"Veera Zasvika Anthony!"
"Ah, iya Pak?"
"Kamu melamun lagi?"
Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Veera kali ini kepergok sedang melamun sambil menatap kosong keluar jendela. Namun bukan Veera namanya kalau dia tidak bisa mengelak.
"Tidak, hanya tidur sebentar," balasnya acuh. Veera berbicara tanpa menatap lawan bicaranya. Pikirannya benar-benar kacau. Padahal tadi pagi dia sudah merencanakan untuk membolos, tapi karena kedua oramg tuanya mengancam akan mengambil semua fasilitasnya Veera jadi mengurungkan niat buruknya itu.
Hanya dengan cara pergi ke kampus untuk menyelamatkan semua fasilitasnya, maka itu akan dilakukan. Tapi tidak menyelamatkan dia dari pria didepannya yang tengah menatapnya dengan ganas.
Tidak apa, itu bukanlah masalah yang terlalu serius baginya.
Sesaat Veera menatap Nathan sambil bergidik ngeri. Pria itu benar-benar mirip papanya saat sedang mengamuk. Sangat menakutkan.
"Terangkan semua yang sudah saya sampaikan!" perintah Nathan dengan suara keras.
Veera maju menerangkan apa yang baru saja disampaikan Nathan kepada teman satu kelasnya dengan sangat-sangat detail. Dan sangat-sangat jelas. Tanpa membawa buku.
Dia tersenyum sinis kearah Nathan, karena mampu melaksanakan perintah dari Nathan dengan baik. Semua temannya menatap takjub kearah Veera. Namun ada juga yang menatap benci. Biasa, dibalik perempuan yang cantik dan pintar pasti ada saja manusia yang iri.
Di kampus Veera memang terkenal sebagai mahasiswi yang mempunyai otak jenius. Ah, dia beruntung, dengan begitu dia tidak harus malu karena sering meremehkan dan diremehkan Nathan.
"Sekali lagi kamu melamun, keluar dari kelas saya!" ucap Nathan memperingati dengan arogannya.
"Iya!"
Veera kembali duduk dikursinya. Namun belum sampai setengah jam Veera sudah melamun lagi, dia memikirkan nasehat orang tuanya kemarin, yang terus membujuknya semalam.
Mana bisa berdamai dengan orang sengak kayak dia.
Jujur, hal itu sangat mengganggu, sebenarnya dilubuk hatinya yang paling dalam dia ingin sekali untuk berdamai dengan pria yang saat ini tengah mengajar di depan kelas. Tapi karena egonya yang terlalu tinggi dia mengurungkan niatnya itu.
Malu
Gengsi....
BRAKKK...
Veera terlonjat kaget dari duduknya saat seseorang menggebrak mejanya dengan kasar. Dia menatap horor pria didepannya yang tengah mengamuk.
Lagi-lagi Bapak killer, hobi banget marah-marah. Bakal cepat kena stroke nih orang kayaknya!
Ya, dia Nathan, dari raut wajahnya jelas sekali dia tidak suka dengan situasi saat ini. Urat-uratnya bahkan terlihat jelas. Ughhh, menakutkan sekali.
"Keluar, saya tidak suka ada yang melamun disaat jam saya mengajar!" teriak Nathan tegas hingga menggema diruangan itu.
Veera meneguk air ludahnya dengan susah payah. Tubuhnya tegang, tapi egonya yang tinggi segera menguasainya.
Veera mendengus pasrah. Gagal sudah hati nuraninya untuk berdamai dengan Nathan. Mungkin pergi ke kantin akan menenangkan pikiranya yang sedang kacau saat ini.
***
Veera benar-benar dongkol. Sehabis perdebatan sengit antara dia dan Nathan tadi. Sesuai perintah Nathan dia langsung pergi dari tempat terkutuk itu dan melangkahkan kakinya menuju kantin.
Ditemani Kiki, satu-satunya sahabat yang akrab dengan Veera selain Sindy, kebetulan kelasnya sedang kosong. Mereka berbeda jurusan, Kiki mengambil jurusan IT, sedangkan Veera mengambil jurusan bisnis.
Sedari tadi tidak habis-habisnya dia menggerutu sebal mengingat kejadian sengit antar dirinya vs Nathan barusan.
Kiki hanya bisa menatap Veera heran sekaligus ngeri. Dari awal Veera bertemu dengan yang namanya Nathan sampai sekarang tidak henti-hentinya mereka saling mengibarkan bendera perang.
