itu,” oceh Rika, bayangan jalan-jalan sorenya sontak lenyap. Rika mencoba memeriksa ponselnya, tidak ada notif dari satu pria pun di sana, padahal sudah lebih dari tiga story yang ia bagikan, nasib jomblo memang tidak jauh beda dengan janda, itu kesimpulannya saat ini. Jomblo dan janda seolah menjadi aib tersendiri bagi beberapa lapisan masyarakat, perlu diingat kalau itu masuk pada hitungan terbanyak. “Ayolah,” merengek sembari menggoyangkan bahu Meliana. “Apasih?” “Jalan-jalan, Mel!”“Iya, oke. Tapi, jangan sampai mengajakku untuk berkenalan!” ucap Meliana tegas, dia ingin hidup damai seorang diri untuk sementara ini.
Rika bersorak riang, dia berikan hormat layaknya peserta upacara bendera pada Meliana, “Kalau ada pemuda tampan, tentu aku akan berkenalan sendiri. Dan kalau mereka menanyakan tentang dirimu, akan aku jawab kalau kau sudah menikah,” ujarnya sumringah. Terserah! Meliana kembali fokus pada barang-barangnya, ia tata satu per satu sembari mengingat kenangan yang tersimpan di sana. Ia buang beberapa barang yang mengingatkannya pada Natan, itu sudah tidak berarti lagi, Meliana tidak mau disebut sebagai orang yang gagal move on dan membayangkan pria yang sudah ia tinggalkan sebagai bentuk penyesalan. Tidak, hal bodoh itu tidak akan terjadi.*** “Jun, bawa saja kuncinya, aku takut lupa.” Arga lempar kunci mobil yang baru saja ia cabut itu. Sejak Nia meninggal dunia, ada yang hilang dalam hidup Arga, dia menjadi sering tidak fokus dan mudah lupa, bahkan kinerjanya menurun sampai berulang kali mendapat teguran dari atasannya. “Baiklah,” sahut Juna, ia simpan kunci mobil itu ke saku belakang celananya. Sore ini, mau tidak mau Arga putuskan untuk ikut bersama Juna, berjalan-jalan di sebuah taman yang konon katanya bisa melihat matahari tenggelam, di sana juga perut akan terasa dimanjakan. Arga rentangkan kedua tangannya, banyak hal yang membuat ingatannya tertarik pada sang mantan istri, berulang kali juga Arga pandangi hamparan langit luas itu, ia tersenyum seolah-olah tengah menatap wajah lembut mantan istrinya itu. “Nia sudah tenang di sana dan dia pasti tidak akan suka melihatmu rapuh seperti ini, kau harus bertahan dan berjuang, kau bisa kehilangan pekerjaanmu kalau terus terpuruk seperti ini,” tutur Juna, sulit sekali menembus pertahanan diri Arga dalam hal ini. Nia adalah gadis yang pada akhirnya Arga cintai sebelum mereka menikah, mereka dijodohkan dan sebelum itu hati Arga terus terpaut dan susah terlepas dari sosok riang bernama Meliana. Kabar perpisahan Meliana dan Natan sempat membuat Arga terkejut, tapi hatinya tidak berdenyit sama sekali, mungkin nama Meliana sudah tidak ada di hatinya lagi. Walau Arga akui, hatinya hancur ketika mendengar Meliana akan menikah dan dia menyesal karena selama ini tidak pernah saling mengungkapkan rasa di hati, baik dirinya ataupun Meliana terlalu menikmati ruang pertemanan itu hingga tanpa disadari cinta tumbuh dan terenggut begitu saja. “Apa kau tidak mau menikah lagi, membuka hati untuk orang lain mungkin?” tanya Juna, matanya mulai memindai wajah-wajah para gadis yang kebetulan ada di taman luas itu. Arga gelengkan kepalanya, “Dua kali aku kehilangan, aku tidak mau merasakan sakit yang sama lagi seperti ini. Aku juga masih sangat mencintai Nia, Jun.” “Huuh, padahal mereka yang ada di sini cantik-cantik ... Atau kau mau bertemu dengan Meliana lagi? Dia sudah sendiri sekarang.” “Tidak, dia meninggalkan aku dulu, kita beda pandangan,” jawab Arga. Meliana adalah sosok yang tangguh, memang asik berada di dekat Meliana dengan semua perhatiannya, tapi