Heri pulang dengan tangan hampa, harapannya hanya pada keteguhan hati Arga menjaga putri semata wayangnya-Meliana.
Sekuat tenaga dan hati ia memohon pada Neni hari ini, tapi wanita itu tetap keras kepala dengan keputusannya.
Kekurangan Meliana dan hubungan masa lalu mereka yang menyisakan luka, tidak akan pernah terhapus dari benak Neni, akan terus mengalir sampai Arga atau Meliana menyerah.
Hakikat cinta yang pernah Heri katakan pada Meliana hingga gadis itu kembali membuka diri pada Arga, tidak bisa ia sesali, Tuhan sepertinya memang menakdirkan dua insan itu untuk bersama meskipun mereka harus terpisah berulang kali.
Heri akan menemui Arga diam-diam nanti, menunggu kabar selanjutnya dari sang putri yang saat ini masih menginap di rumah keluarga Rika.
Heri percaya Arga sama baiknya dengan Harto yang tadi sempat menemuinya diam-diam setelah ke luar dari rumah, ada mobil yang mengikutinya
Ah, mungkin kurang tepat bila Meliana menyebutnya rumah baru saja, pasalnya itu rumah kontrakan baru yang akan mereka tempati.Tapi, bahasa Juna dan Rika mengatakan seolah-olah itu rumah baru mereka semua.Ya, biaya sewa rumah ini dan isinya termasuk dalam anggaran Arga dan Juna, secara jumlah memang banyak Arga, tapi Juna yang kala itu mengaku ingin mendekati Rika, memutuskan untuk membantu karena rumah ini juga akan menjadi tempat tinggal sementara gadis pujaan hatinya."Jun, banyak sekali kamar di rumah ini?" tanya Rika."Hanya ada empat, dua untuk kalian, satu untuk gudang dan satu lagi untuk kami bila berkunjung, lalu ingin tidur," jelas Juna."Jangan gila, Jun! Kita bisa dibawa keliling kampung kalau ketahuan," balas Rika dengan satu pukulan keras di lengan Juna.Pria itu mengaduh dan tertawa, itu hanya bahan candaan, yang benar adalah kamar satu itu untuk menyimpan bara
Menolak, itu yang jawaban yang Meliana berikan pada tiga pria yang menawarinya malam ini.Lama tidak berjumpa bersama Heri dan Harto membuat Meliana tercengang mendengar kesepakatan yang ada, begitu juga cerita masa lalu di antara para orang tua.Terlebih lagi saat mengetahui Arga yang mengusulkan adanya pernikahan bersama dirinya, dia senang dan bangga, tapi itu tidak akan terjadi untuk kedua kalinya."Aku hanya tidak mau mengulang apa yang dulu pernah terjadi," ucap Meliana, baru saja dia membongkar barang baru untuk dijual setelah mendapat pinjaman modal dari Arga beberapa hari lalu."Apa maksudmu, Mel?" Arga tidak mengerti.Arga rasa tidak ada hubungannya antara kisah Heri dan Neni dengan pengajuan pernikahan ini.Sayangnya bukan itu yang Meliana maksud, satu fakta yang ia tutup rapat atas pernikahannya bersama Natan harus Meliana buka malam ini.Di depan ayah
"Aku tahu apa yang membuatmu seharian ini tersenyum pada semua rekan kerja, Ga." Juna menggelengkan kepala berulang kali melihat senyum murah dari calon pengantin yang berbahagia itu.Arga tutup laptopnya, ia akui sejak Meliana setuju untuk menikah bersamanya, jauh di dalam lubuk hati itu terus saja menuntut diri Arga untuk tersenyum, menularkan kebahagiaan pada orang lain."Apa aku salah?" balas Arga."Tidak, hanya saja aku iri melihatnya. Tapi, aku senang karena temanku satu ini akan menikah dengan gadis yang sangat dicintainya, hal yang tertunda dan nyatanya Tuhan berikan sekarang, tidak banyak orang yang mendapatkan kesempatan sepertimu," jelasnya.Juna rasa apa yang Arga dapat adalah sesuatu yang langka, biasanya mereka yang sudah berpisah karena menikah, tidak akan kembali lagi atau cenderung bertengkar juga saling acuh, jangankan menikah lagi, ingin be
