“Astaga!”
Hari sudah cukup siang pada saat Laura terbangun dan mendapati dirinya berada di kamar yang berbeda. Laura juga menepuk keningnya berkali-kali setelah melihat gorden jendela yang sudah terbuka dan terlihat cahaya yang masuk.Siapa yang membuka gorden jendela? Laura bertanya-tanya dalam wajah yang begitu panik.Jangan-jangan....Sontak Laura melihat tubuhnya yang cukup berantakan, bajunya sedikit tersingkap dan terlihat sedikit bagian perutnya.Tetapi kemudian dia berusaha berpikir positif, “Ah, emang Gue pikirin. Yang penting nggak kenapa-kenapa.”Dilihatnya ke samping, Kenzo masih tertidur pulas dengan posisi memeluk lengannya. Tangan Laura terangkat untuk memindahkan tangan mungil Kenzo secara perlahan. Lantas detik itu juga tubuhnya melompat ke bawah dan berlari ke atas untuk memasuki kamar mandi.Sementara Ivan yang melihat Laura langsung berdecak. Kepalanya menggeleng melihat kelakuan Nanny barunya tersebut. Tidur sembarangan, bangun kesiangan, melintas seperti angin kencang tanpa peduli lantai yang licin yang baru saja di pel.Ivan sempat bertanya-tanya, sebenarnya dia itu keturunan apa? Tokek?Ivan meletakkan cangkirnya setelah isinya berkurang. Dia kembali memfokuskan matanya ke layar laptop untuk melihat beberapa email penting yang masuk semalam. Belum sampai sepuluh menit, gadis itu sudah turun dengan pakaian yang berbeda dari sebelumnya.Laura mendekat sambil bersuara, “Maaf, Pak. Saya kesiangan.”Alis Ivan terangkat dia menatap datar seperti biasanya sebelum menjawab, “Hanya bekerja di sini kamu berkali-kali diampuni.”“Iya, kan Bapak baik, ganteng, kaya, idaman pokoknya lah,” katanya sambil meringis serupa orang yang sedang merayu.Ya, kata-kata itu bukanlah pernyataan sungguhan yang sama dengan hatinya. Ivan pun tahu maksud Laura yang hanya merayu dirinya supaya tak marah.“Sudah mandi belum kamu?”“Sudah.”“Bohong.”“Kok bohong?” kata Laura tidak terima.“Itu buktinya telingamu masih ada.”“Ya, masih lah, masa hilang?”“Ya sudah,” pungkas Ivan tak mungkin memarahinya. Dia sudah membuat anaknya nyaman semalaman. Apa lagi yang diinginkannya?Laura sedang tidak bekerja di kantor yang harus selalu tepat waktu. Yang terpenting adalah, anaknya terurus dengan baik.“Sementara AC-nya belum terpasang, kamu bisa tidur dulu dengan Kenzo.”“Terus dipasangnya kapan?” tanya Laura tak lama setelah Ivan mengatakan titahnya.“Kenapa? Kamu nggak nyaman tidur di sana?” tembak Ivan membuat Laura seperti tak bisa berkutik.“Bukan begitu,” Laura menyangkal, “Aaku hanya terbiasa tidur sendiri.”Laura cinta kebebasan. Tidur bersama orang lain tentu saja membuatnya kurang nyaman meski Kenzo anak kecil.Dia terbiasa tidur dengan hanya memakai celana pendek dan tidak mengenakan bra. Suka berisik, melompat-lompat di ranjang, dan berguling-guling sepuasnya.Tapi kalau diaharus tidur dengan Kenzo—otomatis dia juga harus mengubah semuanya. Namun apakah bisa?Tanpa memberi Laura kesempatan, Ivan memutuskan, “Ya, jadi mulai sekarang, biasakan dirimu.”