Taksi baru saja melesat setelah menurunkan seorang gadis elite. Roda koper mewah yang biasanya berputar di lantai licin itu kini harus diseret di atas aspal kering mengikuti ke mana pun pemiliknya pergi.
Aspal jalan menghitam pekat. Basah menimbulkan becek dan genangan air sana sini. Langit masih kelabu, dan dari bayang suram awan tersebut masih menebarkan percikan air menimpa wajah cantiknya.
“Sial banget sih, hidup gue. Tenyom tenyom tenyom!” ujarnya terus mengumpat. Tenyom adalah kata monyet yang dibalik.
Gadis muda itu bernama Laura Stepin, masih sangat muda berusia dua puluh dua tahun. Dia sedang menjalani masa-masa sulit. Akibat kecurangan rekan kerja Ayahnya, perusahaan Adinata Grup mengalami kerugian yang sangat besar hingga nyaris gulung tikar.
Sebenarnya—ada dua orang rekannya yang lain menawarkan bantuan, namun karena jumlahnya terlalu besar, Adinata, Ayah dari Laura menolaknya dengan berbagai alasan. Entah apa penyebab yang lain, Laura tidak tahu dan enggan mengetahuinya. Apa yang dilihatnya, sudah bisa mewakili semua pertanyaan.
Laura seperti terhempas begitu dalam, kehidupannya sekarang begitu menyedihkan. Laura pikir kehidupannya akan selalu menyenangkan bagai seorang putri raja yang bisa memiliki apa pun dalam sekejap saja hanya dengan satu jentikan jari. Tapi kini—lihatlah nasibnya menyedihkan sekali. Dia seperti seorang gelandangan.
Teman-temannya menjauhinya begitu tahu ia sudah Jatuh miskin. Bahkan tidak mau menggubris teleponnya sama sekali. Benar-benar teman kurang ajar.
Sekarang Laura baru tahu, bagaimana mereka sebenarnya. Mereka bukan sebenar-benarnya teman karena semua meninggalkannya di saat sedang kesusahan begini.
Laura menatap rumah bercat tembok warna abu-abu yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Rumah sepupunya yang bernama Yuna.
Dia mengambil gawainya, lalu menghubungi seorang gadis yang umurnya hampir sama dengannya, “Yun, aku ada di dekat rumah kamu sekarang.”
“Hah, kamu ada di sekitar sini? Di mana?”
“Depan rumah kamu, ada di bawah pohon.”
“Tunggu-tunggu, sebentar.”
Tak berapa lama kemudian, suara dari seberang kembali menyahut, “Kamu lihat ke atas deh sekarang.”
Laura mendongakkan kepalanya ke atas, dia melihat sebelah tangan melambai-lambai. Milik seorang gadis yang sedang ia hubungi sekarang ini.
“Kamu ngapain bawa-bawa koper?”
"Nanti aku ceritain. Aku masuk, ya.”
“Masuklah. Rumah nggak aku kunci, kok. Soalnya aku lagi nungguin kesayanganku.”
Panggilan ditutup, Laura masuk ke dalam gerbang. Lantas masuk ke dalam rumah untuk menemui sang sepupu yang kini berada di atas balkon.
“Yuna,” ucap Laura begitu mereka bertemu. Keduanya langsung berpelukan erat.
Yuna merenggangkan pelukan, “Aku udah, tahu kemaren Papa aku bilang katanya Om Adi bangkrut. Tapi aku nggak tahu kamu sampai pergi dari rumah begini.”
“Iya, aku mau mandiri, Yun. Boleh ‘kan? Selama beberapa hari ini aku nginap di sini?”
“Boleh, tapi jangan lama-lama, ya. Soalnya aku malas menampung orang terlalu lama di rumahku. Aku juga punya privasi yang nggak boleh kamu tahu,” jawab Yuna.
Dari kasak-kusuk yang Laura dengar, katanya Yuna sering memasukkan para pejabat masuk ke dalam rumah. Pekerjaannya memang begitu setelah orang tuanya tiada—untuk apalagi kalau bukan untuk bertahan hidup?
“Tunggu sampai aku dapat kerja, ya. Kasih waktu aku tiga hari, gimana?”
Yuna tampak berpikir.