"Kapan kau akan pergi berkeliling?" tanya Neni sekali lagi."Aku belum memutuskannya bersama Arga, tapi kemungkinan minggu depan aku akan mulai berkeliling untuk mencari perias dan juga sewa baju pengantinnya," jawab Meliana."Menyewa?" Neni merasa tidak terima, ia bahkan menampilkan mimik wajah yang ingin sekali menegur anaknya."Arga punya banyak uang untuk membelikanmu sepasang baju pengantin, gaun malam ataupun kebaya putih yang sakral itu. Kenapa harus menyewa kalau bisa membelinya?" tambah Neni, sedikit menegaskan posisinya di depan Meliana.Ya, sebuah keluarga dengan batas kesenjangan sosial yang cukup tinggi dari Meliana sendiri."Tidak Ibu, Maaf- ... Maksudku Tante, aku sudah punya baju pengantin lama dan aku rasakan sia-sia bila aku membelinya lagi, lebih baik aku menyewa dan hanya memakainya satu kali. Setelah itu yang pe
Niat baik dan buruk itu selalu berdampingan, mereka selalu berjalan bersama walaupun akhirnya berbeda tujuan.Itu yang terjadi pada Meliana dan Neni, salah satu ingin menyatukan hubungan, sedang yang kedua ingin menyingkirkan dan membuang Meliana jauh-jauh.Neni tersenyum sinis, rencana jahatnya sedikit demi sedikit akan berjalan mulus pada Meliana, ia sudah tampil dan menjaga hubungan baik bersama Meliana, bahkan ia mengantongi nomor ponsel gadis itu untuk melakukan perjanjian mengurus pernikahan minggu depan."Aku tidak peduli Rika ikut atau tidak, tidak akan ada yang tahu sedalam apa rencanaku pada Meliana, aku kenal beberapa perias dan penyewa baju pengantin yang jelas tunduk kepadaku. Dan dengan uang yang aku punya, mereka akan melakukan apa yang aku minta." tawa Neni menggema ke seluruh sudut rumah itu.Hendra yang mendengarnya hanya bisa mengusap dada dan me
"Sialan, wanita licik itu berhasil membuat Meliana menurut kepadanya!" umpat Rika dalam hati.Ia terus mengikuti kemanapun langkah Meliana yang berusaha terus Neni tarik untuk mengikutinya, mencoba satu persatu baju yang dirasa sangat berlebihan.Bila dilihat dari modelnya, Arga sendiri tidak akan setuju, tapi di sana Meliana berusaha untuk mencoba semuanya, menyenangkan hati Neni yang sudah meluangkan waktu untuk membantunya, mengurus pernikahan ini.Itu satu bukti menurut Meliana di mana Neni sudah memberikan restunya, jikalau ada masalah buruk nanti akhirnya, entahlah Meliana masih belum memikirkan hal itu.Ia harap tidak akan terjadi, Neni kali ini benar-benar menerimanya."Mel, sudah cukup!" cegah Rika."Kenapa?" Meliana menoleh hendak meminta Rika untuk melepas resleting gaunnya. 
"Apa kau baik-baik saja?" Arga nampak cemas.Malam hari ini sepulang kerja ia mampir ke rumah Meliana, seperti biasa senyum itu terbit untuknya.Meliana sambut hangat kedatangan Arga dan tak lupa mengulurkan tangan selayaknya pasangan yang telah sah, "Ini latihan kalau aku sudah jadi istrimu," bisik Meliana, ia tidak menjawab pertanyaan Arga karena memang dirinya baik-baik saja dan Arga bisa melihat semua itu, tidak ada yang terjadi padanya.Bahkan, tadi ia justru menerima ajakan makan yang dirasa mahal dari Neni, itu bentuk penghargaan yang selama ini hanya mimpi bagi Meliana, dia mengartikan itu juga sebagai langkah pertama dari niat baik Neni kepada dirinya walau dalam hati masih ragu dan menyimpan curiga pada isi hati Neni.Meliana tidak menampilkan itu kepada Arga, ia tidak mau pria itu semakin cemas atas apa yang terjadi kemarin, Arga bisa saja mendatangi Neni
Meliana mengangguk meskipun ia tahu akhirnya semua harus Arga korbankan dan itu bukan bagian dari keinginannya. Tapi, bila ia menolak kemauan Arga, itu sama saja menyerah pada Neni dengan dendam yang tidak jelas dan tidak sepatutnya diteruskan. "Arga akan menjual beberapa asetnya?" Meliana mengangguk, Rika tempat curahan hatinya saat ini, di rumah yang bisu itu hanya Rika satu-satunya orang yang tidak gegabah, ia takut bila bercerita pada Heri, itu akan membuat ayahnya mengambil langkah yang seperti beberapa waktu lalu, menemui Neni tanpa sepengetahuannya. "Ada dua rumah yang Arga beli diam-diam, dan itu dirasa cukup untuk mengganti rugi hilangnya permata yang sama sekali tidak aku tahu, kau juga ada di sana kan?" Meliana memijat pangkal hidungnya. "Dia memintaku untuk tidak menyerah, aku sudah ingin pergi saat ini, Rik, ini kejam dan tidak pantas rasanya aku mendapatkan pengorbanan Arga yang sebesar ini," imbuh Meliana.
