Sudah seminggu ini Veera tidak mengikuti kelas Nathan. Perempuan itu masih kesal dengan dosennya itu. Perlakuan yang dia dapat beberapa waktu lalu dari Nathan sangatlah melukai hatiknya.
Berani-beraninya dia ngusir gue. Batin Veera menggeram kesal.
Veera menupang dagunya di atas meja dengan malas. Kantin sepi. Dia menunggu Sindy yang belum juga datang. Sedari tadi, tidak henti-hentinya dia menggerutu.
Apa mungkin kelasnya belum bubar. Veera mengerutu kesal. Hampir satu jam lebih dia berada disini, dan hampir seminggu dia seperti ini. Bolos ke kantin atau kalau tidak dia pergi ke kafe yang dekat dengan area kampus.
Veera membenarkan posisi duduknya ketika seseorang menepuk pundaknya pelan. Pasti Sindy, pikirnya girang.
"Lo, lama banget sih, Sin!"
"Veera, aku mau minta maaf."
Veera melotot horor saat mengetahui seseorang yang datang ternyata bukanlah Sindy sahabatnya, melainkan Nathan yang sama sekali tidak ingin dia temui. Alias manusia yang menjadi alasannya melakukan aksi membolos disini.
Namun, ada sedikit rasa iba ketika melihat dosen menyebalkan itu. Pria didepannya ini terlihat tidak terawat. Wajahnya yang selalu menunjukkan aura wibawa kini terlihat kusam dan layu.
Mata setajam elang yang selalu memancarkan wibawa kini mulai meredup. Rambutnya acak-acakkan dan agak mulai panjang, padahal Nathan adalah tipe pria yang rapi. Rahang kokohnya mulai ditumbuhi bulu halus. Dia melewatkan untuk bercukur.
Apa yang terjadi pada manusia purba ini?
Baru satu minggu Veera tidak bertemu dengan dosen itu. Tapi sepertinya Nathan terlihat tidak baik.
Kualat gak lo, hahaha.... tawa jahat Veera dalam hati.
Veera berdehem.
"Maaf Pak, bisakah anda pergi dari sini! Saya ingin sendiri," ucap Veera mengusir Nathan tanpa menatap kearah lawan bicaranya.
"Ra, please. Kita butuh bicara serius." Nathan tanpak memohon dengan wajah melasnya yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Veera. Bahkan pria itu memegang kedua pundak Veera dengan menampilkan mimik putus asa.
Veera menepisnya kasar, "Baiklah biar saya saja yang pergi." Veera beranjak pergi meninggalkan Nathan yang tengah berharap dengan kebingungan. Pria itu sama sekali belum bergerak untuk mencegah kepergian Veera.
Nathan diam membisu. Matanya menyiratkan rasa lelah. Namun pria itu masih bisa mengikuti kata hatinya, Nathan mengikuti langkah Veera dibelakang.
"Berhentilah mengikutiku!" ucapnya memandang sengit Nathan. Pria itu menghentikan langkahnya. Veera menatapnya tajam sekaligus memperingati.
"Kenapa? Kenapa aku tidak boleh mengikutimu. Aku dosenmu, aku juga suamimu, dan yang paling penting kamu harus bersikap sopan padaku, Ra!"
"Stopppp, Nathan! Jangan lupa aku seperti ini juga karena ulahmu. Kamu merenggut semuanya dariku. Aku membencimu, karena aku kecewa padamu, brengsek! Dan satu lagi, kalau sampai rahasia kita bocor, aku akan semakin membencimu, Nathan!" Veera mengacungkan jari telujuknya pada Nathan. Matanya menatap tajam memperingati.
"Tidak bisakah kamu melihat hal lain, selain keburukanku, Veera?"
"Ngelihat kamu aja aku udah males banget!" jawab Veera logat non formalnya. Tutur kata yang sering ia gunakan di luar kampus.
"Apa ini karena aku sering memarahimu kemarin," Nathan menatap Veera yang memalingkan muka, berati benar. "Baiklah aku tidak akan memarahimu lagi. Tapi kamu jangan lagi membolos," seru Nathan memperingati.
"Oke dengan satu syarat."
"Apa?" Nathan tersenyum senang, dia berpikir telah berhasil dia membujuk Veera. Ya, walaupun dengan satu syarat. Setidaknya dia bisa melakukan sesuatu untuk Veeranya.
Tapi, kira-kira syarat apa yang akan diajukan Veera.
