"Maksudnya apa, ya?" Rani berusaha untuk tidak terpancing emosi. "Maksud saya, apa kamu setiap hari melakukan hal ini?""Maksudnya?""Masak atau apa pun itu. Pekerjaan ibu rumah tangga!""Oh, iya!""Apa kamu nggak kerja? Kerja di mana kamu?""Saya kerja di rumah, Mbak!" "Kamu nggak kerja 'kan? Berarti kamu pengangguran, dong!""Saya kerja sambilan di rumah... " Belum selesai Rani menjelaskan, tiba-tiba ucapannya sudah dipotong oleh Winda. "Ah, saya tau! Kerja sambilan kamu pasti rebahan 'kan? Hahaha!" Winda tertawa mengejek. "Mengurus rumah itu bukan kerja namanya. Jadi, istri itu harus bisa kerja, Mbak! Biar nggak ditinggal sama suami. Apalagi, setahu saya waktu masih sama Mas Irwan, dia itu nggak suka sama wanita yang manja dan nggak mandiri. Tapi, lihat sekarang! Apa ini karma buat Mas Irwan karena dulu selalu menyakiti saya? Kasihan ya, Mas Irwan punya istri beban seperti kamu!" ejeknya lagi. Rani hanya diam saja, mendengarkan ocehan wanita itu. Sebelum dia membungkam mulut
Pagi-pagi sekali Winda sudah siap dengan pakaian kerjanya. Hari ini dia bersiap masuk kerja. "Padahal pengen istirahat di rumah aja hari ini," keluhnya. Di rasa sudah kesiangan, Winda memutuskan untuk sarapan di warung depan. "Mama berangkat dulu ya, Syifa!" Winda berpamitan kepada anaknya. "Iya, Ma!" Gadis kecil berumur 9 tahun itu mengangguk. "Sebenarnya Mama sudah ajukan cuti sampai Syifa masuk di sekolah baru nanti. Tapi, apa boleh buat, hari ini banyak kerjaan. Jadi, terpaksa Mama masuk kerja!" Winda memberikan penjelasan kepada putrinya. "Nanti, Nenek kemari buat nemenin Syifa."Winda meninggalkan anaknya seorang diri di rumah. "Jangan melakukan hal yang berbahaya selama tidak ada orang dewasa, ya!" Winda mengingatkan lagi. "Baik, Ma!"Dirasa anaknya sudah mengerti apa yang dia ucapkan, Winda bergegas pergi. "Eh, Mbak Yani. Masih pagi sudah rapi aja!" Tetangga sebelah Winda menyapa. "Iya, Bu! Mau kerja, hari ini disuruh Bos datang lebih awal.""Oh! Mbak Yani kerja, ya?
"Ham, stop! Kayaknya di sini tempatnya lumayan, deh!" Winda menunjuk sebuah tanah kosong tepat di depan pasar. "Emm, iya! Oke juga kayaknya. Kita di situ saja, tapi minta izin dulu sama yang punya tanah. Kalau sudah ada yang menduduki 'kan, susah!""Oke!" Winda mengangguk. Ilham kemudian mendekati orang yang berada di dekat situ dan mulai bertanya-tanya. Winda melihat Ilham mengangguk dan nampak tersenyum. "Gimana, Ham?" tanya Winda. "Oke, Win! Di situ aman! Kita diperbolehkan membuka tenda di sana," ujar Ilham. "Alhamdulillah! Ayo, cepat!"Mereka berdua mulai memasang tenda rakitan yang mereka bawa dan mulai menyusun barang-barang yang mereka jual. Setelah selesai menyusun semua. Winda dan Ilham mulai menawarkan barang-barang mereka kepada setiap pejalan kaki yang lalu lalang. "Ayo, Ibu-ibu semua barang promo! Bisa dilihat-lihat dulu, ya!" Winda dan Ilham memulai demo produk yang mereka bawa. "Dari merk apa ini, Mas?" Seorang pejalan kaki yang penasaran bertanya kepada Ilham.
