Fiolina kini merasa sangat lelah. Dia tidak pernah mengerjakan begitu banyak pekerjaan rumah tangga seperti hari ini sebelumnya.
Namun, ada sedikit kebanggan dalam diri karena dia sudah menyelesaikan tugas mencuci dan menyetrika. Dia bahkan sudah membersihkan sebagian besar lantai bawah.Sayangnya, masih ada dua lantai lagi yang harus dibersihkan. Fio menghela nafas lelah. Dia hanya ingin beristirahat sejenak.Tapi, baru saja dia ingin duduk, Fiolina mendapati dua orang pelayan sedang menggosipkan dirinya di belakangnya.
"Si pelayan baru yang tugasnya se-abrek itu, gayanya kayak artis banget. Cantik, tapi kok jadi pelayan, ya?" ujar salah satu pelayan.
"Eh? Kamu gak tahu? Dia itu kan istri Pak Julio. Anak kandung Pak Ferdinan yang baru datang itu.""Hah? Istri Pak Julio? Kok jadi pelayan gimana ceritanya?""Ck! Kamu emang suka ketinggalan gosip. Dia itu jual diri ke Pak Julio. Ya, kayaknya Pak Julio gak cinta. Keluarga sini juga gak ada yang suka sama dia makanya dia dijadikan pelayan.""Oh... gitu. Kasihan banget ya.""Halah ngapain kasihan? Salahnya sendiri jual diri, kan? Perempuan murahan emang cocoknya dijadiin babu hihihi."Telinga Fiolina menjadi merah mendengar komentar itu. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak terlibat dalam pembicaraan.Menanhan tangis, Fiolina menghampiri pelayan yang merendahkan dirinya. Segera, perempuan itu menegurnya. "Kalau kamu gak tahu apa-apa, sebaiknya jangan komentar terlalu jauh."Bukannya menyesal, pelayan itu justru menampakkan wajah menghina. "Bukannya emang bener? Kamu jual diri ke Pak Julio, kan? Kamu pikir dengan menikahi Pak Julio kamu bisa jadi bagian dari Keluarga Young? Cih! Apesnya ternyata cuma dijadiin babu.""Kamu sepertinya menikmati bisa menghina saya. Kita gak ada urusan, jadi sebaiknya kamu berhenti merendahkan saya. Atau, saya akan bertindak tegas sama kamu.""Hahaha! Emangnya kamu mau ngapain hah?" Pelayan itu tertawa sambil mendorong bahu kanan Fiolina."Jawab! Kamu mau ngapain emangnya?" Sekali lagi, dia mendorong bahu kiri Fiolina.
"Jangan diem aja!" teriaknya sambil mengangkat tangan hendak menampar Fiolina.Fiolina mampu membaca gerakan itu. Sontak, tangan kananya mampu menahan serangan dari si pelayan."Tolong jangan main kekerasan. Kamu pikir saya gak akan berani melawan kamu?" Fiolina tidak bersikap gentar sedikit pun.Di luar dugaan, bukannya berhenti, si pelayan menjadi lebih agresif.Dia menjambak rambut Fiolina. Sedangkan Fiolina, tak ada pilihan lain selain mendorong si pelayan dan juga menjambaknya sebagai serangan balik.
"Heh kalian berdua, stop!" Nirmala muncul di tengah keributan mereka, melerai keduanya."Kalian bukannya kerja malah ribut di sini?!""Maaf Bu Nirmala," ucap si pelayan.Nirmala beralih memandang Fiolina. Fiolina tak merasa menyesal. Maka dari itu, dia berkata, "Saya cuma membela diri. Dia yang menghina dan menyerang saya lebih dulu.""Saya cuma mengatakan yang sebenarnya. Kamu yang mengancam saya lebih du--""Cukup! Dina, kamu kembali bekerja! Fiolina, kamu ikut saya!"Fiolina bergegas mengikuti Nirmala dari belakang.Setelah memastikan bahwa mereka hanya berdua saja, Nirmala kemudian berkata, "Lebih baik kamu fokus bekerja dan jangan lakukan kesalahan apapun. Di sini banyak yang berbahaya buat kamu, jangan habiskan tenaga untuk mengurusi pelayan laon yang bergosip tentang kamu."
