Di cemooh dan diusir dari kampung ini, adalah hukuman teringan yang Yanti bayangkan. Hal terburuk yang ia bayangkan, semua ibu-ibu yang ada di sini melakukan hal yang biasa ia saksikan pada pelakor yang ketahuan istri sahnya. Ditampar, ditendang sampai disiram air cabe di kem4luannya. Bayangan itu membuat Yanti bergidik ngeri. "Saya...." ucapan Rani terpotong oleh teriakan ibu-ibu yang lain. "Lucuti saja pakaiannya, setelah itu kita arak keliling kampung!""Eh, jangan, Bu! Nanti keenakan bapak-bapak di sini lagi, ngelihat dia bv91l." Seorang wanita muda berpikir realistis. Ibu yang berteriak tadi sejenak berpikir. "Eh, benar juga, ya! Jadi, menurut kalian, apa hukuman yang cocok untuknya supaya membekas di ingatannya? Supaya dia jera dan tak berani lagi melakukan hal itu di mana pun dia berada.""Kalian tidak perlu repot-repot memikirkan, ini semua hak Mbak Rani. Jadi, apapun keputusan Mbak Rani, kita harus mehargai dan jangan ada yang bikin rusuh," ucap Bu RT. "Yang pertama, sa
Setelah selesai menimbang berat badan. Bu Bidan mulai memeriksa tekanan darah Rani. " Tekanan darah Ibu, sembilan puluh per enam puluh. Pantas saja Ibu pusing dan mual parah, tekanan darah Ibu sangat rendah," terang Bu Bidan. "Untuk sementara saya resep kan obat mual dan penambah darah untuk Ibu, ya! Yang rutin minum obatnya," ujar Bu Bidan setelah itu ia menyerahkan secarik kertas yang sudah berisi resep obat."Iya, Bu!" Rani manggut saja mendengar penjelasan dan perintah Bidan. "Ini, Pak, obatnya. Kalau masih mual juga, nggak bisa makan nasi, ganti dengan roti atau biskuit. Dan tambahan susu khusus Ibu hamil kalau perlu. Bapak yang ingatkan istrinya, kalau perlu Bapak juga yang siapkan!""Baik, Bu! Akan saya lakukan. Berarti, keadaan istri saya saat ini baik-baik saja, kan?""Iya, nggak pa-pa! Bu Rani hanya lemas setelah muntah saja! Tidak perlu dikhawatirkan. Kalau pusing, jangan dipaksakan untuk melakukan pekerjaan rumah yang berat. Istirahat saja.""Baik! Terimakasih, Bu! Kami
Brugh.. Yanti terpeleset ketika hendak mendatangi Rani. "Aduhh..!" Pinggang Yanti dengan kencang menyentuh tanah. "Astaghfirullah," Reflek Bu Wati berteriak sambil menahan tawa. "Mbak Rani baiknya istirahat saja. Kunci pintunya rapat-rapat. Nanti banyak ulat bulu masuk."Rani pun tak kuasa menahan tawanya. "Hahaha, iya, Bu! Terimakasih, karena sudah perhatian sama saya!""Sama-sama, Mbak Rani. Cepet, gih, masuk. Nanti keduluan serangga."Rani hanya geleng-geleng kepala. Lalu, masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Yanti semakin panas dada setelah melihat Rani masuk. Segera ia bangun dan menggedor pintu rumah Rani. "Rani..! Keluar kamu!" teriaknya. "Berani kamu ngetawain saya, ya!"Rani tak mengindahkan teriakan itu. Hal itu membuat Yanti semakin kencang berteriak. Bahkan, ia menggedor dengan kerasnya pintu rumah Rani. "Mbak Yanti, ngapain teriak-teriak di depan rumah Mbak Rani? Ganggu orang aja!" Seorang tetangga Rani yang baru saja selesai pergi belanja, menegur Yanti.