Sebenarnya ada apa yang terjadi diatara mereka berdua. Sungguh dari dulu Kiki ingin bertanya, tapi Veera tidak pernah mau bercerita kalau sudah menyangkut nama Nathan. Ya, Veera paling anti dengan yang namanya pria bernama Nathan itu.
Tapi Veera pernah berjanji kepada Kiki maupun Sindy suatu saat dia akan bercerita tetang semuanya saat dia siap. Beruntung Kiki tidak termasuk manusia yang 'kepo akut'. Dia selalu santai dan akan menjadi pendengar yang baik bagi Veera.
"Lo berani amat, sama Pak Nathan," celetuk lelaki yang bernama Kiki tersebut seraya menyeruput jus alpukat miliknya. Menatap Veera sekilas sambil tersenyum.
"Kenapa harus takut, kita sebagai mahasiswa jangan mau diinjak-injak dosen," jawab Veera lantas menggebrak meja dengan aura hitamnya. Hampir saja Kiki tersedak karena kaget.
"Diinjak-injak gimana, bukanya lo yang malah ngelunjak?"
"Ya pokoknya gitu."
"Lo gak takut kalau dikeluarin? Woi, dia itu pemilik kampus," tegur Kiki mencoba menasehati sahabatnya itu. Bagaimanapun Veera sudah sangat keterlaluan. Berani-beraninya perempuan itu mengibarkan bendera perang.
"Lo ngapain sok belain dia, mules gue," omel Veera sebal, "gue malah senang kalau bisa keluar dari sini secepatnya."
Kiki menggeleng-geleng kepala tanda tidak setuju dengan ide bodoh Veera. Lain pula dengan Veera yang tersenyum bagai mendapat pencerahan. Seperti di dalam buku komik Veera bagaikan tokoh devil yang sedang tertawa jahat dengan dikelilingi api disekujur tubuhnya.
"Trus ngapain lo kuliah disini kalau nggak ada niat?" kali ini Kiki mulai kesal dengan tingkah sahabatnya itu yang mulai nglantur.
"Yang maksa gue kuliah disinikan ortu gue, Ki," keluh Veera. "Gue sering bikin onar disini tuh biar gue dikeluarin. Eh, malah dipertahanin gini," jawab Veera lesu. Dia menopang kepalanya di atas meja sambil mengingat sudah berapa banyak masalah yang dia perbuat, namun apa hasilnya? Dia tetap ditahan di Universitas Andalas yang megah ini.
"Salah lo juga sih, jadi orang terlalu pinter. Kan sayang kalau dikeluarin," komentar Kiki sambil terkekeh, dia tak sadar kalau komentarnya barusan membuat Veera melirik tidak suka padanya karena secara tidak langsung kepintaran otaknya adalah petaka. "lagipula selain lo pinter, otak lo juga agak rada sadeng, Veer. Gue baru denger sekarang kalau ada murid yang berharap dikeluarin dari universitas favorit, padahal diluar sana banyak yang ngarep dapat masuk kesini. Hadeh temen gue kayaknya udah capek jadi orang waras, nih," tawa Kiki menggelegar.
"Arghhh... apa lo bilang. Lo para pendukung Nathan memang menyebalkan semua, ya. Gue dikatain pe'ak lagi!" pekik Veera tidak terima lalu menyeruput jusnya hingga habis.
"Loh, lo kan yang nularin pe'ak ke gue. Lagian sesama pe'ak jangan ngehina dong, Sayang!" sambut Kiki sambil menoel-noel dagu Veera genit.
"Kiki... lo ganjen amat, sih! Jangan pegang-pegang gue, jijik gue sama kelakuan lo. Lo kemasukan setan dari mana, sih!" dengan panik Veera mengusap wajahnya kasar, berharap setan-setan yang merasuki Kiki tidak tertular padanya.
"Dari sabang sampai merauke, Veer. Hahaha."
"Awas, lo!"
Dengan sebal Veera melahap bakso yang menancap di sendok garpunya secara bulat-bulat. Lalu perempuan itu menusukkan lagi garpunya ke bakso yang lebih besar. Dalam hitungan ketiga bakso yang malang itu sudah terbang melesat menyerempet rambut jabrik halus bersinar, Kiki.
"Arghhh, rambut gue bau BAKSOOO..."
