Teriakan Rani membuat Irwan terkejut dan segera mendatangi Rani ke dalam kamar. "Kenapa, Yank?" Melihat Rani yang gemetar Irwan menjadi panik. "Yank?" panggilnya lagi. Tapi, Rani tak merespon apapun. Tangannya masih saja gemetaran. Mata Rani yang masih tertuju pada ponselnya membuat Irwan memegang tangan istrinya itu. "Kamu habis liat apa, sih?" Tangan Irwan terulur untuk mengambil ponsel Rani. Namun, dengan sigap Rani menghentikan tangannya. "Mas, jangan lihat!" "Kenapa? Ada apa? Apa kamu melihat sesuatu yang mengerikan sampai berteriak seperti tadi?""Iya, Mas! Sangat mengerikan, makanya Mas jangan lihat.""Apa sih yang kamu lihat? Film horor?""Ini lebih mengerikan dari film horor, Mas!""Kalau kamu nggak mau kasih lihat, coba ceritakan apa yang kamu lihat sampai gemetaran seperti ini?""Aku nggak bisa cerita sama Mas! Takutnya, Mas nanti terbayang-bayang.""Cerita saja! Mas khawatir sama keadaan kamu!""Ini tentang Yanti, Mas!""Memangnya apa yang dia lakukan? Dia mengancamm
"Ke rumahku, Mas!" bisiknya. "Aku akan bantu, Mas, membalas perbuatan Rani karena sudah menyelingkuhi, Mas!""Emmm, kita lihat saja nanti!""Aku tunggu, ya, Mas?""Iya, tunggu saja! Sekarang bisakah kamu pergi? Saya lagi banyak pelanggan.""Iya, Sayangku!"Irwan jijik mendengar kata-kata itu dari mulut seseorang yang bukan istrinya. "Rani! Sebentar lagi, suamimu ini akan jatuh ke pelukanku. Setelah ini, kamu akan merasakan sakit yang sangat luar biasa," batinnya. Yanti pun berjalan dengan meliuk-liukan pinggulnya. Irwan segera mengirimkan rekaman suara itu kepada istrinya. [Yank! Dugaan kamu benar! Ulat bulu itu datang ke sini lagi, ia ngajakin ke rumahnya.]Rani membuka pesan yang baru saja dikirimkan suaminya. Ia benar-benar sudah menyangka akan hal itu. [Bagus, Mas! Nanti kalau ia melihat Mas pulang, pasti akan mengirimi pesan lagi. Saat itu kita akan jalankan rencana.][Ok! ]****Hari sudah menjelang sore, Irwan memutuskan untuk pulang. Tepat saat akan memasuki rumah, tiba-t
"Haa..! Mau kemana kamu?" Segerombolan bapak-bapak mengepung Yanti melalui pintu belakang. "Tahan dia, Pak!" seru Ibu yang bertubuh gempal. Kini Yanti terpojok. Ia sudah tak bisa lagi melarikan diri. Dua ibu-ibu memegangi Yanti, kemudian menyeret Yanti keluar dan mendudukkannya di sofa. Kini, Yanti berada di tengah antara kedua ibu tadi. Seorang Ibu yang gemas dengan kelakuan Yanti, menoyor kepalanya. "Enak aja, mau kabur! Nggak mau tanggung jawab kamu, atas perbuatanmu itu?""Kalau berani berbuat, harus berani bertanggung jawab!""Bu RT, Mbak Rani! Mau diapakan wanita ini?""Kasih pelajaran dan hukuman yang seberat-beratnya, Mbak Rani! Biar dia jera.""Iya, Mbak! Kami bersedia membantu Mbak Rani menghukumnya.""Iya! Kami juga ikut gemas kalau ada pelakor di kampung ini."Begitulah perkataan mereka. Yanti semakin takut dengan mendengarnya. "Mas Irwan..! Tolong aku! Bukankah hubungan Mas sama Rani sial4n ini sudah tidak harmonis lagi?" ucapnya memelas. "Kata siapa?" Irwan dan Ran
Di cemooh dan diusir dari kampung ini, adalah hukuman teringan yang Yanti bayangkan. Hal terburuk yang ia bayangkan, semua ibu-ibu yang ada di sini melakukan hal yang biasa ia saksikan pada pelakor yang ketahuan istri sahnya. Ditampar, ditendang sampai disiram air cabe di kem4luannya. Bayangan itu membuat Yanti bergidik ngeri. "Saya...." ucapan Rani terpotong oleh teriakan ibu-ibu yang lain. "Lucuti saja pakaiannya, setelah itu kita arak keliling kampung!""Eh, jangan, Bu! Nanti keenakan bapak-bapak di sini lagi, ngelihat dia bv91l." Seorang wanita muda berpikir realistis. Ibu yang berteriak tadi sejenak berpikir. "Eh, benar juga, ya! Jadi, menurut kalian, apa hukuman yang cocok untuknya supaya membekas di ingatannya? Supaya dia jera dan tak berani lagi melakukan hal itu di mana pun dia berada.""Kalian tidak perlu repot-repot memikirkan, ini semua hak Mbak Rani. Jadi, apapun keputusan Mbak Rani, kita harus mehargai dan jangan ada yang bikin rusuh," ucap Bu RT. "Yang pertama, sa