“Astaghfirullahaladzim,” ujarnya lirih dengan nada yang panjang. Baru sekali ini Laura merasa tertekan oleh seorang manusia. “Dasar Om tua,” gumamnya mengumpat dalam hati.Laura memperhatikan Ivan, lelaki itu beranjak berdiri dan menutup laptopnya. “Ambilkan dasi saya di lemari!” katanya menitah Laura.Laura sontak melayangkan protes. “Lemari mana, yang bentuknya kayak apa? Jangan ngawur, deh, Pak. Saya di sini kan cuman mau ngurus Kenzo aja, bukan ngurusin Bapak.”“Kenzo anaknya siapa?” Ivan balik bertanya sehingga membuat Laura sontak menatapnya dengan pandangan yang tak bersahabat. “Yang menggajimu siapa?” katanya lagi tak lama berselang.Tanpa bisa dikendalikan, bibir Laura meleot dengan sendirinya mencibir lelaki tersebut.“Mau membantah?” ancam Ivan seperti biasanya.“Iya, iya iyaaa!” Laura berbalik badan menuju ke kamar Ivan. Dengan sangat tidak ikhlas dia membuka satu-persatu lemari yang terdapat beberapa gulungan dasi.Setelah menemukannya, gadis itu membawa beberapa dasi sekaligus supaya Ivan bisa memilih sendiri mana yang cocok dengan jas yang dia pakai.Ini dilakukannya agar dia tak perlu bolak-balik kalau seandainya Ivan tak cocok dengan salah satunya.Laura memang bukan tipe orang yang bisa berpura-pura. Gadis itu keluar dengan wajah yang cemberut. Meletakkan beberapa dasi itu ke meja, Laura berujar, “Nih, pilih sendiri yang mana yang cocok.”“Pasang!” kata Ivan setelah memilih salah satunya.“Ya ampun, masa saya suruh masangin juga?” keluh Laura dengan tatapan kesal, sama seperti tadi. Namun baru saja Ivan mau membuka mulutnya, Laura kembali berujar, menirukan gaya lelaki tersebut. “Mau membantah?”Ivan tak kuasa untuk menahan senyumnya. Ya, tapi hanya samar. Lelaki itu tetap saja cool, menjaga kewibawaannya di depan gadis yang baru dua hari ini ia kenal.Tanpa menunggu lebih lama lagi, Laura mendekati Ivan. Ia mulai mengalungkan dasi tersebut ke lehernya, lalu mengikatnya seperti yang pernah ia lakukan kepada Papanya sebelum beliau berangkat bekerja dulu.Namun karena terlalu fokus mengenang orang tuanya—tanpa sadar Laura malah mengikat dasinya ke leher Ivan sampai lelaki itu tercekik dan mengaduh.“Eh, kamu mau bunuh saya?” ucapnya menatap Laura dengan mata waspada.“Maaf, Pak. Nggak sengaja,” katanya sambil tergelak melihat raut wajah Ivan yang sedemikian aneh. “Baik, baik, saya pasang lagi.”Ivan memijat keningnya. Hampir saja dia hilang napas karenan Nanny elite yang baru bekerja selama dua hari di rumahnya.Usai dasi terpasang dengan rapi di pakaiannya, Laura memundurkan tubuhnya. Berada di dekat lelaki dewasa seperti Ivan membuat tubuhnya tidak baik-baik saja. Ada gelenyar aneh yang ia rasakan meski tak tahu apa penyebabnya.Jantungnya berdegup lebih cepat, napasnya terasa jadi lebih pendek-pendek, otaknya jadi bodoh, hidungnya pun seperti tersumbat mencium harum parfum maskulin yang menguar dari tubuh lelaki di depannya.‘Lagian nyuruhnya aneh-aneh aja. Masa disuruh pakein dasi. Ini mah tugasnya seorang istri. Amit-amit jabang kura-kura jangan sampai aku nikah sama si Om tua ini. Meskipun lumayan, tapi memangnya nggak ada boejangan lagi di dunia ini? Wekk!’“Makasih,” kata Ivan terhadapnya. Sedangkan Laura hanya mengangguk.Tetapi kali ini dapat Laura akui bahwa mereka sudah bisa sedikit mencair. Keakrabankah yang terjalin? Atau memang Laura sendiri tipe gadis yang gampang akrab dengan setiap orang?Mendengar Kenzo menangis membuat keduanya sontak menoleh. Ternyata bos kecil tersebut s
