Fiolina merasa putus asa. Sekarang dia seperti berada di kandang para macan yang kelaparan. Semua macan ingin menyantap dirinya. Apa yang harus dia lakukan
"Tenang, Fio. Semua demi keluargamu," lirih Fiolina pedih lalu memikirkan jalan keluar sampai akhirnya tertidur kembali.
*****
BYURRR!!!
Seember penuh air menyiram kepala Fiolina yang sedang tertidur pulas.Gelagapan, Fiolina tersentak bangun akibat rasa dingin yang tiba - tiba menyerangnya."Kamu mau jadi tuan puteri siang begini belum bangun, hah?""Kamu siapa? Kenapa kamu siram saya?"Wanita itu tersenyum mengejek, "Saya Nirmala, saya adalah kepala pelayan di sini. Cepet bangun! Siap-siap sana! Jam 5 saya tunggu di ruang sebelah dapur. Jangan lupa pakai seragam yang rapi!"Dengan enggan, Fiolina bangun untuk mandi. Saat dia hendak mengenakan pakaiannya, dia ingat bahwa Nirmala menyuruhnya untuk mengenakan seragam. Dilihatnya beberapa seragam sudah bertumpuk di samping kopernya.Fiolina menghela nafas dengan pasrah. Dia meraih seragamnya dan mengenakannya.Butiran air matanya menetes. Dia tak menyangka akan mengalami nasib seperti ini.Waktu sudah menunjukkan pukul 04.55. Fiolina bergegas menuju ruangan sebelah dapur."Ayo cepat Fiolina!" perintah Nirmala saat melihat Fiolina baru muncul."Oke. Semua sudah berkumpul ya. Kita punya satu orang baru, namanya Fiolina. Fiolina akan bertugas mencuci baju, setrika dan membersihkan seluruh rumah. Sementara untuk tim dapur tetap, tim kebun dan kolam renang juga tetap. Untuk yang sebelumnya bertugas cuci, setrika, dan bersih-bersih rumah, setelah ini kalian temui saya karena ada tugas baru untuk kalian. Tugas lama kalian akan diberikan untuk Fiolina.""Maaf, saya mau tanya." Fiolina mengacungkan tangannya."Ya, Fiolina?""Jadi, siapa yang bersama saya bertugas untuk mencuci, setrika, dan bersihkan rumah?"Nirmala tersenyum. "Gak ada""Gak ada? Maksudnya saya sendirian kerjakan itu semua?""Iya betul," jawab Nirmala dengan enteng."Tapi itu gak masuk akal. Rumah ini terlalu besar!" protes Fiolina tak habis pikir."Itu tugas dari Nyonya Besar. Kamu gak ada pilihan lain selain mengerjakannya. Titik! Kalau gak ada pertanyaan lain, kalian semua bisa sarapan dulu. Setelah itu langsung kerja. Ingat, waktu sarapan cuma 15 menit."Fiolina lagi-lagi bersikap pasrah. Jika dipikir-pikir lagi, dia tidak akan sanggup untuk hidup seperti ini selama 100 hari ke depan.Julio dan Omanya telah memberikan tugas yang tidak masuk akal. Membersihkan rumah sebesar ini seorang diri pasti akan sangat melelahkan.Fiolina sudah bertekad. Jika ada kesempatan, dia akan kabur saja.Benar saja! Setelah telapak tangan Fiolina terasa panas dan kering karena mencuci pakaian dalam jumlah yang sangat banyak, dia masih harus bercucuran keringat menyapu dan mengepel rumah."Wow, gak nyangka seorang Fichow akan mengepel di rumah ini," ujar wanita tiba-tiba.Fiolina ingat, wanita ini adalah yang menahan cekikikannya saat pertama kali Oma menyebutnya barang murah tak berguna.
