"Kamu pasti menderita di dalam sini. Kamu ingin keluar?" Bunyi suara Rey terdengar dari dalam rekaman.
Julio memicingkan matanya."Iya, pasti. Kamu mau bantu aku?" Jawab FiolinaTerdengar suara Rey tertawa kecil."Kenalin, namaku Rey. Aku kakak kandung Rossi. Maaf ya adikku agak jahil. Aku bisa bantu kamu buat keluar dari sini.""Beneran? Makasih banyak ya.""Tapi ada syaratnya.""Syarat? Apa?""Puasin aku dulu sekarang. Setelah itu aku akan langsung bawa kamu keluar dari sini."Kali ini bukan hanya Oma yang mengepalkan tangannya, namun juga Ferdinan. Wajahnya memerah mendengar percakapan yang terjadi antara Rey dan Fiolina.Sedangkan Julio masih memperlihatkan wajah datar dan dinginnya."Tolong, jangan apa - apain aku. Aku gak punya sugar daddy. Dan aku masih perawan, please!" Fiolina terdengar memohon."Masih perawan? Bullshit banget sih! Udahlah gak usah sok polos.Ferdinan berhasil mengeluarkan Fiolina dari rumah keluarga Young. "Nah, ini rumah Papa. Ayo masuk," Ferdinan berjalan ceria ke dalam salah satu rumah pribadinya."Makasih ya Pa," ucap Fiolina lirih karena kehabisan tenaga. "Gak perlu terimakasih. Papa kan mertua kamu, sama aja seperti orang tua kamu. Tugas papa melindungi kamu. Maafkan Julio karena..." "Gak usah bahas Julio dulu Pa." Ferdinan mengangguk, "Oke. Ayo, Papa tunjukin kamar kamu." Ferdinan membawa Fiolina ke kamarnya lalu meninggalkannya untuk beristirahat. Badannya pegal, Fiolina membaringkan tubuhnya di ranjang.Dia menatap ponselnya yang sudah berhari - hari tidak ada dalam genggamannya. Ferdinan berhasil mencuri ponsel itu dari Julio. Ada banyak pesan masuk terutama dari keluarganya. Namun ada satu pesan yang Fiolina buka pertama kali, yaitu pesan dari julio yang dikirim satu menit yang lalu. [Jangan kamu pikir akan semudah ini lepas dari aku] Fiolina meng
Fiolina tidur dengan nyenyak. Setelah beberapa hari akhirnya dia merasa tidur dengan nyaman dan layak. Pikirannya tenang karena merasa aman bersama papa mertuanya. Di pagi hari, Fiolina terbangun dengan aroma telur dadar dan sosis goreng menyapa indera penciumannya. Terdorong oleh rasa lapar, Fiolina dengan sigap bangkit dari ranjangnya dan keluar menuju sumber aroma itu. "Sudah bangun Fiolina?" sapa Ferdinan dengan ceria. Ternyata Ferdinan memasak sendiri telur dan sosis itu. "Papa yang masak? Baunya enak banget. Aku kira pelayan berpengalaman yang masak hehe." "Ah, ini kan cuma telur dadar sama sosis goreng, gak perlu pelayan atau koki untuk bikin. Ayo sarapan, sudah siap." Ferdinan meletakkan sepiring sandwich berisi telur dan keju beserta sosis dan kentang goreng. "Maaf Fiolina bangun kesiangan. Malah papa yang repot masak," Fiolina merasa tidak enak kepada papa mertuanya. "Ah gak
"Tapi..." Fiolina hendak menolak permintaan Ferdinan yang terasa begitu berat itu. "Papa tahu kok," potong Ferdinan. "kamu mungkin khawatir. Tapi, Julio gak akan menyakiti kamu sebagaimana Oma, Rossi ataupun Rey, dia tidak jahat seperti mereka." "Julio itu hanya korban, dia kurang kasih sayang. Itulah mengapa dia dingin dan kaku. Dia gak pernah jatuh cinta ataupun berpacaran sebelumnya. Tapi tiba - tiba dia jatuh cinta sama kamu. Pasti gak mudah baginya menerima penolakan. Mungkin dalam hati kecilnya, dia merasa tidak layak dicintai siapapun, itulah mengapa dia menjadi sangat keras hati." "Kalau kamu bisa membuatnya merasa dicintai, papa yakin Julio bisa melunak. Apa kamu mau belajar mencintai Julio?"Fiolina tak bisa berkata - kata. Mendadak dia menjadi susah menelan makanan. Namun, jika benar Julio sampai menculik Rey karena marah akan perbuatan Rey yang mencoba melecehkannya, entah mengapa Fiolina merasa itu sangat manis.