“Aku kan saudaramu, Yun. Bukan orang lain. Jadi tolong dipertimbangkan,” sambung Laura lagi.
“Kartu kreditku dah mencapai limit karena aku terlalu boros.” Itu juga salah satu penyebab Ayahnya tak memiliki tabungan yang cukup untuk menopang perusahaan yang kolaps.
“Baiklah, maksimal hanya tiga hari. Setelah itu, dapat kerjaan atau nggak, kamu tetap harus pergi. Tapi aku nggak mau melepasmu begitu aja, kok. Pasti aku bantu carikan kamu tempat tinggal yang murah di sekitar sini. Aku bakalan kasih kamu pegangan juga.”
‘Baiknya jangan, deh. Takut uang haram,' batin Laura. “Nggak usah, sedikitnya aku masih pegang, kok, Yun. Makasih, ya.”
Selanjutnya, Yuna memberitahukan Laura, di mana dia harus beristirahat sekarang. Mereka juga terlibat obrolan ringan seputar apa tujuan ke depannya nanti. Ya, paling tidak, Laura harus segera melamar kerja untuk menopang hidupnya sendiri.
***
Laura kini sedang berada di depan laptopnya matanya menatap awas layar berukuran kurang lebih enam belas inci tersebut. Satu tangannya memegangi kepalanya.
Pusing. Sudah dua hari berlalu, namun masih belum menemukan lowongan kerja yang cocok. Belum lagi ia memikirkan nasib ayahnya yang sekarang tinggal di rumah adiknya yang lain.
Ting tong!
Bel berbunyi, Laura sontak menghentikan aktivitasnya. Menuju ke pintu melihat siapa yang datang. “Ya, cari siapa ya, Mas?”
“Kamu siapa? Yuna mana?”
“Aku sepupunya, Yuna ada di dalam.”
Tanpa izin, tanpa bas-basi lelaki itu masuk begitu saja ke dalam rumah.
“Aku pacarnya, udah biasa. Jadi nggak usah heran,” katanya tanpa Laura bertanya. “Sayang!” panggil lelaki itu kepada Yuna, “turun, aku dah di bawah.”
“Ya sebentar!” seru Yuna dari atas, tak berapa lama kemudian gadis itu turun, tetapi sudah dengan memakai pakaian siap pergi.
“Tumben datang lebih cepat,” kata Yuna menatap lelaki di depannya.
“Iya, aku ingin cepat-cepat bertemu denganmu.”
“Receh banget, sih.” Yuna memutar bola matanya malas. “Eh, kenalin, ini sepupuku. Kamu udah kenalan?”
Lelaki yang bertubuh sedang itu langsung mengulurkan tangannya, “Fero.”
“Laura,” balas Laura yang juga menjabat tangannya.
“Dia lagi tidur di sini, sementara,” Yuna menyahut.
“Pantas aku nggak boleh tidu—”
“Sstttt!” sergah Yuna. Namun terlambat, Laura sudah mengetahui maksud ucapan Fero barusan.
“Kamu ada info lowongan nggak? Dia butuh lowongan. Secepatnya.” Sambil menatap ke arah Laura.
“Aku nggak punya info lowongan pekerjaan yang cocok untukmu. Nyari kerja itu nggak gampang. Lagi pula gadis berpenampilan sepertimu, memangnya mau kerja serabutan?”
“Aku bisa apa aja, kok,” Laura menyela. “Yang penting secepatnya.”
“Secepatnya?” ulang Fero sambil mengernyit. Agak lama pria itu berpikir, setelahnya mengatakan, “Jadi Nanny di rumah abangku, mau?”
Laura tampak berpikir. Bukankah Nanny adalah pengasuh anak-anak?
“Abangku bukan duda bukan seorang suami juga. Entah apa sebutan yang pas buat dia. Tapi dia lagi nyari nanny buat anaknya yang berumur tiga tahunan kalau aku nggak salah. Kalau kamu mau, aku antarkan kamu ke rumahnya besok.”
“Ya, aku mau,” kata Laura tanpa pikir panjang. Yang terpenting adalah secepatnya pergi dari rumah ini. Dia tidak enak jika terus-terusan menumpang.
***
To be continued.