Sudah seminggu ini Veera tidak mengikuti kelas Nathan. Perempuan itu masih kesal dengan dosennya itu. Perlakuan yang dia dapat beberapa waktu lalu dari Nathan sangatlah melukai hatiknya.Berani-beraninya dia ngusir gue.Batin Veera menggeram kesal.Veera menupang dagunya di atas meja dengan malas. Kantin sepi. Dia menunggu Sindy yang belum juga datang. Sedari tadi, tidak henti-hentinya dia menggerutu.Apa mungkin kelasnya belum bubar.Veera mengerutu kesal. Hampir satu jam lebih dia berada disini, dan hampir seminggu dia seperti ini. Bolos ke kantin atau kalau tidak dia pergi ke kafe yang dekat dengan area kampus.Veera membenarkan posisi duduknya ketika seseorang menepuk pundaknya pelan.Pasti Sindy,pikirnya girang."Lo, lama banget sih, Sin!""Veera, aku mau minta maaf."Veera melotot horor saat mengetahui seseorang yang datang ternyata
"Nathan, i-ini kampus," seru Veera setengah menahan ketakutannya.Nathan menatap tajam pada Veera dengan penuh nafsu. Entah sejak kapan Nathan sudah mengurung Veera dengan kedua tangannya, hingga Veera tidak bisa berkutik. "Tolong menjauh atau aku bakalan teriak!""Biarkan saja, ini kampusku, Sayang. Apa kamu lupa, hm?" bisik Nathan tepat ditelinga Veera. Nafas hangat pria itu menjalar disekitar lehernya. Memberikan sensasi yang sangat berbahaya.Veera bergidik ngeri merasakan sengatan listrik disekujur tubuhnya. Tidak terasa air matanya menetes. Perempuan itu begitu ketakutan sekarang. Nathan sekarang adalah pria yang berbeda, dia tidak mengenal Nathan yang sekarang. Pria itu berbahaya."Nathan, please jangan lakuin ini lagi!" pinta Veera memohon supaya dilepaskan. Veera benar-benar ketakutan, kejadian beberapa tahun lalu terulang kembali. Banyangan ketakutannya dulu masih terekam jelas diingatannya. Dia benar-bena
Sebelum memasuki mobil, Nathan lebih dulu mengirimkan pesan kepada Veera lewat Whatshapp. Pria itu berharap Veera segera membalas pesannya walau itu sangat mustahil.Tapi mencoba berharap kepada keberuntungan tidak ada salahnyakan.Andai Veera sudi membaca pesannya saja sudah membuatnya senang.Nathan menjalankan mobilnya pelan sambil mengamati pinggir jalan raya, berharap menemukan Veera. Tujuannya kampus. Menurut instingnya Veera berada disana.Nathan terus menyusuri jalan raya yang mulai ditetesi air hujan. Walau hujan tidak begitu deras, tapi itu sangat mengganggu penglihatannya dikarenakan para pejalan kaki di pinggir jalan raya tidak ada yang lewat satupun, semua orang lebih memilih beredup di tempat yang teduh daripada kehujanan.Jadi jalanan sepi, kemungkinan untuk menemukan Veera adalah mustahil.Drttt...Drttt...Nathan menepikan mobilnya di pinggir jalan, dia menatap ponselnya sebentar. It
Waktu begitu cepat berlalu, tidak terasa saat ini sudah sore menjelang malam, ditambah jalanan tengah sepi dan tidak ada satupun manusia disini. Mungkin mereka lebih memilih berdiam dirumahnya bersama keluarga ditengah cuaca yang buruk.Veera melangkahkan kakinya dengan cepat, sambil berusaha mengatur nafasnya yang memburu. Dia masih mencerna kejadian barusan. Nathan, apa yang barusan pria itu lakukan?Apa dia mau gertak gue, karena selama ini gue udah keterlaluan banget. Semoga enggak, dih amit-amit, pikiran Veera mulai berkecamuk.Dengan tergesa-gesa perempuan itu melangkah cepat menuju ke halte terdekat.Hari ini Veera tidak membawa mobilnya, dan dia bepikir akan pulang bareng Sindy, tapi Sindy menyuruhnya untuk menunggu di Halte, katanya pacarnya yang akan menjemput mereka berdua.Sialnya tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Veera menatap kelangit. Mendung, dan terdengar petir.P
