"Mas, Mas Irwan!" Rani terus berteriak dan mengejar suaminya yang sedang membonceng mantan kekasihnya itu. "Em, Mas Irwan! Istri Mas, sedang memanggil. Apa setidaknya kita berhenti dulu!" Walau tak ingin istrinya Irwan mengganggu kebersamaan mereka. Tapi, Winda ingin memastikan. Apakah Irwan hanya tidak mendengar kalau istrinya tengah memanggil dirinya. "Biarin aja! Nggak usah dihiraukan!" jawaban yang tak terduga keluar dari mulut Irwan. "Ha? Apa? Apa aku tidak salah dengar? Apa benar Mas Irwan menjawab begitu," batin Winda. "Emm, sebaiknya kita berhenti dulu saja, Mas! Aku nggak enak nanti kalau kalian sampai bertengkar," ujar Winda. Padahal sebenarnya kalau mereka bertengkar itu akan menjadi jalan yang bagus untuknya kembali kepada Irwan. Ia mengatakan itu hanya untuk memastikannya saja. "Sudah! Nggak pa-pa! Kalau kita berhenti dan meladeni istriku, nanti kamu malah terlambat lagi ke tempat kerja.""Wow, ini sesuatu yang nggak terduga," gumam Winda dalam hati. "Tapi aku bener
BRUAKH..."Aduh....!" Winda meringis. Ia terjatuh dari tempat tidurnya."Aaaa..., hanya mimpi ternyata!" Wajahnya nampak cemberut setelah mengetahui bahwa adegan romantis yang dia rasakan tadi hanya mimpi belaka."Emm, Mas Irwan!" Winda masih terbayang-bayang akan mimpinya tadi."Ma? Mama?" Syifa mengetuk pintu kamar mamanya. Winda pun berjalan ke arah pintu dan membukakannya."Hei, tumben kamu yang bangun duluan?" tanya Winda. Karena tidak biasanya anaknya itu bangun sendiri."Aku habis buang air kecil tadi, Ma! Pas dilihat jam, ternyata sudah jam 5. Jadi, sekalian aja bangun," jawab Syifa."Oh, ya udah! Kita sholat dulu, setelah itu baru mandi. Supaya bisa pergi lebih awal ke rumah Nenek!""Iya, Ma!" Sepasang ibu dan anak itu menuju ke dapur bersama."Kita bagi tugas ya? Kamu beresin rumah. Mama mau masak dulu buat kita makan.""Baik, Ma!"Setelah selesai makan dan sudah siap hendak berangkat. Winda yang mencoba menghidupkan sepeda motornya terlihat kesusahan."Aduh...! Kenapa lagi
"Ha? Apa? Apa kami tidak salah dengar?" Rani memperjelas pertanyaan Winda. Tapi lagi-lagi Winda tak menanggapinya. Ia malah bertanya lagi kepada Irwan. "Boleh ya, Mas! Aku minta antar ke tempat kerja?""Kenapa gue yang harus nganter lo?" Irwan yang geram menjadi sedikit terpancing emosinya. "Ya, karena motorku nggak bisa jalan! Sekalian temenin ke bengkel juga bawa motor aku!""Mas, aku boleh nggak, sih? Ngasih pelajaran sama mantan Mas yang nggak tau diri ini?""Iya, Yank! Kamu kasih pelajaran aja sama dia. Mas gedeg juga jadinya melihat tingkah anehnya ini!"Rani mendekati Winda. Dengan tatapan tajam bagaikan hewan buas yang ingin menyantap mangsanya. Rani mengulurkan tangannya ingin menyentuh jilbab pendek wanita itu. Belum sempat menyentuh, Tiba-tiba terdengar suara gadis kecil yang memanggil mamanya. "Ma, gimana? Udah bisa nyala motornya?"Rani yang sadar ada anak kecil di sekitarnya. Mengurungkan niatnya ingin menyerang Winda. "Kenapa aku bisa sampai lupa, kalau Naufal jug
"Memangnya mereka adu mulut seperti apa? Kita tidak bisa mengambil kesimpulan 'kan, kalau tidak tahu masalah mereka.""Yang sempat saya dengar kemarin. Winda seperti meminta tolong, tapi ditolak sama Mas Irwan dan Mbak Rani.""Loh, kok, mereka begitu ketika ada yang meminta tolong? Kenapa nggak bantuin saja? Kenapa jadi malah adu mulut?""Saya sempat dengar juga, Bu! Mas Irwan mau, kok, bantuin. Tapi, Mbak Winda itu seperti memaksa, jadi lah Mas Irwan dan Mbak Rani terpancing.""Apa Ibu dengar apa yang diucapkan sama Mbak Winda, Mbak Rani atau Mas Irwan?""Saya sempat dengar dengan samar. Karena posisi saya juga lagi di dalam rumah, hanya mengintip di balik jendela. Kata Mas Irwan dan Mbak Rani mereka mau sarapan pagi, tapi Mbak Winda tetap aja memaksa. Meminta Mas Irwan membantunya dulu baru sarapan.""Wah, kalau seperti itu. Siapapun bakalan marah 'lah! Memangnya siapa dia? Orang mau sarapan malah dihalangi!""Ibu yakin, seperti itu yang Ibu dengar?" Yang lain mencoba memastikan."I
