"Kok, nggak nungguin, Mas? Cepat banget jalannya."Rani hanya diam. Dadanya terasa sakit. "Yank!" panggil Irwan. Ia mencoba meraih tangan Rani, tapi Rani malah menjauhkan tangannya. "Bisa kita pulang sekarang? Kepalaku sakit, Mas!" ujarnya tanpa melihat wajah Irwan. "Naufal sudah puas 'kan mainnya? Kita pulang sekarang nggak pa-pa, kan?" Walau perkataan Rani terdengar lembut di telinga anaknya, namun rasa kesal dan sakit di hatinya tak bisa ia sembunyikan. Rasa sakit itu terpancar dengan jelas di wajahnya. "Iya, Ma! Kayanya, Mama sakit kepala lagi, ya? Meski Naufal belum puas, tapi kita pulang saja! Wajah Mama terlihat sedih kayak tadi. Pasti Mama kesakitan banget, kan?" Ia mengira Rani kesakitan. "Iya, Nak! Mama lagi nggak enak badan.""Iya, Ma! Kita pulang saja!""Terimakasih ya, Nak!""Naufal juga berterimakasih Mama dan Ayah sudah ngajak Naufal pergi bermain di tempat ini."Di atas motor anak itu bertanya lagi kepada Rani."Ma, boleh Naufal tanya kenapa Mama jadi sakit kepala
"Loh, kenapa nggak mau? Apa alasan dia nggak mau menuruti Mas?""Katanya Mas nggak berhak melarang dia.""Aku juga nggak macam-macam sama mereka semua. Kami hanya temenan biasa, kok," ucapnya waktu itu. Mungkin karena emang dasar sifatnya egois jadi berkata begitu," terang Irwan. "Lalu, Mas marah sebab dia nggak mematuhi ucapan Mas? Mas sakit hati nggak dia berkata begitu?""Awalnya sih, sakit hati. Tapi, setelahnya jadi biasa aja. Malah dulu pernah Mas mengobrol dengan seorang pelanggan wanita, waktu Mas kerja ikut orang. Lalu, dia ngelihat. Kamu tau apa yang dia katakan?""Apa?" "Dia malah marah sama Mas! Katanya Mas nggak jaga perasaan dia bicara sama cewek lain. Eh, Mas 'kan bingung! Ini kerjaan, loh. Masa, Mas harus pilih-pilih kalau ada yang beli? Bener 'kan?"Rani manggut-manggut. "Terus Mas bilang apa sama dia? Waktu ngelarang Mas bicara sama pelanggan cewek?""Ya, Mas bilang aja! Mereka 'kan hanya pelanggan, bukan cewek yang gimana-gimana! Mas juga nggak bicara yang di luar
Rani begitu serius dan penasaran dengan kelanjutan perkataan suaminya. "Siapa, Mas?""Cewek... itu sebenarnya... Mas sendiri!"Rani tercengang dengan jawaban Irwan. Ia mencoba mencerna, apa maksud suaminya ini. "Haa? Maksudnya?""Hahaha...!" Irwan menertawakan kebingungan Rani. "Loh, kok, malah ketawa sih?""Hahahaha...! Habis kamu lucu banget! Masa, nggak ngerti dengan ucapan Mas?""Kalau orang nggak ngerti itu, dijelasin bukannya diketawain!""Masa kamu nggak ngeh dengan jawaban, Mas?""Sebenarnya, Mas nggak pernah perhatian sama cewek lain.""Lalu, cewek yang Mas maksud tadi siapa?""Cewek itu nggak ada. Itu akun palsu yang Mas buat sendiri untuk menjadikan alasan supaya Winda marah dan mutusin Mas!""Jadi, maksudnya, Mas chatingan sama diri Mas sendiri, gitu?""He-em, betul sekali! Memang wajah Mas bisa berbuat begitu, meski sudah punya pasangan?""Sampai sekarang dia tau nggak? Kalau akun itu milik Mas sendiri?""Nggak tau! Akun itu juga sudah hilang!""Apa akun itu benar-bena
Irwan berusaha menenangkan dirinya. "Kamu sudah pernah lihat mereka?""Belum, Mas!""Oh, Mas kira kamu sudah ketemu sama mereka.""Sepertinya, tetangga kita yang satu itu orang terkenal, Mas!""Maksud kamu, dia artis gitu?""Bukan! Eh, tapi aku nggak tau juga, sih, dia artis apa bukan!""Kalau kamu saja nggak tau mereka siapa, kenapa kamu bilang mereka terkenal?" tanya Irwan bingung. "Habis, warga di sini membahas mereka terus.""Ya, namanya juga tetangga lama balik lagi, Yank! Ya, sudah biasa jadi omongan tetangga.""Iya, ya, Mas! Pasti mereka menduga-duga kenapa orang itu balik lagi ke sini. Dan bisa jadi warga di sini sedang memikirkan konspirasi tentang suami istri itu." Rani merasa lucu sendiri dengan kata-katanya. "Kamu..! Bahasanya kaya di film-film aja!" sahut Irwan. "Gitu 'kan biasanya? Dulu juga, waktu di tempatku semasa kecil ada tetangga yang sudah pergi dari situ kemudian balik lagi, pasti banyak orang yang menduga-duga. Apa penyebabnya kembali lagi, padahal sudah ena