"Kamu ngapain di sini?" Fiolina menatapnya dengan sebal. Hari ini dia ingin menghibur diri. Jadi, Javeline termasuk dalam daftar orang terakhir yang ingin dia temui. "Cafe ini milikku," jawab Javeline dengan bangga. "Oh, pantes pelayanannya super buruk," sela Sarah. "Kami cuma menjaga cafe kami dari kotoran. Aku gak mau para pelanggan risih karena ada artis prostitusi di sini."BUKK!! Sarah mendorong Javeline dengan keras. "Jangan sembarangan kalau ngomong ya." Fiolina yang sudah terbiasa dengan tingkah Javeline merasa malas untuk menanggapi. "Udahlah Sar, biarin aja. Ayo kita pergi," Fiolina menarik lengan Sarah untuk pergi. "Jadi istri dari salah satu keluarga Young kelihatannya gak cukup berdampak baik buat kamu," ujar Javeline tiba - tiba, membuat langkah Fiolina terhenti. "Kata siapa? Fiolina hidup mewah dan dicintai keluarga barunya. Dia dapat f
"Apa?" Julio seperti tidak percaya pada apa yang baru saja dia dengar. Mungkinkah...?"Mak... maksudku, itu sama aja menciderai statusku sebagai istrimu. Semua orang tahu kalau istrimu adalah aku. Kalau orang lihat kamu bersama perempuan lain saat menghadiri acara penting, mereka akan memandangmu sebagai pengkhianat sekaligus meremehkanku. Jadi.. aku cemburu karena dia seolah merebut tahtaku," Fiolina gelagapan saat menjelaskan. Julio mendengus. Hah! Dia sudah menduga. Bodohnya dia berpikir bahwa Fiolina mungkin telah jatuh cinta padanya."Menganggapku pengkhianat dan merendahkanmu? Mau tahu satu hal? Aku - gak - peduli," Julio menjawab dengan ketus. "Tapi aku sangat ingin ke pesta itu," rengek Fiolina. "Aku juga gak peduli." "Gimana kalau kita bikin kesepakatan?" "Kesepakatan apa lagi?" "Aku akan kembali ke kamu dan gak tinggal sama papa Ferdinan lagi. Sebagai gantinya, kamu harus mem
Billy Gunardi adalah tersangka utama pada salah satu kasus percobaan pembunuhan yang pernah Julio tangani. Saat itu, Fiolina pertama kali menghubungi Julio untuk menjadi saksi. Itulah awal pertemuan Julio dan Fiolina. Kesaksian dari Fiolina sangat memberatkan Billy. Sampai akhirnya, Billy divonis 20 tahun penjara. Namun, beberapa bulan yang lalu, Julio mendapat kabar bahwa Billy mati bunuh diri di Penjara. "Henry, apa ada kemungkinan bahwa kematian Billy adalah palsu?" "Itulah yang sedang orang kita selidiki Pak." Julio mengangguk setuju. "Jika benar kematiannya palsu dan dia masih hidup. Mungkin kecelakaan itu disengaja. Dia pasti ingin balas dendam kepada Fiolina yang telah bersaksi memberatkannya," pungkasnya. *****"Makasih ya suster," Fiolina baru saja kembali ke kamarnya setelah berkunjung ke kamar Sarah. Dia berterima kasih kepada perawat yang membantu mendorong kursi rodanya dan membaringkannya kembali ke tempat tidur. Ja
Api mulai menjalar ke seluruh ruangan. Beberapa barang rongsok yang terbuat dari plastik mulai mengeluarkan asap berbau menusuk saat terbakar. Fiolina mulai merasakan panas mengelilingnya. Beberapa kusen jendela dan pintu yang rapuh terjatuh ke lantai setelah terbakar sebagian. Fiolina masih tidak bisa bergerak. Air matanya mengalir semakin deras. Dia teringat Papanya, Mamanya, Adiknya, sahabatnya Sarah dan Rangga. Bahkan, dia teringat Julio dan Ferdinan. Saat Fiolina sudah pasrah menunggu api yang akan membakarnya sampai mati, tiba - tiba sekelompok pria mendobrak masuk.BRAKK!!! "Di sini! Nyonya Fiolina ada di sini Pak!" teriak salah satu dari mereka. Pertolongan datang? Fiolina nyaris tak percaya dengan keberuntungannya kali ini. Dia tidak membawa panic buttonnya, mungkinkah papa mertuanya bisa menemukannya di sini? Fiolina bisa melihat beberapa orang laki - laki membawa apar dan me
