“Nadira! Ayo bangun.”panggil Nara sambil menepuk pelan punggung pegawainya yang masih tertidur pulas di salah satu sisi tempat tidur.
“Mbak kok sudah rapi saja?”tanya Nadira dengan posisi duduk dan mata yang masih terpejam.
Nara tertawa geli,”Kamu buka mata saja enggak. Tahu dari mana kalau aku sudah rapi?”tanyanya heran.
“Wangi sabun.”sahut Nadira sambil tersenyum polos.
“Sudah sana cepat mandi.”perintah Nara,”Nanti Tasya dan Mayang keburu selesai.”jelasnya lagi.
#
“Nanti sore kalian akan langsung kembali ke Jakarta?”tanya Nara memastikan begitu Tasya selesai berdandan.
Tasya tersenyum ceria sambil memegang mi instan dalam kemasan yang baru saja diseduhnya,”Iya soalnya besok aku sudah harus masuk kantor.”jelasnya singkat.
“Itulah kenapa ibu kota lebih kejam dari ibu
Halo para pembaca...ini kelanjutan cerita Nara selama di Yogyakarta...ditunggu lagi ya kelanjutannya. Terima kasih. Jangan lupa vote dan bintangnya 😄😄😄
Mata Nara membesar, terkejut dan panik bercampur jadi satu dalam sekian detik. Ia menahan napas sesaat berusaha mencerna apa yang sedang terjadi dan apa tindakan yang harus ia lakukan.Namun suara jeritan pegawainya segera menarik Nara ke alam nyata,“Mbak Ririn!”seru Nadira panik berlari mendekati kliennya itu.“Sepertinya perutnya sakit.”ujar Nara begitu mendekat.Ririn masih sadarkan diri namun terlihat menahan sakit dengan tubuh meringkuk memeluk perutnya.“Bagaimana ini? Apa kamu bisa bangun?”tanya Nara lagi, ia sendiri kebingungan untuk membantu Ririn.#Ringgo masih terlihat acuh, seakan tidak peduli dengan keadaan calon istrinya hanya memandang sekilas sambil mendesah kesal,”Sudah kamu kalau sakit tidur saja!”ocehnya tiba-tiba membuat seluruh orang dalam ruangan terkejut. Akhirnya Baro dan Cecep mengajak Ringgo untuk pergi keluar sebelum keadaan menja
Pagi ini karena etiket baik Nara, Nadira beserta Mayang, Baro dan Cecep mengantar Ririn juga Ringgo ke bandara. Ririn memang sudah diijinkan untuk pulang namun masih harus banyak beristirahat.“Jadi ini kita enggak jadi ke Taman Sari lagi?”tanya pak Jamil begitu dalam perjalanan mengantar semua anggota tim foto kembali ke vila.“Kira-kira begitu pak karena yang mau kami foto malah masuk rumah sakit.”jawab Nara yang duduk di sebelah kursi kemudi dengan cepat.Pak Jamil mengangguk mengerti,”Kalau begitu jadwal hari ini akan diganti apa?”tanyanya sopan.“Yang pasti nanti sore bapak harus jemput Alya dan Devan. Mereka tiba dengan penerbangan terakhir.”kata Nara mengingatkan,”Setelah itu tidak ada jadwal penting. Apa kalian ada yang mau pergi?”tanya Nara menawarkan.Namun tidak ada jawaban karena yang lain sudah terlebih dahulu berangkat menuju alam mimpi karena terlalu lelah dengan kejadian dua hari ini.“Ya ampun p
“Aku kira kita akan liburan ke mana?”gumam Ara sambil menghela napas pelan saat ia dan keluarganya sedang dalam perjalanan menuju hotel yang sudah pasti dipesan sendiri oleh ibu Ratih.Nathan dengan wajah datar menatap kakaknya,”Yang kecewa bukan hanya mas kok.”ujarnya pelan.“Malam ini kita makan di luar ya?”ajak ibu Ratih bersemangat.“Makan di hotel saja ma. Papa capek kemarin kan papa harus ketemu orang sampai malam.”pinta pak Alex pada istrinya.“Setuju!”seru Ara dan Nathan kompak.Dan jadilah ibu Ratih memandang suami juga kedua anaknya dengan mulut mengerucut.#“Jalanan sempit kayak begini saja bisa jadi bagus ya kalau di kamera.”gumam Alya kagum dengan hasil foto yang sedang Baro perlihatkan padanya juga Devan.“Wah seni fotografi itu memang menarik ya.”ujar Devan tanpa mengalihkan pandangannya dari