Nathan menatap Veera dengan gemas, dia sendiri tidak tahu untuk membuka topik obrolan yang menyenangkan dengan Veera yang super kaku. Ini sangat terasa canggung. Dan Veera terlalu membentengi dirinya sendiri hingga tidak tersentuh.Acuhnya sungguh keterlaluan."Sudah lupakan saja." Nathan memilih mengabaikan ucapannya tadi, daripada ngelantur kemana-mana. Jadi awkward sendiri.Entah sadar atau tidak Veera menoleh ke jendela mobil sambil terseyum kecil melihat tingkah aneh Nathan yang terus menggerutu. Menurutnya, suaminya saat ini terlihat lucu. Dan sebenarnya Veera paham situasi begini.Tidak lama kemudian, mobil Nathan memasuki perkarangan rumah mewah milik orang tua Veera.Di depan pintu raksasa tengah berdiri sosok bocah kecil berusia sekitar dua tahun yang memerhatikan kendaraan mereka. Bocah itu dengan antusias sambil berteriak girang dan melompat-lompat."Ho
"Eh, Veer, tolong nanti lo anter tugas ini ke ruangannya Pak Nathan, ya. Plisss!"Veera menatap malas pada Liam. Cowok berparas tinggi yang tengah berdiri di depannya tersenyuman aneh, juga tak lupamembawa tumpukan buku.Liam menaikkan alisnya tinggi ketika Veera tidak kunjung memberikan respon.Ditatapnya mata hitam Liam dengan lirikan tajam, “Kok gue sih, yang lainnyakan pada nganggur," Veera melirik penghuni kelas kanan kirinya. Dimana banyak mahasiswa sibuk mengobrol tak jelas. Seharusnya Liam peka dengan maksud Veera yang menolak untuk membantu Liam. Tapi dari raut muka lemotnya membuat Veera paham kalau Liam tidak mungkin peka. “Suruh yang lain aja deh!”Veera hendak berlalu, tapi Liam masih menghadang langkahnya. Cowok itu tersenyum menatap Veera penuh arti, "disini yang paling baikkan, lo."Bukanya senang, tapi Veera hanya memasang muka datar mendengar pujian yang Veera tahu ada maksud terte
"Veera Zasvika Anthony!"Veera mendengar suara yang memanggil namanya dengan tegas namun tersirat akan emosi yang terpendam. Nathan. Pria itu tengah berdiri menatapnya dengan pandangan sulit diartikan. Hal biasa yang Veera lakukan adalah memilih mengabaikan tatapan mata itu.Nathan masih berdiri dengan kedua tangan yang menumpu pada mejanya. Nathan memakai kemeja bewarna biru dongker, dengan bagian lengan yang digulung sampai kesiku. Nathan terlihat benar-benar menarik."Saya perlu bicara dengan kamu, nanti temui saya diruangan saya!" perintah Nathan tegas dan formal. Beberapa murid yang berada kelas ikut menoleh menatap Nathan, lalu melempar pandangannya pada Veera.Veera merespon dengan anggukan kecil. Sebenarnya ia memikirkan cara untuk menghindari Nathan, dan alasan yang paling tepat untuk membatalkan janji temunya dengan Nathan nanti.Nathan balas mengangguk puas. Ia melempar pandangan pa
Pukul 13.00Veera melangkah lesu masuk kedalam rumah. Ia menatap heran sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Biasanya Rayan yang paling heboh, menyambutnya dengan sangat antusias. Kali ini Cuma ada mamanya yang sibuk membolak-balik majalah.“Rayan kemana, Ma?”Veera menghempaskan tubuhnya di sofa kulit bewarna hitam yang berada ruang tamu tersebut. Ia juga menaruh tasnya sembarang di atas meja, dan dia sukses mendapat pelototan gratis dari mamanya.Sepulang kuliah tubuhnya benar-benar lelah. Akhir-akhir ini ia sering pulang siang. Biasanya malah sore sampe malam, dan dengan terpasa ia akan menerima tawaran dari Nathan yang kukuh ingin mengantarnya pulang apabila dia tidak membawa kendaraan pribadi. Hal itu bermula sejak Veera dan Nathan terlibat kasus terkunci didalam gedung universitas. Untung waktu itu mereka bisa keluar dengan selamat.“Kamu lupa, hari ini Rayan menginap kerumah m