07:00“Sampai. Ini rumahnya,” kata Fero saat mobil baru saja berhenti.Mobil ini berhenti tepat di depan rumah yang cukup besar, berlantai dua dan di dominasi cat tembok warna putih. Halamannya cukup luas yang permukaan tanahnya ditutup paving block.Sedang ditengah-tengahnya berdiri air mancur setinggi kepala orang dewasa. Beberapa tanaman cantik berjejer tak beraturan di sekitar rumah itu. Dari keseluruhan rumah ini—bisa Laura katakan mewah. Ya, meskipun masih lebih mewah dari rumahnya sendiri.“Aku harap kali ini abangku cocok denganmu.”Ucapan Fero barusan membuatnya bertanya-tanya. Segalak apa Abangnya sehingga orang itu terdengar pemilih?“Apa anaknya bandel?” Laura memberanikan diri untuk bertanya. “Atau Ayahnya yang galak?”“Bukan begitu maksudku, tapi Abangku orang yang cukup pemilih untuk mengasuh anaknya. Dia kurang percaya sama Agency atau Yayasan. Dia ingin mendapatkan Nanny yang kira-kira orang terdekatnya itu mengenalnya dengan baik,” jelas Fero menatap ke samping, “sep
Laura menggantikan aktivitas Si Mbak senior yang sedang menyuapi Kenzo lantaran wanita paruh baya itu sedang menuju ke kamar kecil. Namun aktivitasnya kini terhenti pada saat Fero memanggilnya."Laura,” ucapnya seraya berjalan mendekat.Laura menoleh, “Ya, kenapa, Kak?”“Kamu dipanggil sama Abang di ruangannya.”Laura terdiam beberapa saat sebelum akhirnya gadis itu menjawab dengan suara pelan, “Aku takut,” katanya Laura tanpa bisa menyembunyikan raut wajahnya yang demikian.“Dia emang punya wajah yang lebih seram daripada aku, tapi aslinya baik.”Laura menyerahkan piring makan Kenzo kemudian menatap Fero. “Aku akan menemuinya,” ujar Laura kemudian setelah membulatkan tekad. 'Hanya begitu saja kamu takut, jangan cengeng! Kamu pemberani!'“Ya, itu ruangannya.” Fero menunjuk ke arah samping kolam renang, tepat di bagian paling ujung. “Kamu ketuk saja pintunya.”Laura beranjak berdiri, lantas mendekati pintu tersebut. Dalam hatinya meneriaki nasibnya yang begitu buruk. Kenapa ia bisa sa
Ivan yang telah berpakaian rapi itu kini mendekati putranya yang sedang sarapan bersama adiknya. “Papa mau berangkat dulu, Ken,” pamit Ivansembari mencium salah satu pipi Kenzo yang tumpah-tumpah.Ya, dia memang bocah yang berat badannya lumayan berat. Matanya sipit, rambut kepalanya lebat serta mempunyai gigi yang ompong di bagian tengahnya karena terlalu banyak makan coklat dan candy.“Dadah, Papa,” balas Kenzo dengan suara yang kurang jelas lantaran mulutnya penuh dengan kunyahan makanan.“Apa kamu tidak bisa menyuapi anak-anak, Fer? Mulut Kenzo sampai penuh seperti ini?” Ivan keheranan melihat bagaimana Fero menyuapi anaknya yang terlihat asal-asalan. “Bisakah kau menyuapkannya sedikit demi sedikit?”“Ah, buktinya dia diam saja, tidak protes. Hanya kau saja yang terlalu banyak aturan,” balas Fero tak mau mengalah.“Dia diam karena dia tidak mengerti,” kata Ivan kemudian.Fero hanya mengangkat bahunya. “I dont care,” ucapnya sambil meletakkan piring makanan ke meja."Sudahlah, aku