Julio bangun di pagi hari dengan aroma sedap makanan menguar memasuki kamarnya. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi tapi perutnya sudah keroncongan karena aroma masakan itu. Biasanya, Julio akan makan pukul 8. Tapi kali ini dia langsung menuju dapur untuk melihat makanan apa yang begitu menggugah seleranya. "Kamu masak itu semua?" Julio memandang sederet menu yang sudah terhidang di meja makan. "Eh, udah bangun? Iya ini aku masak semuanya," jawab Fiolina dengan riang. "Kamu bangun jam berapa?" "Jam 5." "Semua ini dimasak hanya dalam satu jam? Apa kamu lagi membual? Atau kamu sebenarnya beli ini di restoran tapi mengakuinya sebagai masakanmu sendiri." Julio tidak bisa disalahkan karena menuduh Fiolina. Kebanyakan gadis kaya yang dia kenal tidak bisa memasak. "Hahaha!" Fiolina tertawa. "Ini cuma sarapan sederhana. 1 jam udah cukup. Lihat! Ini cuma sosis bakar dan kentang goreng. Roti gandum isi
2 hari kemudian. "Argh! Kenapa gaunnya begini? Ini... ini sobek!" teriak seorang penata rias yang akan turut mendandani Fiolina untuk upacara pemberkatan hari ini. Fiolina dengan panik menghampiri penata rias itu. Fiolina terperangah melihat gaun pernikahannya yang sudah sobek. "Astaga! Kenapa bisa begini?" keluh Fiolina. Terry berlari menghampiri setelah mendengar kehebohan di kamar Fiolina. "Ada apa?" tanyanya. "Ma, lihat ini gaunku sobek!" "Ya Tuhan! Siapa yang melakukan ini sih?" Nicole menampakkan ekspresi sebal. "Ma, apa yang harus aku lakukan?" rengek Fiolina.Nicole terlihat berpikir sejenak. Dia lalu membongkar lemari Fiolina dan mengeluarkan sebuah kotak. "Ini, pakai ini aja," ucap Terry sambil menyerahkan gaun pernikahan lawas Fiolina dari dalam kotak. Fiolina meragu."Udah gak papa. Ini masih bagus." "Iya aku tahu ini masih bagus. Tapi ini gaun pernikahanku dan Julio dulu. Bagaimana perasaan Ferdian kalau tahu?""Ferdian akan tahu keadaannya. Gaun kamu robek dan
TING TONG! Bel pintu rumah Nicole berbunyi. Ibu kandung dari Julio itu jarang menerima tamu. Dia tidaj punya banyak teman terlebih setelah dia menjalani beberapa tahun hidupnya untuk perawatan di rumah sakit jiwa. Keadaannya sekarang tentu jauh lebih baik. Dia sudah ikhlas dan hari - harinya jauh lebih bahagia. Sekarang, dia banyak menghabiskan waktunya untuk menulis puisi sebanyak yang dia mampu. Pagi ini dia juga sedang menulis puisi saat seseorang membunyikan bel pintu rumahnya. Dengan segera dia bangkit dari kursi santainya lalu membuka pintu. "Nicole, apa kabar?" tamu itu menyapa Nicole. "Terry? Ada apa?" Terry melah menangis dan berlutut di hadapan Nicole. "Maaf, maafkan aku... tolong maafkan aku." Nicole bingung dengan sikap Terry yang tiba - tiba. Terry memeluk kakinya seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ibunya. "Terry, cukup, kenapa kamu begini? Ayo masuk, jangan di luar rumah," Nicole membantu Terry berdiri dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Terry duduk
