"Sebenarnya Bapak ingin menyampaikan satu hal, tapi sebelum itu Bapak mau bertanya dulu! Kamu sudah satu tahun menjanda, apa kamu tidak ingin mencari suami lagi?""Untuk sekarang, Winda nggak pengen memikirkan hal seperti itu dulu, Pak! Sudah cukup nyaman hanya berdua dengan Syifa saja.""Apa kamu tidak lelah seperti ini terus? Kalau ada suami 'kan, bisa diandalkan untuk menafkahi kamu! Dari pada kamu terus seperti ini.""Winda bisa kok, Pak, menafkahi diri Winda dan Syifa. Lagi pula, Papanya Syifa juga nggak lepas tanggung jawab sama anaknya.""Tapi Bapak dan Ibu, kasihan sama kamu!""Bapak dan Ibu tenang saja. Nanti, ada saatnya kok, Winda memikirkan hal itu. Tapi tidak untuk sekarang!" tegasnya. "Bapak tadi 'kan, mau menyampaikan sesuatu. Hal apa yang ingin Bapak sampaikan sama Winda?""Kemarin, ada seorang pria yang ingin melamarmu, datang kemari.""Tolak saja, Pak! Winda masih ingin sendiri.""Sampai kapan sih, Winda kamu seperti ini terus? Kemarin, punya suami yang baik dan tak
Banyak dari mereka yang tidak tau bahwa Rani sudah membeli rumah yang sedang di tempatinya saat ini bersama keluarganya. Bahkan suami dan mertuanya sekalipun. Winda sengaja berjalan lebih dekat ke gerombolan ibu-ibu itu, supaya dia juga diajak menggosipkan Rani. "Eh, Mbak Winda! Sini Mbak, ngumpul sama kita!" seru salah satu dari mereka. Winda pun mendekat, mencoba berbaur dengan mereka. "Ada apa ini, Bu-ibu? Rame banget pada ngumpul di sini!" tanya Winda basa-basi. "Biasa Mbak! Rutinitas ibu-ibu kalau nggak ada kerjaan!" sahut mereka. "Mbak Winda nggak sibuk 'kan? Mari kita ngumpul di sini! Sudah lama loh, nggak melihat Mbak Winda. Sekarang makin cantik aja!" puji yang lain. "Ah..! Ibu ini bisa aja!" balasnya malu-malu. "Beneran loh, Mbak! Sekarang wajah tampak lebih putih. Pakaian Mbak juga lebih modis."Makin besar kepala 'lah si Winda mendapat pujian dari kumpulan wanita setengah baya itu. "Biasa aja, ah, Bu!""Beneran loh, Mbak! Kasih tau dong, Mbak! Apa sih rahasianya?"
Winda terus mencari muka diantara kumpulan orang yang membenci Rani. "Selamat pagi, Mbak Rani!" Rani disapa oleh tetangga yang kebetulan sedang asyik ngerumpi. "Pagi, Bu!" Rani membalas dengan ramah. "Sini, Mbak! Ayo, kumpul sama kita!"Rani bukan tipe orang yang suka ngerumpi. Dia lebih memilih, diam di rumah melakukan pekerjaan rumah dari pada ngerumpi, yang ujung-ujungnya mencela orang. "Maaf, Bu! Lain kali, ya? Saya sedang sibuk hari ini!"Winda yang kebetulan mendengar itu langsung menimpali, "Sibuk apa, sih? Cuma Ibu rumah tangga yang hobinya rebahan aja, sok sibuk!"Beberapa orang yang berkumpul di situ tercengang mendengar sindiran keras yang dilontarkan Winda. Melihat Rani yang tak dapat membalas perkataannya, Winda merasa di atas awan. "Cobalah bersosialisasi, Mbak! Jangan di rumah aja! Nempel terus sama suami. Kalau diajak ngobrol itu, ngumpul! Ikut gabung juga," ketusnya. "Aduh, saya sih sebenernya pengen, Mbak, ngumpul sama yang lain. Ngobrol. Tapi beneran hari ini
"Assalamu'alaikum!" Bu RT mengetuk pintu rumah Rani. "Wa'alaikumussalam. Bu RT, ada apa, Bu?""Saya mau mengundang Mbak Rani ke acara sosialisasi di balai desa.""Oh, kapan, Bu?""Besok! Saya sengaja mengadakan acaranya di hari libur. Supaya banyak warga yang bisa hadir.""Oh, iya! Baik, Bu RT. Terimakasih undangannya. " Sama-sama, Mbak! Saya permisi! Assalamu'alaikum.""Mari, Bu! Silahkan! Wa'alaikumussalam!"****Keesokan harinya di jam 9 pagi. Rani berangkat menuju balai desa. Di sana sudah banyak orang yang berdatangan. Rani datang bersama anaknya Naufal. Mereka mencari tempat duduk di pojokan, supaya bisa dengan leluasa mendengarkan apa yang disampaikan tanpa terganggu orang."Terimakasih untuk para warga yang sudah bersedia datang ke sini!" Kata sambutan dari Pak RT pun dimulai. Berbagai materi pun disampaikan, hingga pada saat acara berakhir. Para relawan yang hadir membuka sumbangan bagi siapa saja yang ingin menyumbang. "Kami menerima bagi siapa saja yang ingin menyumban