Fiolina terdiam. Dia merasa ucapan Nirmala cukup masuk akal."Ini bawalah!" Nirmala kemudian menyerahkan sebuah benda bulat kecil dengan tombol di tengahnya."Apa ini?" tanya Fiolina."Ini tombol panik. Tekan tombolnya kalau kamu butuh pertolongan darurat.""Apa saya akan memerlukan ini?""Simpan saja. Dan bawa kemana-mana. Siapa tahu kamu perlu. Sekarang sana kembali bekerja!"Fiolina sontak memandang Nirmala dengan penuh rasa terima kasih. "Baik. Terima kasih."
Fiolina kemudian hendak pergi, namun Nirmala menahannya.Wanita itu mendekatkan bibirnya ke telinga Fiolina dan berbisik. "Rossi memang jahil dan menyebalkan. Tapi, kau harus berhati-hati pada Glins."
Sontak, Fiolina membolakan matanya. Namun, belum sempat bertanya, Nirmala justru pergi meninggalkan Fiolina.*****
Sedikit lagi matahari akan tenggelam. Waktu berlalu cepat saat Fiolina bekerja. Hanya saja, di lantai tiga, masih ada beberapa ruangan yang belum Fiolina bersihkan, termasuk ruang perpustakaan pribadi keluarga Young.
"Fiolina, aku ada kerjaan buat kamu!" Rossi mendadak muncul mengagetkan Fiolina yang sedang fokus menata dan membersihkan rak buku.
"Ada apa?" "Bakar beberapa barang yang udah gak berguna di gudang," perintah Rossi dengan bossy."Gudang yang mana?""Ayo sini aku tunjukin!"Fiolina meragu. Dia belum selesai dengan pekerjaannya di perpustakaan. "Sekarang? Tapi, aku masih harus bersihin ruangan ini dulu.""Ih... ini gak terlalu penting. Barang-barang itu harus disingkirkan segera sebelum Oma marah-marah. Sini buruan!" Rossi menarik lengan Fiolina dengan tidak sabar.Bahkan, Fiolina sampai terseret, hingga sampai ke sebuah ruangan yang terlalu bagus untuk sebuah gudang menurut Fiolina."Nah, ini dia! Tuh, barang-barang yang di rak sebelah pojok situ ... dibakar semua ya!""Ini semua?" Fiolina merasa kurang yakin. "Barang-barang ini kelihatan masih bagus dan terawat, beneran ini mau dibakar? Maksudku, kalau udah gak dipakai, barang ini masih bisa dijual.""Cih! Mental orang miskin banget sih. Buat apa jualin barang bekas? Uangnya juga gak seberapa, lama lakunya lagi. Buang-buang tenaga! Udah bakar aja gak perlu banyak nanya. Sekarang ya, buruan!"Fiolina menghela nafas. "Ya udah oke."Mendengar itu, Rossi tersenyum bahagia melihat Fiolina jatuh dalam jebakannya.Saat Fiolina mengangkut barang-barang peninggalan Opa ke tempat pembakaran sampah, Rossi diam-diam mengirim pesan kepada Glins.