Kurang lebih lima menit kemudian Laura turun dengan keadaan sudah berganti pakaian. Gadis itu memakai dress warna peach dengan pita yang terikat di belakangnya. Sedangkan rambutnya yang agak pirang dan panjang itu dibiarkan tergerai begitu saja.Untuk menambah kesan manis dan simpel, Laura hanya mengambil sedikit rambut bagian luar kanan kirinya, lalu di satukan ke belakang dengan memakai jepit rambut yang berukuran kecil.Ivan menatap gadis yang baru saja tersebut. Tanpa Laura ketahui, Ielaki itu sudah memandanginya selama beberapa lama karena merasa ‘tersepona’ dengan penampilan Laura saat ini.Laura tidak tampak berumur 23 tahun, dia malah justru seperti seorang gadis SMA yang baru saja tamat sekolah. Wajahnya imut, tubuhnya kecil, bulu matanya lentik dan bibirnya ... merah, kecil, namun sedikit tebal di bagian bawahnya seperti bibir Donald Duck yang sering di tonton anaknya di televisi, begitulah yang sedang Ivan umpamakan.“Jadi berangkat nggak, sih?” Laura bertanya kepada lelaki
Keduanya termenung dengan apa yang mereka lakukan saat ini. Salah tingkah, Laura segera memundurkan tubuhnya. ‘Apa aku sudah gila?’ batinnya begitu heran. Bahkan jantungnya kini terasa melompat seperti akan keluar dari tempatnya. Sudah jelas-jelas, Kenzo memanggil ‘Papanya’, namun kenapa dia malah menyodorkan tubuhnya ke sana?Laura hanya tak ingin nanti Ivan salah mengira bahwa ia dengan berkelakuan seperti ini lantaran sedang berusaha menggodanya. Ah, ini sangat memalukan sekali.“Saya nggak bermaksud ngapa-ngapain, kok, Pak. Jangan salah sangka,” kata Laura membela diri agar Ivan tak berpikir macam-macam.Ivan hanya menatapnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya pria tersebut menundukkan pandangannya lagi ke bawah. Memastikan keadaan anaknya yang tadi memanggilnya. Tetapi rupanya, Kenzo hanya mengigau saja.Terdengar helaan napas dalam dari pria itu, sebelum akhirnya dia menegakkan tubuhnya kembali. Namun tatapannya masih enggan berpaling dari putranya tersebut.“Aku harap ka
Hari telah beranjak siang, matahari mulai naik merangkak ke atas kepala, yang sinarnya mencapai kedalaman ruangan-ruangan gedung melalui kaca jendela.Kedua manusia berisik; Laura dan Kenzo sudah bangun beberapa puluh menit yang lalu dan kini sedang duduk di sofa besar, tidak jauh dari meja kerja Ivan berada.Memang tidak mengganggu, mereka sedang membuat dunia sendiri dengan cara bercanda dan saling menggelitik tubuh masing-masing. Tetapi lagi-lagi membuat fokus Ivan menjadi ambyar tak karu-karuan adalah karena merasa tertarik dengan keseruan mereka.Bibirtegas Ivan mengulum senyum membayangkan kehidupannya di masa depan nanti. Akankah seperti ini? Tetapi dengan ia bergabung bersama mereka di sana.Terkadang Ivan bertanya-tanya sendiri. Siapakah kira-kira orang yang akan menjadi jodohnya kelak? Rasanya sangat sulit sekali mencari wanita yang benar-benar tulus mencintainya selain mempunyai maksud tertentu. Dan ini sudah ia buktikan selama beberapa kali sehingga ia lebih memilih untuk