"Pasti cara ini akan berhasil dan mereka nggak akan tau kalau aku cuma modus!" Winda tersenyum senang, membayangkan rencananya akan berhasil. Winda beranjak dari tempat duduknya dan bersiap ke dapur untuk melancarkan rencananya. "Yang enak dan simpel masakan apa, ya? Kalau nggak salah, dulu Mas Irwan suka ayam goreng. Baiklah! Masak itu aja sekarang."Winda mulai memasak, dia juga membuat bubur kacang untuk dibagikan kepada tetangga yang lain. "Aduh, sebenarnya repot sih, tapi demi Mas Irwan. Aku rela ngelakuin ini. Kalau hanya Mas Irwan yang dikasih 'kan, nanti orang bakal langsung curiga kalau aku mengincar Mas Irwan," gumamnya. Winda segera menyelesaikan masakannya. Lima belas menit kemudian, masakannya sudah selesai. Wajahnya terlihat puas saat melihat hasil karyanya. "Perfect...!" ujarnya sambil mencium kedua jari tangannya seperti yang biasa dilakukan koki profesional. "Sudah pasti Mas Irwan akan suka dengan masakan ini," ujarnya percaya diri. Selesai menyiapkan masakan i
"Oh..! Jadi maksud, Mas, aku nggak mengesankan begitu?" Rani mulai terdengar sewot. "Kalian berdua sama-sama mengesankan tapi dari segi yang berbeda. Dia itu mengesankan dari segi membuat orang sakit hati. Sampai trauma, Mas dibuatnya. Nggak lagi berminat sama yang namanya pacaran. Setelah ketemu sama kamu saja yang membuat Mas merasakan yang namanya dicintai itu, gimana rasanya. Ternyata semenyenangkan ini."Rani tersipu malu. "Dari pada membicarakan masa lalu, lebih baik kita membicarakan masa depan. Menurut Mas, hanya kamu cinta pertama, Mas selama ini.""Hemm, gombal!" ucap Rani malu-malu. "Itu bukan gombal, Sayang! Tapi kejujuran. Udah, ah! Lebih baik, kita bermesraan. Sudah lama ini, Mas kangen!""Ih, apa sih, Mas!" Rani sedikit jaim.Irwan mendekap Rani meskipun istrinya itu menolak. Tapi, memang dasarnya Rani selalu tak bisa bahkan tak tega menolak permintaan suaminya itu. Mereka pun kembali berbaikan. Kepercayaan Rani kepada suaminya kembali meningkat. *****Keesokan har
"Maksudnya apa, ya?" Rani berusaha untuk tidak terpancing emosi. "Maksud saya, apa kamu setiap hari melakukan hal ini?""Maksudnya?""Masak atau apa pun itu. Pekerjaan ibu rumah tangga!""Oh, iya!""Apa kamu nggak kerja? Kerja di mana kamu?""Saya kerja di rumah, Mbak!" "Kamu nggak kerja 'kan? Berarti kamu pengangguran, dong!""Saya kerja sambilan di rumah... " Belum selesai Rani menjelaskan, tiba-tiba ucapannya sudah dipotong oleh Winda. "Ah, saya tau! Kerja sambilan kamu pasti rebahan 'kan? Hahaha!" Winda tertawa mengejek. "Mengurus rumah itu bukan kerja namanya. Jadi, istri itu harus bisa kerja, Mbak! Biar nggak ditinggal sama suami. Apalagi, setahu saya waktu masih sama Mas Irwan, dia itu nggak suka sama wanita yang manja dan nggak mandiri. Tapi, lihat sekarang! Apa ini karma buat Mas Irwan karena dulu selalu menyakiti saya? Kasihan ya, Mas Irwan punya istri beban seperti kamu!" ejeknya lagi. Rani hanya diam saja, mendengarkan ocehan wanita itu. Sebelum dia membungkam mulut
Pagi-pagi sekali Winda sudah siap dengan pakaian kerjanya. Hari ini dia bersiap masuk kerja. "Padahal pengen istirahat di rumah aja hari ini," keluhnya. Di rasa sudah kesiangan, Winda memutuskan untuk sarapan di warung depan. "Mama berangkat dulu ya, Syifa!" Winda berpamitan kepada anaknya. "Iya, Ma!" Gadis kecil berumur 9 tahun itu mengangguk. "Sebenarnya Mama sudah ajukan cuti sampai Syifa masuk di sekolah baru nanti. Tapi, apa boleh buat, hari ini banyak kerjaan. Jadi, terpaksa Mama masuk kerja!" Winda memberikan penjelasan kepada putrinya. "Nanti, Nenek kemari buat nemenin Syifa."Winda meninggalkan anaknya seorang diri di rumah. "Jangan melakukan hal yang berbahaya selama tidak ada orang dewasa, ya!" Winda mengingatkan lagi. "Baik, Ma!"Dirasa anaknya sudah mengerti apa yang dia ucapkan, Winda bergegas pergi. "Eh, Mbak Yani. Masih pagi sudah rapi aja!" Tetangga sebelah Winda menyapa. "Iya, Bu! Mau kerja, hari ini disuruh Bos datang lebih awal.""Oh! Mbak Yani kerja, ya?