“Ini kamarmu, Laura,” kata Mira menunjukkan kamar untuk teman barunya.Sebuah kamar petak berukuran tiga kali dua meter. Tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit. Di sana terletak kasur singgle bed, pas untuk ditempati sendiri.Lumayan bersih dan nyaman meskipun tidak menggunakan AC. Namun, apakah Laura bisa tahan tidur di tempat seperti ini? Tetapi ia juga tidak mungkin melayangkan protes, sebab memang tidak sepatutnya dia mengatakan hal itu mengingat siapa dirinya sekarang yang juga sama dengan posisi Mira.“Kenapa? Jelek ya, kamarnya,” ujar Mira lagi lantaran sekian lama gadis itu berdiri terdiam tanpa melihat ke dalam tanpa menyahuti perkataannya.“Tidak, Mbak Mira. Ini cukup untukku,” kata Laura kemudian. Memasuki kamarnya dan meletakkan kopernya di sana.“Ya sudah, kau bereskanlah dulu pakaianmu. Ganti pakaianmu dengan pakaian yang lebih mudah digunakan untuk bekerja. Agar langkahmu tidak kesusahan.”Mira melihat keseluruhan pakaian yang Laura kenakan. Dress merah dengan poto
Takut? Tentu saja. Bahkan bukan hanya itu yang Laura rasakan. Tetapi juga sangat malu karena kedapatan masuk ke kamar orang tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada sang pemilik.‘Kenzo ... kamu kecil-kecil udah pinter ngerjain orang!’ Laura bersungut-sungut dalam hati. Dan apabila dilihat menggunakan mata batin, mungkin telinganya juga berasap.Laura masih menutup matanya rapat-rapat. Sebab dia mendapati lelaki itu tadi tengah bertelanjang dada. Astaga, ternoda sudah matanya yang bersih suci, dan murni itu.Bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Perlahan, ia membuka matanya. Namun ternyata sudah tidak ada lagi orang di depannya. Ivan telah pergi.Laura menggigit bibirnya, pikirannya kalut dan bercabang tak karu-karuan. Hari pertama kerja sudah ketiban banyak sekali kesialan-kesialan.Ia hanya terus berdoa mudah-mudahan lelaki itu tak marah atau menuduhnya dengan prasangka yang tidak-tidak. Hanya berniat mengambil tisu basah saja jadi panjang begini ceritanya.Gadis itu mulai kelu
Menuju ke belakang, Laura kembali melihat sosok Ivan lagi yang sedang berada di meja makan menikmati makan siangnya. Namun berbeda dengan tadi karena dia sudah mengenakan bajunya secara lengkap.Rupanya, lelaki itu pulang pada saat dia tengah tertidur pulas di atas. Kemudian mandi pada saat Laura turun dan tanpa sengaja terpergok olehnya.Kerja apa dia jam segini pulang tapi banyak duit?Jangan-jangan dia punya pesugihan babi ngepet.Astaga! Laura langsung menggeleng menghilangkan pikiran buruknya yang sedang semena-mena menuduh orang lain. Mana mungkin Om tua itu ngepet? Masa ganteng-ganteng jadi ....Laura melintas menuju ke belakang dan menarik kursi di sana, serta merta mengisi perutnya dengan makan siang yang sebelumnya sudah Mira masakkan. Tidak terbayang sebelum ia datang, bagaimana repotnya wanita itu sendirian mengurus rumah sebesar ini sambil menjaga Kenzo. Kasihan sekali.***Selesai sudah pekerjaannya hari ini. Tepat pukul jam sembilan malam, Laura naik ke kamarnya dan men
“Astaga!”Hari sudah cukup siang pada saat Laura terbangun dan mendapati dirinya berada di kamar yang berbeda. Laura juga menepuk keningnya berkali-kali setelah melihat gorden jendela yang sudah terbuka dan terlihat cahaya yang masuk.Siapa yang membuka gorden jendela? Laura bertanya-tanya dalam wajah yang begitu panik.Jangan-jangan....Sontak Laura melihat tubuhnya yang cukup berantakan, bajunya sedikit tersingkap dan terlihat sedikit bagian perutnya.Tetapi kemudian dia berusaha berpikir positif, “Ah, emang Gue pikirin. Yang penting nggak kenapa-kenapa.”Dilihatnya ke samping, Kenzo masih tertidur pulas dengan posisi memeluk lengannya. Tangan Laura terangkat untuk memindahkan tangan mungil Kenzo secara perlahan. Lantas detik itu juga tubuhnya melompat ke bawah dan berlari ke atas untuk memasuki kamar mandi.Sementara Ivan yang melihat Laura langsung berdecak. Kepalanya menggeleng melihat kelakuan Nanny barunya tersebut. Tidur sembarangan, bangun kesiangan, melintas seperti angin ke