"Aku, Rossi. Dulu, aku penggemarmu. Tapi, begitu perilaku menjijikanmu terendus media, semua majalahku yang ada foto kamunya langsung aku bakar."Sepupu Julio yang masih kuliah itu duduk dengan santai di sofa sambil memakan biskuit. Sesekali, dengan sengaja, dia menjatuhkan remahan biskuitnya ke bagian lantai yang sudah di pel oleh Fiolina.
"Bisa gak kamu gak terus menerus mengotori lantainya pakai remahan biskuit? Aku capek kalau harus pel bagian yang sama berkali-kali," tegur Fiolina yang mulai lelah.Rossi tertawa sinis. "Tapi, aku suka lihat kamu repot! Hahaha!""Ngomong-ngomong, kenapa kamu gak minta uang ke sugar daddy kamu yang orang Singapura itu, sih? Kenapa justru minta uang ke Julio?" tanya Rossi mendadak.
"Karena sugar daddy itu tokoh fiktif. Semua skandal itu fitnah.""Ck! Bilang aja kalau kamu dicampakkan, ya kan?"Fiolina memutar matanya malas. Entahlah, sepertinya tidak penting menanggapi orang yang tidak mau mendengar penjelasannya sama sekali. "Terserah.""Jangan ganggu Fiolina terus Ross, biarin dia kerja!" kata seorang wanita yang baru saja turun dari tangga."Kak Glins? Kok ada di rumah jam segini?" Rossi sontak menggelayut manja di lengan Glins."Cuma ambil beberapa dokumen yang ketinggalan. Ini mau balik ke kantor lagi habis ini. Ayo, jangan di sini!"Glins langsung menarik Rossi menjauh dari Fiolina, seolah dirinya adalah hama yang menjijikan.
"Kak, kenapa sih aku gak boleh gangguin Fiolina? Kak Glins bukannya gak suka juga sama dia? Kan gara-gara dia, Julio--si kakak tirimu itu--jadi punya alasan buat kembali ke rumah ini. Dan, Om Ferdinan pasti semakin pilih kasih nanti."Glins menyunggingkan senyum liciknya. "Rossi sayang. Maksudku, jangan buang waktu kasih dia gangguan kecil kayak gitu. Aku punya ide lebih bagus.""Gimana gimana?" Rossi menjadi sangat bersemangat."Kamu inget gak waktu dulu kamu gak dikasih uang jajan selama sebulan alasannya apa?"Rossi mengerutkan keningnya, mencoba mengingat momen itu. Wajahnya berubah menjadi ceria seketika setelah dia berhasil ingat. "Aku inget. Karena aku ngerusak salah satu barang peninggalan Opa, kan? Oma marah besar waktu itu.""Yup. Itu dulu kamu bikin rusak satu barang aja. Gimana kalau semua barang di ruang peninggalan Opa rusak semua?""Wow, ide brilian kak! Si Fiolina itu pasti langsung diusir sama Oma." Rossi tampak riang sekali.Glins yang melihatnya--langsung mengangguk setuju. "Betul. Begitu juga Julio. Dia juga akan diusir dari sini."Fiolina kini merasa sangat lelah. Dia tidak pernah mengerjakan begitu banyak pekerjaan rumah tangga seperti hari ini sebelumnya. Namun, ada sedikit kebanggan dalam diri karena dia sudah menyelesaikan tugas mencuci dan menyetrika. Dia bahkan sudah membersihkan sebagian besar lantai bawah. Sayangnya, masih ada dua lantai lagi yang harus dibersihkan. Fio menghela nafas lelah. Dia hanya ingin beristirahat sejenak.Tapi, baru saja dia ingin duduk, Fiolina mendapati dua orang pelayan sedang menggosipkan dirinya di belakangnya."Si pelayan baru yang tugasnya se-abrek itu, gayanya kayak artis banget. Cantik, tapi kok jadi pelayan, ya?" ujar salah satu pelayan. "Eh? Kamu gak tahu? Dia itu kan istri Pak Julio. Anak kandung Pak Ferdinan yang baru datang itu." "Hah? Istri Pak Julio? Kok jadi pelayan gimana ceritanya?" "Ck! Kamu emang suka ketinggalan gosip. Dia itu jual diri ke Pak Julio. Ya, kayaknya Pak Julio gak cinta. Keluarga sini juga gak ada yang suka sama dia makanya dia dijadikan pe