[ Berhasil, Kak! Kita akan lihat si Fiolina dimarahin Oma. Mampus dia! ]
Butuh tenaga ekstra untuk membawa barang-barang itu ke pembakaran sampah.Meski ragu, Fiolina memasukkan benda-benda itu ke tong pembakaran sampah. Asap yang mengepul mulai terlihat.Saat sudah separuh jalan, tiba-tiba terdengar lengkingan suara dari belakang punggungnya. "AAHH! FIOLINA! APA YANG KAMU LAKUKAN?" Suara Rossi yang panik membuat Fiolina bingung. Bukankah perempuan itu yang menyuruhnya?"Apa maksudmu? Aku membakar barang-barang ini sesuai deng--" "Ada apa Ross?" Oma datang dengan sedikit panik setelah mendengar teriakan Rossi.Selain Oma, ada Papa dan Mama Rossi yang juga tiba dengan sama paniknya--mengira anak mereka dalam bahaya. "Itu Oma! Fiolina bakar barang peninggalan Opa.""Apa?" Oma segera menengok ke tong pembakar sampah. Saat dia melihat barang-barang yang sangat dia kenal, dia berteriak dengan histeris. Fiolina dengan sekejap tahu apa yang terjadi. Rupanya, Rossi telah menjebaknya! Sekarang dia telah merusak barang yang berharga bagi Oma. Benda-benda yang
"Julio!" teriak Ferdinan saat memasuki ruang kerja Julio yang berada di lantai tiga kediaman keluarga Young. Julio menatap ayah kandungnya itu dengan malas. "Ada apa? Ini sudah malam.""Cepat bujuk Oma kamu untuk mengeluarkan Fiolina! Ini sudah hampir dua malam dia terkurung di ruang bawah tanah. Papa sudah berkali - kali bicara dengannya tapi Oma kamu masih bersikap keras." "Papa benar. Sikap Oma memang keras. Gak ada yang bisa bujuk dia. Termasuk, aku." "Berusahalah dulu!""Buat apa aku berusaha? Cuma akan buang-buang waktu.""Buat apa? Fiolina itu istri kamu!" "Lalu?" "Lalu? Istri kamu dikurung di ruang bawah tanah yang kotor, gelap dan dingin. Kamu gak ingin mengeluarkan dia?" Ferdinan sontak memijit kepala pening memikirkan nasib pernikahan putranya ini."Biarin dia dapat pelajarannya. Lagi pula, itu akibat ulahnya sendiri membakar barang peninggalan Opa." "Itu pasti ulah Rossi yang menjebaknya Julio." Ferdinan kembali berusaha membujuk anaknya. Sayang, Julio justru mengge
"Julio?!" tanya Fiolina dalam hatinya. Sekuat tenaga, dia berusaha mencari sosok suaminya lewat netra mata."Rey! Beraninya kamu berbuat sehina ini!" teriak seorang lelaki yang berhasil mendobrak masuk. Fiolina mengenali suara itu. Dia salah. Ternyata, bukan Julio yang datang, melainkan papa mertuanya. Ada sedikit kekecewaan di hati, namun Fiolina menahannya. Setidaknya ... dia bisa diselamatkan dari predator ini.Sementara itu, Rey tampak syok dengan kedatangan Ferdinan secara tiba-tiba. Tubuhnya seketika mematung. Namun, Ferdinan dengan sigap menariknya menjauh dari Fiolina. "O--Om?" gugup Rey. Plak!Ferdinan menampar keponakannya dengan marah. "Keterlaluan kamu!" Dengan gemetar, Fiolina menyaksikan itu semua. Segera, perempuan itu membuka sumpalan mulutnya. Ingin dia berteriak, tetapi tak kuasa.Terlebih, dia melihat Ferdinan dengan membabi buta memukuli keponakannya sendiri. "Tunggu Om! Berhenti! Om salah sangka!" ucap Rey semakin panik.BUKK! Sayangnya, Ferdinan tidak ped
"Iya. Lebih tepatnya, ini penyadap suara dan semua yang berhasil benda ini rekam, tersimpan dalam memori hape ini," terang Ferdinan sambil melambaikan ponselnya. Ferdinan lalu mengotak - atik ponselnya, "Nah ini dia folder penyimpanannya. Penyadapnya aktif mulai sore dua hari lalu. Sepertinya ini diaktifkan saat Nirmala menyerahkannya ke Fiolina. Ayo kita percepat sampai ke rekaman beberapa menit yang lalu." "Tunggu Pa," seru Fiolina. "Bisakah rekamannya diputar mulai dua hari mulai pukul 5 sore?" "Tentu," jawab Ferdinan. Fiolina tersenyum miring dan melirik ke arah Rossi. Rossi menyadari apa maksud Fiolina. Dengan panik, Rossi bertindak cepat dengan merebut ponsel Ferdinan. "Hei! Rossi!" teriak Ferdinan. Ponsel itupun berhasil terlepas dari tangan Ferdinan. Rossi segera berlari hendak membawa pergi ponsel itu pergi. Ferdinan mengejarnya. Sadar bahwa kemampuan larinya tak akan mengalahkan Ferdinan, tanp
