"Pasti cara ini akan berhasil dan mereka nggak akan tau kalau aku cuma modus!" Winda tersenyum senang, membayangkan rencananya akan berhasil. Winda beranjak dari tempat duduknya dan bersiap ke dapur untuk melancarkan rencananya. "Yang enak dan simpel masakan apa, ya? Kalau nggak salah, dulu Mas Irwan suka ayam goreng. Baiklah! Masak itu aja sekarang."Winda mulai memasak, dia juga membuat bubur kacang untuk dibagikan kepada tetangga yang lain. "Aduh, sebenarnya repot sih, tapi demi Mas Irwan. Aku rela ngelakuin ini. Kalau hanya Mas Irwan yang dikasih 'kan, nanti orang bakal langsung curiga kalau aku mengincar Mas Irwan," gumamnya. Winda segera menyelesaikan masakannya. Lima belas menit kemudian, masakannya sudah selesai. Wajahnya terlihat puas saat melihat hasil karyanya. "Perfect...!" ujarnya sambil mencium kedua jari tangannya seperti yang biasa dilakukan koki profesional. "Sudah pasti Mas Irwan akan suka dengan masakan ini," ujarnya percaya diri. Selesai menyiapkan masakan i
"Oh..! Jadi maksud, Mas, aku nggak mengesankan begitu?" Rani mulai terdengar sewot. "Kalian berdua sama-sama mengesankan tapi dari segi yang berbeda. Dia itu mengesankan dari segi membuat orang sakit hati. Sampai trauma, Mas dibuatnya. Nggak lagi berminat sama yang namanya pacaran. Setelah ketemu sama kamu saja yang membuat Mas merasakan yang namanya dicintai itu, gimana rasanya. Ternyata semenyenangkan ini."Rani tersipu malu. "Dari pada membicarakan masa lalu, lebih baik kita membicarakan masa depan. Menurut Mas, hanya kamu cinta pertama, Mas selama ini.""Hemm, gombal!" ucap Rani malu-malu. "Itu bukan gombal, Sayang! Tapi kejujuran. Udah, ah! Lebih baik, kita bermesraan. Sudah lama ini, Mas kangen!""Ih, apa sih, Mas!" Rani sedikit jaim.Irwan mendekap Rani meskipun istrinya itu menolak. Tapi, memang dasarnya Rani selalu tak bisa bahkan tak tega menolak permintaan suaminya itu. Mereka pun kembali berbaikan. Kepercayaan Rani kepada suaminya kembali meningkat. *****Keesokan har
"Maksudnya apa, ya?" Rani berusaha untuk tidak terpancing emosi. "Maksud saya, apa kamu setiap hari melakukan hal ini?""Maksudnya?""Masak atau apa pun itu. Pekerjaan ibu rumah tangga!""Oh, iya!""Apa kamu nggak kerja? Kerja di mana kamu?""Saya kerja di rumah, Mbak!" "Kamu nggak kerja 'kan? Berarti kamu pengangguran, dong!""Saya kerja sambilan di rumah... " Belum selesai Rani menjelaskan, tiba-tiba ucapannya sudah dipotong oleh Winda. "Ah, saya tau! Kerja sambilan kamu pasti rebahan 'kan? Hahaha!" Winda tertawa mengejek. "Mengurus rumah itu bukan kerja namanya. Jadi, istri itu harus bisa kerja, Mbak! Biar nggak ditinggal sama suami. Apalagi, setahu saya waktu masih sama Mas Irwan, dia itu nggak suka sama wanita yang manja dan nggak mandiri. Tapi, lihat sekarang! Apa ini karma buat Mas Irwan karena dulu selalu menyakiti saya? Kasihan ya, Mas Irwan punya istri beban seperti kamu!" ejeknya lagi. Rani hanya diam saja, mendengarkan ocehan wanita itu. Sebelum dia membungkam mulut
Pagi-pagi sekali Winda sudah siap dengan pakaian kerjanya. Hari ini dia bersiap masuk kerja. "Padahal pengen istirahat di rumah aja hari ini," keluhnya. Di rasa sudah kesiangan, Winda memutuskan untuk sarapan di warung depan. "Mama berangkat dulu ya, Syifa!" Winda berpamitan kepada anaknya. "Iya, Ma!" Gadis kecil berumur 9 tahun itu mengangguk. "Sebenarnya Mama sudah ajukan cuti sampai Syifa masuk di sekolah baru nanti. Tapi, apa boleh buat, hari ini banyak kerjaan. Jadi, terpaksa Mama masuk kerja!" Winda memberikan penjelasan kepada putrinya. "Nanti, Nenek kemari buat nemenin Syifa."Winda meninggalkan anaknya seorang diri di rumah. "Jangan melakukan hal yang berbahaya selama tidak ada orang dewasa, ya!" Winda mengingatkan lagi. "Baik, Ma!"Dirasa anaknya sudah mengerti apa yang dia ucapkan, Winda bergegas pergi. "Eh, Mbak Yani. Masih pagi sudah rapi aja!" Tetangga sebelah Winda menyapa. "Iya, Bu! Mau kerja, hari ini disuruh Bos datang lebih awal.""Oh! Mbak Yani kerja, ya?
