"Dika ...!" teriakku histeris. Dia tergopoh-gopoh menghampiriku yang terduduk lemas. Di tanganku masih menggenggap ponsel yang baru saja menggelap layarnya. Bersamaan gelapnya hati ini setelah menerima kabar."Ada apa Lintang?! Kenapa kamu teriak?" Matanya menatap ponsel yang aku tunjukkan, dan menatapku kembali tidak mengerti."Langit! Langit kecelakaan! Sekarang, dia di rumah sakit. Baru saja telpon dari sana," ucapku dengan tangan bergetar. Aku seperti terlempar pada saat itu, ketika menerima kabar kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuaku. Saat itu seperti sekarang, aku bersama Dika sedang menyelesaikan pekerjaan. Waktunya juga sama, malam hari. "Dika .... Bagaimana ini? Bagaimana kalau Langit ...." Aku tidak sanggup berandai-andai.Tangisku pecah seketika, Mahardika langsung merengkuhku dalam pelukannya. Mencoba menenangkan dan menghiburku, bahwa yang aku bayangkan belum tentu benar.Dengan tergesa, kami berangkat ke rumah sakit yang di sebutkan tadi. Lumayan jauh da
--Tidak ada yang terjadi secara kebetulan, semua sudah diatur Sang Semesta. Termasuk pertemuan aku, kamu dan dia--***Hari-hariku dipenuhi Langit, Langit, dan Langit.Hampir setiap hari sepulang dari pabrik, dia ke rumah. Padahal jarak rumah kami lumayan jauh, walaupun masih satu kota. Alasannya, karena ibunya--dulu, aku sebut Den Ajeng--masih di Jogja. Alasan aneh, apa hubungannya ibu sama pacar? Kata terakhir ini yang membuat hatiku berdesir. Pacar.Ah, istilah yang terlalu kekanakan. Aku lebih suka menyebutnya teman dekat yang spesial.Memang, bersamanya aku merasa bahagia, tetapi untuk melangkah lebih jauh, rasanya belum berani. Aku tidak yakin dengan hubungan ini. Hanya sekadar dijalani dan menunggu bermuara kemana. Aku tidak berani berjanji lebih."Bukankan kamu mencintaiku?" tanya Langit, mempertanyakan hubungan kami.Sore itu, kami duduk santai di sunbed pinggir kolam. Dua sunbed dijadikan satu. Menikmati bulan purnama yang bulat sempurna terpantul di air kolam. Sinarnya
Aku mengantar Langit sampai mobilnya menghilang keluar dari pintu gerbang. Semenjak kecelakaan itu, aku melarangnya menggunakan sepeda motor. Aku masih ketakutan saat ingat sepeda motor yang teronggok di depan truk itu.Selama beberapa kali mempunyai teman dekat, hanya dengan Langit inilah aku seperti ini. Entah, apakah ini cinta yang benar atau perasaanku yang terjebak gairah orang dewasa semata.Aku masih belum tahu.***Hari ini aku berangkat ke ibu kota, diantar Langit sampai bandara. Seperti biasa, pesannya bernada sama. "Selalu ingat, aku menunggumu. Dan, jangan terlalu berdekatan dengan Mahardika. Bagaimanapun dia laki-laki yang bisa saja khilaf."Dia merengkuh dan mengecup keningku, kemudian menangkup kedua pipi ini sambil berkata, "Jangan hilang tanpa kabar. Setiap ada kesempatan video call. Ingat, di sini aku merindukan kamu." Tersenyum dia sambil tetap menatapku lekat. "Huuh, membayangkan kamu pergi saja, aku sudah merasa kangen."Segera kueratkan pelukan kami, menunjukka