"Fiolina, Fio! Bangun Nak!" Terry membangunkan Fiolina yang saat tengah malam dia dapati tertidur di lantai kamarnya, tersungkur dengan mengenakan gaun pengantin. Fiolina mengerjapkan matanya. Dia terbangun dengan tubuh yang lemas. "Kamu kenapa tidur di sini? Dan kenapa kamu pakai gaun ini? Mama tadinya mau kasih tahu kamu kalau Jovan udah tidur sama Papa kamu di kamar kami. Tapi... kamu..." "Aku gak papa Ma. Aku ketiduran karena kecapekan," Fiolina hendak bangkit berdiri, namun Terry menahannya. "Fio, mata kamu sangat bengkak. Kamu habis menangis?" Fiolina menggeleng. "Jangan bohong. Mama ini ibu kamu. Mama tahu kalau kamu lagi sedih. Kamu habis menangis kan? Kenapa Nak?" Fiolina menggeleng lagi. Tapi kali ini dia tidak mampu menahan air matanya lagi. Sekuat apapun Fiolina, setegar apapun dia, dia tidak pernah bisa menutupi kesedihannya di depan ibunya. Karena baginya ibunya adalah tempat ternyaman untuknya berkeluh kesah. Terry tak banyak bertanya, dia seketika merangkul Fio
"Jovan.. hati - hati! Pelan - pelan yang naik tangganya," teriak Fiolina. Jovan hanya mengangkat satu tangannya membentuk tanda 'OK' lalu lanjut menaiki tangga perosotan yang mungkin sudah dua puluh kali dia naiki. Tidak jauh ada area bermain, ada Ferdian yang sedang duduk sambil memegang bola kaki. Dia beristirahat setelah setengah jam penuh bermain bola bersama Jovan.Julio mengawasi dari dalam mobilnya yang berjarak kurang lebih 50 meter dari mereka. Dia merasa hatinya sakit, Jovan adalah anak kandungnya dan sekarang Ferdian bermain dengan bebas bersama anak itu sedangkan dirinya harus sembunyi - sembunyi hanya untuk memandangnya bermain. Dia ingin anaknya. Dia juga ingin istrinya kembali. Tapi egonya terlalu besar untuk menjadi menantu Terry. Julio pulang dengan beban berat di dalam hatinya. Sepulang dari bermain di taman bersama Fiolina dan Ferdian, Jovan dikagetkan dengan rumah Keluarga Chow yang penuh dengan bingkisan. "Wow, apa ini Oma?" tanyanya. "Seseorang mengirim
Fiolina melihat sekeliling playground dan tidak menemukan Sarah dan Jovan. Dia tidak mendengar teriakan Jovan yang memanggilnya sebelum ini. Jadi, dia menelepon Sarah. Sarah menjawab panggilannya. "Halo, Fiolina, hm... ini Jovan lagi sama aku. Kali lagi...." Julio menarik ponsel Sarah dan mengambil alihnya. "Halo Fiolina. Jovan dan Sarah sedang bersama aku. Lihatlah ke arah jam 10." "Julio?" "Ya aku Julio."Fiolina panik. Dia menoleh ke arah jam 10 dan mendapati ada Jovan, Sarah, Julio dan Glins! Dia segera mendatangi mereka sambil memikirkan kebohongan apa yang akan dia ucapkan kepada Julio. "Kalian sedang apa di sini?" ucap Fiolina basa - basi. Tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdebar. "Jovan, apa dia mama kamu?" tanya Julio kepada Jovan. "Iya. Dia mama," jawab Jovan. Julio menatap tajam ke arah Fiolina. Fiolina berusaha menghindari tatapannya. "Jovan, berapa usia kamu?" "Hm... sebentar. Usiaku empat tahun," jawabnya sambil memperagakan angka lima dengan jari -
"Yang benar?" ucap Julio. Julio pun berlutut agar dia sejajar dengan anak laki - laki yang menabraknya barusan. "Benar juga, kita sangat mirip," ucap Julio. "Oke, aku akui Om memang ganteng. Tapi Om tua dan aku masih kecil," celatuk Jovan. Julio dan Glins tertawa renyah. Julio sengaja mengajak Glins ke mall hari ini untuk membelikannya barang - barang yang Glins mau sebagai ganti kalung yang dia berikan pada Javeline. Tidak disangka seorang anak kecil berlarian dan menabrak Julio dengan keras. "Itu sudah pasti," ucap Julio. "Maksudku, kamu mirip Om waktu Om masih kecil dulu." "Oh begitu rupanya," ujar Jovan. "Tapi, kalau dilihat - lihat pun, sekarang kalian tetap mirip," komentar Glins. "Kalian cocok sebagai ayah dan anak." "Benar juga. Ngomong - ngomong di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian?" tanya Julio. "Itu dia masalahnya. Aku tersesat. Mama sedang belanja dan menitipkan aku pada tante. Tante ke toilet dan aku pergi dari playground diam - diam karena mengejar kereta