Butuh tenaga ekstra untuk membawa barang-barang itu ke pembakaran sampah.Meski ragu, Fiolina memasukkan benda-benda itu ke tong pembakaran sampah. Asap yang mengepul mulai terlihat.Saat sudah separuh jalan, tiba-tiba terdengar lengkingan suara dari belakang punggungnya. "AAHH! FIOLINA! APA YANG KAMU LAKUKAN?" Suara Rossi yang panik membuat Fiolina bingung. Bukankah perempuan itu yang menyuruhnya?"Apa maksudmu? Aku membakar barang-barang ini sesuai deng--" "Ada apa Ross?" Oma datang dengan sedikit panik setelah mendengar teriakan Rossi.Selain Oma, ada Papa dan Mama Rossi yang juga tiba dengan sama paniknya--mengira anak mereka dalam bahaya. "Itu Oma! Fiolina bakar barang peninggalan Opa.""Apa?" Oma segera menengok ke tong pembakar sampah. Saat dia melihat barang-barang yang sangat dia kenal, dia berteriak dengan histeris. Fiolina dengan sekejap tahu apa yang terjadi. Rupanya, Rossi telah menjebaknya! Sekarang dia telah merusak barang yang berharga bagi Oma. Benda-benda yang
"Julio!" teriak Ferdinan saat memasuki ruang kerja Julio yang berada di lantai tiga kediaman keluarga Young. Julio menatap ayah kandungnya itu dengan malas. "Ada apa? Ini sudah malam.""Cepat bujuk Oma kamu untuk mengeluarkan Fiolina! Ini sudah hampir dua malam dia terkurung di ruang bawah tanah. Papa sudah berkali - kali bicara dengannya tapi Oma kamu masih bersikap keras." "Papa benar. Sikap Oma memang keras. Gak ada yang bisa bujuk dia. Termasuk, aku." "Berusahalah dulu!""Buat apa aku berusaha? Cuma akan buang-buang waktu.""Buat apa? Fiolina itu istri kamu!" "Lalu?" "Lalu? Istri kamu dikurung di ruang bawah tanah yang kotor, gelap dan dingin. Kamu gak ingin mengeluarkan dia?" Ferdinan sontak memijit kepala pening memikirkan nasib pernikahan putranya ini."Biarin dia dapat pelajarannya. Lagi pula, itu akibat ulahnya sendiri membakar barang peninggalan Opa." "Itu pasti ulah Rossi yang menjebaknya Julio." Ferdinan kembali berusaha membujuk anaknya. Sayang, Julio justru mengge
"Julio?!" tanya Fiolina dalam hatinya. Sekuat tenaga, dia berusaha mencari sosok suaminya lewat netra mata."Rey! Beraninya kamu berbuat sehina ini!" teriak seorang lelaki yang berhasil mendobrak masuk. Fiolina mengenali suara itu. Dia salah. Ternyata, bukan Julio yang datang, melainkan papa mertuanya. Ada sedikit kekecewaan di hati, namun Fiolina menahannya. Setidaknya ... dia bisa diselamatkan dari predator ini.Sementara itu, Rey tampak syok dengan kedatangan Ferdinan secara tiba-tiba. Tubuhnya seketika mematung. Namun, Ferdinan dengan sigap menariknya menjauh dari Fiolina. "O--Om?" gugup Rey. Plak!Ferdinan menampar keponakannya dengan marah. "Keterlaluan kamu!" Dengan gemetar, Fiolina menyaksikan itu semua. Segera, perempuan itu membuka sumpalan mulutnya. Ingin dia berteriak, tetapi tak kuasa.Terlebih, dia melihat Ferdinan dengan membabi buta memukuli keponakannya sendiri. "Tunggu Om! Berhenti! Om salah sangka!" ucap Rey semakin panik.BUKK! Sayangnya, Ferdinan tidak ped