"Kamu pasti menderita di dalam sini. Kamu ingin keluar?" Bunyi suara Rey terdengar dari dalam rekaman.Julio memicingkan matanya. "Iya, pasti. Kamu mau bantu aku?" Jawab FiolinaTerdengar suara Rey tertawa kecil. "Kenalin, namaku Rey. Aku kakak kandung Rossi. Maaf ya adikku agak jahil. Aku bisa bantu kamu buat keluar dari sini." "Beneran? Makasih banyak ya.""Tapi ada syaratnya." "Syarat? Apa?" "Puasin aku dulu sekarang. Setelah itu aku akan langsung bawa kamu keluar dari sini." Kali ini bukan hanya Oma yang mengepalkan tangannya, namun juga Ferdinan. Wajahnya memerah mendengar percakapan yang terjadi antara Rey dan Fiolina. Sedangkan Julio masih memperlihatkan wajah datar dan dinginnya. "Tolong, jangan apa - apain aku. Aku gak punya sugar daddy. Dan aku masih perawan, please!" Fiolina terdengar memohon."Masih perawan? Bullshit banget sih! Udahlah gak usah sok polos.
Ferdinan berhasil mengeluarkan Fiolina dari rumah keluarga Young. "Nah, ini rumah Papa. Ayo masuk," Ferdinan berjalan ceria ke dalam salah satu rumah pribadinya."Makasih ya Pa," ucap Fiolina lirih karena kehabisan tenaga. "Gak perlu terimakasih. Papa kan mertua kamu, sama aja seperti orang tua kamu. Tugas papa melindungi kamu. Maafkan Julio karena..." "Gak usah bahas Julio dulu Pa." Ferdinan mengangguk, "Oke. Ayo, Papa tunjukin kamar kamu." Ferdinan membawa Fiolina ke kamarnya lalu meninggalkannya untuk beristirahat. Badannya pegal, Fiolina membaringkan tubuhnya di ranjang.Dia menatap ponselnya yang sudah berhari - hari tidak ada dalam genggamannya. Ferdinan berhasil mencuri ponsel itu dari Julio. Ada banyak pesan masuk terutama dari keluarganya. Namun ada satu pesan yang Fiolina buka pertama kali, yaitu pesan dari julio yang dikirim satu menit yang lalu. [Jangan kamu pikir akan semudah ini lepas dari aku] Fiolina meng
Fiolina tidur dengan nyenyak. Setelah beberapa hari akhirnya dia merasa tidur dengan nyaman dan layak. Pikirannya tenang karena merasa aman bersama papa mertuanya. Di pagi hari, Fiolina terbangun dengan aroma telur dadar dan sosis goreng menyapa indera penciumannya. Terdorong oleh rasa lapar, Fiolina dengan sigap bangkit dari ranjangnya dan keluar menuju sumber aroma itu. "Sudah bangun Fiolina?" sapa Ferdinan dengan ceria. Ternyata Ferdinan memasak sendiri telur dan sosis itu. "Papa yang masak? Baunya enak banget. Aku kira pelayan berpengalaman yang masak hehe." "Ah, ini kan cuma telur dadar sama sosis goreng, gak perlu pelayan atau koki untuk bikin. Ayo sarapan, sudah siap." Ferdinan meletakkan sepiring sandwich berisi telur dan keju beserta sosis dan kentang goreng. "Maaf Fiolina bangun kesiangan. Malah papa yang repot masak," Fiolina merasa tidak enak kepada papa mertuanya. "Ah gak
"Tapi..." Fiolina hendak menolak permintaan Ferdinan yang terasa begitu berat itu. "Papa tahu kok," potong Ferdinan. "kamu mungkin khawatir. Tapi, Julio gak akan menyakiti kamu sebagaimana Oma, Rossi ataupun Rey, dia tidak jahat seperti mereka." "Julio itu hanya korban, dia kurang kasih sayang. Itulah mengapa dia dingin dan kaku. Dia gak pernah jatuh cinta ataupun berpacaran sebelumnya. Tapi tiba - tiba dia jatuh cinta sama kamu. Pasti gak mudah baginya menerima penolakan. Mungkin dalam hati kecilnya, dia merasa tidak layak dicintai siapapun, itulah mengapa dia menjadi sangat keras hati." "Kalau kamu bisa membuatnya merasa dicintai, papa yakin Julio bisa melunak. Apa kamu mau belajar mencintai Julio?"Fiolina tak bisa berkata - kata. Mendadak dia menjadi susah menelan makanan. Namun, jika benar Julio sampai menculik Rey karena marah akan perbuatan Rey yang mencoba melecehkannya, entah mengapa Fiolina merasa itu sangat manis.