Natan dan semua masa lalu itu sudah berlalu kini, bahkan maaf yang sempat tertunda dan termaafkan tanpa diminta sudah berlayar juga hari itu.Meliana tatap lembar kosong di tangannya, itu milik Kirana seutuhnya, dia dan Arga telah berjanji untuk menutup masa lalu dan mengukir kenangan indah baru bersama.Biarlah cerita buruk yang mereka lewati di masa itu menjadi dogeng untuk anaknya sebelum tidur tanpa dia tahu siapa peran sesungguhnya di dalam sana.Hari ini, yang ada di depan Kirana hanyalah keluarga yang bahagia, keluarga yang mengenal banyak karakter yang lengkap di mana pembuat senyum dan keributan bercampur menjadi satu."Sayang, mana Kiran?" Arga memeluk pinggang yang kembali ramping itu, mengecup singkat pipi merah istrinya."Dia ada di kamar ibu, hari ini giliran ibu yang menjaganya. Dia menjadi rebutan di rumah ini, kenapa?" Meliana goyangkan sedikit tubuhnya, ke kanan dan kiri sampai Arga mengikutinya
"Kita harus pergi dari rumah ini, kamu dan aku!" Natan menatap lurus istrinya, tekadnya sudah bulat untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang ibunya.Fira masih belum paham apa maksud suaminya itu setelah semalam tak kembali ke kamar dan mereka terdiam cukup lama."Cepat, Fir!" titahnya mengeraskan suara."Iya, tapi dengarkan aku dulu!"Tidak, Natan tidak mau mendengarkan apapun dari Fira, intinya hari ini juga mereka harus ke luar dari rumah itu meskipun banyak larangan yang mengecam keduanya.Fira kemasi baju-baju yang sudah Natan pilihkan, ia kemudian berhenti sebentar saat ibu mertuanya berdiri di depan kamar mereka."Hentikan, Natan!" pinta sang ibu."Tidak, mau apa Ibu? Aku akan hidup sendiri bersama istriku, sudah cukup kekacauan yang Ibu buat, kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan menuruti kemauan Ibu untuk meningga
Dia pulang membawa kecemasan dan rasa sesal yang menggunung, dari tangan dan isi kepalanya, Meliana masuk dan terbuang dari rumah ini.Anak lelakinya yang malang, setelah menikah dengan Fira untuk kedua kalinya, Natan tampak tak berselera dan tak punya pandangan hidup.Sungguh, berbeda saat Natan bersama Meliana dulu, selalu ada hal baru yang membuatnya marah, tapi Natan suka itu.Pandangannya masih tertuju pada Natan, wajahnya kian menua dan kebahagiaan seolah terampas dari hidupnya.Bukan salah Meliana atau Natan, tapi salahnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab atas kehidupan putranya sendiri.Ia kira akan lebih baik memisahkan gadis seperti Meliana dari anaknya, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, rumah ini terbangun asal ide dan usulan Meliana, setiap sudutnya masih mengingatkan dan bisa mereka dengar gelak tawa Meliana di sana.Kalau saja waktu bisa
Pletak,Surti sentil kening anaknya yang tengah hamil muda itu, seperti biasa dan Juna sudah paham itu, di mana ibu mertua dan istrinya akan bertengkar setiap kali mereka bertemu.Sungguh, tidak akan pernah ada kedamaian di pertemuan mereka sebelum saling bersorak dan memprotes."Apa cucuku tumbuh baik di perut berlemak ini?" tanya Surti."Sur, kau ini!" Heri sudah lelah menegurnya, bahkan sudah menghabiskan satu botol air mineral, padahal baru saja tiba.Surti mengetuk perut Rika sebelum memutuskan untuk duduk ke samping Heri.Banyak barang yang mereka bawa dari kampung untuk anak Meliana, mereka harus pergi ke rumah sakit sekarang mengingat Heri ingin segera menggendong cucu pertamanya itu."Aku tidak bekerja, Bu. Tenang saja, kita akan berangkat setelah Rika mandi," ujar Juna.Plak,Beruntung Heri tahan laju tangam Su
"Ibuuuuu," panggil Meliana merintih, ia tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ada. Kedua tangannya terus meremat dan kini berpindah ke sisi ranjang dengan kedua kaki yang sudah tertekuk naik. Penyanggah di sana terpasang dengan baik, dokter dan timnya sudah bersiap di bawah beserta alat medis untuk penanganan berikutnya. Kali ini penanganan pasien khusus di mana ditemani oleh dua orang sekaligus, Meliana tidak mau melepas tangan Neni ataupun Arga, dia mengunci kuat dengan mata basahnya saat tangan itu dipaksa pindah ke sisi ranjang. Neni meminta kelonggaran dengan alasan yang sama di mana hanya dia ibu dari Meliana, bahkan cerita masa lalu terukir di sana, bergelimang dan terdengar hingga berlinang air mata. "Ibu, Arga!" Meliana memanggil sekali lagi saat gelombang dahsyat itu menyerangnya. Arga mendekat, ia usap kening dan kecup dalam di sana, tidak ada yang bisa ia lakukan selain dua hal it