"Iya. Lebih tepatnya, ini penyadap suara dan semua yang berhasil benda ini rekam, tersimpan dalam memori hape ini," terang Ferdinan sambil melambaikan ponselnya. Ferdinan lalu mengotak - atik ponselnya, "Nah ini dia folder penyimpanannya. Penyadapnya aktif mulai sore dua hari lalu. Sepertinya ini diaktifkan saat Nirmala menyerahkannya ke Fiolina. Ayo kita percepat sampai ke rekaman beberapa menit yang lalu." "Tunggu Pa," seru Fiolina. "Bisakah rekamannya diputar mulai dua hari mulai pukul 5 sore?" "Tentu," jawab Ferdinan. Fiolina tersenyum miring dan melirik ke arah Rossi. Rossi menyadari apa maksud Fiolina. Dengan panik, Rossi bertindak cepat dengan merebut ponsel Ferdinan. "Hei! Rossi!" teriak Ferdinan. Ponsel itupun berhasil terlepas dari tangan Ferdinan. Rossi segera berlari hendak membawa pergi ponsel itu pergi. Ferdinan mengejarnya. Sadar bahwa kemampuan larinya tak akan mengalahkan Ferdinan, tanp
"Kamu pasti menderita di dalam sini. Kamu ingin keluar?" Bunyi suara Rey terdengar dari dalam rekaman.Julio memicingkan matanya. "Iya, pasti. Kamu mau bantu aku?" Jawab FiolinaTerdengar suara Rey tertawa kecil. "Kenalin, namaku Rey. Aku kakak kandung Rossi. Maaf ya adikku agak jahil. Aku bisa bantu kamu buat keluar dari sini." "Beneran? Makasih banyak ya.""Tapi ada syaratnya." "Syarat? Apa?" "Puasin aku dulu sekarang. Setelah itu aku akan langsung bawa kamu keluar dari sini." Kali ini bukan hanya Oma yang mengepalkan tangannya, namun juga Ferdinan. Wajahnya memerah mendengar percakapan yang terjadi antara Rey dan Fiolina. Sedangkan Julio masih memperlihatkan wajah datar dan dinginnya. "Tolong, jangan apa - apain aku. Aku gak punya sugar daddy. Dan aku masih perawan, please!" Fiolina terdengar memohon."Masih perawan? Bullshit banget sih! Udahlah gak usah sok polos.
Ferdinan berhasil mengeluarkan Fiolina dari rumah keluarga Young. "Nah, ini rumah Papa. Ayo masuk," Ferdinan berjalan ceria ke dalam salah satu rumah pribadinya."Makasih ya Pa," ucap Fiolina lirih karena kehabisan tenaga. "Gak perlu terimakasih. Papa kan mertua kamu, sama aja seperti orang tua kamu. Tugas papa melindungi kamu. Maafkan Julio karena..." "Gak usah bahas Julio dulu Pa." Ferdinan mengangguk, "Oke. Ayo, Papa tunjukin kamar kamu." Ferdinan membawa Fiolina ke kamarnya lalu meninggalkannya untuk beristirahat. Badannya pegal, Fiolina membaringkan tubuhnya di ranjang.Dia menatap ponselnya yang sudah berhari - hari tidak ada dalam genggamannya. Ferdinan berhasil mencuri ponsel itu dari Julio. Ada banyak pesan masuk terutama dari keluarganya. Namun ada satu pesan yang Fiolina buka pertama kali, yaitu pesan dari julio yang dikirim satu menit yang lalu. [Jangan kamu pikir akan semudah ini lepas dari aku] Fiolina meng