"Mbak... Mbak Rani!" Ketukan kecil di pintu, berubah menjadi gedoran."Hahaha...." Yanti tertawa kecil. "Sudah mampus kali, Bu, si Rani!" cetusnya."Hush..! Kalau ngomong jangan sembarangan!" tegur Bu Wati."Habis, dari tadi pintu diketok senyaring itu, masa nggak dengar?""Biasanya, kan, orang kalau nggak dengar gitu, berati orangnya !" Yanti meletakkan jarinya di leher, kemudian memperagakan seolah orang yang menyayat lehernya.Bu Wati terus saja mengetuk, ia tak menyerah. "Kalau sampai sekali lagi nggak dibukakan pintu, terpaksa harus meminta warga di sini untuk mendobrak pintunya," batin Bu Wati.Tokk.. Tokk... Tokk..."Assalamu'alaikum, Mbak Rani!" panggilnya dengan sedikit keras.Rani yang baru keluar dari toilet, mendengar ada seseorang memanggil namanya, bergegas menuju ke pintu depan."Wa'alaikumussalam! Sebentar!" balasnya dari balik pintu, sembari memutar kunci."Oh, Bu Wati!" serunya. "Ada apa, Bu?"Bu Wati bernafas lega, setelah Rani membukakan pintu. "Alhamdulillah, Mbak
"Yank! Aduuhh, jangan nangis, dong! Kamu salah paham, bukan gitu maksud, Mas!"Bahu Rani semakin bergetar hebat. Namun, mulutnya tak mengeluarkan suara. Irwan semakin panik, ia mencoba mendongkakkan wajah istrinya, tapi tiba-tiba...! "Waaaa" Ternyata, Rani hanya mengerjai Irwan saja. Bahunya bergetar tadi sebab menahan tawa. "Hahahaha....! Lucunya suamiku ini!" Rani mencubit kedua pipi Irwan. "Gimana? Panik, nggak? Panik, nggak? Panik 'kan? Masa enggak? Hahahaha..." Dia masih saja menertawakan suaminya itu. "Kamu ini, ya! Iseng banget. Mas, kira kamu beneran nangis, loh!" Irwan balas menggelitik perut Rani. "Hahaha..! Stop, Mas! Geli!" Tawa Rani mengundang keingin tahuan Naufal anaknya. "Mama sama Ayah lagi apa, sih? Kok, kayanya seru banget! Aku juga mau ikutan, dong!""Tuh, kan! Naufal jadi kepo!""Ayo, sini! Mau ikutan 'kan?" Irwan pun menggelitik perut Naufal, di ikuti Rani. Anak kecil itu pun tertawa dengan riangnya.Mereka bertiga tertawa bersama. ***"Mas beneran nggak
Rani tercengang saat melihat wanita itu adalah wanita yang tadi memperhatikan suaminya. Irwan pun terkejut saat melihat wanita berjilbab yang menyapa dirinya. "Apa dia yang Rani lihat tadi saat di wahana kapal?" batin Irwan. "Mas Irwan 'kan?" tanya wanita itu. "Maaf, Mbak! Ada keperluan apa ya, Mbak memanggil suami saya?" Rani memberanikan diri untuk bertanya karena dia sudah muak saat wanita itu memperhatikan Irwan dari tadi.Namun, ditanya begitu pun wanita itu tak merespon. Ia malah mengacuhkan pertanyaan Rani dan mengajak Irwan bicara. "Ya ampun, Mas Irwan! Sudah lama nggak ketemu!" serunya girang. "Tadinya aku sempat ragu kalau salah orang. Makanya aku nyamperin ke sini untuk memastikan!" Raut wajahnya sangat bahagia ketika melihat Irwan. Rani memandang Irwan meminta penjelasan. "Mas kenal sama wanita ini?" tanya Rani dengan ketus. Mungkin karena sedang hamil, Rani menjadi sangat sensitif. Wanita itu melemparkan pandangan ke arah Rani. Kemudian mengulurkan tangannya. "Perk
"Kok, nggak nungguin, Mas? Cepat banget jalannya."Rani hanya diam. Dadanya terasa sakit. "Yank!" panggil Irwan. Ia mencoba meraih tangan Rani, tapi Rani malah menjauhkan tangannya. "Bisa kita pulang sekarang? Kepalaku sakit, Mas!" ujarnya tanpa melihat wajah Irwan. "Naufal sudah puas 'kan mainnya? Kita pulang sekarang nggak pa-pa, kan?" Walau perkataan Rani terdengar lembut di telinga anaknya, namun rasa kesal dan sakit di hatinya tak bisa ia sembunyikan. Rasa sakit itu terpancar dengan jelas di wajahnya. "Iya, Ma! Kayanya, Mama sakit kepala lagi, ya? Meski Naufal belum puas, tapi kita pulang saja! Wajah Mama terlihat sedih kayak tadi. Pasti Mama kesakitan banget, kan?" Ia mengira Rani kesakitan. "Iya, Nak! Mama lagi nggak enak badan.""Iya, Ma! Kita pulang saja!""Terimakasih ya, Nak!""Naufal juga berterimakasih Mama dan Ayah sudah ngajak Naufal pergi bermain di tempat ini."Di atas motor anak itu bertanya lagi kepada Rani."Ma, boleh Naufal tanya kenapa Mama jadi sakit kepala