Setelah asyik ngobrol ngatuk ngidul kesana kemari, para kumpulan ibu-ibu tadi pun bubar. Kembali ke rumah mereka masing-masing. Di jalan pulang, Bu Tut tak sengaja bertemu dengan Winda yang libur bekerja. "Eh, Bu Tut! Apa kabar?" Winda memulai menyapa Bu Tut lebih dulu. Bu Tut yang melihat sikap ramah Winda ini, terlihat meragukan ucapan ibu-ibu di Kang sayur tadi. "Apa iya, Winda yang mulai duluan? Masa iya, orang seramah ini bisa berbuat begitu," batin Bu Tut. "Baik!" balas Bu Tut. "Ah, saya tidak percaya! Pasti, Rani yang mulai duluan. Orang-orang itu terlalu berlebihan saja!" ucapnya dalam hati. "Baru dari Kang sayur ya, Bu?""Iya," balas Bu Tut lagi. "Kang sayurnya masih ada di sana?""Masih ada! Tapi sepertinya dia akan keliling ke kampung lain lagi.""Oh, ya sudah! Kalau begitu saya mau ke sana dulu ya, Bu!""Iya," ujar Bu Tut dengan kepala yang mengangguk. Setelah Winda pergi, barulah Bu Tut teringat sesuatu. "Kenapa tadi nggak tanya sama dia langsung aja, ya?" Bu Tu
"Sebenarnya Bapak ingin menyampaikan satu hal, tapi sebelum itu Bapak mau bertanya dulu! Kamu sudah satu tahun menjanda, apa kamu tidak ingin mencari suami lagi?""Untuk sekarang, Winda nggak pengen memikirkan hal seperti itu dulu, Pak! Sudah cukup nyaman hanya berdua dengan Syifa saja.""Apa kamu tidak lelah seperti ini terus? Kalau ada suami 'kan, bisa diandalkan untuk menafkahi kamu! Dari pada kamu terus seperti ini.""Winda bisa kok, Pak, menafkahi diri Winda dan Syifa. Lagi pula, Papanya Syifa juga nggak lepas tanggung jawab sama anaknya.""Tapi Bapak dan Ibu, kasihan sama kamu!""Bapak dan Ibu tenang saja. Nanti, ada saatnya kok, Winda memikirkan hal itu. Tapi tidak untuk sekarang!" tegasnya. "Bapak tadi 'kan, mau menyampaikan sesuatu. Hal apa yang ingin Bapak sampaikan sama Winda?""Kemarin, ada seorang pria yang ingin melamarmu, datang kemari.""Tolak saja, Pak! Winda masih ingin sendiri.""Sampai kapan sih, Winda kamu seperti ini terus? Kemarin, punya suami yang baik dan tak
Banyak dari mereka yang tidak tau bahwa Rani sudah membeli rumah yang sedang di tempatinya saat ini bersama keluarganya. Bahkan suami dan mertuanya sekalipun. Winda sengaja berjalan lebih dekat ke gerombolan ibu-ibu itu, supaya dia juga diajak menggosipkan Rani. "Eh, Mbak Winda! Sini Mbak, ngumpul sama kita!" seru salah satu dari mereka. Winda pun mendekat, mencoba berbaur dengan mereka. "Ada apa ini, Bu-ibu? Rame banget pada ngumpul di sini!" tanya Winda basa-basi. "Biasa Mbak! Rutinitas ibu-ibu kalau nggak ada kerjaan!" sahut mereka. "Mbak Winda nggak sibuk 'kan? Mari kita ngumpul di sini! Sudah lama loh, nggak melihat Mbak Winda. Sekarang makin cantik aja!" puji yang lain. "Ah..! Ibu ini bisa aja!" balasnya malu-malu. "Beneran loh, Mbak! Sekarang wajah tampak lebih putih. Pakaian Mbak juga lebih modis."Makin besar kepala 'lah si Winda mendapat pujian dari kumpulan wanita setengah baya itu. "Biasa aja, ah, Bu!""Beneran loh, Mbak! Kasih tau dong, Mbak! Apa sih rahasianya?"
Winda terus mencari muka diantara kumpulan orang yang membenci Rani. "Selamat pagi, Mbak Rani!" Rani disapa oleh tetangga yang kebetulan sedang asyik ngerumpi. "Pagi, Bu!" Rani membalas dengan ramah. "Sini, Mbak! Ayo, kumpul sama kita!"Rani bukan tipe orang yang suka ngerumpi. Dia lebih memilih, diam di rumah melakukan pekerjaan rumah dari pada ngerumpi, yang ujung-ujungnya mencela orang. "Maaf, Bu! Lain kali, ya? Saya sedang sibuk hari ini!"Winda yang kebetulan mendengar itu langsung menimpali, "Sibuk apa, sih? Cuma Ibu rumah tangga yang hobinya rebahan aja, sok sibuk!"Beberapa orang yang berkumpul di situ tercengang mendengar sindiran keras yang dilontarkan Winda. Melihat Rani yang tak dapat membalas perkataannya, Winda merasa di atas awan. "Cobalah bersosialisasi, Mbak! Jangan di rumah aja! Nempel terus sama suami. Kalau diajak ngobrol itu, ngumpul! Ikut gabung juga," ketusnya. "Aduh, saya sih sebenernya pengen, Mbak, ngumpul sama yang lain. Ngobrol. Tapi beneran hari ini