“Ya gimana nggak mau sakit, dia sukanya begadang,” gumam Laura saat mencari sesuatu di belakang untuk membuat kompresan, “padahal hari ini mau ketemuan sama Papa. Dia sendiri yang minta ketemu. Eh malah sakit.”“Ada apa, Ra?” tanya Mira mendekat.“Ini aku mau cari wadah buat kompres.”“Pak Ivan demam?” tebak Mira tak meleset.“Iya, demam. Panas banget suhu tubuhnya.”Mira tersenyum lalu mengambil panci berukuran sedang dan merebuskan air, “Biar aku rebusin airnya. Kamu ambil obat penurun panasnya di laci tengah tempat obat-obatan.”“Wah, makasih, Mbak.”Beberapa menit kemudian Laura kembali ke ruang kerja Ivan dengan membawakan kompresan serta obat-obatan dan botol air minum. Tetapi setelah ia sampai di sana, Ivan sudah tidak ada lagi.“Loh, ke mana Si Om tua?” Laura kembali keluar untuk mengecek ke kamar pria itu. Dari pintu terdengar Ivan sedang muntah parah di kamar mandi. Gegas ia pergi ke sana tanpa menghiraukan pria itu yang sedang bertelanjang dada. ‘Dasar Om tua, sukanya pamer
Kurang lebih tiga puluh menit berlalu. Ivan membuka matanya dengan kondisi tubuh yang sudah terasa jauh lebih baik dan tak begitu menggigil seperti tadi. Demikian pula dengan kepalanya.Melihat ke samping, Ivan melihat seorang wanita di sebelahnya sedang tertidur pulas dengan posisi memeluknya erat seolah tengah memeluk bantal guling.Mulutnya memang sedang menganga, tetapi entah kenapa tetap terlihat sangat cantik. Semua yang ada pada diri Laura tercipta sangat proporsional. Pas dan tak berlebihan. Hanya satu kekurangan Laura, yakni kurang peka dengan keadaan.Awalnya, Ivan memang sempat berpikir bahwa Laura adalah gadis yang tidak bisa melakukan hal remeh-temeh serupa pekerjaan rumah jika dilihat dari sisi penampilannya. Tetapi ternyata semua pemikirannya terbantahkan. Dia bisa melakukan semua itu tanpa ia duga.Laura memang pantas untuk dijadikan sebagai istrinya. Ivan tak salah memilihnya dan dia memang sedang bergerak cepat karena takut gadis ini terlewatkan. Lantas didahului ole
Keesokan harinya.“Mbak, aku mau pergi nanti siang,” kata Laura memberitahu Mbak Mira yang saat ini tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi seperti biasa. Sedangkan Laura sendiri baru turun setelah membersihkan diri.“Oh, Kenzo minta ke kantor lagi?” jawab Mira menduga.Laura menggeleng pelan, “Nggak ... kita mau ketemu sama Papa aku.”Romannya Mira terlihat penuh tanda tanya, tetapi mungkin terlalu gengsi untuk menanyakannya sehingga dia terdiam selama beberapa lama sebelum akhirnya dia mengucapkan sesuatu.“Apa hubungan kalian akan segera berlanjut ke jenjang berikutnya?” katanya hati-hati.“Kurang lebih begitu, Mbak. Tapi terserah Papa aku, sih. Kalau nggak setuju ya ...” Laura mengedikkan bahu, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Semua ia serahkan kepada Tuhan—karena Dia-lah sebaik-baik Maha pengatur segala kehidupan.Tapi entah kenapa saat Laura melihat Mira, wanita itu seperti syok. Atau hanya perasaannya saja?“Selamat, ya, Ra. Semoga nggak ada halangan.” Mira tersenyum.