Usai dasi terpasang dengan rapi di pakaiannya, Laura memundurkan tubuhnya. Berada di dekat lelaki dewasa seperti Ivan membuat tubuhnya tidak baik-baik saja. Ada gelenyar aneh yang ia rasakan meski tak tahu apa penyebabnya.Jantungnya berdegup lebih cepat, napasnya terasa jadi lebih pendek-pendek, otaknya jadi bodoh, hidungnya pun seperti tersumbat mencium harum parfum maskulin yang menguar dari tubuh lelaki di depannya.‘Lagian nyuruhnya aneh-aneh aja. Masa disuruh pakein dasi. Ini mah tugasnya seorang istri. Amit-amit jabang kura-kura jangan sampai aku nikah sama si Om tua ini. Meskipun lumayan, tapi memangnya nggak ada boejangan lagi di dunia ini? Wekk!’“Makasih,” kata Ivan terhadapnya. Sedangkan Laura hanya mengangguk.Tetapi kali ini dapat Laura akui bahwa mereka sudah bisa sedikit mencair. Keakrabankah yang terjalin? Atau memang Laura sendiri tipe gadis yang gampang akrab dengan setiap orang?Mendengar Kenzo menangis membuat keduanya sontak menoleh. Ternyata bos kecil tersebut s
Perempuan itu membuka cadarnya dan terlihatlah wajah yang setengahnya rusak yang tidak diketahui apa sebabnya. Entah karena kecelakaan, atau memang berasal dari kalbu.“Aku Nadia,” katanya dengan lirih dan bersamaan dengan air mata yang mencuat keluar tanpa bisa dikendalikan, “seharusnya kau mengenaliku.”Ivan tertegun. Matanya menyorot dalam perempuan yang sedang menggarap dia mengenalinya. Bibirnya kelu untuk berucap. Tubuhnya memaku karena keterkejutannya.Kini pikirannya membayang kenangan beberapa tahun silam. Tepatnya di sebuah hotel dalam keadaan sangat tersiksa karena jebakan obat perangsang uang ditaruh ke dalam minumannya.Di sanalah ia menyeret seorang wanita tak bersalah untuk menjadi sasarannya dan menyebabkan Kenzo terlahir di dunia. Namun ia tak menyangka, seperti inilah bentuk wanita yang telah ia lukai.“Kamu ....” Ivan berdecak dan menggeleng, “kenapa kamu harus bersembunyi? Aku mencarimu selama ini.”“Karena sebab inilah aku selalu bersembunyi dari kalian,” jawab Na
Ivan tidak bisa menahan amarahnya tatkala pria itu mendengar Mira mengatakan, bahwa Nia membawa anaknya pergi kira-kira semenjak dua jam yang lalu tanpa izinnya dan tanpa ia melihat sama sekali kepergiannya.Rasa panik, cemas, gelisah, sakit bercampur menjadi satu. Entah bagaimana cara membuatdirinya menjadi lebih baik. Dia hampir saja tidak bisa menguasai dirinya lagi.“Memangnya dari tadi kamu ada di mana?” tanya Ivan dengan nada meninggi.“Saya tadi ada di atas. Saya pikir mereka hanya main bersama di halaman rumah. Tapi tahu-tahu sudah nggak ada suara apa-apa lagi. Sudah saya cari ke sekeliling, sudah saya telepon dia juga. Tapi ponselnya memang nggak aktif lagi.”“Ceroboh kamu!”“Maafkan saya, Pak. Saya janji akan bertanggung jawab mencari Nia.”“Melalui apa?”“Saya akan berusaha menghubungi keluarga-keluarganya, Pak.”“Ivan!” seru Laura menghentikan suaminya yang sedang kalap, “kamu nggak boleh bersikap seperti itu sama orang yang lebih tua. Nggak ada gunanya juga kamu marah-mar