Fiolina tidur dengan nyenyak. Setelah beberapa hari akhirnya dia merasa tidur dengan nyaman dan layak. Pikirannya tenang karena merasa aman bersama papa mertuanya. Di pagi hari, Fiolina terbangun dengan aroma telur dadar dan sosis goreng menyapa indera penciumannya. Terdorong oleh rasa lapar, Fiolina dengan sigap bangkit dari ranjangnya dan keluar menuju sumber aroma itu. "Sudah bangun Fiolina?" sapa Ferdinan dengan ceria. Ternyata Ferdinan memasak sendiri telur dan sosis itu. "Papa yang masak? Baunya enak banget. Aku kira pelayan berpengalaman yang masak hehe." "Ah, ini kan cuma telur dadar sama sosis goreng, gak perlu pelayan atau koki untuk bikin. Ayo sarapan, sudah siap." Ferdinan meletakkan sepiring sandwich berisi telur dan keju beserta sosis dan kentang goreng. "Maaf Fiolina bangun kesiangan. Malah papa yang repot masak," Fiolina merasa tidak enak kepada papa mertuanya. "Ah gak
2 hari kemudian. "Argh! Kenapa gaunnya begini? Ini... ini sobek!" teriak seorang penata rias yang akan turut mendandani Fiolina untuk upacara pemberkatan hari ini. Fiolina dengan panik menghampiri penata rias itu. Fiolina terperangah melihat gaun pernikahannya yang sudah sobek. "Astaga! Kenapa bisa begini?" keluh Fiolina. Terry berlari menghampiri setelah mendengar kehebohan di kamar Fiolina. "Ada apa?" tanyanya. "Ma, lihat ini gaunku sobek!" "Ya Tuhan! Siapa yang melakukan ini sih?" Nicole menampakkan ekspresi sebal. "Ma, apa yang harus aku lakukan?" rengek Fiolina.Nicole terlihat berpikir sejenak. Dia lalu membongkar lemari Fiolina dan mengeluarkan sebuah kotak. "Ini, pakai ini aja," ucap Terry sambil menyerahkan gaun pernikahan lawas Fiolina dari dalam kotak. Fiolina meragu."Udah gak papa. Ini masih bagus." "Iya aku tahu ini masih bagus. Tapi ini gaun pernikahanku dan Julio dulu. Bagaimana perasaan Ferdian kalau tahu?""Ferdian akan tahu keadaannya. Gaun kamu robek dan
TING TONG! Bel pintu rumah Nicole berbunyi. Ibu kandung dari Julio itu jarang menerima tamu. Dia tidaj punya banyak teman terlebih setelah dia menjalani beberapa tahun hidupnya untuk perawatan di rumah sakit jiwa. Keadaannya sekarang tentu jauh lebih baik. Dia sudah ikhlas dan hari - harinya jauh lebih bahagia. Sekarang, dia banyak menghabiskan waktunya untuk menulis puisi sebanyak yang dia mampu. Pagi ini dia juga sedang menulis puisi saat seseorang membunyikan bel pintu rumahnya. Dengan segera dia bangkit dari kursi santainya lalu membuka pintu. "Nicole, apa kabar?" tamu itu menyapa Nicole. "Terry? Ada apa?" Terry melah menangis dan berlutut di hadapan Nicole. "Maaf, maafkan aku... tolong maafkan aku." Nicole bingung dengan sikap Terry yang tiba - tiba. Terry memeluk kakinya seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ibunya. "Terry, cukup, kenapa kamu begini? Ayo masuk, jangan di luar rumah," Nicole membantu Terry berdiri dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Terry duduk
"Fiolina, Fio! Bangun Nak!" Terry membangunkan Fiolina yang saat tengah malam dia dapati tertidur di lantai kamarnya, tersungkur dengan mengenakan gaun pengantin. Fiolina mengerjapkan matanya. Dia terbangun dengan tubuh yang lemas. "Kamu kenapa tidur di sini? Dan kenapa kamu pakai gaun ini? Mama tadinya mau kasih tahu kamu kalau Jovan udah tidur sama Papa kamu di kamar kami. Tapi... kamu..." "Aku gak papa Ma. Aku ketiduran karena kecapekan," Fiolina hendak bangkit berdiri, namun Terry menahannya. "Fio, mata kamu sangat bengkak. Kamu habis menangis?" Fiolina menggeleng. "Jangan bohong. Mama ini ibu kamu. Mama tahu kalau kamu lagi sedih. Kamu habis menangis kan? Kenapa Nak?" Fiolina menggeleng lagi. Tapi kali ini dia tidak mampu menahan air matanya lagi. Sekuat apapun Fiolina, setegar apapun dia, dia tidak pernah bisa menutupi kesedihannya di depan ibunya. Karena baginya ibunya adalah tempat ternyaman untuknya berkeluh kesah. Terry tak banyak bertanya, dia seketika merangkul Fio