Kalau harus memilih, Ivan mungkin akan lebih memilih berhadapan dengan profesor, investor, atau direktur perusahaan besar daripada harus berhadapan dengan calon mertua. Karena lebih terasa lebih mengerikan dan membuatnya menjadi ketar-ketir—takut akan segala kemungkinan yang terjadi.Setelah mengusai diri agar merasa lebih baik, Ivan kemudian menjawab, “Mudah-mudahan niat baik saya ini diterima, Om. Saya menemui Om karena ingin meminta restu untuk hubungan kami berdua. Saya memang belum mengenal Om sebelumnya, tapi saya merasa perlu meminta izin Om karena saya sangat menghargai Om sebagai Papanya Laura,” jelas Ivan berusaha terlihat serius dan percaya diri agar dapat memunculkan kesan yang lebih positif di mata Adinata yang terlihat tegas tersebut. Ya, tentu saja tegas mengingat siapa dan apa kedudukan beliau yang sebelumnya.“Hubungan apa yang kamu maksud?” sela Adinata segera.“Saya tahu sebagian besar orang tua tidak suka anaknya mulai berpacaran. Maka dari itu, izinkan saya menika
Pada pukul pertengahan siang, Ivan mendapati dirinya berada di sekumpulan para pembeli lainnya, di sebuah minimarket.Lantaran karena malu, Ivan memanggil salah satu pegawai untuk membantunya mencarikan barang yang sesuai dengan gambar yang ada di dalam ponselnya, yakni sebuah benda keramat permintaan Laura.Tak hanya itu saja, dia juga memasukkan beberapa barang yang ingin ia beli ke dalam keranjang. Setelah membayar, serta merta pegawai tersebut membawakan barang belanjaannya ke dalam mobil sebagai bentuk rasa terima kasihnya karena Ivan memberikannya sejumlah tips.“Terima kasih, ya, Pak,” kata si pegawai laki-laki itu setelah semua pekerjaannya tuntas.“Sama-sama.” Ivan menduduki kursi kemudi, kemudian meninggalkan tempat tersebut.“Sama kayak di foto, nggak?” tanya Laura, “saya nggak cocok pakai yang lain, bisa ruam kulit saya. Nanti jadi hitam.”Seketika Ivan menoleh terkejut. Apanya lagi yang hitam? Macam-macam saja istilahnya. Terlalu lama berdua dengan Laura memang bisa membu
“Lepasin, nggak?” pinta Laura seraya meminta untuk dilepaskan. Laura terus tertawa tanpa henti, dia geli sendiri melihat Ivan seperti itu.Ivan jelas menolak, “Nggak akan. Kamu jangan pura-pura lupa.”“Dih, perhitungan banget. Jadi orang nggak boleh perhitungan. Nanti kuburannya sempit,” cibir Laura dengan menjulurkan bibirnya keluar. Serupa seorang anak kecil yang sedang mengejek.“Itu kalau pelit.” Ivan tak mau kalah.“Apa bedanya?”“Saya nggak pelit. Kalau saya pelit mana mungkin saya membelikanmu benda itu.” Ivan mengarahkan pandangannya ke benda yang sedang Laura pegang sehingga Laura pun refleks melakukan hal yang sama.“Ini apa sih?” tanya Laura, “bracelet or necklace?”Ivan hanya menggestur tangannya supaya Laura membuka saja kotak tersebut.Laura membuka kotak itu lalu memperlihatkan bentuknya. Necklace dengan liontin permata berinisial L.“Saya nggak tahu kamu sukanya apa. Maaf kalau nggak cocok.”Laura menatapnya sekilas, lantas kembali memfokuskan pandangannya lagi ke kalu
“Mana Tantenya!?” pekik Kenzo begitu menyentak di telinga Ivan. Sebab bocah itu sedang berada di dalam gendongannya sekarang.“Tante lagi di rumah, besok ke sini lagi, ya.”Dari suara halus, hingga suara lembut—rasanya sama sekali tak berguna untuk meluluhkan hati Kenzo.Entah dengan cara apa lagi Ivan menenangkannya agar anak ini terdiam dan tidak menanyakan Laura lagi. Kepalanya terasa seperti mau pecah.“Maunya sekalang! Ngga mau besyok!”“Ya, ya. Papa telepon Tante Laura sekarang.”Kenzo memukul pipi Papanya, “Ngga mau telepon!”“Maumu apa, sih? Sabar sebentar. Besok Tante datang,” tegas Ivan. Namun kali ini dia sudah sampai membelalakkan matanya dan mengancam akan mencubitnya jika Kenzo tidak mau terdiam.“Ada apa ini? Kenapa ribut sekali kedengaran sampai luar,” sahut suara dari arah pintu.Ketika sosok itu sudah berada di depan mereka, Kenzo langsung mengulurkan tangannya minta digendong dan mengadu, “Opa ... Papa nakal.”“Eh, kok jadi Papa yang nakal?” Ivan heran sendiri melih