2 hari kemudian. "Argh! Kenapa gaunnya begini? Ini... ini sobek!" teriak seorang penata rias yang akan turut mendandani Fiolina untuk upacara pemberkatan hari ini. Fiolina dengan panik menghampiri penata rias itu. Fiolina terperangah melihat gaun pernikahannya yang sudah sobek. "Astaga! Kenapa bisa begini?" keluh Fiolina. Terry berlari menghampiri setelah mendengar kehebohan di kamar Fiolina. "Ada apa?" tanyanya. "Ma, lihat ini gaunku sobek!" "Ya Tuhan! Siapa yang melakukan ini sih?" Nicole menampakkan ekspresi sebal. "Ma, apa yang harus aku lakukan?" rengek Fiolina.Nicole terlihat berpikir sejenak. Dia lalu membongkar lemari Fiolina dan mengeluarkan sebuah kotak. "Ini, pakai ini aja," ucap Terry sambil menyerahkan gaun pernikahan lawas Fiolina dari dalam kotak. Fiolina meragu."Udah gak papa. Ini masih bagus." "Iya aku tahu ini masih bagus. Tapi ini gaun pernikahanku dan Julio dulu. Bagaimana perasaan Ferdian kalau tahu?""Ferdian akan tahu keadaannya. Gaun kamu robek dan
TING TONG! Bel pintu rumah Nicole berbunyi. Ibu kandung dari Julio itu jarang menerima tamu. Dia tidaj punya banyak teman terlebih setelah dia menjalani beberapa tahun hidupnya untuk perawatan di rumah sakit jiwa. Keadaannya sekarang tentu jauh lebih baik. Dia sudah ikhlas dan hari - harinya jauh lebih bahagia. Sekarang, dia banyak menghabiskan waktunya untuk menulis puisi sebanyak yang dia mampu. Pagi ini dia juga sedang menulis puisi saat seseorang membunyikan bel pintu rumahnya. Dengan segera dia bangkit dari kursi santainya lalu membuka pintu. "Nicole, apa kabar?" tamu itu menyapa Nicole. "Terry? Ada apa?" Terry melah menangis dan berlutut di hadapan Nicole. "Maaf, maafkan aku... tolong maafkan aku." Nicole bingung dengan sikap Terry yang tiba - tiba. Terry memeluk kakinya seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ibunya. "Terry, cukup, kenapa kamu begini? Ayo masuk, jangan di luar rumah," Nicole membantu Terry berdiri dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Terry duduk
"Fiolina, Fio! Bangun Nak!" Terry membangunkan Fiolina yang saat tengah malam dia dapati tertidur di lantai kamarnya, tersungkur dengan mengenakan gaun pengantin. Fiolina mengerjapkan matanya. Dia terbangun dengan tubuh yang lemas. "Kamu kenapa tidur di sini? Dan kenapa kamu pakai gaun ini? Mama tadinya mau kasih tahu kamu kalau Jovan udah tidur sama Papa kamu di kamar kami. Tapi... kamu..." "Aku gak papa Ma. Aku ketiduran karena kecapekan," Fiolina hendak bangkit berdiri, namun Terry menahannya. "Fio, mata kamu sangat bengkak. Kamu habis menangis?" Fiolina menggeleng. "Jangan bohong. Mama ini ibu kamu. Mama tahu kalau kamu lagi sedih. Kamu habis menangis kan? Kenapa Nak?" Fiolina menggeleng lagi. Tapi kali ini dia tidak mampu menahan air matanya lagi. Sekuat apapun Fiolina, setegar apapun dia, dia tidak pernah bisa menutupi kesedihannya di depan ibunya. Karena baginya ibunya adalah tempat ternyaman untuknya berkeluh kesah. Terry tak banyak bertanya, dia seketika merangkul Fio