Rani yang kesal merasa muak dengan perkataan sok bijak Winda. "Maaf banget nih, Mbak Winda yang paling cantik dan paling bijak di sini! Memang Mbak tau apa masalahnya? Nggak 'kan? Kalau nggak tau, nggak usah sok bijak!" ketus Rani. "Saya tau masalahnya makanya saya berkomentar!" Winda pun tak kalah ketusnya. "Kalau Mbak tau, Mbak Winda nggak akan berbicara begitu!""Saya tau, masalahnya tentang kamu yang tak bisa memperlakukan orang yang lebih memerlukan dengan adil. Kamu malah memberi lebih banyak kepada orang belum tentu bahwa mereka menerima bantuan itu!""Dari tadi, Mbak Winda dan Bu Tut bilang banyak-banyak! Memang kalian tau berapa saya menyumbang kemarin? Padahal saya tidak merasa menyumbang banyak.""Oh! Sekarang kamu merasa kaya, ya? Mengganggap uang lima puluh ribu tak banyak bagi kamu!" Bu Tut keceplosan. "Hah? Darimana Bu Tut tau! Memang Bu Tut melihat?""Saya tidak melihat tapi Winda yang lihat!""Nggak nyangka saya, Mbak Winda ternyata berbakat juga kalau jadi mata-m
"Sebenarnya ini rumah kita, Mas! Aku sudah lama membeli rumah ini!" ujar Rani, dia berkata jujur kepada suaminya. "Hah? Bagaimana bisa? Dapat uang dari mana kamu?" tanya Irwan. Ada perasaan kecewa terhadap Rani karena dia tak pernah membicarakan ini sebelumnya. "Kenapa kamu nggak jujur sama Mas?" Rani merasakan ada kekecewaan dalam ucapan suaminya. "Aku bukannya nggak mau jujur, Mas! Tapi hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya.""Huh!" Irwan menghembuskan nafasnya perlahan. Ia menyadari tak sepantasnya langsung marah kepada istrinya itu. Terlebih lagi Rani sedang hamil. Ia mencoba berpikir positif, mungkin ada alasannya kenapa dia tak mengatakannya. "Mas mau tanya, dapat uang dari mana kamu untuk beli rumah ini? Apa kamu berhutang di bank tanpa sepengatahuan, Mas?""Kalau aku jujur, apa Mas akan marah?""Tergantung jawaban apa yang akan Mas dengar!""Tapi, Mas janji ya, apapun yang aku katakan jangan marah?""Iya, akan Mas usahakan nggak marah, walau jawaban yang akan
Setelah kejadian waktu itu. Orang-orang yang tak suka dengan Rani hanya berani membicarakannya di belakang. Hanya sesekali terdengar menyindir. Selama itu tidak ekstrem, Rani hanya mengabaikannya saja. Tak terasa usia kandungan Rani sudah lima bulan. Perut buncitnya semakin membesar dan terlihat. Membuat baju longgar yang ia kenakan akan terlihat mengentat di bagian perut. "Perut Mbak Rani semakin besar saja! Sudah berapa bulan usia kandungannya, Mbak?" Tetangga seberang rumah Rani bertanya. "Jalan enam bulan, Bu!""Oh ,baru tau saya! Pantas perut Mbak Rani kelihatan besar. Saya kira baru empat bulan!""Kenapa, Bu? Apa kurang gede perut saya?" tanya Rani disertai bercanda. "Kalau untuk usia lima bulan jalan ke enam, ukuran perut Mbak Rani masih terbilang kecil. Mungkin.. Karena, Mbak Rani tubuhnya langsung kali, ya? Jadi, nggak terlalu nampak. Soalnya dulu waktu hamil anak pertama badan saya gendut, Mbak! Usia tiga bulan saja, perut saya besarnya kek orang hamil lima bulan.""Ben