"Loh, kenapa nggak mau? Apa alasan dia nggak mau menuruti Mas?""Katanya Mas nggak berhak melarang dia.""Aku juga nggak macam-macam sama mereka semua. Kami hanya temenan biasa, kok," ucapnya waktu itu. Mungkin karena emang dasar sifatnya egois jadi berkata begitu," terang Irwan. "Lalu, Mas marah sebab dia nggak mematuhi ucapan Mas? Mas sakit hati nggak dia berkata begitu?""Awalnya sih, sakit hati. Tapi, setelahnya jadi biasa aja. Malah dulu pernah Mas mengobrol dengan seorang pelanggan wanita, waktu Mas kerja ikut orang. Lalu, dia ngelihat. Kamu tau apa yang dia katakan?""Apa?" "Dia malah marah sama Mas! Katanya Mas nggak jaga perasaan dia bicara sama cewek lain. Eh, Mas 'kan bingung! Ini kerjaan, loh. Masa, Mas harus pilih-pilih kalau ada yang beli? Bener 'kan?"Rani manggut-manggut. "Terus Mas bilang apa sama dia? Waktu ngelarang Mas bicara sama pelanggan cewek?""Ya, Mas bilang aja! Mereka 'kan hanya pelanggan, bukan cewek yang gimana-gimana! Mas juga nggak bicara yang di luar
"Kenapa wajah kamu bisa hancur gitu?" Pertanyaan Bu Tut begitu mengintimidasi. Ratih menjadi gugup. "A-anu, Bu... Anu..." Ratih bingung memberikan jawaban. "Anu apa? Kenapa wajah kamu bisa seperti ini?" Melihat luka di wajah Ratih yang sama persis seperti foto pelakor yang ditunjukkan oleh Bu Susi, Bu Tut menjadi yakin kalau wanita itu memang benar anaknya. "A-anu, Bu! Tadi Ratih jatuh waktu di tempat kerja.""Jatuh di mana?""Jatuh dari tangga, Bu!" Ratih tersenyum kikuk. "Kamu naik tangga? Bukannya kamu kerja di perusahaan? Kok, naik tangga? Sekelas mall kecil aja pakai lift, kok, perusahaan tempat kamu bekerja malah nggak ada lift?""Liftnya lagi rusak, Bu! Jadi Ratih pakai tangga."Bu Tut mendekati Ratih dengan pandangan tajam. "Nggak usah bohong kamu! Kamu habis jalan sama om-om 'kan?" Bu Tut langsung berkata ke intinya. "Nggak, kok! Bu! Ratih kerja." Tubuh Ratih sudah mengucur keringat dingin. "Kerja, kerja! Nggak usah bohong kamu! Ibu sudah tau semuanya. Ibu sudah lihat
Bu Susi memperlihatkan video seorang wanita yang digrebek di kamar hotel dan di serang oleh istri sahnya."Sini coba saya lihat!" Bu Tut mengambil ponsel Bu Susi untuk melihat video itu dengan lebih jelas.Awalnya dia biasa saja bahkan ikut geram dan mengumpat sebelum tau bahwa wanita yang jadi pelakor di video itu adalah anaknya."Bagus! Hajar aja! Geram banget sama pelakor dan lakinya ini! Terus, Bu! Jangan kasih ampun!" ujar Bu Tut bersemangat.Bu Susi heran kenapa Bu Tut malah ikutan geram dengan video itu? Bukannya terkejut atau berteriak histeris.Bukan karena hasil videonya yang jelek, tapi Bu Tut tidak mengenali pelakor itu karena wajahnya sudah terdapat luka-luka."Terus! Hajar! Kalau perlu potong aja b*tang suaminya dan kasihin ke binat*ng! Masukin cabe juga ke dalam lub*ng buaya si pelakornya! Dasar bin*t*ng kedua orang itu!" ujarnya mengumpat dengan semangat."Loh, Bu Tut, kok nggak kaget? Malah ikutan mengumpat?" tanya Bu Susi heran."Kenapa kamu heran? Bukannya reaksi sa
"Ma-mamah!" ucap Om Heri terbata-bata. BRAKK... Wanita yang ternyata istri dari Om Heri itu menggebrak pintu. Ratih yang terkejut, menyusul keluar. "Siapa, Om?" tanya Ratih. Dia menutupi dirinya dengan selimut hotel dan berjalan keluar. Ratih tak kalah terkejutnya melihat ramainya orang berada di pintu kamarnya. Istri Om Heri memandang Ratih dari ujung kepala sampai kaki. Menatapnya dengan pandangan tajam. "Jadi ini wanita peliharaanmu?" ujarnya pedas. "Mama ngapain ke sini?""Mama? Apa wanita ini istri Om Heri? Tapi, kata Om kemarin dia seorang duda?" Ratih bertanya dalam hati. "Ngapain katamu?" teriak wanita itu. Teriakannya membuat orang-orang keluar dari kamar mereka dan beramai-ramai melihat. "Puas kamu, ya! Sudah main berapa kali dengan wanita ini?" tunjuk nya pada Ratih. "Dasar laki-laki buaya! Perempuan gatal! Kub*n*h kalian!" Istri Om Heri mencoba meraih Ratih, namun dihalangi oleh Om Heri. "Mah, jangan begini dong! Malu dilihat sama orang!" bisik Om Heri. "Apa?