"Jovan.. hati - hati! Pelan - pelan yang naik tangganya," teriak Fiolina. Jovan hanya mengangkat satu tangannya membentuk tanda 'OK' lalu lanjut menaiki tangga perosotan yang mungkin sudah dua puluh kali dia naiki. Tidak jauh ada area bermain, ada Ferdian yang sedang duduk sambil memegang bola kaki. Dia beristirahat setelah setengah jam penuh bermain bola bersama Jovan.Julio mengawasi dari dalam mobilnya yang berjarak kurang lebih 50 meter dari mereka. Dia merasa hatinya sakit, Jovan adalah anak kandungnya dan sekarang Ferdian bermain dengan bebas bersama anak itu sedangkan dirinya harus sembunyi - sembunyi hanya untuk memandangnya bermain. Dia ingin anaknya. Dia juga ingin istrinya kembali. Tapi egonya terlalu besar untuk menjadi menantu Terry. Julio pulang dengan beban berat di dalam hatinya. Sepulang dari bermain di taman bersama Fiolina dan Ferdian, Jovan dikagetkan dengan rumah Keluarga Chow yang penuh dengan bingkisan. "Wow, apa ini Oma?" tanyanya. "Seseorang mengirim
Fiolina melihat sekeliling playground dan tidak menemukan Sarah dan Jovan. Dia tidak mendengar teriakan Jovan yang memanggilnya sebelum ini. Jadi, dia menelepon Sarah. Sarah menjawab panggilannya. "Halo, Fiolina, hm... ini Jovan lagi sama aku. Kali lagi...." Julio menarik ponsel Sarah dan mengambil alihnya. "Halo Fiolina. Jovan dan Sarah sedang bersama aku. Lihatlah ke arah jam 10." "Julio?" "Ya aku Julio."Fiolina panik. Dia menoleh ke arah jam 10 dan mendapati ada Jovan, Sarah, Julio dan Glins! Dia segera mendatangi mereka sambil memikirkan kebohongan apa yang akan dia ucapkan kepada Julio. "Kalian sedang apa di sini?" ucap Fiolina basa - basi. Tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdebar. "Jovan, apa dia mama kamu?" tanya Julio kepada Jovan. "Iya. Dia mama," jawab Jovan. Julio menatap tajam ke arah Fiolina. Fiolina berusaha menghindari tatapannya. "Jovan, berapa usia kamu?" "Hm... sebentar. Usiaku empat tahun," jawabnya sambil memperagakan angka lima dengan jari -
"Yang benar?" ucap Julio. Julio pun berlutut agar dia sejajar dengan anak laki - laki yang menabraknya barusan. "Benar juga, kita sangat mirip," ucap Julio. "Oke, aku akui Om memang ganteng. Tapi Om tua dan aku masih kecil," celatuk Jovan. Julio dan Glins tertawa renyah. Julio sengaja mengajak Glins ke mall hari ini untuk membelikannya barang - barang yang Glins mau sebagai ganti kalung yang dia berikan pada Javeline. Tidak disangka seorang anak kecil berlarian dan menabrak Julio dengan keras. "Itu sudah pasti," ucap Julio. "Maksudku, kamu mirip Om waktu Om masih kecil dulu." "Oh begitu rupanya," ujar Jovan. "Tapi, kalau dilihat - lihat pun, sekarang kalian tetap mirip," komentar Glins. "Kalian cocok sebagai ayah dan anak." "Benar juga. Ngomong - ngomong di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian?" tanya Julio. "Itu dia masalahnya. Aku tersesat. Mama sedang belanja dan menitipkan aku pada tante. Tante ke toilet dan aku pergi dari playground diam - diam karena mengejar kereta