"Sudah! Kalau Mbak ke sini cuma mau nyari perkara. Lebih baik, Mbak cepat pergi saja dari sini!" Dengan nada ketus, ibu itu mengusir Winda. Rani hanya terdiam memperhatikan. Dia tak ingin berkata apa-apa. Takut kalau akan semakin runyam. "Ih, galak bener! Orang ngasih tau malah kayak gitu responnya!" gumaman Winda terdengar lirih. Winda berjalan perlahan meninggalkan Rani dan tetangganya itu. "Dasar wanita nggak waras!" ujar tetangga Rani mengumpat. "Sabar, Bu! Ditahan amarahnya!" "Emang nggak waras itu, Mbak! Dianya aja nggak beres, pakai nasehatin orang segala. Sudah gitu memaksa lagi!"Rani diam saja mendengar tetangganya itu masih mengumpat Winda yang kini sudah menjauh, tak terlihat lagi. "Saya masuk dulu ya, Bu! Mau masak buat makan siang!""Iya, Mbak! Saya juga mau masak." Mereka pun masuk ke dalam rumah masing-masing setelah menghadapi kerandoman si Winda. Rani geleng-geleng kepala melihat kelakuan Winda secara langsung di depan matanya. Rani menutup pintu, melepas ji
"Kenapa wajah kamu bisa hancur gitu?" Pertanyaan Bu Tut begitu mengintimidasi. Ratih menjadi gugup. "A-anu, Bu... Anu..." Ratih bingung memberikan jawaban. "Anu apa? Kenapa wajah kamu bisa seperti ini?" Melihat luka di wajah Ratih yang sama persis seperti foto pelakor yang ditunjukkan oleh Bu Susi, Bu Tut menjadi yakin kalau wanita itu memang benar anaknya. "A-anu, Bu! Tadi Ratih jatuh waktu di tempat kerja.""Jatuh di mana?""Jatuh dari tangga, Bu!" Ratih tersenyum kikuk. "Kamu naik tangga? Bukannya kamu kerja di perusahaan? Kok, naik tangga? Sekelas mall kecil aja pakai lift, kok, perusahaan tempat kamu bekerja malah nggak ada lift?""Liftnya lagi rusak, Bu! Jadi Ratih pakai tangga."Bu Tut mendekati Ratih dengan pandangan tajam. "Nggak usah bohong kamu! Kamu habis jalan sama om-om 'kan?" Bu Tut langsung berkata ke intinya. "Nggak, kok! Bu! Ratih kerja." Tubuh Ratih sudah mengucur keringat dingin. "Kerja, kerja! Nggak usah bohong kamu! Ibu sudah tau semuanya. Ibu sudah lihat
Bu Susi memperlihatkan video seorang wanita yang digrebek di kamar hotel dan di serang oleh istri sahnya."Sini coba saya lihat!" Bu Tut mengambil ponsel Bu Susi untuk melihat video itu dengan lebih jelas.Awalnya dia biasa saja bahkan ikut geram dan mengumpat sebelum tau bahwa wanita yang jadi pelakor di video itu adalah anaknya."Bagus! Hajar aja! Geram banget sama pelakor dan lakinya ini! Terus, Bu! Jangan kasih ampun!" ujar Bu Tut bersemangat.Bu Susi heran kenapa Bu Tut malah ikutan geram dengan video itu? Bukannya terkejut atau berteriak histeris.Bukan karena hasil videonya yang jelek, tapi Bu Tut tidak mengenali pelakor itu karena wajahnya sudah terdapat luka-luka."Terus! Hajar! Kalau perlu potong aja b*tang suaminya dan kasihin ke binat*ng! Masukin cabe juga ke dalam lub*ng buaya si pelakornya! Dasar bin*t*ng kedua orang itu!" ujarnya mengumpat dengan semangat."Loh, Bu Tut, kok nggak kaget? Malah ikutan mengumpat?" tanya Bu Susi heran."Kenapa kamu heran? Bukannya reaksi sa
"Ma-mamah!" ucap Om Heri terbata-bata. BRAKK... Wanita yang ternyata istri dari Om Heri itu menggebrak pintu. Ratih yang terkejut, menyusul keluar. "Siapa, Om?" tanya Ratih. Dia menutupi dirinya dengan selimut hotel dan berjalan keluar. Ratih tak kalah terkejutnya melihat ramainya orang berada di pintu kamarnya. Istri Om Heri memandang Ratih dari ujung kepala sampai kaki. Menatapnya dengan pandangan tajam. "Jadi ini wanita peliharaanmu?" ujarnya pedas. "Mama ngapain ke sini?""Mama? Apa wanita ini istri Om Heri? Tapi, kata Om kemarin dia seorang duda?" Ratih bertanya dalam hati. "Ngapain katamu?" teriak wanita itu. Teriakannya membuat orang-orang keluar dari kamar mereka dan beramai-ramai melihat. "Puas kamu, ya! Sudah main berapa kali dengan wanita ini?" tunjuk nya pada Ratih. "Dasar laki-laki buaya! Perempuan gatal! Kub*n*h kalian!" Istri Om Heri mencoba meraih Ratih, namun dihalangi oleh Om Heri. "Mah, jangan begini dong! Malu dilihat sama orang!" bisik Om Heri. "Apa?
