"Kau yakin baik-baik saja, Mel?" tanya Arga untuk kesekian kalinya.
"Iya, tenang saja." Meliana teguk minuman yang Arga pesankan.
Ini bisa menjadi kencan pertama mereka setelah banyak purnama yang terlewati, wajah cantik dan manis Meliana yang tidak pernah pudar dan pandangan penuh kekaguman yang juga tidak mau pergi dari mata Arga.
"Jangan melihatku seperti itu, aku malu!"
"Ehehheheh, aku rindu, Mel."
Rona merah kembali beranii tampil di wajah Meliana, ia setengah menunduk membalas tatapan Arga, hilang sudah rasa sakit di sekujur tubuhnya karena ulah Neni tadi, wanita itu benar-benar tidak akan merestui mereka sampai kapanpun.
Anehnya, tidak ada yang tahu alasan pasti dari perlakuan buruknya itu, bila membahas kekurangan Meliana, itu bukan hal yang bisa membuat dendamnya mendarah daging, bahkan sampai Neni tidak bisa memaafkan atau memberi kesempatan seperti para ibu lainnya, Meliana yakin ada hal lain ya
Satu minggu setelah pertemuan tragis di cafe itu terjadi, hanya berbalas pesan dan suara saja yang Meliana dan Arga lakukan.Keduanya belum bertemu, Arga yang sibuk dengan tugas barunya, sedangkan Meliana bersama Rika melakukan perjalanan jauh untuk melihat secara langsung konveksi daster yang selama ini menjadi suplier mereka.Tidak pernah ada rindu yang besar seperti ini di dalam hatinya, mengulas sebuah rindu yang sempat terkubur di masa lalu."Kau datang hanya untuk membahas gadis kampung tidak sempurna itu, hah?" Neni terlihat kesal menyambut kedatangan putranya.Arga mengangguk, "Apa yang Ibu inginkan sebenarnya? Apa alasan Ibu menghalangi aku dan Meliana dari dulu?""Dia tidak-""Tidak sempurna karena dia sakit, tapi bukan berarti dia tidak bisa sembuh, Bu. Katakan apa alasan Ibu melakukan semua ini sampai hari itu juga menjadi jebakan untukku!" pinta Arga.Mungkin ini tidaklah benar ber
Meliana ulas senyum lebar, setiap minggu akan ada wajah yang menjadi semangat untuknya mencari topangan hidup.Di taman yang terkenal dengan matahari tenggelamnya itu, Arga duduk di kejauhan, mengamati dan mengawasi Meliana selama berjualan.Sejak pagi buta hingga matahari tegak benderang dan membuat mata memicing untuk menikmatinya.Puluhan daster terjual, baik itu pembelian langsung ataupun yang berasal dari pesanan online, usaha kecil itu semakin berkembang dan melesat melebihi target Meliana diawal dulu."Minum dulu," ucap Arga.Meliana mengangguk, ia berhenti melipat daster dan mengambil duduk lesehan di samping Arga, pasar pagi sudah selesai, mereka bersiap-siap mengisi perut dan pulang."Hem, segarnya," ulas Meliana dengan kerjapan yang membuat Arga gemas.Mereka tidak muda lagi, tapi pertemuan ini seperti membuat mereka merasa muda, bahkan kemba
Dengan langkah tertatih, Rika menuntun Meliana masuk ke rumah orang tuanya, tidak ada tempat lain dan tidak mungkin pergi ke rumah ayah Meliana karena Meliana tidak mau ayahnya syok."Rik, ini teh untuk Amel," ucap Surti, ibu Rika."Terima kasih, Bu."Rika biarkan Meliana menyendiri dulu sembari menunggu teh itu lebih dingin, dia beringsut ke luar kamar untuk menghubungi Juna dan Arga.Entah kenapa Rika merasa kejadian itu ada hubungannya dengan mereka, bisa jadi ibu Arga yang menjadi dalang di balik peristiwa kebakaran ini mengingat wanita itu tengah berusaha memisahkan putranya dan Meliana.Dering ketiga baru terdengar suara serak Juna, pria itu menjawab setengah bergumam."Apa! Kau tidak berbohong, sungguh?" mata sayup itu sontak terbuka lebar, nyawa yang lepas, kembali dengan cepat."Mana mungkin aku bercanda, kami sedang ada di rumah orang t
