"Ham, stop! Kayaknya di sini tempatnya lumayan, deh!" Winda menunjuk sebuah tanah kosong tepat di depan pasar. "Emm, iya! Oke juga kayaknya. Kita di situ saja, tapi minta izin dulu sama yang punya tanah. Kalau sudah ada yang menduduki 'kan, susah!""Oke!" Winda mengangguk. Ilham kemudian mendekati orang yang berada di dekat situ dan mulai bertanya-tanya. Winda melihat Ilham mengangguk dan nampak tersenyum. "Gimana, Ham?" tanya Winda. "Oke, Win! Di situ aman! Kita diperbolehkan membuka tenda di sana," ujar Ilham. "Alhamdulillah! Ayo, cepat!"Mereka berdua mulai memasang tenda rakitan yang mereka bawa dan mulai menyusun barang-barang yang mereka jual. Setelah selesai menyusun semua. Winda dan Ilham mulai menawarkan barang-barang mereka kepada setiap pejalan kaki yang lalu lalang. "Ayo, Ibu-ibu semua barang promo! Bisa dilihat-lihat dulu, ya!" Winda dan Ilham memulai demo produk yang mereka bawa. "Dari merk apa ini, Mas?" Seorang pejalan kaki yang penasaran bertanya kepada Ilham.
"Menurut kamu, Mas Irwan sedang apa?" Rani nampak tak suka saat mantan kekasih suaminya itu menyapa. "Emm, Mas Irwan ngapain di tempat ini?" tanya Winda, namun Irwan enggan menjawab. Dia lebih memilih pergi meninggalkan Winda. "Eh, Mas Irwan tunggu!" Winda mencoba mengikuti Irwan tapi dicegah oleh Rani. "Maaf, Mbak Winda ada keperluan apa sih, jadi ngikutin suami saya? Sampai ke sini?""Ngikutin apa, sih?""Mbak ke pasar ini karena ngikutin suami saya 'kan?""Saya di sini lagi kerja. Emangnya kamu, pengangguran! Kerjaannya rebahan sama ngintilin suami kayak gini?" ketusnya."Memang salah? Saya mau nyapa Mas Irwan?" timpalnya lagi. "Nyapa sih nyapa, tapi nggak perlu sampai segitunya juga kali! Ingat, Mbak. Mas Irwan itu sudah punya istri. Jadi, Mbak nggak usah terlalu mendekati Mas Irwan.""Ya, elah! Biasa aja kali, Mbak! Saya dan Mas Irwan 'kan saling kenal dari dulu, bahkan pernah punya hubungan spesial. Jadi, ya wajar saja," ujarnya terdengar santai. Rani terperangah dengan uca
"Ayo, Bu! Winda antar pulang!"Bu Marlin beranjak dari duduknya. Dan membereskan perlengkapannya. "Terimakasih ya, Bu! Sudah mau ke rumah jagain Syifa.""Sama-sama. Kamu ingat pesan Ibu tadi.""Iya, Bu! Syifa, ayo salim sama Nenek!"Gadis kecil itu menuruti perintah mamanya. "Kami langsung pulang ya, Bu!""Nggak masuk dulu?" tanya Bu Marlin. "Nggak, Bu! Winda mau langsung istirahat. Besok Winda banyak kerjaan.""Ya, sudah! Syifa masih belum masuk sekolah 'kan?" "Belum, Bu! Kayaknya, dua hari lagi baru selesai persiapannya.""Besok, Syifa-nya diantar ke sini saja! Soalnya, Ibu sibuk!""Iya, Bu! Pagi sebelum berangkat kerja, Winda antar!""Emm. Cepat kalian pulang, nanti kemalaman.""Baik, Bu! Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam! Hati-hati di jalan!"Anak dan cucu Bu Marlin hanya mengangguk. Winda menjalankan motornya dengan kecepatan sedang. "Kamu sudah selesai menyiapkan perlengkapan untuk sekolah nanti?" Di atas motor yang sedang melaju, Winda bertanya kepada anaknya. "Sisa
"Mas, Mas Irwan!" Rani terus berteriak dan mengejar suaminya yang sedang membonceng mantan kekasihnya itu. "Em, Mas Irwan! Istri Mas, sedang memanggil. Apa setidaknya kita berhenti dulu!" Walau tak ingin istrinya Irwan mengganggu kebersamaan mereka. Tapi, Winda ingin memastikan. Apakah Irwan hanya tidak mendengar kalau istrinya tengah memanggil dirinya. "Biarin aja! Nggak usah dihiraukan!" jawaban yang tak terduga keluar dari mulut Irwan. "Ha? Apa? Apa aku tidak salah dengar? Apa benar Mas Irwan menjawab begitu," batin Winda. "Emm, sebaiknya kita berhenti dulu saja, Mas! Aku nggak enak nanti kalau kalian sampai bertengkar," ujar Winda. Padahal sebenarnya kalau mereka bertengkar itu akan menjadi jalan yang bagus untuknya kembali kepada Irwan. Ia mengatakan itu hanya untuk memastikannya saja. "Sudah! Nggak pa-pa! Kalau kita berhenti dan meladeni istriku, nanti kamu malah terlambat lagi ke tempat kerja.""Wow, ini sesuatu yang nggak terduga," gumam Winda dalam hati. "Tapi aku bener