“Ini bener?” tanya Laura memastikan. Dia mengambil stick itu dari tangan Ivan untuk ia pastikan sendiri hasil tes ulang tersebut. “Kok di aku nggak nampak tadi?”“Penggunaannya kurang benar.”“Masa, sih? Aku sesuai petunjuk, kok.” Mata Laura berkaca-kaca saat ini, hingga satu kedipan saja buliran itu langsung menetes. “Aku nggak tahu harus ngomong apa.”“Harus bersyukur, itu saja,” jawab Ivan kemudian. Lagi-lagi pria itu mencium keningnya dengan begitu lembut dan dalam.Rasa sayangnya berkali-kali lipat bertambah besar untuk istrinya. Tidak ada yang kurang lagi dalam hidup Ivan.Dia sudah mapan, punya anak laki-laki yang tampan, punya istri cantik, kaya, dan muda, dan sekarang akan di anugerahi lagi buah cinta dari pernikahan mereka.“Kita ke kamar,” kata Ivan menggendong tubuh Laura yang masih dalam keadaan lemas karena perutnya wara-wiri terkuras.“Aku bisa jalan sendiri. Aku nggak selemah itu kali, Om tua,” ucap Laura merasa keberatan diperlakukan seposesif ini.“Saya akan menjagam
Setelah menduga kemungkinan besar bahwa Laura sedang mengandung, pria itu langsung mengeluarkan motor dari garasinya, berniat untuk menuju ke apotek terdekat.Ivan bukanlah orang yang suka menunggu. Percuma saja dia menyuruh seseorang untuk membelikan alat tes kehamilan kepada Deni atau siapa pun jika ujung-ujungnya mendapat jawaban mengecewakan, misal: ‘nanti kalau sempat’ atau ‘sebentar lagi’ tapi lama, begitulah kiranya dan alasan macam-macam lainnya.Pun jika ia memesan online, pasti akan membutuhkan waktu yang lama juga. Tidak ada yang lebih cepat daripada itu selain harus berangkat sendiri. Toh, tidak terlalu jauh juga, pikirnya.Deru kendaraan motor besar itu mulai berbunyi setelah dinyalakan. Namun baru ia akan menarik gasnya, Laura berlari-lari kecil untuk mendekatinya. Ivan mendadak ngeri melihat Laura berlarian seperti itu. Takut dia sampai terjatuh.“Jangan lari-lari, Laura,” ucap Ivan memperingatinya.“Aku mau ikut,” rengeknya sudah seperti anak kecil saja. Dia mendekati m
Ivan memejamkan matanya merasakan sebuah kenikmatan yang tiada duanya. Lepas sudah semua beban yang menyiksanya selama Laura sakit.Mengatur nafasnya yang memburu, Ivan kembali mengecup bibir Laura dan melumatnya penuh perasaan. Bagian atas mau pun bawah secara bergantian. Setelah itu, ia memberi jeda sesaat sebelum melepaskan diri.Pria itu membiarkan semua benihnya masuk terlebih dahulu ke dalam rahim istrinya agar kelak dapat tumbuh menjadi zuriat di sana.Sembari menunggu beberapa menit lamanya, Ivan meletakkan kepalanya di atas dada Laura, kemudian perempuan itu menyambutnya dengan usapan-usapan lembut di kepalanya dengan sangat sayang.“Thank you, Sayang. Kamu yang terbaik,” ucap Ivan dengan napas yang masih terengah-engah.Laura tak menjawab dia hanya mengangguk dan dapat Ivan rasakan karena dagu wanita itu menempel di kepalanya.Lima menit setelah berkata demikian, Ivan menjatuhkan diri ke samping sang istri.“Aku harus membersihkan diri lebih dulu. Takut kalau ada seseorang y
Begitu terlihat mobil mewah berhenti di depan rumah Laura, satu security penjaga rumah Laura membukakan pintu gerbang.Beliau Pak Raman, tersenyum menyambut Laura dan menyapa keduanya.“Ya Allah, Non. Akhirnya saya bisa ketemu sama Non Laura lagi. Makin cantik lagi,” katanya dengan raut wajah yang begitu bahagia.“Pak Raman ... gimana kabarnya Pak, Raman?” tanya balik Laura dari dalam mobil. Wanita itu tersenyum ramah, masih dengan memangku Kenzo yang tidur nyenyak di pangkuannya.“Alhamdulillah baik, Non. Selamat untuk Non Laura dan Pak Ivan, atas pernikahannya semoga langgeng, akur terus dan cepat diberi momongan.”“Terima kasih Pak Raman,” jawab Laura. Sedangkan Ivan menanggapinya dengan kepala yang agak ditundukkan.Pembicaraan dicukupkan sementara, Ivan kembali melanjutkan laju mobilnya agar segera dapat terparkir di halaman rumah itu.Lagi pula tidak nyaman juga mengobrol dengan mobil di tengah-tengah jalan begini.Terbayar sudah rasa rindu Laura terhadap rumah ini. Matanya mena