"Kau harus tahu kalau aku belum tentu bisa memberimu anak bila kita bersama, aku juga bukan berasal dari keluarga mampu, aku hanya wanita yang terbuang karena aku punya banyak kekurangan!" Meliana seketika memberontak dalam dekapan Arga.Fikirannya kacau dan banyak ketakutan yang menyerangnya, ia ingin melindungi Arga seperti dulu, tapi dirinya sendiri butuh Arga, dan bila ia bersama Arga, hidup ini sehari-harinya tidak akan pernah tenang, wanita itu akan terus menjadi penghalang.Bahkan untuk menikmati sinar mentari saat terbit saja terhalang akan rasa takut yang menggunung, Meliana tidak sekuat itu, dia mungkin bisa berdiri dan duduk tenang saat proses perpisahannya dengan Natan, menerima semua pengkhianatan dan cemohan dari keluarga mantan suaminya itu.Tapi, bukan berarti dia kebal akan rasa sakit, hatinya lembut hingga ia tidak mau membuat masalah kecil menjadi besar, mengikhlaskan sesuatu yang dirasa semakin memburuk ketika
Heri tidak bisa menahan dirinya terlalu lama akan masalah yang menimpa Meliana, dia akan menjadi ayah yang tidak berguna, bila tidak membela dan meluruskan masalah yang ada.Ia kira setelah sekian lama dan Neni menikah, masalah itu telah usai, mereka memulai hidup baru, bahkan saat Meliana dan Arga masih kecil, kedua wanita itu terlihat akrab.Tidak pernah ada pertengkaran antara Neni dan Siwi selama ini, pertengkaran itu hanya terjadi pada dirinya dan Neni saja, dan itu sudah lama juga ia rasa telah usai, baik dirinya dan Neni sama-sama bisa menerima kenyataan.Dengan mengantongi alamat rumah baru Neni dari ibu Rika secara diam-diam, Heri datang dan nekad berkunjung ke sana tanpa sepengatuhan Meliana juga Arga.Selama perjalanan, tidak henti Heri panjatkan doa akan mulusnya jalan yang ia ambil hari ini.Dia harus mengajak Neni dan Harto berbicara, mencari solusi yang dirasa adil.&nb
Heri pulang dengan tangan hampa, harapannya hanya pada keteguhan hati Arga menjaga putri semata wayangnya-Meliana.Sekuat tenaga dan hati ia memohon pada Neni hari ini, tapi wanita itu tetap keras kepala dengan keputusannya.Kekurangan Meliana dan hubungan masa lalu mereka yang menyisakan luka, tidak akan pernah terhapus dari benak Neni, akan terus mengalir sampai Arga atau Meliana menyerah.Hakikat cinta yang pernah Heri katakan pada Meliana hingga gadis itu kembali membuka diri pada Arga, tidak bisa ia sesali, Tuhan sepertinya memang menakdirkan dua insan itu untuk bersama meskipun mereka harus terpisah berulang kali.Heri akan menemui Arga diam-diam nanti, menunggu kabar selanjutnya dari sang putri yang saat ini masih menginap di rumah keluarga Rika.Heri percaya Arga sama baiknya dengan Harto yang tadi sempat menemuinya diam-diam setelah ke luar dari rumah, ada mobil yang mengikutinya
Ah, mungkin kurang tepat bila Meliana menyebutnya rumah baru saja, pasalnya itu rumah kontrakan baru yang akan mereka tempati.Tapi, bahasa Juna dan Rika mengatakan seolah-olah itu rumah baru mereka semua.Ya, biaya sewa rumah ini dan isinya termasuk dalam anggaran Arga dan Juna, secara jumlah memang banyak Arga, tapi Juna yang kala itu mengaku ingin mendekati Rika, memutuskan untuk membantu karena rumah ini juga akan menjadi tempat tinggal sementara gadis pujaan hatinya."Jun, banyak sekali kamar di rumah ini?" tanya Rika."Hanya ada empat, dua untuk kalian, satu untuk gudang dan satu lagi untuk kami bila berkunjung, lalu ingin tidur," jelas Juna."Jangan gila, Jun! Kita bisa dibawa keliling kampung kalau ketahuan," balas Rika dengan satu pukulan keras di lengan Juna.Pria itu mengaduh dan tertawa, itu hanya bahan candaan, yang benar adalah kamar satu itu untuk menyimpan bara
Menolak, itu yang jawaban yang Meliana berikan pada tiga pria yang menawarinya malam ini.Lama tidak berjumpa bersama Heri dan Harto membuat Meliana tercengang mendengar kesepakatan yang ada, begitu juga cerita masa lalu di antara para orang tua.Terlebih lagi saat mengetahui Arga yang mengusulkan adanya pernikahan bersama dirinya, dia senang dan bangga, tapi itu tidak akan terjadi untuk kedua kalinya."Aku hanya tidak mau mengulang apa yang dulu pernah terjadi," ucap Meliana, baru saja dia membongkar barang baru untuk dijual setelah mendapat pinjaman modal dari Arga beberapa hari lalu."Apa maksudmu, Mel?" Arga tidak mengerti.Arga rasa tidak ada hubungannya antara kisah Heri dan Neni dengan pengajuan pernikahan ini.Sayangnya bukan itu yang Meliana maksud, satu fakta yang ia tutup rapat atas pernikahannya bersama Natan harus Meliana buka malam ini.Di depan ayah