"Cantik," ucap Mahardika di belakangku. Aku masih duduk di depan cermin. Tidak ada yang meragukan tim Mahardika dalam hal mendandani. Riasan natural sedikit glow terkesan sederhana namun terlihat anggun. Apalagi rambutku disanggul tinggi dengan hiasan beberapa kuntum bunga segar."Tambah cantik kalau memakai ini," bisiknya sembari mengalungkan hiasan leher berbandul permata berkilau. Kalung yang tipis tidak begitu kentara, berpusat pada bandul."Sponsor, Dika?" tanyaku sambil melihatnya melalui cermin. Mengagumi kalung yang cantik ini, model sederhana dan tidak mendominasi tetapi menambah pesona si pemakai. Betul yang diucapkan Mahardika."Kamu suka?" "Iya.""Itu memang buat kamu. Tanda persahabatan kita yang akan bersinar sampai kita menua.""Dika .... Ini berlebihan. Tanpa ini pun, kamu satu-satunya sahabatku yang menyinari di setiap langkahku. Menunjukkan jalan terang dan membuatku bangkit saat terpuruk," ucapku. Kami berpandangan melalui pantulan cermin. Tersenyum bersama dan s
Dengan dukungan Mahardika, hubunganku dan Langit semakin dekat, walaupun aku masih belum berani menemui ibunya Langit, Den Ajeng.Aku masih kawatir, karena kebohonganku membuat Den Ajeng kecewa dan menolakku. Aku belum siap menerima kemungkinan berpisah dengan Langit.Berbeda dengan Langit, dia semakin akrab dengan orang-orang terdekatku. Tidak hanya Mahardika, sekarang ada Mbak Rahmi yang mulai akrab dengannya. Bagiku Mahardika dan Mbak Rahmi adalah keluargaku."Mas Langit orangnya baik, ya. Pantas saja Mbak Lintang terkiwir-kiwir," seloroh Mbak Rahmi saat kami makan pagi berdua. Langit sering datang berkunjung ke rumah, termasuk berbincang dengan Mbak Rahmi. Pribadinya yang super, membuat mereka menjadi akrab."Kalau sudah cocok, langsung bungkus saja. Model seperti Mas Langit sudah langka di jaman sekarang!" tambahnya semakin menjadi-jadi. "Memang makanan?" "Ya tidak jauh bedalah. Sama-sama membuat semangat! Mbak Lintang juga semakin rajin update tulisan. Aku kan baca terus. Bab
Sejak mengenalmu, semua indera tertulis namamu. Aku tidak sanggup perpaling apalagi menjauh. Biarlah. Biarkan saja kau tidak menyambut. Tidak kau hilangkan diriku dari hidupmu saja, sudah cukup. ***Aku hanyalah satu titik kecil yang hampir tidak kentara, bahkan dibuang oleh seseorang yang seharusnya melindungi dan membanggakanku. Karenanya, aku diberi nama Mahardika. Kata ibu panti asuhan artinya kaya, makmur, kuat, berilmu, dan berbudi luhur, bangsawan. Nama ini akan mengantarkan menjadi titik yang lebih jelas.Suatu hari, mata ini terpaku pada satu sosok yang indah. Bersamanya aku merasa lebih berarti. Hati ini menghangat saat di dekatnya. Aku seperti mencandui setiap senyuman, sikap koyol, bahkan bayangannyapun aku rindukan. Dunia seperti hanya dia seorang, Lintang Astuti.Retak hati ini mendengar penolakan cinta yang aku tawarkan. Namun, pengertian dan perhatiannya perlahan memulihkan hati."Aku tidak mengerti tentang cinta itu apa. Yang aku tahu, bersamamu lebih sekedar dari
POV MahardikaSekarang dia menatapku melalui spion. Menarik napas dalam dan menghembuskan kembali. "Apa yang kamu lakukan saat merindukan seseorang?" Suara Lintang akhirnya terdengar."Aku akan mengingatnya.""Kalau masih tetap rindu." Suara Lintang seperti tercekat menahan tangis. Aku menatapnya sekilas, ada kilatan air mata yang mengambang kembali."Aku tetap akan mengingatnya.""Itu saja? Ta-tapi, kenapa malah semakin rindu? Dan hatiku semakin berat?" Dia memalingkan wajah ke arah jendela, menyembunyikan air mata yang semakin deras."Aku akan bercerita tentang kenangan indah. Dengan begitu, aku akan tersenyum kembali," jawabku sembari mengeratkan tangan ini di kemudi. Melihat keadaannya, hati ini ikut teriris. "Ceritakan yang indah tentangnya. Aku siap mendengarkan."Kami berputar-putar menghabiskan malam. Sepanjang jalan Lintang menceritakan tentang Langit. Cerita konyol tentang pertemuan mereka.Tetap dengan linangan air mata, namun ada terbersit senyuman di bibirnya. "Bagaim