"Menurut kamu, Mas Irwan sedang apa?" Rani nampak tak suka saat mantan kekasih suaminya itu menyapa. "Emm, Mas Irwan ngapain di tempat ini?" tanya Winda, namun Irwan enggan menjawab. Dia lebih memilih pergi meninggalkan Winda. "Eh, Mas Irwan tunggu!" Winda mencoba mengikuti Irwan tapi dicegah oleh Rani. "Maaf, Mbak Winda ada keperluan apa sih, jadi ngikutin suami saya? Sampai ke sini?""Ngikutin apa, sih?""Mbak ke pasar ini karena ngikutin suami saya 'kan?""Saya di sini lagi kerja. Emangnya kamu, pengangguran! Kerjaannya rebahan sama ngintilin suami kayak gini?" ketusnya."Memang salah? Saya mau nyapa Mas Irwan?" timpalnya lagi. "Nyapa sih nyapa, tapi nggak perlu sampai segitunya juga kali! Ingat, Mbak. Mas Irwan itu sudah punya istri. Jadi, Mbak nggak usah terlalu mendekati Mas Irwan.""Ya, elah! Biasa aja kali, Mbak! Saya dan Mas Irwan 'kan saling kenal dari dulu, bahkan pernah punya hubungan spesial. Jadi, ya wajar saja," ujarnya terdengar santai. Rani terperangah dengan uca
"Ayo, Bu! Winda antar pulang!"Bu Marlin beranjak dari duduknya. Dan membereskan perlengkapannya. "Terimakasih ya, Bu! Sudah mau ke rumah jagain Syifa.""Sama-sama. Kamu ingat pesan Ibu tadi.""Iya, Bu! Syifa, ayo salim sama Nenek!"Gadis kecil itu menuruti perintah mamanya. "Kami langsung pulang ya, Bu!""Nggak masuk dulu?" tanya Bu Marlin. "Nggak, Bu! Winda mau langsung istirahat. Besok Winda banyak kerjaan.""Ya, sudah! Syifa masih belum masuk sekolah 'kan?" "Belum, Bu! Kayaknya, dua hari lagi baru selesai persiapannya.""Besok, Syifa-nya diantar ke sini saja! Soalnya, Ibu sibuk!""Iya, Bu! Pagi sebelum berangkat kerja, Winda antar!""Emm. Cepat kalian pulang, nanti kemalaman.""Baik, Bu! Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam! Hati-hati di jalan!"Anak dan cucu Bu Marlin hanya mengangguk. Winda menjalankan motornya dengan kecepatan sedang. "Kamu sudah selesai menyiapkan perlengkapan untuk sekolah nanti?" Di atas motor yang sedang melaju, Winda bertanya kepada anaknya. "Sisa
"Mas, Mas Irwan!" Rani terus berteriak dan mengejar suaminya yang sedang membonceng mantan kekasihnya itu. "Em, Mas Irwan! Istri Mas, sedang memanggil. Apa setidaknya kita berhenti dulu!" Walau tak ingin istrinya Irwan mengganggu kebersamaan mereka. Tapi, Winda ingin memastikan. Apakah Irwan hanya tidak mendengar kalau istrinya tengah memanggil dirinya. "Biarin aja! Nggak usah dihiraukan!" jawaban yang tak terduga keluar dari mulut Irwan. "Ha? Apa? Apa aku tidak salah dengar? Apa benar Mas Irwan menjawab begitu," batin Winda. "Emm, sebaiknya kita berhenti dulu saja, Mas! Aku nggak enak nanti kalau kalian sampai bertengkar," ujar Winda. Padahal sebenarnya kalau mereka bertengkar itu akan menjadi jalan yang bagus untuknya kembali kepada Irwan. Ia mengatakan itu hanya untuk memastikannya saja. "Sudah! Nggak pa-pa! Kalau kita berhenti dan meladeni istriku, nanti kamu malah terlambat lagi ke tempat kerja.""Wow, ini sesuatu yang nggak terduga," gumam Winda dalam hati. "Tapi aku bener
BRUAKH..."Aduh....!" Winda meringis. Ia terjatuh dari tempat tidurnya."Aaaa..., hanya mimpi ternyata!" Wajahnya nampak cemberut setelah mengetahui bahwa adegan romantis yang dia rasakan tadi hanya mimpi belaka."Emm, Mas Irwan!" Winda masih terbayang-bayang akan mimpinya tadi."Ma? Mama?" Syifa mengetuk pintu kamar mamanya. Winda pun berjalan ke arah pintu dan membukakannya."Hei, tumben kamu yang bangun duluan?" tanya Winda. Karena tidak biasanya anaknya itu bangun sendiri."Aku habis buang air kecil tadi, Ma! Pas dilihat jam, ternyata sudah jam 5. Jadi, sekalian aja bangun," jawab Syifa."Oh, ya udah! Kita sholat dulu, setelah itu baru mandi. Supaya bisa pergi lebih awal ke rumah Nenek!""Iya, Ma!" Sepasang ibu dan anak itu menuju ke dapur bersama."Kita bagi tugas ya? Kamu beresin rumah. Mama mau masak dulu buat kita makan.""Baik, Ma!"Setelah selesai makan dan sudah siap hendak berangkat. Winda yang mencoba menghidupkan sepeda motornya terlihat kesusahan."Aduh...! Kenapa lagi