Natan dan semua masa lalu itu sudah berlalu kini, bahkan maaf yang sempat tertunda dan termaafkan tanpa diminta sudah berlayar juga hari itu.Meliana tatap lembar kosong di tangannya, itu milik Kirana seutuhnya, dia dan Arga telah berjanji untuk menutup masa lalu dan mengukir kenangan indah baru bersama.Biarlah cerita buruk yang mereka lewati di masa itu menjadi dogeng untuk anaknya sebelum tidur tanpa dia tahu siapa peran sesungguhnya di dalam sana.Hari ini, yang ada di depan Kirana hanyalah keluarga yang bahagia, keluarga yang mengenal banyak karakter yang lengkap di mana pembuat senyum dan keributan bercampur menjadi satu."Sayang, mana Kiran?" Arga memeluk pinggang yang kembali ramping itu, mengecup singkat pipi merah istrinya."Dia ada di kamar ibu, hari ini giliran ibu yang menjaganya. Dia menjadi rebutan di rumah ini, kenapa?" Meliana goyangkan sedikit tubuhnya, ke kanan dan kiri sampai Arga mengikutinya
"Kita harus pergi dari rumah ini, kamu dan aku!" Natan menatap lurus istrinya, tekadnya sudah bulat untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang ibunya.Fira masih belum paham apa maksud suaminya itu setelah semalam tak kembali ke kamar dan mereka terdiam cukup lama."Cepat, Fir!" titahnya mengeraskan suara."Iya, tapi dengarkan aku dulu!"Tidak, Natan tidak mau mendengarkan apapun dari Fira, intinya hari ini juga mereka harus ke luar dari rumah itu meskipun banyak larangan yang mengecam keduanya.Fira kemasi baju-baju yang sudah Natan pilihkan, ia kemudian berhenti sebentar saat ibu mertuanya berdiri di depan kamar mereka."Hentikan, Natan!" pinta sang ibu."Tidak, mau apa Ibu? Aku akan hidup sendiri bersama istriku, sudah cukup kekacauan yang Ibu buat, kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan menuruti kemauan Ibu untuk meningga
Dia pulang membawa kecemasan dan rasa sesal yang menggunung, dari tangan dan isi kepalanya, Meliana masuk dan terbuang dari rumah ini.Anak lelakinya yang malang, setelah menikah dengan Fira untuk kedua kalinya, Natan tampak tak berselera dan tak punya pandangan hidup.Sungguh, berbeda saat Natan bersama Meliana dulu, selalu ada hal baru yang membuatnya marah, tapi Natan suka itu.Pandangannya masih tertuju pada Natan, wajahnya kian menua dan kebahagiaan seolah terampas dari hidupnya.Bukan salah Meliana atau Natan, tapi salahnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab atas kehidupan putranya sendiri.Ia kira akan lebih baik memisahkan gadis seperti Meliana dari anaknya, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, rumah ini terbangun asal ide dan usulan Meliana, setiap sudutnya masih mengingatkan dan bisa mereka dengar gelak tawa Meliana di sana.Kalau saja waktu bisa
Pletak,Surti sentil kening anaknya yang tengah hamil muda itu, seperti biasa dan Juna sudah paham itu, di mana ibu mertua dan istrinya akan bertengkar setiap kali mereka bertemu.Sungguh, tidak akan pernah ada kedamaian di pertemuan mereka sebelum saling bersorak dan memprotes."Apa cucuku tumbuh baik di perut berlemak ini?" tanya Surti."Sur, kau ini!" Heri sudah lelah menegurnya, bahkan sudah menghabiskan satu botol air mineral, padahal baru saja tiba.Surti mengetuk perut Rika sebelum memutuskan untuk duduk ke samping Heri.Banyak barang yang mereka bawa dari kampung untuk anak Meliana, mereka harus pergi ke rumah sakit sekarang mengingat Heri ingin segera menggendong cucu pertamanya itu."Aku tidak bekerja, Bu. Tenang saja, kita akan berangkat setelah Rika mandi," ujar Juna.Plak,Beruntung Heri tahan laju tangam Su
"Ibuuuuu," panggil Meliana merintih, ia tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ada. Kedua tangannya terus meremat dan kini berpindah ke sisi ranjang dengan kedua kaki yang sudah tertekuk naik. Penyanggah di sana terpasang dengan baik, dokter dan timnya sudah bersiap di bawah beserta alat medis untuk penanganan berikutnya. Kali ini penanganan pasien khusus di mana ditemani oleh dua orang sekaligus, Meliana tidak mau melepas tangan Neni ataupun Arga, dia mengunci kuat dengan mata basahnya saat tangan itu dipaksa pindah ke sisi ranjang. Neni meminta kelonggaran dengan alasan yang sama di mana hanya dia ibu dari Meliana, bahkan cerita masa lalu terukir di sana, bergelimang dan terdengar hingga berlinang air mata. "Ibu, Arga!" Meliana memanggil sekali lagi saat gelombang dahsyat itu menyerangnya. Arga mendekat, ia usap kening dan kecup dalam di sana, tidak ada yang bisa ia lakukan selain dua hal it