Javeline menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang Julio barusan lakukan. Bertahun - tahun dia mencintai Julio. Selama ini cintanya selalu bertepuk sebelah tangan, tapi sekarang Julio menyiapkan hadiah mahal untuknya dan melamarnya di depan semua orang. "Iya, aku mau," jawab Javeline dengan raut penuh kebahagiaan Julio lalu memasangkan kalung itu ke lehernya. Saat Julio berada di balik punggung Javeline, dia menatap Glins yang memberinya tatajam tajam. Julio membentuk ekspresi wajah meminta maaf yang membuat Glins memutar matanya. Javeline melirik ke meja sebelah dan melihat wajah datar Fiolina di sana, dia merasa puas. "Permisi aku mau ke toilet dulu," Fiolina meninggalkan mejanya untuk menuju ke toilet. Dia berdiri di depan kaca besar toilet wanita, tidak tahu harus melakukan apa. Akhirnya dia hanya mencuci tangannya untuk membuang waktu. Dia sangat membenci Julio. Laki - laki itu menceraikannya tanpa memberinya kesempatan untuk memahami situasinya. Setelahnya, Julio ba
DEG! Jantung Fiolina berasa hampir copot. Dia bersyukur Jovan tidak ikut. "Stt! bukankah itu keluarga Young di meja sebelah?" bisik Terry. Sontak Bernard dan juga Ferdian melirik ke meja sebelah. Namun mereka tahu untuk tidak menatap terlalu lama. "Iya benar itu mereka. Berikan sapaan sewajarnya kalau mereka menoleh. Selebihnya kita nikmati saja makan malam kita," ucap Bernard lirih. Julio juga sedikit terkejut saat dia tanpa sengaja melirik ke meja sebelahnya dan melihat ada keluarga chow di sana. Pandangannya tertuju pada Fiolina yang menurutnya semakin cantik. Namun dia mendadak sebal saat melihat siapa yang duduk di samping Fiolina. Julio berusaha untuk mengabaikan. "Itu Fiolina dan keluarganya," bisik Glins kepada Julio. "Ya aku tahu," ucap Julio. Oma mendengar apa yang Glins bisikkan kepada Julio. Dia pun menoleh dan bertemu tatap dengan Bernard. Untuk sopan santun, Oma mengangukkan kepalanya dan tersenyum untuk menyapa mereka. Bernard pun menganggukkan kepalanya da
Hari Jumat yang dinantikan Jovan pun tiba. Mulai pagi, dia bangun dengan penuh semangat membayangkan keseruan di camp memasak yang akan dia ikuti. "Ingat semua pesan Mama ya, selalu bilang ke pengawas kalau merasa sakit, lapar atau apapun yang butuh bantuan. Jangan sungkan, anggap mereka pengganti Mama oke? Dan jangan menganggu anak lain. Sebaliknya, adukan ke pangawas kalau ada yang mengganggumu," Fiolina mengulang- ulang wejangannya kepada Jovan. "Iya Ma. Aku sudah hafal itu. Jangan khawatir." "Nah, ini dia kita sampai," Fiolina menghentikan mobilnya. "Aku turun sekarang." "Hati - hati sayang ya, kiss me," Fiolina menyodorkan pipinya ke wajah Jovan. "Muach," Jovan mengecupnya lalu turun dan melambaikan tangan. Fiolina meninggalkannya dengan perasaan campur aduk. Dia senang Jovan berani, tapi dia juga sedikit patah hati karena harus menahan rindu selama 7 hari. Dia belum pernah berpisah dengan Jovan selama itu. "Jovan gak nangis?" tanya Terry begitu Fiolina tiba lagi di apart