tidak untuk saat ini dan Arga tidak mau masa lalu itu terulang lagi. “Bukan salah Meliana meninggalkanmu, kau saja yang tidak mengatakan perasaanmu yang sebenarnya pada gadis itu dulu. Aku yakin dia juga menyukaimu waktu itu,” simpul Juna. “Sudah jangan dibahas lagi, intinya aku tidak mau menikah meskipun itu Meliana yang datang!” Juna terkekeh mendengarnya, dia yakin tidak salah melihat bahwa di ujung taman itu ada seorang gadis berparas mirip dengan Meliana, bahkan Juna juga tidak lupa dengan wajah Rika, teman sejati Meliana yang kerap ikut berfoto dan Meliana bagikan di akun media sosialnya. Bila takdir berkata lain, entahlah ....***“Aku mendapatkan lima nomor ponsel pemuda sekaligus, keren kan!” Rika dengan bangganya menunjukkan itu pada Meliana yang jelas-jelas jengah, dia jauhkan ponsel itu dari depan matanya dan meminta Rika untuk segera membeli apa yang ia inginkan, lalu pulang. Udara di taman ini sangat dingin dan anginnya cukup kencang, Meliana hanya memakai baju lengan pendek tanpa jaket, sedari tadi Meliana rapatkan kaki juga tangannya untuk menghalau rasa dingin yang menyerang. “Kau tidak mau berkenalan dengan mereka?” Meliana lempar lirikan tajamnya, “Bukankah sudah aku katakan tadi, aku tidak mau berkenalan atau menemui siapapun!” “Oke, baiklah. Aku lupa karena mereka terlalu menggoda dan entah sampai kapan aku harus menemani patung acuh satu ini.” “Siapa patung acuh?” “Kau!” Rika berlari menghindari lemparan batu kecil yang Meliana lancarkan, dia sedang tidak ingin berhubungan dengan siapapun, bahkan Meliana sudah memutuskan untuk berhenti bekerja akhir bulan ini. Dia ingin menenangkan dan membahagiakan dirinya dengan sisa uang tabungan yang ada, kalau bisa Meliana akan menjadi pengusaha saja, entah usaha apa, yang jelas Meliana ingin melakukan semuanya sendiri. “Dia Arga kan?” Rika tajamkan matanya, memastikan ulang, pria yang tengah duduk di dekat pedagang kembang gula itu sangat mirip dengan Arga, cinta monyet Meliana. “Apa aku hampiri saja,” imbuhnya bimbang.“Eh, mau ke mana?” tanya Meliana, ia tahan tangan Rika.Rika terpaksa mundur kembali, ia tahu Meliana sudah tidak ingin bertemu kembali dengan Arga, masa lalu mereka sangatlah buruk.“Lihat siapa?” Meliana bertanya kembali, tidak mungkin bila ada pria yang mendadak melambaikan pada Rika di taman ini.“Ti-tidak, aku lupa mau apa tadi. Kau mau membeli sesuatu?”Meliana edarkan matanya, mulai memilih makanan dan minuman apa yang ingin ia beli.Tiba-tiba satu tangannya terangkat dan menunjuk ke arah pedagang kembang gula, Meliana sangat suka itu sejak dulu dan kembang gula bisa membuat dirinya lupa dengan masalah yang sedang ia hadapi.“Belikan aku itu, kau tadi berjanji akan membelikan apa saja yang aku mau, bukan?”Astaga,“Kau tidak bosan apa makan kembang gula?” Rika berusaha mengalihkan perhatian Meliana, ia lihat sekali lagi orang-orang yang tengah
"Mel, tolong dengarkan aku!"Sia-sia, Meliana tutup pintu kamarnya rapat, ia tidak ingin satu orang pun masuk ke sana, termasuk Rika.Air matanya kembali jatuh, lenyap sudah bayang santai yang Meliana tampilkan akhir-akhir ini, semua seolah kembali pada masa lalu di mana ia tertawa sembari bersandar pada bahu Arga.Dia, pria terbaik waktu itu, sebelum semuanya berakhir dan mereka terpisah karena satu hal yang tidak bisa Meliana jelaskan.Perasaan yang ada di hati dan tertanam subur di sana tidak pernah tersampaikan, terpaksa Meliana kubur dalam-dalam dan tidak berminat untuk menggalihnya kembali.Arga dan semua kenangan itu pun telah pergi seiring dengan keputusan Arga dan keluarganya meninggalkan kota ini.Tidak pernah Meliana bayangkan hari ini, pertemuan ini terjadi kembali. Ada duka yang mereka simpan,