Heri tak berhenti mengirimkan doa untuk anaknya yang tengah berjuang itu, begitu juga Surti yang ada di dekatnya, menyiapkan segala hal yang mungkin bisa mereka bawa ke rumah Arga, mereka akan menggantikan posisi Neni dan Harto di rumah itu mengingat Rika juga sedang hamil muda, butuh kekuatan pendamping agar tidak terlalu larut dalam suasana mencekam yang ada.Sementara di rumah sakit,Arga usap punggung dan perut bawah istrinya tanpa henti, matanya sudah sangat berat, tapi rintihan Meliana membuatnya kuat seketika.Arga tak hentinya melantunkan doa yang bisa membantu istrinya tenang, sedangkan Neni untuk sementara duduk karena tubuhnya ikut lemas.Semakin bertambah pembukaan Meliana, rasa sakit itu semakin dahsyat, semua berharap yang terbaik, entah itu normal atau nanti Meliana harus caesar, tidak masalah.Neni hanya ingin menantu dan cucunya itu sehat bersama, selamat dan bisa berada di dekatnya segera.
Malam itu, Meliana siapkan makanan kesukaan suaminya, perut yang membesar mungkin menghalanginya untuk bergerak cepat, tapi tidak membuat Meliana lantas malas untuk melayani suaminya.Arga masih mendapatkan apa yang ia mau, termasuk hak berkunjung pada buah hatinya itu."Dia makin suka bergerak ya, sayang?" tanya Arga sembari mengusap perut besar itu, menerima suapan dari sang istri yang terlihat mengembang akhir-akhir ini, apalagi bagian pipi Meliana. Meliana mengangguk, "Dia suka nyapa orang kayaknya, sampai kalau ada abang sayur itu waktu pagi, aku sama ibu kan milih, dia ikut gerak nonjol ke kanan atau kiri gitu loh, Ga," ungkapnya."Beneran? Penasaran aku sama dia jadinya, nggak sabar Ayah ketemu kamu, Dek sayang." Satu kecupan mendarat di perut buncit itu.Meliana terkekeh, anaknya itu terbilang sangat aktif, tapi saat mereka melakukan USG, dia sama sekali tidak menampilkan wa
Harto buka pintu kamar yang sontak tertutup rapat itu, Neni tampak di dalam sana dengan mata yang basah.Wanita itu berusaha menenangkan diri setelah mengomel di depan seolah memberi sambutan pada Rika dan Juna."Kabar baik yang kau dengar, lalu kenapa kau menangis?" tanya Harto.Neni menoleh, "Aku hanya terlalu senang dan aku tidak mau menunjukkannya pada anak-anak itu," jawabnya."Astaga, mereka kira kau tidak suka sampai Rika menangis di pelukan Amel."Klek,Belum selesai Harto berbicara dengan Neni, Meliana yang baru saja ia sebut itu masuk ke kamar, ia balikkan tubuhnya lalu mengulas senyum di sana."Boleh aku bicara dengan Ibu?" tanyanya."Kenapa? Kau mau berceramah padaku apa?" tuduh Neni ketus, tapi satu tangannya terulur meminta Meliana mendekat.Meliana sambut tangan itu, ia lantas duduk ke samping Neni dan berhadapa
Masih ingat dibenak Rika akan kejadian bulan lalu di mana dirinya harus berlari keliling rumah Arga tanpa alas kaki sebanyak sepuluh kali karena melakban mulut Neni dengan sengaja.Ia masih keukeh sampai hari ini untuk tidak terlalu banyak bicara pada ibu Arga dan ibu mertua Meliana itu, sekedarnya saja dan tetap melakukan apa yang Neni anjurkan selama proses programnya."Apa aku harus bersujud kepadanya, hah?" Rika berkacak pinggang."Kau tahu semua ini berkat bimbingan dan bantuan darinya, kenapa kau kejam sekali?" balas Juna, menyerah sudah kalau Rika mengibarkan bendera perang pada Neni.Aku harus apa dan aku masa bodoh, itu yang ada dibenak dua orang yang sedang mondar-mandir di depan rumah.Mereka endak berangkat ke klinik untuk pemeriksaan lanjutan, satu bulan pertama proses program kehamilan ini, mendekati hari datang bulan berikutnya, Rika wajib kontrol untuk memeriksakan kandunga