"Mengundurkan diri dari sini, lalu pergi dari negara ini dan jangan pernah mengangguku lagi!" desisnya tajam lalu langsung pergi.
"Veera!" geram Nathan, tidak bisa dipungkiri dia sendiri ikut naik pitam. Susah sekali perempuan ini diatur.
***
Hari ini ada yang berbeda.
Mungkin kalian akan tahu kalau dari tadi Nathan tersenyum sendiri seperti orang gila saja. Padahal baru kemarin dia hidup putus asa, bagai tidak ada yang menarik di dunia ini selain membuat Veera kembali ke kelas.
Veera yang menolak setiap kehadiran Nathan, membenci Nathan, dan menganggap Nathan sebagai parasit.
Tapi nyatanya hari ini.
Syukurlah.
Ya, hari ini, Veera tengah duduk manis di kursinya dan tengah sibuk dengan earphone yang tengah menancap di kedua telinganya. Dan tangan lentiknya tengah sibuk memainkan ponsel miliknya.
Selalu saja bermain dengan ponselnya, bahkan ia lebih tertarik dengan benda kecil itu daripada aku. Batin Nathan menatap Veera dalam diam.
Walaupun kelas sudah bubar dari tadi, tapi Nathan tahu kalu Veera dari tadi tidak menyimak apa yang sudah Nathan sampaikan di depan.
Nathan juga hafal kebiasaan-kebiasaan buruk Veera, diam-diam Nathan sering memperhatikannya. Saat yang lain mendengarkan Nathan, Veera selalu saja acuh, saat Veera marah, dan menantang Nathan secara terang-terangan. Nathan sebenarnya menikmati setiap momen itu.
Dan beberapa hari ini Nathan dibuat kalang kabut oleh Veera, hanya karena ia membolos dimata kuliah Nathan.
Kenapa Nathan sampai kalang kabut? Tentu saja, satu hari tanpa melihat Veera adalah suatu bencana bagi Nathan. Nathan seperti orang gila yang kehilangan akal sehat, karena dia akan terus berpikir bagaimana merubah sifat Veera yang kelewat batas.
Dan Nathan tidak ingin kehilangannya lagi. Kali ini dia tidak ambil pusing, Nathan tidak ingin kejadian beberapa minggu lalu terulang kembali. Lagipula Veera cukup jenius untuk mendengarkan materi yang sulit itu.
Lima menit sudah Nathan menatap Veera. Nathan tersenyum senang saat Veera tidak kunjung pergi dari sana, dengan begitu Nathan bisa memandangnya dengan puas.
Dan aku baru sadar, menguntit seseorang itu menyenangkan. Guman Nathan.
"Veera!" panggil Nathan tanpa sadar. Sial, kenapa mulutku tidak bisa diajak kompromi. Bisa-bisa dia akan pergi saat tahu kelas sudah bubar dari tadi.
"Ya, Pak?!" jawab Veera spontan. Dia menegakkan tubuhnya.
Veera terlihat celigukan ketika menatap seisi kelas sepi, perempuan itu baru sadar cuma ada dia dan Nathan di dalam kelas ini.
Dan sekarang Veera dengan cepat berapikan buku-bukunya dan bersiap akan keluar. Tapi Nathan lebih dahulu mencekal pergelangan tangan Veera.
"Mau kemana?" Veera meringis kesakitan saat Nathan mencekalnya terlalu kuat.
"Pulanglah, kamu pikir ngapain aku mau lama-lama ada disini!" jawab Veera kasar seraya mencoba melepaskan cekalan dari Nathan.
Nathan sama sekali tidak marah. Padahal biasanya pria itu akan menatap tajam Veera karena dia tidak pernah suka sifat Veera yang tidak bisa menghormati Nathan sebagai dosen maupun suaminya.
Kali ini Nathan abaikan.
Nathan menatap Veera intens. "Kenapa, kenapa terburu-buru, hmmm?" bisik Nathan.
Nathan dapat merasakan deru nafas Veera yang memburu dijarak mereka yang terbilang cukup dekat itu. Bahkan tanpa sengaja hidung Nathan bergesek pelan dengan hidung Veera ketika Nathan semakin mempersempit jarak diantara mereka.
"Nathan, i-ini kampus," cicit Veera gagap. Kali ini tidak dengan jawaban beraninya. Veera ketakutan, "tolong menjauh atau aku bakal teriak!" pekik Veera ketakutan. Nathan tersenyum sinis.
Mana Veeraku yang pemberani.