"Amel?" gumam Arga.Ia tidak menyangka kalau akan bertemu dengan Meliana lagi, di tempat ia bekerja dan ternyata satu kantor dengan Meliana.Ada hati yang berkhianat saat ini, wajah dan mulutnya keras menyatakan tidak mau bertemu lagi, tapi dalam hati tidak ada yang tahu.Arga berlari menghampiri Meliana, tidak ia hiraukan Juna yang tertinggal di belakang dengan wajah bingung."Mel," sapanya gugup.Meliana menoleh, ia bawa kerutan kening yang sedari tadi terpajang di wajahnya, Meliana sudah sah ke luar dari kantor ini, hanya saja dia tidak mendapat izin untuk pulang lebih awal."Kau," ucap Meliana lirih, ia berbalik lagi dan berjalan acuh.Arga tarik tangan yang mengayun itu."Lepaskan!" pinta Meliana, ia tepis tangan Arga yang menggenggam tangannya
Tidak ada yang tahu apa yang Arga lakukan sepulang kerja, dia berdiri di dekat rumah kontrakan Meliana. Informasi yang mudah sekali ia dapatkan dari bagian personalia di kantor barunya, kebetulan Arga pernah satu kampus dulu.Entah apa yang Arga fikirkan dan harapkan hingga semua ini bertolak belakang dengan ucapannya, dia datang menemui Meliana, tapi bukan karena ingin wanita itu menjadi pendamping dan pemilik hatinya seperti dulu lagi, Arga hanya ingin rasa penasaran di dalam hatinya terjawab saat ini."Arga," sapa Rika yang baru saja berbelanja di mini market tidak jauh dari rumah itu.Arga menoleh kaget, "Kau ada di sini?" tanya Arga."Apa kau lupa kalau rumahku tidak jauh dari sini? Aku sedang menemani Meliana sekaligus mau belajar berjualan online, kau sendiri?"Tenggorokan Arga terasa tercekat, dia tertangkap basah, tapi ini Rika, ada ha
"Jaga bicaramu, Ga!" Neni tunjuk Arga tegas, ia menolak keras pembelaan anaknya pada gadis bernama Meliana yang kini telah berubah menjadi seorang janda.Setelah mengantar Meliana kembali ke rumah kontrakan itu, Arga putar kemudinya ke rumah sang ibu yang cukup jauh, rumah baru di mana dulu Arga memutuskan untuk pindah bersama keluarganya setelah Meliana menikah.Juna sudah berusaha menghentikan, bahkan ia sampai rela meminjam mobil kantor untuk menyusul Arga, tapi sampai tengah jalan mobil itu mogok, mau tidak mau Juna harus menunggu jemputan dari bengkel langganan kantornya."Apa yang Ibu katakan ke Amel itu kasar, kejam ... Amel tidak seburuk itu, Bu!" batinnya tersayat mendengar kenyataan bahwa ibunya lah yang menjadi penyebab Meliana pergi waktu itu."Ibu seperti itu untuk kebaikanmu, kau bisa menikah dengan wanita lain yang jauh lebih-""Lebih apa? Lebih apa, Bu? Lihat aku sekarang, aku menjadi duda setelah
"Ada apa?" tanya Meliana setengah berteriak, ia rebut ponsel itu karena panik.Rika masih tertegun dan tifak bisa menjawab apa-apa, baru saja tadi dia membuat status di status instagramnya, dalam sekejap banjir dukungan juga ada yang sudah tidak sabar untuk membeli, mereka percaya dengan pilihan Rika."Ini gila dan luar biasa, kita harus menemukan suplier yang tepat, Mel!" Rika genggam tangan Meliana yang bebas."Bener, kita harus temukan paling lambat besok pagi, ikan yang sudah mendekat tidak boleh kita sia-sia kan, mulai hubungi saja," putus Meliana, ia rela tidak tidur semalaman untuk menemukan suplier daster jawa tengah yang hits saat ini.Satu per satu kontak mereka hubungi, menunggu jawaban yang beruntung sekali tengah malam masih dilayani, bahkan mereka dipersilahkan untuk masuk ke grup reseller daster itu."Bagus, beneran!" seru Meliana, ia tidak menyangka akan menemukan suplier