“Kalau begini mah enggak heran kenapa mama niat banget. Semuanya diurus sendiri.”gumam Nathan saat dirinya yang juga baru memasuki lobi hotel dan menemukan pemandangan ibunya sedang berpelukkan dengan gadis yang mungkin adalah calon kakak iparnya, paling tidak sampai saat ini.Sedangkan pak Alex hanya menggelengkan kepala melihat tingkah istrinya,”Papa enggak ikutan ya. Papa mau naik duluan.”ujarnya pada Nathan lalu terus berjalan menuju lift, bahkan ia masih sempat melambai pada Nara yang sedang tercekik dalam pelukan istrinyaAra menghela napas pelan,”Mama punya bakat jadi mata-mata apa bagaimana sih? Kenapa bisa tahu itu anak ada di Yogya juga.”gumamnya sambil mengacak rambutnya lalu berjalan bergegas menyelamatkan Nara dari pelukan ibunya.#“Tannntteee..”ucap Nara terbata-bata karena tangan ibu Ratih melingkar terlalu kuat di lehernya.“Mama, mama. Lepa
“Mukamu itu kenapa serius amat sih?”tanya Mayang sambil sibuk melipat pakaian lalu memasukkannya ke dalam koper,”Lagi ngecek tiket kok tapi mukanya malah kayak baru dapat pesan ancaman dari depkolektor.”tambahnya lagi memberikan komentar.Nadira menurunkan ponsel yang menutupi wajahnya,”Aku enggak bisa cek in tiketnya mbak Nara.”jawabnya panik,”Apa yang salah ya?”tanyanya pada Mayang dengan wajah cemas.Mayang memiringkan kepalanya,”Kamu yakin enggak ada yang salah?”tanyanya memastikan,”Tiket yang lain bisa?”tanyanya lagi.“Tiket yang lain tidak ada masalah mbak. Hanya punya mbak Nara yang enggak bisa, aku sudah coba hampir sepuluh kali tapi tetap enggak bisa. Bagaimana dong ini? Bisa-bisa aku kena marah nih.”ujar Nadira mulai panik.“Coba telepon maskapai penerbangannya saja kalau enggak.”saran Mayang akhirnya.#&nb
Sudah hampir jam empat sore begitu Nara dan Ara tiba kembali di hotel, mereka berpapasan dengan pak Jamil yang seharusnya akan mengantar Nara juga rombongan tim foto yang akan berangkat menuju bandara sore ini,”Sore pak!”sapa Nara pada pak Jamil yang baru tiba di lobi.“Sore mbak.”balas pak Jamil ramah.Nara lalu berjalan masuk,“Kalian sudah mau berangkat sekarang?”tanyanya begitu melihat Mayang juga Nadira sedang berjalan keluar lift sambil menarik koper mereka,”Tunggu sebentar ya! Barang-barangku sudah siap kok.”pintanya hendak menahan pintu lift sebelum Nadira menghentikannya.“Mbak, aku enggak tahu kenapa tiket mbak bisa dipindah jadi hari selasa.”jelas Nadira dengan wajah pasrah jika bosnya itu memarahinya.Nara segera memutar tubuh dan memiringkan kepalanya lalu menatap pegawainya dengan heran,”Maksudnya?”tanyanya meminta Nadira untuk mengulang penj