Keesokan harinya, Kenzo sudah lebih baik daripada kemarin. Dia sudah tidak marah-marah lagi dan tidak terus mencari Tante Laura sebab karena penjelasan dari Laura kemarin di sambungan telepon.Tetapi hari ini Ivan akan membawanya ke kantor karena dia tidak mungkin meninggalkan anaknya di rumah hanya bersama dengan Mira.Sebab wanita itu sudah pasti sibuk sendiri dengan setumpuk pekerjaannya. Maka dari itu, Ivan memerintahkan Mira untuk menyiapkan semua keperluan anaknya agar ia mudah mengurus anaknya di kantor nanti.Kenzo sendiri sedang disisiri oleh Ivan dan ditata rambutnya agar menjadi lebih teratur. Tangan kirinya tak lupa dipakaikan jam tangan berwarna hitam.Penampilannya semakin lengkap manakala Ivan memakaikan Kenzo sepatu berwarna putih. Keren seratus persen, Ivan junior.“Jangan lupa, bawakan dia baju ganti sekalian, Mbak,” titah Ivan pada saat mereka sudah hampir pergi.Saat tas ransel milik Kenzo sudah selesai diisi dengan lengkap. Ivan menggendong anaknya ke dalam mobil.
Perempuan itu membuka cadarnya dan terlihatlah wajah yang setengahnya rusak yang tidak diketahui apa sebabnya. Entah karena kecelakaan, atau memang berasal dari kalbu.“Aku Nadia,” katanya dengan lirih dan bersamaan dengan air mata yang mencuat keluar tanpa bisa dikendalikan, “seharusnya kau mengenaliku.”Ivan tertegun. Matanya menyorot dalam perempuan yang sedang menggarap dia mengenalinya. Bibirnya kelu untuk berucap. Tubuhnya memaku karena keterkejutannya.Kini pikirannya membayang kenangan beberapa tahun silam. Tepatnya di sebuah hotel dalam keadaan sangat tersiksa karena jebakan obat perangsang uang ditaruh ke dalam minumannya.Di sanalah ia menyeret seorang wanita tak bersalah untuk menjadi sasarannya dan menyebabkan Kenzo terlahir di dunia. Namun ia tak menyangka, seperti inilah bentuk wanita yang telah ia lukai.“Kamu ....” Ivan berdecak dan menggeleng, “kenapa kamu harus bersembunyi? Aku mencarimu selama ini.”“Karena sebab inilah aku selalu bersembunyi dari kalian,” jawab Na
Ivan tidak bisa menahan amarahnya tatkala pria itu mendengar Mira mengatakan, bahwa Nia membawa anaknya pergi kira-kira semenjak dua jam yang lalu tanpa izinnya dan tanpa ia melihat sama sekali kepergiannya.Rasa panik, cemas, gelisah, sakit bercampur menjadi satu. Entah bagaimana cara membuatdirinya menjadi lebih baik. Dia hampir saja tidak bisa menguasai dirinya lagi.“Memangnya dari tadi kamu ada di mana?” tanya Ivan dengan nada meninggi.“Saya tadi ada di atas. Saya pikir mereka hanya main bersama di halaman rumah. Tapi tahu-tahu sudah nggak ada suara apa-apa lagi. Sudah saya cari ke sekeliling, sudah saya telepon dia juga. Tapi ponselnya memang nggak aktif lagi.”“Ceroboh kamu!”“Maafkan saya, Pak. Saya janji akan bertanggung jawab mencari Nia.”“Melalui apa?”“Saya akan berusaha menghubungi keluarga-keluarganya, Pak.”“Ivan!” seru Laura menghentikan suaminya yang sedang kalap, “kamu nggak boleh bersikap seperti itu sama orang yang lebih tua. Nggak ada gunanya juga kamu marah-mar