"Bagaimana respon mereka?" Meliana tidak sabar dengan hasil posting pertama yang Rika lakukan.Jujur saja, dalam hal media sosial dan segalanya yang berhubungan dengan jaringan luas itu, Rika lah penguasanya.Meliana kalah jauh, disamping itu dia juga sudah lama tidak aktif di media sosial, otomatis banyak teman yang sudah lupa dan hilang."Sold out," ucap Rika sembari membusungkan dadanya."Benarkah?" Meliana pastikan ulang, dan memang benar adanya, dasyer satu seri itu hampir menjadi rebutan teman-teman Rika dulu di kantor.Meliana juga kenal, tapi tidak terlalu akrab.Semua ingin mencobanya hari ini, mau tidak mau Meliana dan Rika harus mengantar ke kantor, tempat di mana mereka dulu mencari rezeki.Meliana siapkan semuanya, termasuk nota, semua harus tercatat rapi hingga mereka bisa membuat kesimpulan selama bulan pertama percobaan usaha ini.
Arga sugar rambutnya ke belakang berulang kali, ia mengesah tanpa henti karena keberaniannya menahan langkah Meliana tadi."Kau yakin hanya membayangkan saja tadi?" Juna lebih panik dari Arga."Hem, aku hanya membayangkan saja saat aku melihat wajanya.""Sungguh, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau sampai kau benar-benar mengatakan hal itu pada Meliana, dia bisa saja pergi dari kota ini," jelas Juna, menguap sudah kepanikannya."Aku juga berfikir seperti itu." Arga menunduk, ia hela nafas berulang kali sampai dirasa ia benar-benar tenang.Tadi, dia memang menahan Meliana dan memojokkan gadis itu, tapi belum sempat ia berkata apa-apa, bayangan buruk dari ucapan yang jujur dari hatinya itu sudah membuatnya ketakutan.Meliana pasti tidak akan pernah mau menemuinya lagi meskipun itu tidak sengaja, Arga mau tidak mau harus menahan diri yang mulai sadar kalau sampai detik ini dia masih sangat mencintai Me
Natan dan semua masa lalu itu sudah berlalu kini, bahkan maaf yang sempat tertunda dan termaafkan tanpa diminta sudah berlayar juga hari itu.Meliana tatap lembar kosong di tangannya, itu milik Kirana seutuhnya, dia dan Arga telah berjanji untuk menutup masa lalu dan mengukir kenangan indah baru bersama.Biarlah cerita buruk yang mereka lewati di masa itu menjadi dogeng untuk anaknya sebelum tidur tanpa dia tahu siapa peran sesungguhnya di dalam sana.Hari ini, yang ada di depan Kirana hanyalah keluarga yang bahagia, keluarga yang mengenal banyak karakter yang lengkap di mana pembuat senyum dan keributan bercampur menjadi satu."Sayang, mana Kiran?" Arga memeluk pinggang yang kembali ramping itu, mengecup singkat pipi merah istrinya."Dia ada di kamar ibu, hari ini giliran ibu yang menjaganya. Dia menjadi rebutan di rumah ini, kenapa?" Meliana goyangkan sedikit tubuhnya, ke kanan dan kiri sampai Arga mengikutinya
"Kita harus pergi dari rumah ini, kamu dan aku!" Natan menatap lurus istrinya, tekadnya sudah bulat untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang ibunya.Fira masih belum paham apa maksud suaminya itu setelah semalam tak kembali ke kamar dan mereka terdiam cukup lama."Cepat, Fir!" titahnya mengeraskan suara."Iya, tapi dengarkan aku dulu!"Tidak, Natan tidak mau mendengarkan apapun dari Fira, intinya hari ini juga mereka harus ke luar dari rumah itu meskipun banyak larangan yang mengecam keduanya.Fira kemasi baju-baju yang sudah Natan pilihkan, ia kemudian berhenti sebentar saat ibu mertuanya berdiri di depan kamar mereka."Hentikan, Natan!" pinta sang ibu."Tidak, mau apa Ibu? Aku akan hidup sendiri bersama istriku, sudah cukup kekacauan yang Ibu buat, kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan menuruti kemauan Ibu untuk meningga