BRUAKH..."Aduh....!" Winda meringis. Ia terjatuh dari tempat tidurnya."Aaaa..., hanya mimpi ternyata!" Wajahnya nampak cemberut setelah mengetahui bahwa adegan romantis yang dia rasakan tadi hanya mimpi belaka."Emm, Mas Irwan!" Winda masih terbayang-bayang akan mimpinya tadi."Ma? Mama?" Syifa mengetuk pintu kamar mamanya. Winda pun berjalan ke arah pintu dan membukakannya."Hei, tumben kamu yang bangun duluan?" tanya Winda. Karena tidak biasanya anaknya itu bangun sendiri."Aku habis buang air kecil tadi, Ma! Pas dilihat jam, ternyata sudah jam 5. Jadi, sekalian aja bangun," jawab Syifa."Oh, ya udah! Kita sholat dulu, setelah itu baru mandi. Supaya bisa pergi lebih awal ke rumah Nenek!""Iya, Ma!" Sepasang ibu dan anak itu menuju ke dapur bersama."Kita bagi tugas ya? Kamu beresin rumah. Mama mau masak dulu buat kita makan.""Baik, Ma!"Setelah selesai makan dan sudah siap hendak berangkat. Winda yang mencoba menghidupkan sepeda motornya terlihat kesusahan."Aduh...! Kenapa lagi
"Ha? Apa? Apa kami tidak salah dengar?" Rani memperjelas pertanyaan Winda. Tapi lagi-lagi Winda tak menanggapinya. Ia malah bertanya lagi kepada Irwan. "Boleh ya, Mas! Aku minta antar ke tempat kerja?""Kenapa gue yang harus nganter lo?" Irwan yang geram menjadi sedikit terpancing emosinya. "Ya, karena motorku nggak bisa jalan! Sekalian temenin ke bengkel juga bawa motor aku!""Mas, aku boleh nggak, sih? Ngasih pelajaran sama mantan Mas yang nggak tau diri ini?""Iya, Yank! Kamu kasih pelajaran aja sama dia. Mas gedeg juga jadinya melihat tingkah anehnya ini!"Rani mendekati Winda. Dengan tatapan tajam bagaikan hewan buas yang ingin menyantap mangsanya. Rani mengulurkan tangannya ingin menyentuh jilbab pendek wanita itu. Belum sempat menyentuh, Tiba-tiba terdengar suara gadis kecil yang memanggil mamanya. "Ma, gimana? Udah bisa nyala motornya?"Rani yang sadar ada anak kecil di sekitarnya. Mengurungkan niatnya ingin menyerang Winda. "Kenapa aku bisa sampai lupa, kalau Naufal jug
"Memangnya mereka adu mulut seperti apa? Kita tidak bisa mengambil kesimpulan 'kan, kalau tidak tahu masalah mereka.""Yang sempat saya dengar kemarin. Winda seperti meminta tolong, tapi ditolak sama Mas Irwan dan Mbak Rani.""Loh, kok, mereka begitu ketika ada yang meminta tolong? Kenapa nggak bantuin saja? Kenapa jadi malah adu mulut?""Saya sempat dengar juga, Bu! Mas Irwan mau, kok, bantuin. Tapi, Mbak Winda itu seperti memaksa, jadi lah Mas Irwan dan Mbak Rani terpancing.""Apa Ibu dengar apa yang diucapkan sama Mbak Winda, Mbak Rani atau Mas Irwan?""Saya sempat dengar dengan samar. Karena posisi saya juga lagi di dalam rumah, hanya mengintip di balik jendela. Kata Mas Irwan dan Mbak Rani mereka mau sarapan pagi, tapi Mbak Winda tetap aja memaksa. Meminta Mas Irwan membantunya dulu baru sarapan.""Wah, kalau seperti itu. Siapapun bakalan marah 'lah! Memangnya siapa dia? Orang mau sarapan malah dihalangi!""Ibu yakin, seperti itu yang Ibu dengar?" Yang lain mencoba memastikan."I
Setelah asyik ngobrol ngatuk ngidul kesana kemari, para kumpulan ibu-ibu tadi pun bubar. Kembali ke rumah mereka masing-masing. Di jalan pulang, Bu Tut tak sengaja bertemu dengan Winda yang libur bekerja. "Eh, Bu Tut! Apa kabar?" Winda memulai menyapa Bu Tut lebih dulu. Bu Tut yang melihat sikap ramah Winda ini, terlihat meragukan ucapan ibu-ibu di Kang sayur tadi. "Apa iya, Winda yang mulai duluan? Masa iya, orang seramah ini bisa berbuat begitu," batin Bu Tut. "Baik!" balas Bu Tut. "Ah, saya tidak percaya! Pasti, Rani yang mulai duluan. Orang-orang itu terlalu berlebihan saja!" ucapnya dalam hati. "Baru dari Kang sayur ya, Bu?""Iya," balas Bu Tut lagi. "Kang sayurnya masih ada di sana?""Masih ada! Tapi sepertinya dia akan keliling ke kampung lain lagi.""Oh, ya sudah! Kalau begitu saya mau ke sana dulu ya, Bu!""Iya," ujar Bu Tut dengan kepala yang mengangguk. Setelah Winda pergi, barulah Bu Tut teringat sesuatu. "Kenapa tadi nggak tanya sama dia langsung aja, ya?" Bu Tu