"Ham, stop! Kayaknya di sini tempatnya lumayan, deh!" Winda menunjuk sebuah tanah kosong tepat di depan pasar. "Emm, iya! Oke juga kayaknya. Kita di situ saja, tapi minta izin dulu sama yang punya tanah. Kalau sudah ada yang menduduki 'kan, susah!""Oke!" Winda mengangguk. Ilham kemudian mendekati orang yang berada di dekat situ dan mulai bertanya-tanya. Winda melihat Ilham mengangguk dan nampak tersenyum. "Gimana, Ham?" tanya Winda. "Oke, Win! Di situ aman! Kita diperbolehkan membuka tenda di sana," ujar Ilham. "Alhamdulillah! Ayo, cepat!"Mereka berdua mulai memasang tenda rakitan yang mereka bawa dan mulai menyusun barang-barang yang mereka jual. Setelah selesai menyusun semua. Winda dan Ilham mulai menawarkan barang-barang mereka kepada setiap pejalan kaki yang lalu lalang. "Ayo, Ibu-ibu semua barang promo! Bisa dilihat-lihat dulu, ya!" Winda dan Ilham memulai demo produk yang mereka bawa. "Dari merk apa ini, Mas?" Seorang pejalan kaki yang penasaran bertanya kepada Ilham.
"Menurut kamu, Mas Irwan sedang apa?" Rani nampak tak suka saat mantan kekasih suaminya itu menyapa. "Emm, Mas Irwan ngapain di tempat ini?" tanya Winda, namun Irwan enggan menjawab. Dia lebih memilih pergi meninggalkan Winda. "Eh, Mas Irwan tunggu!" Winda mencoba mengikuti Irwan tapi dicegah oleh Rani. "Maaf, Mbak Winda ada keperluan apa sih, jadi ngikutin suami saya? Sampai ke sini?""Ngikutin apa, sih?""Mbak ke pasar ini karena ngikutin suami saya 'kan?""Saya di sini lagi kerja. Emangnya kamu, pengangguran! Kerjaannya rebahan sama ngintilin suami kayak gini?" ketusnya."Memang salah? Saya mau nyapa Mas Irwan?" timpalnya lagi. "Nyapa sih nyapa, tapi nggak perlu sampai segitunya juga kali! Ingat, Mbak. Mas Irwan itu sudah punya istri. Jadi, Mbak nggak usah terlalu mendekati Mas Irwan.""Ya, elah! Biasa aja kali, Mbak! Saya dan Mas Irwan 'kan saling kenal dari dulu, bahkan pernah punya hubungan spesial. Jadi, ya wajar saja," ujarnya terdengar santai. Rani terperangah dengan uca
"Ayo, Bu! Winda antar pulang!"Bu Marlin beranjak dari duduknya. Dan membereskan perlengkapannya. "Terimakasih ya, Bu! Sudah mau ke rumah jagain Syifa.""Sama-sama. Kamu ingat pesan Ibu tadi.""Iya, Bu! Syifa, ayo salim sama Nenek!"Gadis kecil itu menuruti perintah mamanya. "Kami langsung pulang ya, Bu!""Nggak masuk dulu?" tanya Bu Marlin. "Nggak, Bu! Winda mau langsung istirahat. Besok Winda banyak kerjaan.""Ya, sudah! Syifa masih belum masuk sekolah 'kan?" "Belum, Bu! Kayaknya, dua hari lagi baru selesai persiapannya.""Besok, Syifa-nya diantar ke sini saja! Soalnya, Ibu sibuk!""Iya, Bu! Pagi sebelum berangkat kerja, Winda antar!""Emm. Cepat kalian pulang, nanti kemalaman.""Baik, Bu! Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam! Hati-hati di jalan!"Anak dan cucu Bu Marlin hanya mengangguk. Winda menjalankan motornya dengan kecepatan sedang. "Kamu sudah selesai menyiapkan perlengkapan untuk sekolah nanti?" Di atas motor yang sedang melaju, Winda bertanya kepada anaknya. "Sisa
"Mas, Mas Irwan!" Rani terus berteriak dan mengejar suaminya yang sedang membonceng mantan kekasihnya itu. "Em, Mas Irwan! Istri Mas, sedang memanggil. Apa setidaknya kita berhenti dulu!" Walau tak ingin istrinya Irwan mengganggu kebersamaan mereka. Tapi, Winda ingin memastikan. Apakah Irwan hanya tidak mendengar kalau istrinya tengah memanggil dirinya. "Biarin aja! Nggak usah dihiraukan!" jawaban yang tak terduga keluar dari mulut Irwan. "Ha? Apa? Apa aku tidak salah dengar? Apa benar Mas Irwan menjawab begitu," batin Winda. "Emm, sebaiknya kita berhenti dulu saja, Mas! Aku nggak enak nanti kalau kalian sampai bertengkar," ujar Winda. Padahal sebenarnya kalau mereka bertengkar itu akan menjadi jalan yang bagus untuknya kembali kepada Irwan. Ia mengatakan itu hanya untuk memastikannya saja. "Sudah! Nggak pa-pa! Kalau kita berhenti dan meladeni istriku, nanti kamu malah terlambat lagi ke tempat kerja.""Wow, ini sesuatu yang nggak terduga," gumam Winda dalam hati. "Tapi aku bener