Dia pulang membawa kecemasan dan rasa sesal yang menggunung, dari tangan dan isi kepalanya, Meliana masuk dan terbuang dari rumah ini.Anak lelakinya yang malang, setelah menikah dengan Fira untuk kedua kalinya, Natan tampak tak berselera dan tak punya pandangan hidup.Sungguh, berbeda saat Natan bersama Meliana dulu, selalu ada hal baru yang membuatnya marah, tapi Natan suka itu.Pandangannya masih tertuju pada Natan, wajahnya kian menua dan kebahagiaan seolah terampas dari hidupnya.Bukan salah Meliana atau Natan, tapi salahnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab atas kehidupan putranya sendiri.Ia kira akan lebih baik memisahkan gadis seperti Meliana dari anaknya, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, rumah ini terbangun asal ide dan usulan Meliana, setiap sudutnya masih mengingatkan dan bisa mereka dengar gelak tawa Meliana di sana.Kalau saja waktu bisa
Pletak,Surti sentil kening anaknya yang tengah hamil muda itu, seperti biasa dan Juna sudah paham itu, di mana ibu mertua dan istrinya akan bertengkar setiap kali mereka bertemu.Sungguh, tidak akan pernah ada kedamaian di pertemuan mereka sebelum saling bersorak dan memprotes."Apa cucuku tumbuh baik di perut berlemak ini?" tanya Surti."Sur, kau ini!" Heri sudah lelah menegurnya, bahkan sudah menghabiskan satu botol air mineral, padahal baru saja tiba.Surti mengetuk perut Rika sebelum memutuskan untuk duduk ke samping Heri.Banyak barang yang mereka bawa dari kampung untuk anak Meliana, mereka harus pergi ke rumah sakit sekarang mengingat Heri ingin segera menggendong cucu pertamanya itu."Aku tidak bekerja, Bu. Tenang saja, kita akan berangkat setelah Rika mandi," ujar Juna.Plak,Beruntung Heri tahan laju tangam Su
"Ibuuuuu," panggil Meliana merintih, ia tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ada. Kedua tangannya terus meremat dan kini berpindah ke sisi ranjang dengan kedua kaki yang sudah tertekuk naik. Penyanggah di sana terpasang dengan baik, dokter dan timnya sudah bersiap di bawah beserta alat medis untuk penanganan berikutnya. Kali ini penanganan pasien khusus di mana ditemani oleh dua orang sekaligus, Meliana tidak mau melepas tangan Neni ataupun Arga, dia mengunci kuat dengan mata basahnya saat tangan itu dipaksa pindah ke sisi ranjang. Neni meminta kelonggaran dengan alasan yang sama di mana hanya dia ibu dari Meliana, bahkan cerita masa lalu terukir di sana, bergelimang dan terdengar hingga berlinang air mata. "Ibu, Arga!" Meliana memanggil sekali lagi saat gelombang dahsyat itu menyerangnya. Arga mendekat, ia usap kening dan kecup dalam di sana, tidak ada yang bisa ia lakukan selain dua hal it
Heri tak berhenti mengirimkan doa untuk anaknya yang tengah berjuang itu, begitu juga Surti yang ada di dekatnya, menyiapkan segala hal yang mungkin bisa mereka bawa ke rumah Arga, mereka akan menggantikan posisi Neni dan Harto di rumah itu mengingat Rika juga sedang hamil muda, butuh kekuatan pendamping agar tidak terlalu larut dalam suasana mencekam yang ada.Sementara di rumah sakit,Arga usap punggung dan perut bawah istrinya tanpa henti, matanya sudah sangat berat, tapi rintihan Meliana membuatnya kuat seketika.Arga tak hentinya melantunkan doa yang bisa membantu istrinya tenang, sedangkan Neni untuk sementara duduk karena tubuhnya ikut lemas.Semakin bertambah pembukaan Meliana, rasa sakit itu semakin dahsyat, semua berharap yang terbaik, entah itu normal atau nanti Meliana harus caesar, tidak masalah.Neni hanya ingin menantu dan cucunya itu sehat bersama, selamat dan bisa berada di dekatnya segera.