“Kamu sudah benar-benar sembuh ‘kan Ra?” tanya Ivan entah yang ke berapa kalinya, “tidak apa-apa dibawa keluar?”“Sudaaaah ...” jawab Laura dengan nada malas, “nanya diulang-ulang. nanya di ulang-ulang,” dumelnya dengan bibir mengerucut.Setelah menempuh beberapa puluh menit perjalanan, akhirnya mereka sudah sampai di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.Ketiganya masuk setelah membeli tiket di loket pembelian. Suasana tidak ramai seperti yang Laura bayangkan dalam pikirannya, mungkin karena ini hari biasa, bukan hari libur.Laura dapat melihat, betapa bahagianya raut wajah Kenzo melihat alam terbuka. Anak berusia tiga tahun itu berlari serampangan seperti anak yang sedang kalap begitu memasuki area wisata ini.Seperti orang yang baru saja keluar dari narapidana.“Ini tidak salah?” tanya Ivan heran melihat harga karcis masuk, “kenapa murah sekali?”“Lalu maumu berapa? Sejuta?”Ivan tersenyum, “Ternyata gaya hidupku terlalu mahal selama ini,” gumamnya merenungi diri.“Masih banyak tahu, oran
Laura tersenyum melihat dua laki-laki kesayangannya sedang tidur sangat nyenyak di sofa. Keduanya tidur dalam keadaan tak terpisahkan. Karena posisinya sedang saling memeluk satu sama lain.“So sweet banget Bapak sama anak.”Padahal beberapa menit yang lalu, masih terdengar candaan mereka berdua. Namun baru beberapa menit lamanya, mereka sudah terlelap bersamaan. “Mana yang suka bilang aku cepet banget tidur?” gumam Laura sambil mencebikkan bibir, “ternyata dia sendiri lebih parah,” katanya lagi disertai dengan lidah yang menjulur seperti sedang mengejeknya.Laura cekikikan sendiri melihat mulut Ivan yang terbuka. Ingin mengerjainya, namun malas sekali bangun. Dia hanya khawatir mulut Ivan bisa kemasukan nyamuk, itu saja.Jahil, Laura meraih ponsel, lalu menangkap potretnya, “Sekali-sekali kamu itu harus ditunjukkin beginian. Supaya kamu tahu, gayamu ketika tidur itu kayak apa, hihihi.”Sampai saat ini. Laura masih tidak percaya, dia sudah menjadi seorang istri Ivan. Lelaki yang s
Hari masih sangat pagi pada saat itu. Azan pun belum terdengar. Namun Laura merasa dirinya sudah harus bangun untuk bersih-bersih atau yang biasa dinamakan mandi wajib, sebagaimana yang harus dilakukan oleh istri setelah bersenggama dengan suami mereka.“Sakit …” rintihan itu terdengar membuat Ivan sontak terbangun dan membantunya masuk ke dalam kamar mandi.“Maaf ya, Ra,” kata Ivan penuh rasa bersalah.Laura mengangguk dengan getir.Meski Laura berulang kali memintanya untuk keluar, namun Ivan tetap berdiri di sana, memutuskan untuk menemaninya hingga Laura selesai melakukan aktivitasnya. Pria itu menatap istrinya khawatir. Bibirnya pucat menahan perih saat air itu mengenai bagian intinya.“Sudah kubilang, aku ingin sendiri. Kenapa masih di sini juga,” protesnya dengan suara lemah.Ivan tidak mengindahkan kata-kata itu. Dia tetap berdiri tanpa memedulikan protes apa pun.Bergantian dengan Laura, kini giliran Ivan membersihkan tubuhnya dengan sangat cepat. Begitu selesai, ia segera