Nathan langsung melempar pandanganya pada Veera tak suka, “Ya buat urut tangan kamulah, Ra!”jawabnya kesal.***Seolah paham dengan situasi, buru-buru Yuda mengambilkan minyak urut sesuai perintah Nathan. Setelah itu cowok tersebut pamit keluar sebentar mengajak Rayan, memberikan privasi pada pasangan suami istri tersebut. Yuda merasa tak enak jika keberadaannya mengganggu mereka.Setelah kepergian Yuda. Nathan mulai mendekati Veera. Ia mulai mengobati lengan Veera yang terasa sakit.“Aduh, pelan-pelan!”“Belum aku pegang loh, Ra,” ujar Nathan bingung karena dia baru saja bergeser mendekati Veera.“Iya, tapi muka kam
Veera langsung berdiri dan menjaga jarak aman, “Jangan deket-deket!” perintah Veera dengan mata melotot waspada. Telapak tangan kananya terbuka lebar di depan Nathan, memberi isyarat untuk ‘STOP’ kepada Nathan.***Setelah perdebatan yang cukup menguras waktu dan energi, akhirnya Nathan berhasil menyeret Veera bersamanya memasuki unit Yuda. Namun Nathan juga tetap hati-hati, dia menggegam tangan kanan Veera yang tidak cedera. Nathan takut apabila perlakuannya tanpa sengaja membuat Veera cedera. Membuat istrinya supaya tidak merengek ‘meminta di tunggu’ lagi ketika langkah kaki lebarnya tanpa sengaja meninggalkan Veera.Veera tentu saja terus menjaga jarak seaman mungkin untuk menghindari senggolan benda apapun yang bisa menyebabkan bahunya makin sakit. Telapak tangannya turut serta menggegam kokoh telapak tangan Nathan yang terasa hangat, namun ju
Setelah Nathan berhasil membuat jantung Veera berdetak tak karuan, maka sepanjang jalan menuju apartemen Yuda, Veera diam-diam terus memerhatikan Nathan. Entah kenapa tiba-tiba Nathan mengambil alih fungsi sebagian otanya. Veera ingat betul sifat asli Nathan, dia adalah pria kaku, sangat sadis ketika menjadi dosen pengajar, juga akan menjadi pria paling pendiam saat—sifat remaja yang selalu malu-malu itu—tiba-tiba muncul ketika Veera menggodanya. Dan Veera akan kalah dalam permainannya sendiri. Seperti saat ini. Diliriknya sekali lagi suaminya yang masih fokus menyetir itu. Tatapan tajam Nathan menghadap fokus kedepan, alisnya lurus hitam pekat memberikan kesan garang walau sebenarnya pria itu masuk kategori penyabar ketika tidak sedang mengajar. Rambutnya ia sisir ke belakang dengan rapi, tanpa minyak rambut, dan rahang tegas disertai cambang lebat yang baru dicukur bersih memberikan kesan seksi.
Pukul 6:45 pagi.Setelah selesai mandi, seperti biasa ritual paginya adalah berkaca di depan cermin sambil tersenyum lebar. Memandangi wajahnya sendiri baginya itu cukup dapat merasakan kepuasan batin, karena dia merasa dirinya yang paling cantik. Bentuk darinya untuk bersyukur. “Lo emang cantik banget, Veer,” ujarnya pada diri sendiri dengan jempol yang terancung. Veera juga menyibakkan rambutnya yang basah dengan gaya sensual, seketika aroma permen karet mengguar. Ia sangat menyukai aroma itu. Aroma favoritnya.Seusai melafalkan pujian untuk dirinya sendiri, Veera keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk putih yang melilit tubuh putih susunya. Ia melangkah pelan dengan jemari yang masih bermain di rambutnya yang basah. Bernyanyi sambil ber
Pukul 3 pagi.Ketika menjelang pagi, udara mulai terasa dingin. Hujan deras tadi malam sudah mulai reda, tergantikan dengan gerimis sedang. Perpaduan air hujan dan embun pagi itu cukup membuat tubuh manusia kedinginan.Veera berguling ke kanan dan ke kiri. Berulang kali sampai tubuhnya berakhir menubruk tubuh Nathan dan memeluk tubuh suaminya erat. Gaun tidurnya sama sekali tidak berguna untuk menjaga suhu badannya tetap hangat. Tangannya tentu tidak tinggal diam, ia masih berusaha mencari kain tebal untuk menghangatkan tubuhnya. Namun Nihil. Veera sama sekali belum mendapatkan selimutnya.“Nathan... di mana selimutnya?” tanya Veera serak dengan mata terpejam dan tangan yang masih sibuk mencari-cari.“Hmm...”“Di mana?”“Situ!”“Situ mana?” Veera membuka matanya. Menatap suaminya dengan ekspresi kesal dan mata setengah mengantuk. Semalam selimutnya direbut, sekarang