“Mama mau kita ke mana?”tanya Ara begitu mendengar ibu Ratih menyelesaikan kata-katanya.“Mama mau kita ke mana?”ulang Nathan yang juga sama terkejutnya dengan Ara,”Inikan bukan urusanku kenapa aku harus ikut juga?”gumamnya lagi tidak terima harus ikut bangun sepagi ini di saat liburan.Ara langsung bangun dari tempat tidur lalu mendekati ibunya,”Ma, mau ngapain sih kita pakai cari orang pintar segala? Jangan aneh-aneh ma.”ujarnya pelan masih dengan wajah yang menahan kantuk.“Mama hanya mau minta dicariin tanggal bagus. Itu saja kok. Enggak aneh-aneh kan?”sahut ibu Ratih polos,”Kata jeng Winda itu penting.”jelasnya lagi.Ara menghela napas pelan lalu mengusap wajahnya,”Mama itu saja sudah cukup aneh. Mana ada tanggal yang jelek? Semua tanggal itu sama baiknya.”jelasnya berusaha untuk menghentikan niat ibunya itu.#“Mas bi
“Kamu tahu enggak hotel tempat kami menginap itu bagus banget, terus kamar tempat kami tidur itu juga gede. Belum lagi ditambah sarapannya yang enak banget.”cerita Nadira penuh semangat sampai membuat Galang merana mendengarnya.“Wah kamu benaran sukses, kerja sambil menginap di hotel mewah.”ujar Galang takjub bercampur iri dengan rekan kerjanya itu.“Yang paling asyik lagi karena kita enggak keluar uang sama sekali. Gratis!”seru Nadira mengingatkan.“Punya calon mertua kayak begitu sih asyik juga ya.”komentar Galang seakan membayangkan.“Asyik? Bukannya kemarin kamu bilang serem? Tiba-tiba bisa telepon terus minta ganti ini itu.”ujar Embun yang mendengar pembicaraan kedua pegawainya itu.Galang tiba-tiba menggeleng sambil memeluk dirinya sendiri,”Iya deh serem. Kayak ibu suri.”ujarnya,”Kamu bayangin ya mbak Embun disuruh ini, disuruh itu.”jelasnya pada Nadira.“Tapi kan ayam goreng yang dibeliin tante Ratih kamu habi
“Mas dokter!” panggil pak Asep begitu melihat Ara.“Pak Asep? Apa kabar pak?” sahut Ara sambil tersenyum ramah, ”Sama siapa pak?” tanyanya.Pak Asep ikut tersenyum, ”Baik mas dokter.” jawabnya sambil menunjuk ke arah belakang punggung Ara, ”Menemani Indah bawa si kembar periksa.” jelasnya.Begitu menoleh Ara melihat sepasang anak berusia empat tahun sedang berlari ke arah mereka.“Siang mas dokter, sudah lama sekali. Apa kabar?” sapa Indah.Ara tersenyum begitu melihat Indah, ”Wah mereka sudah besar ya.” ujarnya sambil berjongkok menyapa si kembar, ”Kalian Nara kan?” tanyanya sambil tertawa.#“Nara belum datang?” tanya Arka sambil menganggukkan kepala begitu melihat pak Asep dan Indah.Ara melirik jam di pergelangan tangannya, ”Harusnya sudah di sini.” jawabnya sambil mencari, ”Itu dia.” katanya sambil menunjuk ke arah lift.#“Jalanan macet banget tadi.” jelas Nara napas terengah-engah.“Y
“Ya ampun ini jeng satu.” ujar Zia begitu tiba di kantor,”Ponsel kok ditinggal di kantor.”katanya sambil mengangkat ponsel milik Nara yang ada di atas meja.“Mbak Nara sudah pulang?” tanya Galang, ”Apa kalau enggak kita titip ke mas Arka saja? Mungkin mas Arka belum pulang.” sarannya sambil menunjuk ke arah bangunan sebelah.“Tapi teleponnya mas Arka enggak diangkat nih.” kata Zia saat mencoba menelepon Arka dengan menggunakan ponsel milik sahabatnya itu.#“Arka belum selesai ya.” gumam Ara begitu keluar dari ruang operasi, ”Mau pulang? Apa makan dulu ya? Kenapa aku jadi bingung begini.” ujarnya pada dirinya sendiri, ”Itu anak lagi ngapain ya? Kok bisa sih sudah seminggu dia benar-benar enggak nyariin aku.” keluh Ara tanpa sadar sambil menatap ponselnya.#“Halo?” jawab Ara tanpa sadar malah tersenyum lebar begitu melihat siapa yang meneleponnya.“Halo mas!” balas Zia cepat.Begitu mendengar suara Zia yang menjawab,
