POV Lintang AstutiHati ini berdarah kembali ketika menyebut namanya. Langit dan tragedi yang berusaha aku lupakan, seakan bersanding. Hati ini bertengkar hebat berebut kebenaran. Meneruskan hubungan ini atau berhenti sampai di sini. Sungguh, ini sangat berat untukku.Semakin aku menjauh darinya, semakin lekat nama Langit di hati. Bagaikan pasir hisap. Sekuat tenaga aku meronta, semakin dalam aku ditenggelamkan.Hanya Mahardika lah yang bisa menolongku. Menarikku dari kebimbangan ini, seperti dulu saat aku terpuruk.Benar.Malam itu dia memberiku sepucuk surat dari Langit. Sesuatu yang kurindukan sangat, tetapi berat kulakukan. Namun, sikap kesal Mahardika mendorongku untuk menghadapi kenyataan. Aku mengerti, dia pasti tersiksa dengan sikap ketidakdewasaanku.Ragu, aku buka surat beramplop putih dan kubaca dengan hati yang sudah memutih ini. Perlahan suara samar semakin jelas mendendangkan nada indah. Mengantarku keluar dari keraguan.Surat dengan tulisan tangan indah Langit.~~~Lin
Kami duduk berdua di pinggir kolam. Bersandar di sunbed yang sudah disatukan. Aku yang masih sibuk menatap jari manis yang sudah dihiasi cincin indah darinya, kemudian menatapnya sambil tersenyum. Memuaskan kembali dahaga rinduku."Sayang, kenapa tadi tidak secepatnya mengatakan iya. Aku tadi hampir putus harapan. Kawatir kamu berubah pikiran dan lari lagi. Membayangkan saja, aku tidak mau," tanya Langit. "Tadi, aku terkejut sekali. Menurutku, ini terlalu cepat. Aku tidak menyangka kau seberani dan senekad ini?""Memang apa yang harus aku takutkan? Aku lebih takut kalau kehilanganmu. Kamu tahu tidak, kemarin aku seperti orang gila. Kamu menghilang tanpa bicara. Telpon, pesan, bahkan kedatanganku kamu tolak. Untung ada Mbak Rahmi dan Mahardika. Mereka membantuku. Makanya, lebih baik sekarang aku segera mengikatmu," ucap Langit, sambil merangkul pundak ini."Dengan ini?" tanyaku sambil menunjukkan cincin emas ini."Itu langkah awal. Langkah berikutnya, aku akan mengajak ibu ke sini. T
Warna merah jambu melingkupi diri ini. Inginku dan niat dia sudah menyatu, bersama untuk selamanya.Kalau perempuan lain akan sibuk mengusahakan restu orang tua, sedangkan aku mau kemana? Hanya Mbak Rahmi dan Mahardika yang aku punya. Bagaimanapun, aku tetap harus menemui bapak ibu, walaupun di gundukan tanah makam mereka berdua. Menyampaikan kisah gembiraku dan berbagi bahagia. Di sinilah aku, ditemani Langit yang memanyungiku dengan payung hitam."Bapak ... Ibuk ..., Lintang kangen. Lintang ingin cerita tentang kebahagiaan ini. Lintang ...." Aku tidak sanggup mengatakan apapun. Lidahku kelu dan air mata ini sudah membasahi pipi. Kerinduanku kepada mereka sangat, sangat sampai dada ini sesak karena memendamnya. Yang kubisa hanya memeluk batu nisan yang berdampingan ini. "Lintang .... Jangan menangis. Ayah dan Ibu pasti tidak menginginkan kau bersedih," ucap Langit mengusap bahuku. "Harusnya, mereka mendampingi aku," ucapku kemudian tergugu kembali. Langit hanya diam menungguku m
Penasaran, aku segera menerobos mendahuluinya ketika pintu di buka. Kamar dengan cat abu-abu, senada dengan seprai dan sarung bantal, terlihat serasi. Gaya maskulin terasa kental, ditambah gitar yang menggantung di dinding.Yang membuatku terkejut, rak buku yang tinggi dipenuhi buku-buku tebal. Dari buku fiksi sampai buku filsafat. Dari yng berbahasa Inggris sampai bahasa Jawa. Aku baru mengerti, ternyata dia suka membaca.Aku berdiri di depan jajaran buku ini, seperti menciut bagaikan anak ayam di lumbung padi. "Ternyata suka baca novel, juga?" tanyaku meraih buku tebal. Aku membaca sampul belakang, diterangkan isi novel tentang romantika percintaan. Pantas saja dia pintar merayu. Aku menoleh ke arahnya, menatap dengan tatapan menyelidik sambil berpikir, 'Berapa perempuan yang sudah bertekuk lutut di hadapannya?'Yang aku curigai malah sibuk mengambil buku di rak satunya. "Ini novel yang sudah aku baca. Kalau mau, bawa aja." Dia menaruh tumpukan buku tebal di depanku."Aku baca no