“Ini bener?” tanya Laura memastikan. Dia mengambil stick itu dari tangan Ivan untuk ia pastikan sendiri hasil tes ulang tersebut. “Kok di aku nggak nampak tadi?”“Penggunaannya kurang benar.”“Masa, sih? Aku sesuai petunjuk, kok.” Mata Laura berkaca-kaca saat ini, hingga satu kedipan saja buliran itu langsung menetes. “Aku nggak tahu harus ngomong apa.”“Harus bersyukur, itu saja,” jawab Ivan kemudian. Lagi-lagi pria itu mencium keningnya dengan begitu lembut dan dalam.Rasa sayangnya berkali-kali lipat bertambah besar untuk istrinya. Tidak ada yang kurang lagi dalam hidup Ivan.Dia sudah mapan, punya anak laki-laki yang tampan, punya istri cantik, kaya, dan muda, dan sekarang akan di anugerahi lagi buah cinta dari pernikahan mereka.“Kita ke kamar,” kata Ivan menggendong tubuh Laura yang masih dalam keadaan lemas karena perutnya wara-wiri terkuras.“Aku bisa jalan sendiri. Aku nggak selemah itu kali, Om tua,” ucap Laura merasa keberatan diperlakukan seposesif ini.“Saya akan menjagam
Setelah menduga kemungkinan besar bahwa Laura sedang mengandung, pria itu langsung mengeluarkan motor dari garasinya, berniat untuk menuju ke apotek terdekat.Ivan bukanlah orang yang suka menunggu. Percuma saja dia menyuruh seseorang untuk membelikan alat tes kehamilan kepada Deni atau siapa pun jika ujung-ujungnya mendapat jawaban mengecewakan, misal: ‘nanti kalau sempat’ atau ‘sebentar lagi’ tapi lama, begitulah kiranya dan alasan macam-macam lainnya.Pun jika ia memesan online, pasti akan membutuhkan waktu yang lama juga. Tidak ada yang lebih cepat daripada itu selain harus berangkat sendiri. Toh, tidak terlalu jauh juga, pikirnya.Deru kendaraan motor besar itu mulai berbunyi setelah dinyalakan. Namun baru ia akan menarik gasnya, Laura berlari-lari kecil untuk mendekatinya. Ivan mendadak ngeri melihat Laura berlarian seperti itu. Takut dia sampai terjatuh.“Jangan lari-lari, Laura,” ucap Ivan memperingatinya.“Aku mau ikut,” rengeknya sudah seperti anak kecil saja. Dia mendekati m
Ivan memejamkan matanya merasakan sebuah kenikmatan yang tiada duanya. Lepas sudah semua beban yang menyiksanya selama Laura sakit.Mengatur nafasnya yang memburu, Ivan kembali mengecup bibir Laura dan melumatnya penuh perasaan. Bagian atas mau pun bawah secara bergantian. Setelah itu, ia memberi jeda sesaat sebelum melepaskan diri.Pria itu membiarkan semua benihnya masuk terlebih dahulu ke dalam rahim istrinya agar kelak dapat tumbuh menjadi zuriat di sana.Sembari menunggu beberapa menit lamanya, Ivan meletakkan kepalanya di atas dada Laura, kemudian perempuan itu menyambutnya dengan usapan-usapan lembut di kepalanya dengan sangat sayang.“Thank you, Sayang. Kamu yang terbaik,” ucap Ivan dengan napas yang masih terengah-engah.Laura tak menjawab dia hanya mengangguk dan dapat Ivan rasakan karena dagu wanita itu menempel di kepalanya.Lima menit setelah berkata demikian, Ivan menjatuhkan diri ke samping sang istri.“Aku harus membersihkan diri lebih dulu. Takut kalau ada seseorang y
Begitu terlihat mobil mewah berhenti di depan rumah Laura, satu security penjaga rumah Laura membukakan pintu gerbang.Beliau Pak Raman, tersenyum menyambut Laura dan menyapa keduanya.“Ya Allah, Non. Akhirnya saya bisa ketemu sama Non Laura lagi. Makin cantik lagi,” katanya dengan raut wajah yang begitu bahagia.“Pak Raman ... gimana kabarnya Pak, Raman?” tanya balik Laura dari dalam mobil. Wanita itu tersenyum ramah, masih dengan memangku Kenzo yang tidur nyenyak di pangkuannya.“Alhamdulillah baik, Non. Selamat untuk Non Laura dan Pak Ivan, atas pernikahannya semoga langgeng, akur terus dan cepat diberi momongan.”“Terima kasih Pak Raman,” jawab Laura. Sedangkan Ivan menanggapinya dengan kepala yang agak ditundukkan.Pembicaraan dicukupkan sementara, Ivan kembali melanjutkan laju mobilnya agar segera dapat terparkir di halaman rumah itu.Lagi pula tidak nyaman juga mengobrol dengan mobil di tengah-tengah jalan begini.Terbayar sudah rasa rindu Laura terhadap rumah ini. Matanya mena