"Kamu dari mana?!”Nathan terkejut melihat Veera berbaring di sofa sambil membaca novel diruang tamu. Perempuan itu tidak terlihat baru datang, karena istrinya tengah memakai gaun tidur bewarna biru muda. Menunggunya pulang? Mustahil.Tumben? Biasanya Cuma mampir lalu pulang lagi... Batin Nathan.Perempuan itu tengah bersedekap menatap tajam pada Nathan. Mirip sekali seperti seorang istri yang menunggu suaminya pulang setelah keluyuran tidak jelas. Dan syukurnya Veera saat ini memang sudah sah sebagai istrinya.“Rumah teman,” jawab pria itu apa adanya.“Bohong!” Veera menggeleng, ia mendekat dan mencium aroma tubuh suaminya yang menyengat. “Kamu mabuk?” tuduhnya. Tepat sekali.“Temanku pecandu minuman. Dia mengoleksi berbagai jenis bir dirumahnya, lalu dia menawariku. Karena tidak enak padanya aku juga ikutan minum.” Jelas Nathan. Pria itu menyapu pandangannya, “Rayan mana?” t
3 Tahun yang laluVeera berdiri didepan pintu bewarna coklat karamel dengan pelitur mengilat. Ia menatap sebal pintu yang masih tertutup itu. Terkunci. Disana sudah hampir setengah jam lamanya ia berdiri sendiri. Dirumah mewah yang katanya—sebenarnya milik kakaknya Yuda.“Yuda kemana sih, di telpon ponselnya gak aktif. Udah rumah gede, tapi sepi kayak kuburan. Emang berapa sih nyewa jasa asisten rumah tangga, security, atau tukang penjaga pintu sekalian biar gue bisa masuk. Kalau tau kayak gini mending gue gak nyamperin Yuda kesini. Banyak nyamuk lagi!” gerutu Veera.Yuda adalah teman yang bertransformasi sebagai kekasihnya. Sudah hampir tujuh bulan mereka berpacaran. Yuda merantau menuntut ilmu di SMA yang sama dengan Veera. Yuda salah satu murid mampu, bisa dibilang keluarganya terpandang, tapi ia tidak tinggal di apartemen mewah karena orang tuanya menyuruh untuk tinggal bersama kakak kandungnya yang bernama Nathan. Dengan al
“Sin, gue mau curhat nih!”“Soal?”“Gimana caranya jatuh cinta sama cowok yang kita benci?”“Sorry?”“Iya, gue kudu jatuh cinta sama cowok yang gue benci.”Sangking kagetnya, Sindy terlalu keras menyobek bungkus snack kripik pedas berukuran jumbo yang baru ia beli. Semua isinya berhamburan ke lantai. Hanya tersisa sedikit remahan-remahan di ujung bungkusnya dan beberapa berceceran diatas meja.Untungnya kantin sedang sepi, jadi tidak begitu memalukan. Walau Sindy memang tidak punya malu.Seorang ibu yang bertugas mengepel lantai dan ibu kantin yang sedang asyik ngerumpi bersama seketika menoleh. Ibu kantin menatap Sindy dengan pandangan datar seolah berkata, “Ealah, mubadzir dek, sini beli lagi!”. Sedangkan ibu yang sedang memegang gagang pel terlihat berkacak pinggang dengan mata melotot, “Bajingan, gue udah
Pukul 13.00Veera melangkah lesu masuk kedalam rumah. Ia menatap heran sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Biasanya Rayan yang paling heboh, menyambutnya dengan sangat antusias. Kali ini Cuma ada mamanya yang sibuk membolak-balik majalah.“Rayan kemana, Ma?”Veera menghempaskan tubuhnya di sofa kulit bewarna hitam yang berada ruang tamu tersebut. Ia juga menaruh tasnya sembarang di atas meja, dan dia sukses mendapat pelototan gratis dari mamanya.Sepulang kuliah tubuhnya benar-benar lelah. Akhir-akhir ini ia sering pulang siang. Biasanya malah sore sampe malam, dan dengan terpasa ia akan menerima tawaran dari Nathan yang kukuh ingin mengantarnya pulang apabila dia tidak membawa kendaraan pribadi. Hal itu bermula sejak Veera dan Nathan terlibat kasus terkunci didalam gedung universitas. Untung waktu itu mereka bisa keluar dengan selamat.“Kamu lupa, hari ini Rayan menginap kerumah m