Malam itu, Meliana siapkan makanan kesukaan suaminya, perut yang membesar mungkin menghalanginya untuk bergerak cepat, tapi tidak membuat Meliana lantas malas untuk melayani suaminya.Arga masih mendapatkan apa yang ia mau, termasuk hak berkunjung pada buah hatinya itu."Dia makin suka bergerak ya, sayang?" tanya Arga sembari mengusap perut besar itu, menerima suapan dari sang istri yang terlihat mengembang akhir-akhir ini, apalagi bagian pipi Meliana. Meliana mengangguk, "Dia suka nyapa orang kayaknya, sampai kalau ada abang sayur itu waktu pagi, aku sama ibu kan milih, dia ikut gerak nonjol ke kanan atau kiri gitu loh, Ga," ungkapnya."Beneran? Penasaran aku sama dia jadinya, nggak sabar Ayah ketemu kamu, Dek sayang." Satu kecupan mendarat di perut buncit itu.Meliana terkekeh, anaknya itu terbilang sangat aktif, tapi saat mereka melakukan USG, dia sama sekali tidak menampilkan wa
Harto buka pintu kamar yang sontak tertutup rapat itu, Neni tampak di dalam sana dengan mata yang basah.Wanita itu berusaha menenangkan diri setelah mengomel di depan seolah memberi sambutan pada Rika dan Juna."Kabar baik yang kau dengar, lalu kenapa kau menangis?" tanya Harto.Neni menoleh, "Aku hanya terlalu senang dan aku tidak mau menunjukkannya pada anak-anak itu," jawabnya."Astaga, mereka kira kau tidak suka sampai Rika menangis di pelukan Amel."Klek,Belum selesai Harto berbicara dengan Neni, Meliana yang baru saja ia sebut itu masuk ke kamar, ia balikkan tubuhnya lalu mengulas senyum di sana."Boleh aku bicara dengan Ibu?" tanyanya."Kenapa? Kau mau berceramah padaku apa?" tuduh Neni ketus, tapi satu tangannya terulur meminta Meliana mendekat.Meliana sambut tangan itu, ia lantas duduk ke samping Neni dan berhadapa
Masih ingat dibenak Rika akan kejadian bulan lalu di mana dirinya harus berlari keliling rumah Arga tanpa alas kaki sebanyak sepuluh kali karena melakban mulut Neni dengan sengaja.Ia masih keukeh sampai hari ini untuk tidak terlalu banyak bicara pada ibu Arga dan ibu mertua Meliana itu, sekedarnya saja dan tetap melakukan apa yang Neni anjurkan selama proses programnya."Apa aku harus bersujud kepadanya, hah?" Rika berkacak pinggang."Kau tahu semua ini berkat bimbingan dan bantuan darinya, kenapa kau kejam sekali?" balas Juna, menyerah sudah kalau Rika mengibarkan bendera perang pada Neni.Aku harus apa dan aku masa bodoh, itu yang ada dibenak dua orang yang sedang mondar-mandir di depan rumah.Mereka endak berangkat ke klinik untuk pemeriksaan lanjutan, satu bulan pertama proses program kehamilan ini, mendekati hari datang bulan berikutnya, Rika wajib kontrol untuk memeriksakan kandunga