"Tadi itu aku lihat Ratih loh, Mas!""Ratih siapa? Temen kamu?""Ih, bukan! Itu loh, Ratih anaknya Bu Tut.""Terus kenapa kalau kamu lihat dia? Kayak nggak pernah lihat aja sampai heboh begitu!" Sambil berjalan, sesekali Irwan bercanda dengan anaknya. "Tadi itu dia sama seorang laki-laki, Mas! Om-om gitu! Gandengan pula! Mesra banget.""Kamu yakin kalau itu dia? Jangan asal tuduh loh, Yank!""Iya, Mas! Aku yakin! Aku nggak bakalan lupa sama wajah wanita yang sudah mencoba menggoda suami aku.""Kemarin, Bu Tut bilang kalau Ratih itu kerja sebagai asisten bos. Apa iya, ya Mas? Kok, lebih kayak sugar baby gitu?""Sugar baby? Apa itu, Yank?""Itu loh, Mas! Simpanan om-om!""Astaghfirullah! Hush, udah! Kami nggak usah kepo! Dosa tau mencari aib orang!""Astaghfirullah! Maaf, Mas! Habisnya aku kepo!" ujar Rani sambil nyengir meski suaminya tidak melihat karena tertutup masker."Biarkan saja dia! Kamu nggak usah ikut campur. Meski ibu dan dia pernah membuat kita kesal dan pernah memfitnah k
"Ah, iya nih, Bu! Bagus nggak?""Wah, bagus Bu Tut. Kayaknya habis dapat rejeki nomplok nih sampai bisa beli cincin.""Iya, Bu! Saya habis dikasih sama Ratih. Kemarin dia habis gajian dan ngasih saya satu juta. Makanya saya bisa beli cincin sebagus ini," ujar Bu Tut."Beruntung banget ya, Bu Tut. Coba saja anak saya bisa ngasih saya uang banyak kayak gitu.""Iya, Bu! Akhirnya Ratih bisa berbakti juga sama orang tua. Semenjak dia cerai bahkan masih sama suaminya saja, kami orang tuanya yang ngasih makan.""Hah, yang bener, Bu?""Iya! Makanya, waktu si Jono terkena kasus, saya suruh cerai aja sekalian. Punya suami nggak bisa diandelin, buat apa?""Bener, Bu! Zaman sekarang makan cinta mah, nggak bakalan kenyang.""Nah, makanya itu. Laki zaman sekarang pengennya punya istri cantik. Padahal dia sendirinya cuma laki-laki kere. Nggak bisa memenuhi keperluan istrinya. Dia kira makan tampang aja kenyang?""Bener tuh, Bu Tut!""Ya, sudah! Saya pulang dulu ya, Bu-ibu!""Iya, Bu!""Enak ya, Bu T
"Ma-maksud, Om! Melayani apa? Menyediakan makan minum untuk Om, gitu?""Jangan pura-pura nggak tau, Ratih! Kita sudah sama-sama dewasa. Kamu ngerti apa yang saya maksud!" Om Heri menyesap rok*k yang terjepit di jarinya. "Tapi... Saya..." Ratih seakan ragu. Namun, tak dipungkiri dia sangat tergiur dengan uang itu. "Kalau kamu mau, uang sebesar sepuluh juta yang ada di amplop itu akan menjadi milikmu! Tetapi... Kalau kamu nggak mau, tidak apa-apa! Saya tidak keberatan tapi uang ini saya ambil kembali."Ratih menelan salivanya. Dia bingung dan juga bimbang, antara menerima atau menolak tawaran itu. "Saya tidak akan memberikan tawaran ini dia kali. Dan kalau kamu menolak uang ini, saya rasa kamu akan menjadi orang yang paling rugi." Om Heri mencoba menggoyahkan pertahanan Ratih. "Kamu tau? Sekarang susah untuk mendapatkan pekerjaan mudah dalam waktu yang singkat. Tidak mudah pula mendapatkan uang sebesar ini dalam satu hari. Apa kamu yakin mau menolak tawaran ini?" Lagi, Om Heri semak