Javeline menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang Julio barusan lakukan. Bertahun - tahun dia mencintai Julio. Selama ini cintanya selalu bertepuk sebelah tangan, tapi sekarang Julio menyiapkan hadiah mahal untuknya dan melamarnya di depan semua orang. "Iya, aku mau," jawab Javeline dengan raut penuh kebahagiaan Julio lalu memasangkan kalung itu ke lehernya. Saat Julio berada di balik punggung Javeline, dia menatap Glins yang memberinya tatajam tajam. Julio membentuk ekspresi wajah meminta maaf yang membuat Glins memutar matanya. Javeline melirik ke meja sebelah dan melihat wajah datar Fiolina di sana, dia merasa puas. "Permisi aku mau ke toilet dulu," Fiolina meninggalkan mejanya untuk menuju ke toilet. Dia berdiri di depan kaca besar toilet wanita, tidak tahu harus melakukan apa. Akhirnya dia hanya mencuci tangannya untuk membuang waktu. Dia sangat membenci Julio. Laki - laki itu menceraikannya tanpa memberinya kesempatan untuk memahami situasinya. Setelahnya, Julio ba
DEG! Jantung Fiolina berasa hampir copot. Dia bersyukur Jovan tidak ikut. "Stt! bukankah itu keluarga Young di meja sebelah?" bisik Terry. Sontak Bernard dan juga Ferdian melirik ke meja sebelah. Namun mereka tahu untuk tidak menatap terlalu lama. "Iya benar itu mereka. Berikan sapaan sewajarnya kalau mereka menoleh. Selebihnya kita nikmati saja makan malam kita," ucap Bernard lirih. Julio juga sedikit terkejut saat dia tanpa sengaja melirik ke meja sebelahnya dan melihat ada keluarga chow di sana. Pandangannya tertuju pada Fiolina yang menurutnya semakin cantik. Namun dia mendadak sebal saat melihat siapa yang duduk di samping Fiolina. Julio berusaha untuk mengabaikan. "Itu Fiolina dan keluarganya," bisik Glins kepada Julio. "Ya aku tahu," ucap Julio. Oma mendengar apa yang Glins bisikkan kepada Julio. Dia pun menoleh dan bertemu tatap dengan Bernard. Untuk sopan santun, Oma mengangukkan kepalanya dan tersenyum untuk menyapa mereka. Bernard pun menganggukkan kepalanya da
Hari Jumat yang dinantikan Jovan pun tiba. Mulai pagi, dia bangun dengan penuh semangat membayangkan keseruan di camp memasak yang akan dia ikuti. "Ingat semua pesan Mama ya, selalu bilang ke pengawas kalau merasa sakit, lapar atau apapun yang butuh bantuan. Jangan sungkan, anggap mereka pengganti Mama oke? Dan jangan menganggu anak lain. Sebaliknya, adukan ke pangawas kalau ada yang mengganggumu," Fiolina mengulang- ulang wejangannya kepada Jovan. "Iya Ma. Aku sudah hafal itu. Jangan khawatir." "Nah, ini dia kita sampai," Fiolina menghentikan mobilnya. "Aku turun sekarang." "Hati - hati sayang ya, kiss me," Fiolina menyodorkan pipinya ke wajah Jovan. "Muach," Jovan mengecupnya lalu turun dan melambaikan tangan. Fiolina meninggalkannya dengan perasaan campur aduk. Dia senang Jovan berani, tapi dia juga sedikit patah hati karena harus menahan rindu selama 7 hari. Dia belum pernah berpisah dengan Jovan selama itu. "Jovan gak nangis?" tanya Terry begitu Fiolina tiba lagi di apart