POV Lintang AstutiHati ini berdarah kembali ketika menyebut namanya. Langit dan tragedi yang berusaha aku lupakan, seakan bersanding. Hati ini bertengkar hebat berebut kebenaran. Meneruskan hubungan ini atau berhenti sampai di sini. Sungguh, ini sangat berat untukku.Semakin aku menjauh darinya, semakin lekat nama Langit di hati. Bagaikan pasir hisap. Sekuat tenaga aku meronta, semakin dalam aku ditenggelamkan.Hanya Mahardika lah yang bisa menolongku. Menarikku dari kebimbangan ini, seperti dulu saat aku terpuruk.Benar.Malam itu dia memberiku sepucuk surat dari Langit. Sesuatu yang kurindukan sangat, tetapi berat kulakukan. Namun, sikap kesal Mahardika mendorongku untuk menghadapi kenyataan. Aku mengerti, dia pasti tersiksa dengan sikap ketidakdewasaanku.Ragu, aku buka surat beramplop putih dan kubaca dengan hati yang sudah memutih ini. Perlahan suara samar semakin jelas mendendangkan nada indah. Mengantarku keluar dari keraguan.Surat dengan tulisan tangan indah Langit.~~~Lin
Hari indah tiba. Rencana indah yang kami persembahkan untuk Mahardika tiba. Ini diprakarasi Mas Langit. Suamiku ini mendirikan rumah singgah untuk anak-anak terlantar dengan nama Mahardika. Harapannya, kami bisa mencetak Mahardika muda. Memberi harapan pada setiap anak-anak yang membutuhkan. Kami pun mendatangkan semua karyawan butik dari semua cabang, berkumpul untuk memanjatkan doa bersama untuknya. Menyatakan bahwa kami semua bersamanya. Kisahnya yang sudah aku tulis, juga sudah dibukukan. Kami bagian untuk semua yang hadir, sebagai tanda menetapkan Mahardika selalu abadi di hati kita semua. "Mas Langit, Dika pasti senang melihat ini semua," ucapku sambil mengapit lengannya. Dari balkon kami melihat keramaian di bawah. Kami duduk di bangku panjang, mengamati mereka yang mengenang Mahardika dengan suka cita, seperti harapannya. Candra dan Surya pun tidak lepas dari kegemasan para undangan. Mereka tertawa terkekeh bercanda dengan anak-anak. "Pasti, Sayang. Dengan ini semua
Hariku seakan hilang. Dia yang biasanya selalu ada untukku, pergi. Hatiku pun seperti terkoyak.Sakit*Di sinilah aku, terpekur di depan makam yang bertuliskan namanya, Mahardika. "Kamu keterlaluan, Dika. Merahasiakan sakitmu dan meninggalkan aku begitu saja. Kamu mengesalkan." Tanganku gemetar meraba nisan penanda, tidak pernah terlintas sedikitpun perpisahan dengannya seperti ini. Begitu mendadak dan seperti mimpi.Setelah sadar dari pingsanku, kami langsung mengatur pejalanan ke ibu kota, tempat Mahardika dimakamkan. Menurut Magdalena, semua sudah diatur oleh Mahardika. Bahkan, apartemen juga sudah dirapikan. Dia mewariskan apartemen atas nama Candra dan Surya. Dalam pesannya, tempat ini bisa digunakan anakku saat berkunjung dan tetap merasakan kehadirannya di sana.Foto kebersamaan Mahardika dan si Kembar terpampang seperti gallery di dinding. Mulai dari lahir sampai pertemuan terakhir. Yang membuatku tersedu kembali, ada kamar tertuliskan nama anak-anakku. Di dalamnya ada du