“Kamu sudah benar-benar sembuh ‘kan Ra?” tanya Ivan entah yang ke berapa kalinya, “tidak apa-apa dibawa keluar?”“Sudaaaah ...” jawab Laura dengan nada malas, “nanya diulang-ulang. nanya di ulang-ulang,” dumelnya dengan bibir mengerucut.Setelah menempuh beberapa puluh menit perjalanan, akhirnya mereka sudah sampai di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.Ketiganya masuk setelah membeli tiket di loket pembelian. Suasana tidak ramai seperti yang Laura bayangkan dalam pikirannya, mungkin karena ini hari biasa, bukan hari libur.Laura dapat melihat, betapa bahagianya raut wajah Kenzo melihat alam terbuka. Anak berusia tiga tahun itu berlari serampangan seperti anak yang sedang kalap begitu memasuki area wisata ini.Seperti orang yang baru saja keluar dari narapidana.“Ini tidak salah?” tanya Ivan heran melihat harga karcis masuk, “kenapa murah sekali?”“Lalu maumu berapa? Sejuta?”Ivan tersenyum, “Ternyata gaya hidupku terlalu mahal selama ini,” gumamnya merenungi diri.“Masih banyak tahu, oran
Laura tersenyum melihat dua laki-laki kesayangannya sedang tidur sangat nyenyak di sofa. Keduanya tidur dalam keadaan tak terpisahkan. Karena posisinya sedang saling memeluk satu sama lain.“So sweet banget Bapak sama anak.”Padahal beberapa menit yang lalu, masih terdengar candaan mereka berdua. Namun baru beberapa menit lamanya, mereka sudah terlelap bersamaan. “Mana yang suka bilang aku cepet banget tidur?” gumam Laura sambil mencebikkan bibir, “ternyata dia sendiri lebih parah,” katanya lagi disertai dengan lidah yang menjulur seperti sedang mengejeknya.Laura cekikikan sendiri melihat mulut Ivan yang terbuka. Ingin mengerjainya, namun malas sekali bangun. Dia hanya khawatir mulut Ivan bisa kemasukan nyamuk, itu saja.Jahil, Laura meraih ponsel, lalu menangkap potretnya, “Sekali-sekali kamu itu harus ditunjukkin beginian. Supaya kamu tahu, gayamu ketika tidur itu kayak apa, hihihi.”Sampai saat ini. Laura masih tidak percaya, dia sudah menjadi seorang istri Ivan. Lelaki yang s
Hari masih sangat pagi pada saat itu. Azan pun belum terdengar. Namun Laura merasa dirinya sudah harus bangun untuk bersih-bersih atau yang biasa dinamakan mandi wajib, sebagaimana yang harus dilakukan oleh istri setelah bersenggama dengan suami mereka.“Sakit …” rintihan itu terdengar membuat Ivan sontak terbangun dan membantunya masuk ke dalam kamar mandi.“Maaf ya, Ra,” kata Ivan penuh rasa bersalah.Laura mengangguk dengan getir.Meski Laura berulang kali memintanya untuk keluar, namun Ivan tetap berdiri di sana, memutuskan untuk menemaninya hingga Laura selesai melakukan aktivitasnya. Pria itu menatap istrinya khawatir. Bibirnya pucat menahan perih saat air itu mengenai bagian intinya.“Sudah kubilang, aku ingin sendiri. Kenapa masih di sini juga,” protesnya dengan suara lemah.Ivan tidak mengindahkan kata-kata itu. Dia tetap berdiri tanpa memedulikan protes apa pun.Bergantian dengan Laura, kini giliran Ivan membersihkan tubuhnya dengan sangat cepat. Begitu selesai, ia segera