"Tadi itu aku lihat Ratih loh, Mas!""Ratih siapa? Temen kamu?""Ih, bukan! Itu loh, Ratih anaknya Bu Tut.""Terus kenapa kalau kamu lihat dia? Kayak nggak pernah lihat aja sampai heboh begitu!" Sambil berjalan, sesekali Irwan bercanda dengan anaknya. "Tadi itu dia sama seorang laki-laki, Mas! Om-om gitu! Gandengan pula! Mesra banget.""Kamu yakin kalau itu dia? Jangan asal tuduh loh, Yank!""Iya, Mas! Aku yakin! Aku nggak bakalan lupa sama wajah wanita yang sudah mencoba menggoda suami aku.""Kemarin, Bu Tut bilang kalau Ratih itu kerja sebagai asisten bos. Apa iya, ya Mas? Kok, lebih kayak sugar baby gitu?""Sugar baby? Apa itu, Yank?""Itu loh, Mas! Simpanan om-om!""Astaghfirullah! Hush, udah! Kami nggak usah kepo! Dosa tau mencari aib orang!""Astaghfirullah! Maaf, Mas! Habisnya aku kepo!" ujar Rani sambil nyengir meski suaminya tidak melihat karena tertutup masker."Biarkan saja dia! Kamu nggak usah ikut campur. Meski ibu dan dia pernah membuat kita kesal dan pernah memfitnah k
"Ah, iya nih, Bu! Bagus nggak?""Wah, bagus Bu Tut. Kayaknya habis dapat rejeki nomplok nih sampai bisa beli cincin.""Iya, Bu! Saya habis dikasih sama Ratih. Kemarin dia habis gajian dan ngasih saya satu juta. Makanya saya bisa beli cincin sebagus ini," ujar Bu Tut."Beruntung banget ya, Bu Tut. Coba saja anak saya bisa ngasih saya uang banyak kayak gitu.""Iya, Bu! Akhirnya Ratih bisa berbakti juga sama orang tua. Semenjak dia cerai bahkan masih sama suaminya saja, kami orang tuanya yang ngasih makan.""Hah, yang bener, Bu?""Iya! Makanya, waktu si Jono terkena kasus, saya suruh cerai aja sekalian. Punya suami nggak bisa diandelin, buat apa?""Bener, Bu! Zaman sekarang makan cinta mah, nggak bakalan kenyang.""Nah, makanya itu. Laki zaman sekarang pengennya punya istri cantik. Padahal dia sendirinya cuma laki-laki kere. Nggak bisa memenuhi keperluan istrinya. Dia kira makan tampang aja kenyang?""Bener tuh, Bu Tut!""Ya, sudah! Saya pulang dulu ya, Bu-ibu!""Iya, Bu!""Enak ya, Bu T
"Ma-maksud, Om! Melayani apa? Menyediakan makan minum untuk Om, gitu?""Jangan pura-pura nggak tau, Ratih! Kita sudah sama-sama dewasa. Kamu ngerti apa yang saya maksud!" Om Heri menyesap rok*k yang terjepit di jarinya. "Tapi... Saya..." Ratih seakan ragu. Namun, tak dipungkiri dia sangat tergiur dengan uang itu. "Kalau kamu mau, uang sebesar sepuluh juta yang ada di amplop itu akan menjadi milikmu! Tetapi... Kalau kamu nggak mau, tidak apa-apa! Saya tidak keberatan tapi uang ini saya ambil kembali."Ratih menelan salivanya. Dia bingung dan juga bimbang, antara menerima atau menolak tawaran itu. "Saya tidak akan memberikan tawaran ini dia kali. Dan kalau kamu menolak uang ini, saya rasa kamu akan menjadi orang yang paling rugi." Om Heri mencoba menggoyahkan pertahanan Ratih. "Kamu tau? Sekarang susah untuk mendapatkan pekerjaan mudah dalam waktu yang singkat. Tidak mudah pula mendapatkan uang sebesar ini dalam satu hari. Apa kamu yakin mau menolak tawaran ini?" Lagi, Om Heri semak