"Nathan, i-ini kampus," seru Veera setengah menahan ketakutannya.Nathan menatap tajam pada Veera dengan penuh nafsu. Entah sejak kapan Nathan sudah mengurung Veera dengan kedua tangannya, hingga Veera tidak bisa berkutik. "Tolong menjauh atau aku bakalan teriak!""Biarkan saja, ini kampusku, Sayang. Apa kamu lupa, hm?" bisik Nathan tepat ditelinga Veera. Nafas hangat pria itu menjalar disekitar lehernya. Memberikan sensasi yang sangat berbahaya.Veera bergidik ngeri merasakan sengatan listrik disekujur tubuhnya. Tidak terasa air matanya menetes. Perempuan itu begitu ketakutan sekarang. Nathan sekarang adalah pria yang berbeda, dia tidak mengenal Nathan yang sekarang. Pria itu berbahaya."Nathan, please jangan lakuin ini lagi!" pinta Veera memohon supaya dilepaskan. Veera benar-benar ketakutan, kejadian beberapa tahun lalu terulang kembali. Banyangan ketakutannya dulu masih terekam jelas diingatannya. Dia benar-bena
Sebelum memasuki mobil, Nathan lebih dulu mengirimkan pesan kepada Veera lewat Whatshapp. Pria itu berharap Veera segera membalas pesannya walau itu sangat mustahil.Tapi mencoba berharap kepada keberuntungan tidak ada salahnyakan.Andai Veera sudi membaca pesannya saja sudah membuatnya senang.Nathan menjalankan mobilnya pelan sambil mengamati pinggir jalan raya, berharap menemukan Veera. Tujuannya kampus. Menurut instingnya Veera berada disana.Nathan terus menyusuri jalan raya yang mulai ditetesi air hujan. Walau hujan tidak begitu deras, tapi itu sangat mengganggu penglihatannya dikarenakan para pejalan kaki di pinggir jalan raya tidak ada yang lewat satupun, semua orang lebih memilih beredup di tempat yang teduh daripada kehujanan.Jadi jalanan sepi, kemungkinan untuk menemukan Veera adalah mustahil.Drttt...Drttt...Nathan menepikan mobilnya di pinggir jalan, dia menatap ponselnya sebentar. It
Waktu begitu cepat berlalu, tidak terasa saat ini sudah sore menjelang malam, ditambah jalanan tengah sepi dan tidak ada satupun manusia disini. Mungkin mereka lebih memilih berdiam dirumahnya bersama keluarga ditengah cuaca yang buruk.Veera melangkahkan kakinya dengan cepat, sambil berusaha mengatur nafasnya yang memburu. Dia masih mencerna kejadian barusan. Nathan, apa yang barusan pria itu lakukan?Apa dia mau gertak gue, karena selama ini gue udah keterlaluan banget. Semoga enggak, dih amit-amit, pikiran Veera mulai berkecamuk.Dengan tergesa-gesa perempuan itu melangkah cepat menuju ke halte terdekat.Hari ini Veera tidak membawa mobilnya, dan dia bepikir akan pulang bareng Sindy, tapi Sindy menyuruhnya untuk menunggu di Halte, katanya pacarnya yang akan menjemput mereka berdua.Sialnya tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Veera menatap kelangit. Mendung, dan terdengar petir.P
Nathan menatap Veera dengan gemas, dia sendiri tidak tahu untuk membuka topik obrolan yang menyenangkan dengan Veera yang super kaku. Ini sangat terasa canggung. Dan Veera terlalu membentengi dirinya sendiri hingga tidak tersentuh.Acuhnya sungguh keterlaluan."Sudah lupakan saja." Nathan memilih mengabaikan ucapannya tadi, daripada ngelantur kemana-mana. Jadi awkward sendiri.Entah sadar atau tidak Veera menoleh ke jendela mobil sambil terseyum kecil melihat tingkah aneh Nathan yang terus menggerutu. Menurutnya, suaminya saat ini terlihat lucu. Dan sebenarnya Veera paham situasi begini.Tidak lama kemudian, mobil Nathan memasuki perkarangan rumah mewah milik orang tua Veera.Di depan pintu raksasa tengah berdiri sosok bocah kecil berusia sekitar dua tahun yang memerhatikan kendaraan mereka. Bocah itu dengan antusias sambil berteriak girang dan melompat-lompat."Ho