"Ha? Apa? Apa kami tidak salah dengar?" Rani memperjelas pertanyaan Winda. Tapi lagi-lagi Winda tak menanggapinya. Ia malah bertanya lagi kepada Irwan. "Boleh ya, Mas! Aku minta antar ke tempat kerja?""Kenapa gue yang harus nganter lo?" Irwan yang geram menjadi sedikit terpancing emosinya. "Ya, karena motorku nggak bisa jalan! Sekalian temenin ke bengkel juga bawa motor aku!""Mas, aku boleh nggak, sih? Ngasih pelajaran sama mantan Mas yang nggak tau diri ini?""Iya, Yank! Kamu kasih pelajaran aja sama dia. Mas gedeg juga jadinya melihat tingkah anehnya ini!"Rani mendekati Winda. Dengan tatapan tajam bagaikan hewan buas yang ingin menyantap mangsanya. Rani mengulurkan tangannya ingin menyentuh jilbab pendek wanita itu. Belum sempat menyentuh, Tiba-tiba terdengar suara gadis kecil yang memanggil mamanya. "Ma, gimana? Udah bisa nyala motornya?"Rani yang sadar ada anak kecil di sekitarnya. Mengurungkan niatnya ingin menyerang Winda. "Kenapa aku bisa sampai lupa, kalau Naufal jug
"Kenapa wajah kamu bisa hancur gitu?" Pertanyaan Bu Tut begitu mengintimidasi. Ratih menjadi gugup. "A-anu, Bu... Anu..." Ratih bingung memberikan jawaban. "Anu apa? Kenapa wajah kamu bisa seperti ini?" Melihat luka di wajah Ratih yang sama persis seperti foto pelakor yang ditunjukkan oleh Bu Susi, Bu Tut menjadi yakin kalau wanita itu memang benar anaknya. "A-anu, Bu! Tadi Ratih jatuh waktu di tempat kerja.""Jatuh di mana?""Jatuh dari tangga, Bu!" Ratih tersenyum kikuk. "Kamu naik tangga? Bukannya kamu kerja di perusahaan? Kok, naik tangga? Sekelas mall kecil aja pakai lift, kok, perusahaan tempat kamu bekerja malah nggak ada lift?""Liftnya lagi rusak, Bu! Jadi Ratih pakai tangga."Bu Tut mendekati Ratih dengan pandangan tajam. "Nggak usah bohong kamu! Kamu habis jalan sama om-om 'kan?" Bu Tut langsung berkata ke intinya. "Nggak, kok! Bu! Ratih kerja." Tubuh Ratih sudah mengucur keringat dingin. "Kerja, kerja! Nggak usah bohong kamu! Ibu sudah tau semuanya. Ibu sudah lihat
Bu Susi memperlihatkan video seorang wanita yang digrebek di kamar hotel dan di serang oleh istri sahnya."Sini coba saya lihat!" Bu Tut mengambil ponsel Bu Susi untuk melihat video itu dengan lebih jelas.Awalnya dia biasa saja bahkan ikut geram dan mengumpat sebelum tau bahwa wanita yang jadi pelakor di video itu adalah anaknya."Bagus! Hajar aja! Geram banget sama pelakor dan lakinya ini! Terus, Bu! Jangan kasih ampun!" ujar Bu Tut bersemangat.Bu Susi heran kenapa Bu Tut malah ikutan geram dengan video itu? Bukannya terkejut atau berteriak histeris.Bukan karena hasil videonya yang jelek, tapi Bu Tut tidak mengenali pelakor itu karena wajahnya sudah terdapat luka-luka."Terus! Hajar! Kalau perlu potong aja b*tang suaminya dan kasihin ke binat*ng! Masukin cabe juga ke dalam lub*ng buaya si pelakornya! Dasar bin*t*ng kedua orang itu!" ujarnya mengumpat dengan semangat."Loh, Bu Tut, kok nggak kaget? Malah ikutan mengumpat?" tanya Bu Susi heran."Kenapa kamu heran? Bukannya reaksi sa
"Ma-mamah!" ucap Om Heri terbata-bata. BRAKK... Wanita yang ternyata istri dari Om Heri itu menggebrak pintu. Ratih yang terkejut, menyusul keluar. "Siapa, Om?" tanya Ratih. Dia menutupi dirinya dengan selimut hotel dan berjalan keluar. Ratih tak kalah terkejutnya melihat ramainya orang berada di pintu kamarnya. Istri Om Heri memandang Ratih dari ujung kepala sampai kaki. Menatapnya dengan pandangan tajam. "Jadi ini wanita peliharaanmu?" ujarnya pedas. "Mama ngapain ke sini?""Mama? Apa wanita ini istri Om Heri? Tapi, kata Om kemarin dia seorang duda?" Ratih bertanya dalam hati. "Ngapain katamu?" teriak wanita itu. Teriakannya membuat orang-orang keluar dari kamar mereka dan beramai-ramai melihat. "Puas kamu, ya! Sudah main berapa kali dengan wanita ini?" tunjuk nya pada Ratih. "Dasar laki-laki buaya! Perempuan gatal! Kub*n*h kalian!" Istri Om Heri mencoba meraih Ratih, namun dihalangi oleh Om Heri. "Mah, jangan begini dong! Malu dilihat sama orang!" bisik Om Heri. "Apa?