Mahardika memegang kedua bahuku, menatapku lewat cermin. "Lintangku sekarang sudah dewasa, sudah siap untuk menjadi istri. Selamat, ya."Aku membalas dengan senyum sambil mengusap tangannya yang di bahu ini. Ucapan terima kasih tidak cukup untuknya, dia begitu banyak berbuat untukku. Perhatian, kesempatan, dan cintanya tercurah untukku. "Eits! Tidak boleh nangis. Nanti riasannya luntur. Walaupun waterproff tetap tidak boleh nangis," teriaknya, kemudian memanggil perias untuk memperbaiki riasanku kembali.Aku sudah selesai dirias. Baju kebaya putih yang berekor panjang. Rancangan Mahardika khusus di hari indah ini. Perpaduan antara tradisional dan modern. Peyet-payet berkilau bertaburan berpusat di bagian atas. Riasan juga mengusung tema natural, hanya sesikit sentuhan berkilau untuk menyesuaikan acara di malam ini. Sanggul sederhana dicepol berhias permata sederhana, menunjukkan leher jenjangku yang dihias kalung pemberian Mahardika. Aku bersikukuh memakainya, walaupun disarankan
"Kamu cantik dengan rambut terurai," ucapnya, kemudian menghapus jarak kami. Mencium kening dan berlanjut dengan sentuhan indahnya. "Langit, aku ganti baju dulu. Gerah." Aku dorong dia untuk menjauh. Belum sempat aku berganti baju. Inginku, aku ingin mempersiapkan malam ini dengan baju yang dititipkan Mahardika. Baju putih panjang bertali dan menerawang, menonjolkan sisi kedewasaanku. Memegangnya saja, sudah berasa lain, apalagi saat aku menggenakannya. Mengenakan lengerie sexy, parfum wangi dan bersikap lembut, itu kubaca untuk mempersiapkan diri di malam pertama. "Aku bantu," bisiknya tanpa melepaskan aku. Dengan satu tangannya, dia berhasil melepas gaunku. "Langit ...." "Hmm ...," jawabnya tanpa menghentikan sentuhannya. Memaksaku terdiam dan terhanyut kemudian tenggelam. Hilang membersamai dengusan napasnya. Aku sudah tak ingat lagi, yang aku tahu sekarang kami bergelung di selimut yang sama. Tersenyum bersama setelah melewati malam tanpa kekawatiran yang keliru. ***
Sekarang sudah jalan tiga bulan lebih pernikahan kami. Masih dalam masa bulan madu. Apapun dikerjakan berdua. Dia ditinggal dikit, tidak mau. Bahkan, makanpun kalau tidak berdua tidak enak, katanya. Sisi manja Mas Langit mulai kentara.Mas Langit, panggilan baruku kepadanya. Semenjak menikah, aku dipaksa harus memanggil suamiku itu, Mas Langit. Awalnya membantah, karena kami seumuran. Namun setelah dipikir-pikir memang sebaiknya seperti itu, didengar telinga juga lebih enak. Mas Langit.Kami seperti mini lan mintuno, hewan laut yang selalu berjalan berpasangan kemana-mana. Saat kerjapun, aku harus ikut pergi ke pabrik. Walaupun dia sudah tidak membutuhkan aku untuk bekerja seperti dulu, karena sekarang sudah mempunyai asisten. Yang siap menunggu perintah dengan meja di depan ruangan kantor. Namanya Pak Parji. Terpaksa, aku mengerjakan pekerjaan garmen di sini juga, membuat rancangan untuk periode depan, mengecek laporan dan melakukan meeting online dengan para manager. Bahkan, aku
Baru hari ini kami tidak bersama. Aku tetap di rumah tidak ikut ke pabrik. Bangun tidur terasa berat kepala ini. Padahal, kami semalam tidak bersama seperti biasanya. Kami hanya menghabiskan malam dengan sibuk membuka kotak-kotak kayu milik Mas Langit. Ternyata dahulu dia berbeda sekali dengan sekarang. Aku semakin tahu tentang lelakiku ini."Ini bola hadiah dari Romo, karena masuk di tim junior sepak bola di kota ini. Dan, ini seragam pertamaku. Tuh, lihat ada tanda tangan pelatihku," tunjuknya dengan bangga.Pantas saja dia mengerti tentang tim kesayanganku. Satu kotak ini pun, kami bahas panjang lebar. Mulai dari tim kesayangan, pemain favorit, sampai tendangan yang masih kita ingat dahulu. Ada kotak yang berisi peralatan band dan aja juga kotak perlengkapan saat dia aktif di taekwondo.Yang membuat jantung berdebar saat membuka kotak kayu besar yang berisi barang-barang mantan. Mulai, topi, jaket, sepatu, tas, buku, pena, dan banyak lagi. Sempat kedua alisku bertaut menatapnya,