Satu bulan, dua bulan, bahkan si Kembar sudah bisa merangkak, tidak ada kabar sama sekali dari Mahardika.Terakhir sebelum berangkat, dia memberitahukan kalau nomor telpon tidak diaktifkan lagi. Katanya, dia akan berganti menggunakan nomor Singapura. Namun sampai saat ini belum ada kabar."Mungkin mereka sibuk. Biarkan mereka bahagia. Aku yakin, Mahardika percaya sekali denganmu sehingga menyerahkan ini semua," hibur Mas Langit saat aku mengeluh tentang Mahardika.Untuk pekerjaan butik tidak ada kendala apapun. Akupun masih membuat rancangan baju dan mengontrol kegiatan secara online. Mas Langit lah yang sesekali keliling ke butik-butik itu. Memastikan keadaan real di sana.Lama tidak mendengar kabar dari Mahardika, hidupku seperti ada yang kurang. Kadang aku termangu di kamar yang biasa dia diami. Mengingat saat dia bercanda dengan anak-anak di sana. Apakah dia tidak kangen dengan Candra dan Surya? Mereka sekarang pas lucu-lucunya. Pipi yang gembul, bicara ngoceh bahasa bayi, dan mer
Kebahagiaanku lengkap sudah. Sebagai wanita yang sudah menyandang status istri dan ibu. Sehari-hari, aku disibukkan oleh si kembar. Walaupun ada suster yang merawat, tetap mereka dalam pengawasanku. Bulek Ningsih, dikukuhkan tinggal di sini. Tugasnya bertanggung jawab kepada makanan kami sekeluarga termasuk asupan untuk si kecil. Ibu menyatakan lebih nyaman di Jogja. Katanya, kampung halaman membuat perasaan hati tenang. Hanya sesekali saja, beliau datang untuk menjenguk rumah, dan di saat itulah kami berkumpul bersama.Pekerjaanku di garmen seperti biasa, aku meminjam tangan Mbak Rahmi untuk mengawasi kantor. Hanya sesekali saja, aku mampir dan melihat-lihat pekerjaan dan kesejahteraan karyawan. Aku ingin, hubungan kami tidak sekadar atasan dan bawahan, tetapi juga keluarga besar. Aku pun semakin menikmati dunia kepenulisan yang ternyata semakin menarik. Kakiku seakan masuk menjelajah seluk beluk yang ternyata tidak sesederhana yang kutahu di awal. Keikutsertaanku di beberapa grup
POV Lintang Astuti"Lintang sayang. Ini suamimu."Bisikan kalimat itu berulang kali kudengar. Samar, kemudian semakin jelas. Perlahan, mata ini kubuka paksa. Masih terasa berat dan sinar terang menerobos menyilaukan. Wajah sumringah suamiku menyambut dengan teriakan bersyukur. Masih terasa lelah dan mengantuk, namun masih bisa merasakan hujan kecupan di dahiku."Aku siapa?""Mas Langit. Suami Lintang Astuti," jawabku atas pertanyaan konyolnya. "Aku!? Aku!?" Wajah satu lagi muncul. Senyumnya tidak kalah lebar."Kamu siapa? Kok mirip Dika?" tanyaku kembali. Kesal rasanya, baru bangun sudah ditanya aneh-aneh."Kalau sudah bikin kesal, berarti kamu sudah normal," balas Mahardika dengan senyum lebar. "Dah! Kalian mesra-mesraan sana! Aku nungguin keponakanku aja!" tambahnya sambil menepuk bahu suamiku. "Selamat, ya, Mama Lintang."Aku dan Mas Langit berpandangan dan tersenyum melihat tingkah Mahardika yang beranjak ke luar ruangan.Tinggal kami berdua, saling bertatapan dengan senyum da
POV Langit BaskoroMenunggu. Kata ini yang sangat tidak aku sukai. Seperti saat ini.Kami harus mengambil pilihan kedua, operasi. Kondisi Lintang istriku lemah, tidak memungkinkan untuk melahirkan si Kembar. Kalau dipaksakan akan beresiko besar. Aku tidak mau menerima kemungkinan buruk. Mereka harus selamat.Ditemani Mahardika, kami berdua terpekur di ruang tunggu. Sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Lintang. Sepertinya nama ini pun disematkan karena dia diperuntukkan untukku. Sejauh-jauhnya dia pergi, pasti akan kembali kepadaku, Langit. Itu yang kuyakini setelah tahu nama lengkapnya, Lintang Astuti.Dulu, awalnya memang aku tidak tahu data pribadinya dia. Astuti, itu saja yang aku tahu. Namun, semenjak kepergiannya dari rumah, aku mencari tahu tentangnya kepada Ibu. Malam terakhir bersamanya, sangat berbekas di hati. Akupun tidak mengerti, kenapa seperti ini. Berdekatan dengan perempuan, itu hal biasa bagiku. Entah, berapa orang yang pernah dekat denganku, akupun tidak