Setelah selesai menimbang berat badan. Bu Bidan mulai memeriksa tekanan darah Rani. " Tekanan darah Ibu, sembilan puluh per enam puluh. Pantas saja Ibu pusing dan mual parah, tekanan darah Ibu sangat rendah," terang Bu Bidan. "Untuk sementara saya resep kan obat mual dan penambah darah untuk Ibu, ya! Yang rutin minum obatnya," ujar Bu Bidan setelah itu ia menyerahkan secarik kertas yang sudah berisi resep obat."Iya, Bu!" Rani manggut saja mendengar penjelasan dan perintah Bidan. "Ini, Pak, obatnya. Kalau masih mual juga, nggak bisa makan nasi, ganti dengan roti atau biskuit. Dan tambahan susu khusus Ibu hamil kalau perlu. Bapak yang ingatkan istrinya, kalau perlu Bapak juga yang siapkan!""Baik, Bu! Akan saya lakukan. Berarti, keadaan istri saya saat ini baik-baik saja, kan?""Iya, nggak pa-pa! Bu Rani hanya lemas setelah muntah saja! Tidak perlu dikhawatirkan. Kalau pusing, jangan dipaksakan untuk melakukan pekerjaan rumah yang berat. Istirahat saja.""Baik! Terimakasih, Bu! Kami
Brugh.. Yanti terpeleset ketika hendak mendatangi Rani. "Aduhh..!" Pinggang Yanti dengan kencang menyentuh tanah. "Astaghfirullah," Reflek Bu Wati berteriak sambil menahan tawa. "Mbak Rani baiknya istirahat saja. Kunci pintunya rapat-rapat. Nanti banyak ulat bulu masuk."Rani pun tak kuasa menahan tawanya. "Hahaha, iya, Bu! Terimakasih, karena sudah perhatian sama saya!""Sama-sama, Mbak Rani. Cepet, gih, masuk. Nanti keduluan serangga."Rani hanya geleng-geleng kepala. Lalu, masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Yanti semakin panas dada setelah melihat Rani masuk. Segera ia bangun dan menggedor pintu rumah Rani. "Rani..! Keluar kamu!" teriaknya. "Berani kamu ngetawain saya, ya!"Rani tak mengindahkan teriakan itu. Hal itu membuat Yanti semakin kencang berteriak. Bahkan, ia menggedor dengan kerasnya pintu rumah Rani. "Mbak Yanti, ngapain teriak-teriak di depan rumah Mbak Rani? Ganggu orang aja!" Seorang tetangga Rani yang baru saja selesai pergi belanja, menegur Yanti.
"Mbak... Mbak Rani!" Ketukan kecil di pintu, berubah menjadi gedoran."Hahaha...." Yanti tertawa kecil. "Sudah mampus kali, Bu, si Rani!" cetusnya."Hush..! Kalau ngomong jangan sembarangan!" tegur Bu Wati."Habis, dari tadi pintu diketok senyaring itu, masa nggak dengar?""Biasanya, kan, orang kalau nggak dengar gitu, berati orangnya !" Yanti meletakkan jarinya di leher, kemudian memperagakan seolah orang yang menyayat lehernya.Bu Wati terus saja mengetuk, ia tak menyerah. "Kalau sampai sekali lagi nggak dibukakan pintu, terpaksa harus meminta warga di sini untuk mendobrak pintunya," batin Bu Wati.Tokk.. Tokk... Tokk..."Assalamu'alaikum, Mbak Rani!" panggilnya dengan sedikit keras.Rani yang baru keluar dari toilet, mendengar ada seseorang memanggil namanya, bergegas menuju ke pintu depan."Wa'alaikumussalam! Sebentar!" balasnya dari balik pintu, sembari memutar kunci."Oh, Bu Wati!" serunya. "Ada apa, Bu?"Bu Wati bernafas lega, setelah Rani membukakan pintu. "Alhamdulillah, Mbak
"Yank! Aduuhh, jangan nangis, dong! Kamu salah paham, bukan gitu maksud, Mas!"Bahu Rani semakin bergetar hebat. Namun, mulutnya tak mengeluarkan suara. Irwan semakin panik, ia mencoba mendongkakkan wajah istrinya, tapi tiba-tiba...! "Waaaa" Ternyata, Rani hanya mengerjai Irwan saja. Bahunya bergetar tadi sebab menahan tawa. "Hahahaha....! Lucunya suamiku ini!" Rani mencubit kedua pipi Irwan. "Gimana? Panik, nggak? Panik, nggak? Panik 'kan? Masa enggak? Hahahaha..." Dia masih saja menertawakan suaminya itu. "Kamu ini, ya! Iseng banget. Mas, kira kamu beneran nangis, loh!" Irwan balas menggelitik perut Rani. "Hahaha..! Stop, Mas! Geli!" Tawa Rani mengundang keingin tahuan Naufal anaknya. "Mama sama Ayah lagi apa, sih? Kok, kayanya seru banget! Aku juga mau ikutan, dong!""Tuh, kan! Naufal jadi kepo!""Ayo, sini! Mau ikutan 'kan?" Irwan pun menggelitik perut Naufal, di ikuti Rani. Anak kecil itu pun tertawa dengan riangnya.Mereka bertiga tertawa bersama. ***"Mas beneran nggak