Heri tak berhenti mengirimkan doa untuk anaknya yang tengah berjuang itu, begitu juga Surti yang ada di dekatnya, menyiapkan segala hal yang mungkin bisa mereka bawa ke rumah Arga, mereka akan menggantikan posisi Neni dan Harto di rumah itu mengingat Rika juga sedang hamil muda, butuh kekuatan pendamping agar tidak terlalu larut dalam suasana mencekam yang ada.Sementara di rumah sakit,Arga usap punggung dan perut bawah istrinya tanpa henti, matanya sudah sangat berat, tapi rintihan Meliana membuatnya kuat seketika.Arga tak hentinya melantunkan doa yang bisa membantu istrinya tenang, sedangkan Neni untuk sementara duduk karena tubuhnya ikut lemas.Semakin bertambah pembukaan Meliana, rasa sakit itu semakin dahsyat, semua berharap yang terbaik, entah itu normal atau nanti Meliana harus caesar, tidak masalah.Neni hanya ingin menantu dan cucunya itu sehat bersama, selamat dan bisa berada di dekatnya segera.
Malam itu, Meliana siapkan makanan kesukaan suaminya, perut yang membesar mungkin menghalanginya untuk bergerak cepat, tapi tidak membuat Meliana lantas malas untuk melayani suaminya.Arga masih mendapatkan apa yang ia mau, termasuk hak berkunjung pada buah hatinya itu."Dia makin suka bergerak ya, sayang?" tanya Arga sembari mengusap perut besar itu, menerima suapan dari sang istri yang terlihat mengembang akhir-akhir ini, apalagi bagian pipi Meliana. Meliana mengangguk, "Dia suka nyapa orang kayaknya, sampai kalau ada abang sayur itu waktu pagi, aku sama ibu kan milih, dia ikut gerak nonjol ke kanan atau kiri gitu loh, Ga," ungkapnya."Beneran? Penasaran aku sama dia jadinya, nggak sabar Ayah ketemu kamu, Dek sayang." Satu kecupan mendarat di perut buncit itu.Meliana terkekeh, anaknya itu terbilang sangat aktif, tapi saat mereka melakukan USG, dia sama sekali tidak menampilkan wa
Harto buka pintu kamar yang sontak tertutup rapat itu, Neni tampak di dalam sana dengan mata yang basah.Wanita itu berusaha menenangkan diri setelah mengomel di depan seolah memberi sambutan pada Rika dan Juna."Kabar baik yang kau dengar, lalu kenapa kau menangis?" tanya Harto.Neni menoleh, "Aku hanya terlalu senang dan aku tidak mau menunjukkannya pada anak-anak itu," jawabnya."Astaga, mereka kira kau tidak suka sampai Rika menangis di pelukan Amel."Klek,Belum selesai Harto berbicara dengan Neni, Meliana yang baru saja ia sebut itu masuk ke kamar, ia balikkan tubuhnya lalu mengulas senyum di sana."Boleh aku bicara dengan Ibu?" tanyanya."Kenapa? Kau mau berceramah padaku apa?" tuduh Neni ketus, tapi satu tangannya terulur meminta Meliana mendekat.Meliana sambut tangan itu, ia lantas duduk ke samping Neni dan berhadapa
Masih ingat dibenak Rika akan kejadian bulan lalu di mana dirinya harus berlari keliling rumah Arga tanpa alas kaki sebanyak sepuluh kali karena melakban mulut Neni dengan sengaja.Ia masih keukeh sampai hari ini untuk tidak terlalu banyak bicara pada ibu Arga dan ibu mertua Meliana itu, sekedarnya saja dan tetap melakukan apa yang Neni anjurkan selama proses programnya."Apa aku harus bersujud kepadanya, hah?" Rika berkacak pinggang."Kau tahu semua ini berkat bimbingan dan bantuan darinya, kenapa kau kejam sekali?" balas Juna, menyerah sudah kalau Rika mengibarkan bendera perang pada Neni.Aku harus apa dan aku masa bodoh, itu yang ada dibenak dua orang yang sedang mondar-mandir di depan rumah.Mereka endak berangkat ke klinik untuk pemeriksaan lanjutan, satu bulan pertama proses program kehamilan ini, mendekati hari datang bulan berikutnya, Rika wajib kontrol untuk memeriksakan kandunga