“Kok kamu enggak tanya apa-apa?” tanya Ara begitu duduk berhadapan dengan Davina.“Memang ada apa lagi yang bisa aku tanya?” balas Davina sedikit ketus, ”Bisa-bisanya dirimu enggak cerita sama sekali.” omelnya lagi.“Maaf aku juga bingung harus bagaimana ceritanya.” jelas Ara memberi alasan.“Kamu sih benar-benar bikin aku malu di depan keluargamu. Mana baru pertama kali ketemu lagi.” keluh Davina sambil menahan senyum.Melihat kekasihnya itu tidak jadi marah Ara pun menghela napas lega.#“Kamu benaran mau pergi?” tanya Embun begitu melihat Nara menutup teleponnya.Nara menghela napas panjang, ”Memang aku punya pilihan untuk enggak pergi?” jawabnya.“Kayaknya tante Ratih tahu apa enggak, enggak banyak pengaruhnya.” komentar Zia menanggapi.#“Mama yang benar saja? Kalau mas tahu bagaimana?” oceh Nathan begitu tahu kalau ibu Ratih habis menelepon Nara.“Mama kan kangen sama Nara.” kata ibu Ratih m
“Mbak! Itu tante Ratih datang.” ujar Nadira sambil berlari ke arah dalam kedai.“Ini kedai punya anaknya, sudah jelas tante Ratih pasti datang.” jawab Nara berusaha terdengar setenang mungkin padahal jantungnya tidak berhenti berdegup, apa lagi saat mendengar kalau kedua orangtuanya begitu bersemangat untuk menerima undangan dari Nathan.“Mbak! Tante Linda sama om Yono balik ke sini lagi sama mas Arka kapan?” kata Galang yang muncul dengan wajah panik beberapa saat kemudian, ”Itu tante Ratih sudah di depan.” katanya lagi tiba-tiba dengan suara berbisik.“Kamu telat.” balas Nadira cepat.#“Kok kalian masih di sini?” tanya Ara begitu melihat Zia sambil menunjuk penghuni kantor Nara yang lainnya.“Kami di sini sih enggak masalah mas.” jawab Zia dengan wajah cemas, ”Yang repot itu nanti tante Linda sama om Yono balik lagi sama mas Arka.” jelasnya cepat.Mendengar itu dalam hitungan detik Ara segera menghilang dari hadapan Z
“Kamu serius?” tanya Nathan memastikan begitu mendapat kabar dari Zinnia, rekan usahanya yang juga merupakan adik teman baiknya sejak masa SMA.“Iya mas. Bagaimana nih? Acaranya kan tinggal tiga hari lagi.” Jawab Zin cemas.Nathan mengetuk bagian belakang ponselnya sambil berpikir, ”Nanti biar aku yang coba cari gantinya.” kata Nathan akhirnya.#Ara dan Nara cukup lama saling berpandangan, keduanya tidak bisa langsung menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh Arka. Untung saja Dewi dengan cepat membaca kepanikkan dua Nara itu, ”Sayang, sudah malam nih. Besok kan kamu juga ada jadwal operasi pagi.” katanya sambil mengapit lengan Arka, “Ayo kita pulang.” ajak Dewi dengan setengah memaksa sambil memberi isyarat pada Nara dengan menggerakkan kepalanya.“Iya mas sudah malam. Kami juga pulang dulu ya.” ujar Nara cepat segera menarik lengan Ara yang masih berdiri mematung dengan wajah kaku.#“Mas! Mas