"Eh, Veer, tolong nanti lo anter tugas ini ke ruangannya Pak Nathan, ya. Plisss!"Veera menatap malas pada Liam. Cowok berparas tinggi yang tengah berdiri di depannya tersenyuman aneh, juga tak lupamembawa tumpukan buku.Liam menaikkan alisnya tinggi ketika Veera tidak kunjung memberikan respon.Ditatapnya mata hitam Liam dengan lirikan tajam, “Kok gue sih, yang lainnyakan pada nganggur," Veera melirik penghuni kelas kanan kirinya. Dimana banyak mahasiswa sibuk mengobrol tak jelas. Seharusnya Liam peka dengan maksud Veera yang menolak untuk membantu Liam. Tapi dari raut muka lemotnya membuat Veera paham kalau Liam tidak mungkin peka. “Suruh yang lain aja deh!”Veera hendak berlalu, tapi Liam masih menghadang langkahnya. Cowok itu tersenyum menatap Veera penuh arti, "disini yang paling baikkan, lo."Bukanya senang, tapi Veera hanya memasang muka datar mendengar pujian yang Veera tahu ada maksud terte
"Veera Zasvika Anthony!"Veera mendengar suara yang memanggil namanya dengan tegas namun tersirat akan emosi yang terpendam. Nathan. Pria itu tengah berdiri menatapnya dengan pandangan sulit diartikan. Hal biasa yang Veera lakukan adalah memilih mengabaikan tatapan mata itu.Nathan masih berdiri dengan kedua tangan yang menumpu pada mejanya. Nathan memakai kemeja bewarna biru dongker, dengan bagian lengan yang digulung sampai kesiku. Nathan terlihat benar-benar menarik."Saya perlu bicara dengan kamu, nanti temui saya diruangan saya!" perintah Nathan tegas dan formal. Beberapa murid yang berada kelas ikut menoleh menatap Nathan, lalu melempar pandangannya pada Veera.Veera merespon dengan anggukan kecil. Sebenarnya ia memikirkan cara untuk menghindari Nathan, dan alasan yang paling tepat untuk membatalkan janji temunya dengan Nathan nanti.Nathan balas mengangguk puas. Ia melempar pandangan pa
Pukul 13.00Veera melangkah lesu masuk kedalam rumah. Ia menatap heran sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Biasanya Rayan yang paling heboh, menyambutnya dengan sangat antusias. Kali ini Cuma ada mamanya yang sibuk membolak-balik majalah.“Rayan kemana, Ma?”Veera menghempaskan tubuhnya di sofa kulit bewarna hitam yang berada ruang tamu tersebut. Ia juga menaruh tasnya sembarang di atas meja, dan dia sukses mendapat pelototan gratis dari mamanya.Sepulang kuliah tubuhnya benar-benar lelah. Akhir-akhir ini ia sering pulang siang. Biasanya malah sore sampe malam, dan dengan terpasa ia akan menerima tawaran dari Nathan yang kukuh ingin mengantarnya pulang apabila dia tidak membawa kendaraan pribadi. Hal itu bermula sejak Veera dan Nathan terlibat kasus terkunci didalam gedung universitas. Untung waktu itu mereka bisa keluar dengan selamat.“Kamu lupa, hari ini Rayan menginap kerumah m
“Sin, gue mau curhat nih!”“Soal?”“Gimana caranya jatuh cinta sama cowok yang kita benci?”“Sorry?”“Iya, gue kudu jatuh cinta sama cowok yang gue benci.”Sangking kagetnya, Sindy terlalu keras menyobek bungkus snack kripik pedas berukuran jumbo yang baru ia beli. Semua isinya berhamburan ke lantai. Hanya tersisa sedikit remahan-remahan di ujung bungkusnya dan beberapa berceceran diatas meja.Untungnya kantin sedang sepi, jadi tidak begitu memalukan. Walau Sindy memang tidak punya malu.Seorang ibu yang bertugas mengepel lantai dan ibu kantin yang sedang asyik ngerumpi bersama seketika menoleh. Ibu kantin menatap Sindy dengan pandangan datar seolah berkata, “Ealah, mubadzir dek, sini beli lagi!”. Sedangkan ibu yang sedang memegang gagang pel terlihat berkacak pinggang dengan mata melotot, “Bajingan, gue udah