"Tadi itu aku lihat Ratih loh, Mas!""Ratih siapa? Temen kamu?""Ih, bukan! Itu loh, Ratih anaknya Bu Tut.""Terus kenapa kalau kamu lihat dia? Kayak nggak pernah lihat aja sampai heboh begitu!" Sambil berjalan, sesekali Irwan bercanda dengan anaknya. "Tadi itu dia sama seorang laki-laki, Mas! Om-om gitu! Gandengan pula! Mesra banget.""Kamu yakin kalau itu dia? Jangan asal tuduh loh, Yank!""Iya, Mas! Aku yakin! Aku nggak bakalan lupa sama wajah wanita yang sudah mencoba menggoda suami aku.""Kemarin, Bu Tut bilang kalau Ratih itu kerja sebagai asisten bos. Apa iya, ya Mas? Kok, lebih kayak sugar baby gitu?""Sugar baby? Apa itu, Yank?""Itu loh, Mas! Simpanan om-om!""Astaghfirullah! Hush, udah! Kami nggak usah kepo! Dosa tau mencari aib orang!""Astaghfirullah! Maaf, Mas! Habisnya aku kepo!" ujar Rani sambil nyengir meski suaminya tidak melihat karena tertutup masker."Biarkan saja dia! Kamu nggak usah ikut campur. Meski ibu dan dia pernah membuat kita kesal dan pernah memfitnah k
"Ah, iya nih, Bu! Bagus nggak?""Wah, bagus Bu Tut. Kayaknya habis dapat rejeki nomplok nih sampai bisa beli cincin.""Iya, Bu! Saya habis dikasih sama Ratih. Kemarin dia habis gajian dan ngasih saya satu juta. Makanya saya bisa beli cincin sebagus ini," ujar Bu Tut."Beruntung banget ya, Bu Tut. Coba saja anak saya bisa ngasih saya uang banyak kayak gitu.""Iya, Bu! Akhirnya Ratih bisa berbakti juga sama orang tua. Semenjak dia cerai bahkan masih sama suaminya saja, kami orang tuanya yang ngasih makan.""Hah, yang bener, Bu?""Iya! Makanya, waktu si Jono terkena kasus, saya suruh cerai aja sekalian. Punya suami nggak bisa diandelin, buat apa?""Bener, Bu! Zaman sekarang makan cinta mah, nggak bakalan kenyang.""Nah, makanya itu. Laki zaman sekarang pengennya punya istri cantik. Padahal dia sendirinya cuma laki-laki kere. Nggak bisa memenuhi keperluan istrinya. Dia kira makan tampang aja kenyang?""Bener tuh, Bu Tut!""Ya, sudah! Saya pulang dulu ya, Bu-ibu!""Iya, Bu!""Enak ya, Bu T
"Ma-maksud, Om! Melayani apa? Menyediakan makan minum untuk Om, gitu?""Jangan pura-pura nggak tau, Ratih! Kita sudah sama-sama dewasa. Kamu ngerti apa yang saya maksud!" Om Heri menyesap rok*k yang terjepit di jarinya. "Tapi... Saya..." Ratih seakan ragu. Namun, tak dipungkiri dia sangat tergiur dengan uang itu. "Kalau kamu mau, uang sebesar sepuluh juta yang ada di amplop itu akan menjadi milikmu! Tetapi... Kalau kamu nggak mau, tidak apa-apa! Saya tidak keberatan tapi uang ini saya ambil kembali."Ratih menelan salivanya. Dia bingung dan juga bimbang, antara menerima atau menolak tawaran itu. "Saya tidak akan memberikan tawaran ini dia kali. Dan kalau kamu menolak uang ini, saya rasa kamu akan menjadi orang yang paling rugi." Om Heri mencoba menggoyahkan pertahanan Ratih. "Kamu tau? Sekarang susah untuk mendapatkan pekerjaan mudah dalam waktu yang singkat. Tidak mudah pula mendapatkan uang sebesar ini dalam satu hari. Apa kamu yakin mau menolak tawaran ini?" Lagi, Om Heri semak