“Mas Arka! Kok baru pulang?” tanya Nara saat keluar dari mobil dan berpapasan dengan kakaknya itu.“Habis seminar.” jawab Arka singkat, ”Kalian kenapa bisa sama-sama?” tanyanya heran.Ara yang tidak turun dari mobil hanya menurutkan kaca mobilnya, ”Mana ada seminar sampai jam sebelas malam?” tanyanya curiga.Arka tidak langsung menjawab mata-matanya bergerak-gerak cemas.“Mas kenapa malah kayak orang bingung begitu?” tanya Nara ikut menimpali.“Macet! Macet!” jawab Arka akhirnya, ”Jadi kenapa kalian bisa sama-sama?” ulangnya sengaja mengalihkan.”Terpaksa ketemu mas.” jawab Nara singkat.“Mustinya diriku yang bilang begitu.” balas Ara tidak terima, ”Tahu begitu tadi harusnya aku biarin kamu pulang sendiri.” gerutunya sebal.“Memang siapa yang suka diantarin pulang sama mas!” omel Nara dengan suara meninggi.Arka yang awalnya sempat panik dengan pertanyaan yang diajukan oleh Ara kini menarik
“Mbak! Hasil video minggu kemarin enggak bisa dibuka!” seru Galang panik langsung menerobos masuk ke dalam ruang kerja ketiga mbak bosnya itu.Sontak ketiganya langsung menoleh menatap satu-satunya pria di kantor mereka itu.“Bagaimana bisa? Punya Alya dan Devan kan kemarin semua sudah di cek. Baik-baik saja kok.” ujar Embun yakin.Galang menunjuk ke arah luar ruangan, “Yang bermasalah itu punya Lusi dan Bima mbak.” terangnya dengan wajah yang dipenuhi dengan kecemasan.Mendengar itu mata Nara langsung membesar, ”Kok bisa? Kamu yakin kemarin enggak ada salah?” tanyanya memastikan.“Yakin mbak!” jawab Galang yakin.“Kamun coba cek lagi, kalau masih enggak bisa segera pergi ambil lagi video mentahannya ke tempat mas Baro.” ujar Zia cepat.“Nanti aku yang akan kasih tahu kantor mas Baro.” tambah Nara lagi.#“Ma aku sudah bilang kan dari kemarin. Itu bukan urusan kita.” jelas Ara untuk kesekian kalinya.
“Wah! Ini hadiah ulang tahun buat mama?” tanya ibu Linda dengan mata berbinar begitu melihat batu kecil yang menghiasi kalung pemberian ke dua anaknya.Arka tanpa sadar tersenyum senang begitu melihat reaksi ibu Linda, ”Nara yang pilih ma. Terus Nara yang satu lagi kasih ide untuk kasih mama perhiasan.” jelasnya, “Wah! Aku baru tahu kalau mama suka sama benda yang satu ini.” komentar Arka yang tidak menyangka kalau ibunya akan sesenang ini.Ibu Linda yang masih memasang senyum lebar sibuk mengenakan kalung barunya, “Cuma wanita aneh yang menolak benda cantik begini.” katanya ringan.Nara yang mendengar kata-kata ibunya mau tidak mau mengingat dua kejadian waktu di mana dirinya ribut menolak pemberian Ara juga ibu Ratih.“Kamu kok malah bengong?” tegur ibu Linda sambil menyenggol lengan putrinya itu.#“Ini bagaimana dong?” keluh Zia sambil menopak dagu dengan kedua tangannya.Nara yang juga belum lama tiba di kantor ikut
Karena Arka dan Rio harus pergi menjemput dokter Tio beserta istrinya jadilah Nara dan seisi kantornya malah ikut menemani Ara di UGD, bukan menemani lebih tepatnya mereka semua penasaran kenapa para dokter itu ramai-ramai menangis.“Mas sudah jangan diam begitu kenapa? Bikin takut orang tahu.” tegur Nara pada Ara yang hanya duduk diam di sebelahnya tanpa mengatakan apa pun.Ara yang tadi sempat terisak saat menghadapi kepergian Danu hanya menghela napas panjang.“Mas enggak mau makan?” tanya Galang yang baru datang sambil menyodorkan hamburger yang baru saja dibelinya bersama Nadira dari restoran cepat saji di depan mal.Namun bukannya menanggapi Ara malah hanya mengangkat kepala menatap ke arah Galang yang berdiri di hadapannya.“Ada apa mas?” tanya Galang yang kebingungan dengan maksud tatapan yang ditujukan kepadanya.Terlihat ada rasa penyelasan di mata Ara, ”Seharusnya jangan aku angkat waktu itu.” gumamnya pelan