Nathan langsung melempar pandanganya pada Veera tak suka, “Ya buat urut tangan kamulah, Ra!”jawabnya kesal.***Seolah paham dengan situasi, buru-buru Yuda mengambilkan minyak urut sesuai perintah Nathan. Setelah itu cowok tersebut pamit keluar sebentar mengajak Rayan, memberikan privasi pada pasangan suami istri tersebut. Yuda merasa tak enak jika keberadaannya mengganggu mereka.Setelah kepergian Yuda. Nathan mulai mendekati Veera. Ia mulai mengobati lengan Veera yang terasa sakit.“Aduh, pelan-pelan!”“Belum aku pegang loh, Ra,” ujar Nathan bingung karena dia baru saja bergeser mendekati Veera.“Iya, tapi muka kam
Veera langsung berdiri dan menjaga jarak aman, “Jangan deket-deket!” perintah Veera dengan mata melotot waspada. Telapak tangan kananya terbuka lebar di depan Nathan, memberi isyarat untuk ‘STOP’ kepada Nathan.***Setelah perdebatan yang cukup menguras waktu dan energi, akhirnya Nathan berhasil menyeret Veera bersamanya memasuki unit Yuda. Namun Nathan juga tetap hati-hati, dia menggegam tangan kanan Veera yang tidak cedera. Nathan takut apabila perlakuannya tanpa sengaja membuat Veera cedera. Membuat istrinya supaya tidak merengek ‘meminta di tunggu’ lagi ketika langkah kaki lebarnya tanpa sengaja meninggalkan Veera.Veera tentu saja terus menjaga jarak seaman mungkin untuk menghindari senggolan benda apapun yang bisa menyebabkan bahunya makin sakit. Telapak tangannya turut serta menggegam kokoh telapak tangan Nathan yang terasa hangat, namun ju
Setelah Nathan berhasil membuat jantung Veera berdetak tak karuan, maka sepanjang jalan menuju apartemen Yuda, Veera diam-diam terus memerhatikan Nathan. Entah kenapa tiba-tiba Nathan mengambil alih fungsi sebagian otanya. Veera ingat betul sifat asli Nathan, dia adalah pria kaku, sangat sadis ketika menjadi dosen pengajar, juga akan menjadi pria paling pendiam saat—sifat remaja yang selalu malu-malu itu—tiba-tiba muncul ketika Veera menggodanya. Dan Veera akan kalah dalam permainannya sendiri. Seperti saat ini. Diliriknya sekali lagi suaminya yang masih fokus menyetir itu. Tatapan tajam Nathan menghadap fokus kedepan, alisnya lurus hitam pekat memberikan kesan garang walau sebenarnya pria itu masuk kategori penyabar ketika tidak sedang mengajar. Rambutnya ia sisir ke belakang dengan rapi, tanpa minyak rambut, dan rahang tegas disertai cambang lebat yang baru dicukur bersih memberikan kesan seksi.
Pukul 6:45 pagi.Setelah selesai mandi, seperti biasa ritual paginya adalah berkaca di depan cermin sambil tersenyum lebar. Memandangi wajahnya sendiri baginya itu cukup dapat merasakan kepuasan batin, karena dia merasa dirinya yang paling cantik. Bentuk darinya untuk bersyukur. “Lo emang cantik banget, Veer,” ujarnya pada diri sendiri dengan jempol yang terancung. Veera juga menyibakkan rambutnya yang basah dengan gaya sensual, seketika aroma permen karet mengguar. Ia sangat menyukai aroma itu. Aroma favoritnya.Seusai melafalkan pujian untuk dirinya sendiri, Veera keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk putih yang melilit tubuh putih susunya. Ia melangkah pelan dengan jemari yang masih bermain di rambutnya yang basah. Bernyanyi sambil ber
Pukul 3 pagi.Ketika menjelang pagi, udara mulai terasa dingin. Hujan deras tadi malam sudah mulai reda, tergantikan dengan gerimis sedang. Perpaduan air hujan dan embun pagi itu cukup membuat tubuh manusia kedinginan.Veera berguling ke kanan dan ke kiri. Berulang kali sampai tubuhnya berakhir menubruk tubuh Nathan dan memeluk tubuh suaminya erat. Gaun tidurnya sama sekali tidak berguna untuk menjaga suhu badannya tetap hangat. Tangannya tentu tidak tinggal diam, ia masih berusaha mencari kain tebal untuk menghangatkan tubuhnya. Namun Nihil. Veera sama sekali belum mendapatkan selimutnya.“Nathan... di mana selimutnya?” tanya Veera serak dengan mata terpejam dan tangan yang masih sibuk mencari-cari.“Hmm...”“Di mana?”“Situ!”“Situ mana?” Veera membuka matanya. Menatap suaminya dengan ekspresi kesal dan mata setengah mengantuk. Semalam selimutnya direbut, sekarang