"Awas kamu, Rani!" Bu Tut menggerutu setelah mendapatkan vonis hukuman dari Pak RT. "Sialan banget. Ini semua salah kamu, Winda!" ketus Bu Irma. "Loh, kok, Bu Irma nyalahin saya sih?" Winda tentu saja tidak terima dengan tuduhan itu. "Kan, yang ngajakin ke rumah Rani, kalian bertiga, kok, malah salah saya?""Iya! Salah kamu! Seandainya saja kamu memberikan informasi yang benar tidak akan seperti ini kejadiannya," bentak Bu Tut. "Kamu sengaja 'kan? Kamu hanya ingin memanfaatkan kami supaya bisa menuluskan niat jahatmu untuk merebut Irwan dari Rani," cetus Bu Tut. Mata Winda terbelalak karena tebakan Bu Tut memang benar. Namun, dia berusaha mengelak. "Enak saja! Memangnya selama ini saya pernah ngajakin ibu-ibu untuk membenci Rani? Bukannya kebalik? Kan, kalian yang ngajakin saya untuk membenci dia. Saya baru datang lagi kemari, malah kalian yang ngomongin dia yang jelek-jelek.""Tetap saja! Ini semua salah kamu! Kalau saja, kami tidak terhasut oleh omonganmu barusan tidak akan kam
"Aaaakkkhhh!" pekik ke empat orang itu. "Heh...! Kenapa kamu menyiram kami?" pekik Winda. "Apa lagi? Saya menyiram supaya jin dan roh jahat yang melekat di tubuh kalian semua pada kabur!" ketus Rani. "Apa kamu bilang?" Bu Tut dan Winda maju, ingin menjambak Rani, namun segera di tepis oleh Irwan. Dia mendorong Bu Tut yang berada di depan dan menumbruk tubuh Winda yang ada di belakang. "Aakkhh..." pekik Bu Tut, yang terduduk menimpa tubuh Winda. "Auwww!" Winda merintih karena ditindih oleh badan Bu Tut yang dua kali lebih besar darinya. "Hei, kurang ajar ya kamu, Irwan!" teriak Bu Tut. "Mas, kok, kamu malah mendorong kami sih?" Winda berkata manja. "Tolongin, dong!""Cih, buat apa? Kalian memang pantas menerima hal itu.""Kok, kamu jahat gini sih, Mas, sama aku?""Memangnya saya wajib gitu baik sama kamu?" sinisnya. "Pak RT, tolong usir saja mereka ini! Terutama wanita ini! Dia selalu mengganggu istri saya!" tunjuk Irwan kepada Winda. "Sudah! Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Mbak
"Kamu berani mengancam? Apa kamu takut kelakuan busukmu itu terbongkar, ha?""Yang busuk itu bukan kelakuan saya! Tapi, pikiran kalian yang busuk!" cetus Rani. "Sudahlah, Rani! Kamu tidak usah mengelak. Kamu begitu tega mempermainkan Mas Irwan. Sampai hati kamu berbuat begitu. Sudah jelas-jelas kalau kamu selingkuh, bahkan pria ini berani mendatangi rumah kamu," ujarnya seolah prihatin dengan Irwan. "Lihat? Anakmu ini sangat mirip dengan lelaki ini? Ini sudah ada buktinya 'kan?" Winda kembali menimpali. "Dia tidak mirip denganmu atau pun Mas Irwan.""Hahaha...." Rani dan Andra tertawa berbarengan. Membuat Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Winda bingung. "Kamu lihat 'kan, Mas! Dia pasti tak bisa mengelak lagi makanya tertawa. Mas Irwan bisa kok, dapetin yang lebih baik lagi dari Mbak Rani. Masih banyak wanita yang ingin menjadi istri kamu, jadi tidak perlu menutupi kelakuan buruk Mbak Rani.""Termasuk kamu gitu? Yang mau jadi istri Mas Irwan? Kamu 'lah wanita baik itu, begitu 'kan?" cibi