"Jovan.. hati - hati! Pelan - pelan yang naik tangganya," teriak Fiolina. Jovan hanya mengangkat satu tangannya membentuk tanda 'OK' lalu lanjut menaiki tangga perosotan yang mungkin sudah dua puluh kali dia naiki. Tidak jauh ada area bermain, ada Ferdian yang sedang duduk sambil memegang bola kaki. Dia beristirahat setelah setengah jam penuh bermain bola bersama Jovan.Julio mengawasi dari dalam mobilnya yang berjarak kurang lebih 50 meter dari mereka. Dia merasa hatinya sakit, Jovan adalah anak kandungnya dan sekarang Ferdian bermain dengan bebas bersama anak itu sedangkan dirinya harus sembunyi - sembunyi hanya untuk memandangnya bermain. Dia ingin anaknya. Dia juga ingin istrinya kembali. Tapi egonya terlalu besar untuk menjadi menantu Terry. Julio pulang dengan beban berat di dalam hatinya. Sepulang dari bermain di taman bersama Fiolina dan Ferdian, Jovan dikagetkan dengan rumah Keluarga Chow yang penuh dengan bingkisan. "Wow, apa ini Oma?" tanyanya. "Seseorang mengirim
Fiolina melihat sekeliling playground dan tidak menemukan Sarah dan Jovan. Dia tidak mendengar teriakan Jovan yang memanggilnya sebelum ini. Jadi, dia menelepon Sarah. Sarah menjawab panggilannya. "Halo, Fiolina, hm... ini Jovan lagi sama aku. Kali lagi...." Julio menarik ponsel Sarah dan mengambil alihnya. "Halo Fiolina. Jovan dan Sarah sedang bersama aku. Lihatlah ke arah jam 10." "Julio?" "Ya aku Julio."Fiolina panik. Dia menoleh ke arah jam 10 dan mendapati ada Jovan, Sarah, Julio dan Glins! Dia segera mendatangi mereka sambil memikirkan kebohongan apa yang akan dia ucapkan kepada Julio. "Kalian sedang apa di sini?" ucap Fiolina basa - basi. Tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdebar. "Jovan, apa dia mama kamu?" tanya Julio kepada Jovan. "Iya. Dia mama," jawab Jovan. Julio menatap tajam ke arah Fiolina. Fiolina berusaha menghindari tatapannya. "Jovan, berapa usia kamu?" "Hm... sebentar. Usiaku empat tahun," jawabnya sambil memperagakan angka lima dengan jari -
"Yang benar?" ucap Julio. Julio pun berlutut agar dia sejajar dengan anak laki - laki yang menabraknya barusan. "Benar juga, kita sangat mirip," ucap Julio. "Oke, aku akui Om memang ganteng. Tapi Om tua dan aku masih kecil," celatuk Jovan. Julio dan Glins tertawa renyah. Julio sengaja mengajak Glins ke mall hari ini untuk membelikannya barang - barang yang Glins mau sebagai ganti kalung yang dia berikan pada Javeline. Tidak disangka seorang anak kecil berlarian dan menabrak Julio dengan keras. "Itu sudah pasti," ucap Julio. "Maksudku, kamu mirip Om waktu Om masih kecil dulu." "Oh begitu rupanya," ujar Jovan. "Tapi, kalau dilihat - lihat pun, sekarang kalian tetap mirip," komentar Glins. "Kalian cocok sebagai ayah dan anak." "Benar juga. Ngomong - ngomong di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian?" tanya Julio. "Itu dia masalahnya. Aku tersesat. Mama sedang belanja dan menitipkan aku pada tante. Tante ke toilet dan aku pergi dari playground diam - diam karena mengejar kereta