"Kamu dari mana?!”Nathan terkejut melihat Veera berbaring di sofa sambil membaca novel diruang tamu. Perempuan itu tidak terlihat baru datang, karena istrinya tengah memakai gaun tidur bewarna biru muda. Menunggunya pulang? Mustahil.Tumben? Biasanya Cuma mampir lalu pulang lagi... Batin Nathan.Perempuan itu tengah bersedekap menatap tajam pada Nathan. Mirip sekali seperti seorang istri yang menunggu suaminya pulang setelah keluyuran tidak jelas. Dan syukurnya Veera saat ini memang sudah sah sebagai istrinya.“Rumah teman,” jawab pria itu apa adanya.“Bohong!” Veera menggeleng, ia mendekat dan mencium aroma tubuh suaminya yang menyengat. “Kamu mabuk?” tuduhnya. Tepat sekali.“Temanku pecandu minuman. Dia mengoleksi berbagai jenis bir dirumahnya, lalu dia menawariku. Karena tidak enak padanya aku juga ikutan minum.” Jelas Nathan. Pria itu menyapu pandangannya, “Rayan mana?” t
3 Tahun yang laluVeera berdiri didepan pintu bewarna coklat karamel dengan pelitur mengilat. Ia menatap sebal pintu yang masih tertutup itu. Terkunci. Disana sudah hampir setengah jam lamanya ia berdiri sendiri. Dirumah mewah yang katanya—sebenarnya milik kakaknya Yuda.“Yuda kemana sih, di telpon ponselnya gak aktif. Udah rumah gede, tapi sepi kayak kuburan. Emang berapa sih nyewa jasa asisten rumah tangga, security, atau tukang penjaga pintu sekalian biar gue bisa masuk. Kalau tau kayak gini mending gue gak nyamperin Yuda kesini. Banyak nyamuk lagi!” gerutu Veera.Yuda adalah teman yang bertransformasi sebagai kekasihnya. Sudah hampir tujuh bulan mereka berpacaran. Yuda merantau menuntut ilmu di SMA yang sama dengan Veera. Yuda salah satu murid mampu, bisa dibilang keluarganya terpandang, tapi ia tidak tinggal di apartemen mewah karena orang tuanya menyuruh untuk tinggal bersama kakak kandungnya yang bernama Nathan. Dengan al
“Sin, gue mau curhat nih!”“Soal?”“Gimana caranya jatuh cinta sama cowok yang kita benci?”“Sorry?”“Iya, gue kudu jatuh cinta sama cowok yang gue benci.”Sangking kagetnya, Sindy terlalu keras menyobek bungkus snack kripik pedas berukuran jumbo yang baru ia beli. Semua isinya berhamburan ke lantai. Hanya tersisa sedikit remahan-remahan di ujung bungkusnya dan beberapa berceceran diatas meja.Untungnya kantin sedang sepi, jadi tidak begitu memalukan. Walau Sindy memang tidak punya malu.Seorang ibu yang bertugas mengepel lantai dan ibu kantin yang sedang asyik ngerumpi bersama seketika menoleh. Ibu kantin menatap Sindy dengan pandangan datar seolah berkata, “Ealah, mubadzir dek, sini beli lagi!”. Sedangkan ibu yang sedang memegang gagang pel terlihat berkacak pinggang dengan mata melotot, “Bajingan, gue udah
Pukul 13.00Veera melangkah lesu masuk kedalam rumah. Ia menatap heran sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Biasanya Rayan yang paling heboh, menyambutnya dengan sangat antusias. Kali ini Cuma ada mamanya yang sibuk membolak-balik majalah.“Rayan kemana, Ma?”Veera menghempaskan tubuhnya di sofa kulit bewarna hitam yang berada ruang tamu tersebut. Ia juga menaruh tasnya sembarang di atas meja, dan dia sukses mendapat pelototan gratis dari mamanya.Sepulang kuliah tubuhnya benar-benar lelah. Akhir-akhir ini ia sering pulang siang. Biasanya malah sore sampe malam, dan dengan terpasa ia akan menerima tawaran dari Nathan yang kukuh ingin mengantarnya pulang apabila dia tidak membawa kendaraan pribadi. Hal itu bermula sejak Veera dan Nathan terlibat kasus terkunci didalam gedung universitas. Untung waktu itu mereka bisa keluar dengan selamat.“Kamu lupa, hari ini Rayan menginap kerumah m