"Awas kamu, Rani!" Bu Tut menggerutu setelah mendapatkan vonis hukuman dari Pak RT. "Sialan banget. Ini semua salah kamu, Winda!" ketus Bu Irma. "Loh, kok, Bu Irma nyalahin saya sih?" Winda tentu saja tidak terima dengan tuduhan itu. "Kan, yang ngajakin ke rumah Rani, kalian bertiga, kok, malah salah saya?""Iya! Salah kamu! Seandainya saja kamu memberikan informasi yang benar tidak akan seperti ini kejadiannya," bentak Bu Tut. "Kamu sengaja 'kan? Kamu hanya ingin memanfaatkan kami supaya bisa menuluskan niat jahatmu untuk merebut Irwan dari Rani," cetus Bu Tut. Mata Winda terbelalak karena tebakan Bu Tut memang benar. Namun, dia berusaha mengelak. "Enak saja! Memangnya selama ini saya pernah ngajakin ibu-ibu untuk membenci Rani? Bukannya kebalik? Kan, kalian yang ngajakin saya untuk membenci dia. Saya baru datang lagi kemari, malah kalian yang ngomongin dia yang jelek-jelek.""Tetap saja! Ini semua salah kamu! Kalau saja, kami tidak terhasut oleh omonganmu barusan tidak akan kam
"Aaaakkkhhh!" pekik ke empat orang itu. "Heh...! Kenapa kamu menyiram kami?" pekik Winda. "Apa lagi? Saya menyiram supaya jin dan roh jahat yang melekat di tubuh kalian semua pada kabur!" ketus Rani. "Apa kamu bilang?" Bu Tut dan Winda maju, ingin menjambak Rani, namun segera di tepis oleh Irwan. Dia mendorong Bu Tut yang berada di depan dan menumbruk tubuh Winda yang ada di belakang. "Aakkhh..." pekik Bu Tut, yang terduduk menimpa tubuh Winda. "Auwww!" Winda merintih karena ditindih oleh badan Bu Tut yang dua kali lebih besar darinya. "Hei, kurang ajar ya kamu, Irwan!" teriak Bu Tut. "Mas, kok, kamu malah mendorong kami sih?" Winda berkata manja. "Tolongin, dong!""Cih, buat apa? Kalian memang pantas menerima hal itu.""Kok, kamu jahat gini sih, Mas, sama aku?""Memangnya saya wajib gitu baik sama kamu?" sinisnya. "Pak RT, tolong usir saja mereka ini! Terutama wanita ini! Dia selalu mengganggu istri saya!" tunjuk Irwan kepada Winda. "Sudah! Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Mbak
"Kamu berani mengancam? Apa kamu takut kelakuan busukmu itu terbongkar, ha?""Yang busuk itu bukan kelakuan saya! Tapi, pikiran kalian yang busuk!" cetus Rani. "Sudahlah, Rani! Kamu tidak usah mengelak. Kamu begitu tega mempermainkan Mas Irwan. Sampai hati kamu berbuat begitu. Sudah jelas-jelas kalau kamu selingkuh, bahkan pria ini berani mendatangi rumah kamu," ujarnya seolah prihatin dengan Irwan. "Lihat? Anakmu ini sangat mirip dengan lelaki ini? Ini sudah ada buktinya 'kan?" Winda kembali menimpali. "Dia tidak mirip denganmu atau pun Mas Irwan.""Hahaha...." Rani dan Andra tertawa berbarengan. Membuat Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Winda bingung. "Kamu lihat 'kan, Mas! Dia pasti tak bisa mengelak lagi makanya tertawa. Mas Irwan bisa kok, dapetin yang lebih baik lagi dari Mbak Rani. Masih banyak wanita yang ingin menjadi istri kamu, jadi tidak perlu menutupi kelakuan buruk Mbak Rani.""Termasuk kamu gitu? Yang mau jadi istri Mas Irwan? Kamu 'lah wanita baik itu, begitu 'kan?" cibi