Javeline menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang Julio barusan lakukan. Bertahun - tahun dia mencintai Julio. Selama ini cintanya selalu bertepuk sebelah tangan, tapi sekarang Julio menyiapkan hadiah mahal untuknya dan melamarnya di depan semua orang. "Iya, aku mau," jawab Javeline dengan raut penuh kebahagiaan Julio lalu memasangkan kalung itu ke lehernya. Saat Julio berada di balik punggung Javeline, dia menatap Glins yang memberinya tatajam tajam. Julio membentuk ekspresi wajah meminta maaf yang membuat Glins memutar matanya. Javeline melirik ke meja sebelah dan melihat wajah datar Fiolina di sana, dia merasa puas. "Permisi aku mau ke toilet dulu," Fiolina meninggalkan mejanya untuk menuju ke toilet. Dia berdiri di depan kaca besar toilet wanita, tidak tahu harus melakukan apa. Akhirnya dia hanya mencuci tangannya untuk membuang waktu. Dia sangat membenci Julio. Laki - laki itu menceraikannya tanpa memberinya kesempatan untuk memahami situasinya. Setelahnya, Julio ba
DEG! Jantung Fiolina berasa hampir copot. Dia bersyukur Jovan tidak ikut. "Stt! bukankah itu keluarga Young di meja sebelah?" bisik Terry. Sontak Bernard dan juga Ferdian melirik ke meja sebelah. Namun mereka tahu untuk tidak menatap terlalu lama. "Iya benar itu mereka. Berikan sapaan sewajarnya kalau mereka menoleh. Selebihnya kita nikmati saja makan malam kita," ucap Bernard lirih. Julio juga sedikit terkejut saat dia tanpa sengaja melirik ke meja sebelahnya dan melihat ada keluarga chow di sana. Pandangannya tertuju pada Fiolina yang menurutnya semakin cantik. Namun dia mendadak sebal saat melihat siapa yang duduk di samping Fiolina. Julio berusaha untuk mengabaikan. "Itu Fiolina dan keluarganya," bisik Glins kepada Julio. "Ya aku tahu," ucap Julio. Oma mendengar apa yang Glins bisikkan kepada Julio. Dia pun menoleh dan bertemu tatap dengan Bernard. Untuk sopan santun, Oma mengangukkan kepalanya dan tersenyum untuk menyapa mereka. Bernard pun menganggukkan kepalanya da
Hari Jumat yang dinantikan Jovan pun tiba. Mulai pagi, dia bangun dengan penuh semangat membayangkan keseruan di camp memasak yang akan dia ikuti. "Ingat semua pesan Mama ya, selalu bilang ke pengawas kalau merasa sakit, lapar atau apapun yang butuh bantuan. Jangan sungkan, anggap mereka pengganti Mama oke? Dan jangan menganggu anak lain. Sebaliknya, adukan ke pangawas kalau ada yang mengganggumu," Fiolina mengulang- ulang wejangannya kepada Jovan. "Iya Ma. Aku sudah hafal itu. Jangan khawatir." "Nah, ini dia kita sampai," Fiolina menghentikan mobilnya. "Aku turun sekarang." "Hati - hati sayang ya, kiss me," Fiolina menyodorkan pipinya ke wajah Jovan. "Muach," Jovan mengecupnya lalu turun dan melambaikan tangan. Fiolina meninggalkannya dengan perasaan campur aduk. Dia senang Jovan berani, tapi dia juga sedikit patah hati karena harus menahan rindu selama 7 hari. Dia belum pernah berpisah dengan Jovan selama itu. "Jovan gak nangis?" tanya Terry begitu Fiolina tiba lagi di apart