Pagi-pagi Mahardika sudah datang. Mas Langit yang menelponnya.Entah, apa yang dibicarakan mereka. Dari meja makan, aku lihat mereka berbincang serius. Mas Langit seperti memberi arahan kepada Dika. "Dika, kau makan saja dulu. Aku tadi sudah makan roti," ucap suamiku kemudian meneguk teh hangat. Setelahnya, aku berdiri merapikan kemeja. Bersiap mengantarkan dia pergi kerja."I love you," bisik Mas Langit saat mengecup pipiku. Wajah ini menghangat, bukan karena apa, karena Mahardika menatap kami dengan lekat."Ini contoh memperlakukan istri," seloroh Mas Langit. Dia menggoda Mahardika lagi seperti biasanya. "Cepetan Magdalena diikat! Biar si Kembar cepet punya adik!" tambahnya."Iya. Ini lagi usaha! Cepet berangkat sana. Tenang saja, semua pesanmu aku laksanakan!" teriak Mahardika sambil menunjukkan jempolnya.Aku mengantar Mas Langit sampai depan. Walaupun dengan langkah pelan, aku tetap melakukannya. Mengantar suami bekerja seperti memberi semangat dan doa untuk suami supaya peker
Sesuai janjinya, Mahardika datang ke rumah. Dia menunggu kelahiran si Kembar. Yang berbeda sekarang, dia tidak tidur di rumah seperti biasanya, namun dia tinggal di hotel. Alasannya, ke kota ini sambil mengurus pekerjaan sekaligus menunggu waktu lahiran.Aku mengerti, dalam pikiranku ini dikarenakan dia sudah tidak sendiri lagi. Ada Magdalena, yang bisa jadi merasa aneh dengan yang dilakukan. Menunggu istri orang melahirkan.Katanya, dia hanya mengawasi pekerjaan sesekali saja, jadi bisa menemaniku di siang hari saat Mas Langit ke pabrik. Mas Langit pun tidak keberatan dengan hal ini, dia merasa tenang. Padahal di rumah sudah ada Bulek Ningsih dan perawat yang khusus mengawasiku, dengan adanya Mahardika semua lebih aman. Itu kata suamiku.Di rumah, Mahardika disibukkan dengan mempersiapkan kamar si Kembar. Kamar dan perabotannya, sudah dilengkapi Mas Langit, sekarang giliran Mahardika mengatur kelambu, sprei, baju, selimut, dan semua yang berbahan kain. Memang dia sudah bilang sedari
Memang kesendirian sering menimbulkan pikiran negatif. Kalau biasanya tidak ada Mas Langit, aku di ribetin dengan cerewetnya Mahardika, ini sudah satu bulan dia tidak ada kabar. Mungkin dia tenggelam dengan kesibukan butik. Terakhir, dia ada fashion show di Singapura.Kesal hati ini, tiba-tiba dia tidak muncul sama sekali. Apa dia tidak kangen dengan keponakannya ini? Aku mengelus perutku yang membuncit sangat. Untuk jalanpun mulai kesusahan, kadang dada ini sesak saat mereka meluruskan badan. Bahkan pernah, kakinya berbayang di perut. Seandaikan Dika tahu, pasti dia senang sekali.'Dika, aku kangen.'Kenapa tidak aku hubungi saja? Aku raih ponsel di atas nakas. Lebih baik aku hubungi sambil menunggu Mas Langit yang masih membersihkan badan.Aku mengernyitkan dahi, menatap foto profilnya. Dia berfoto dengan perempuan cantik dengan berlatar belakang patung Singa lambang Singapura. Mereka tertawa bersama, menandakan bahagia.Senyum ini mengembang dengan sendirinya, menatap foto ini se