"Awas kamu, Rani!" Bu Tut menggerutu setelah mendapatkan vonis hukuman dari Pak RT. "Sialan banget. Ini semua salah kamu, Winda!" ketus Bu Irma. "Loh, kok, Bu Irma nyalahin saya sih?" Winda tentu saja tidak terima dengan tuduhan itu. "Kan, yang ngajakin ke rumah Rani, kalian bertiga, kok, malah salah saya?""Iya! Salah kamu! Seandainya saja kamu memberikan informasi yang benar tidak akan seperti ini kejadiannya," bentak Bu Tut. "Kamu sengaja 'kan? Kamu hanya ingin memanfaatkan kami supaya bisa menuluskan niat jahatmu untuk merebut Irwan dari Rani," cetus Bu Tut. Mata Winda terbelalak karena tebakan Bu Tut memang benar. Namun, dia berusaha mengelak. "Enak saja! Memangnya selama ini saya pernah ngajakin ibu-ibu untuk membenci Rani? Bukannya kebalik? Kan, kalian yang ngajakin saya untuk membenci dia. Saya baru datang lagi kemari, malah kalian yang ngomongin dia yang jelek-jelek.""Tetap saja! Ini semua salah kamu! Kalau saja, kami tidak terhasut oleh omonganmu barusan tidak akan kam
"Aaaakkkhhh!" pekik ke empat orang itu. "Heh...! Kenapa kamu menyiram kami?" pekik Winda. "Apa lagi? Saya menyiram supaya jin dan roh jahat yang melekat di tubuh kalian semua pada kabur!" ketus Rani. "Apa kamu bilang?" Bu Tut dan Winda maju, ingin menjambak Rani, namun segera di tepis oleh Irwan. Dia mendorong Bu Tut yang berada di depan dan menumbruk tubuh Winda yang ada di belakang. "Aakkhh..." pekik Bu Tut, yang terduduk menimpa tubuh Winda. "Auwww!" Winda merintih karena ditindih oleh badan Bu Tut yang dua kali lebih besar darinya. "Hei, kurang ajar ya kamu, Irwan!" teriak Bu Tut. "Mas, kok, kamu malah mendorong kami sih?" Winda berkata manja. "Tolongin, dong!""Cih, buat apa? Kalian memang pantas menerima hal itu.""Kok, kamu jahat gini sih, Mas, sama aku?""Memangnya saya wajib gitu baik sama kamu?" sinisnya. "Pak RT, tolong usir saja mereka ini! Terutama wanita ini! Dia selalu mengganggu istri saya!" tunjuk Irwan kepada Winda. "Sudah! Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Mbak
"Kamu berani mengancam? Apa kamu takut kelakuan busukmu itu terbongkar, ha?""Yang busuk itu bukan kelakuan saya! Tapi, pikiran kalian yang busuk!" cetus Rani. "Sudahlah, Rani! Kamu tidak usah mengelak. Kamu begitu tega mempermainkan Mas Irwan. Sampai hati kamu berbuat begitu. Sudah jelas-jelas kalau kamu selingkuh, bahkan pria ini berani mendatangi rumah kamu," ujarnya seolah prihatin dengan Irwan. "Lihat? Anakmu ini sangat mirip dengan lelaki ini? Ini sudah ada buktinya 'kan?" Winda kembali menimpali. "Dia tidak mirip denganmu atau pun Mas Irwan.""Hahaha...." Rani dan Andra tertawa berbarengan. Membuat Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Winda bingung. "Kamu lihat 'kan, Mas! Dia pasti tak bisa mengelak lagi makanya tertawa. Mas Irwan bisa kok, dapetin yang lebih baik lagi dari Mbak Rani. Masih banyak wanita yang ingin menjadi istri kamu, jadi tidak perlu menutupi kelakuan buruk Mbak Rani.""Termasuk kamu gitu? Yang mau jadi istri Mas Irwan? Kamu 'lah wanita baik itu, begitu 'kan?" cibi