Seraya turun, Laura terus menatap ke bawah dengan terus memaki pelan seolah lantailah objek sasaran kemarahannya. Sebenarnya ia ingin sekali bebas, bisa tidur sendiri dan berguling semaunya, tetapi kenapa harus tidur sama anaknya om tua lagi?Tetapi kalau dilihat dari sisi nurani, Laura juga tidak mungkin tega membiarkan Kenzo tidur sendirian. Lagi pula, ini adalah bagian dari pekerjaannya menjaga Kenzo agar dia selalu baik-baik saja. Ah, memang menyebalkan sekali menjadi orang yang serba salah begini.Seperti biasa, dia terus menyebut kata monyet yang dibalik seolah sedang berzikir. “Tenyom, tenyom, tenyom, tenyom.”“Oh, Ayah sedang perjalanan ke sini?” terdengar suara Ivan sedang menelepon di ruang tengah. “Sudah sampai mana? Hem, iya. Tapi cucu Ayah sudah tidur. Iya, Yah. Iya.”Bersamaan dengan itu, ponsel yang ada di kantong piyama Laura juga berdering. Ternyata dari Yuna. Tak mau obrolannya di dengar, Laura menuju ke depan rumah. Melewati Om tua yang kini baru saja menutup telepo
“Sudah,” ujar Laura setelah selesai. Ivan cepat-cepat memundurkan wajahnya sebelum gadis itu mendapatinya demikian.Laura tersenyum dan menatapnya sekilas. Kemudian memasukkan kembali salep tersebut ke tempatnya. “Kalau gitu saya ke kamar dulu, ya. Mau rebahan.”“Tunggu, ada yang ingin saya tanyakan,” ucap Ivan menahan Laura sebelum gadis itu beranjak berdiri.Laura hanya menaikkan alis, seolah sedang bertanya, ‘Apa?’“Jelaskan, kenapa kamu bisa sampai di sini.”Laura tersenyum. “Karena saya membutuhkan pekerjaan, jadi saya bisa sampai di sini,” jawabnya tak ingin membahas lebih lanjut. “Ya, saya tahu kamu butuh pekerjaan. Tapi pasti kamu punya penyebabnya,” kata Ivan selanjutnya. “Benar kamu sepupunya pacar Fero?”“Iya benar, Pak,” jawab Laura. Mendadak gadis itu merasa getir, “Bapak nggak percaya, ya? Kalau saya ini orang baik-baik. Saya masuk ke sini nggak bermaksud jahat kok. KTP saya juga sama Bapak sekarang, kalau saya ketahuan berbuat jahat, Bapak bisa langsung laporin saya ke
Wijaya menyoroti tajam putranya yang kini sedang kedapatan berduaan dengan gadis yang masih belia.Batinnya bertanya-tanya sekaligus merasa was-wasdan gelisah. Apalagi yang dilakukan Ivan kali ini? Berani sekali dia membawa seorang perempuan tidur di rumahnya.Ya, tidak salah bukan, apa yang dilihatnya sekarang? Buktinya gadis itu sudah memakai piyama, itu artinya dia tinggal di dalam rumah ini.“Tidakkah kamu belajar dari kesalahanmu sebelumnya?” tanya Wijaya dengan nada dingin.“Tolong jangan sangka kami sedang berbuat macam-macam. Kulitku ruam karena tersiram kopi panas,” ujar Ivan berusaha menjelaskan secara lugas ditengah-tengah kepanikannya.Laura yang tadinya diam kini ikut menyahut untuk membela diri, “Percaya sama kami, Om. Kami nggak ngapa-ngapain. Saya yang ceroboh udah bikin Pak Ivan kesiram kopi panas. Makanya dia lepas baju.”Laura mengambil kaus Ivan yang tadi dilepas. Lalu menunjukkan noda kopi yang tercetak di sana agar Wijaya lekas percaya kepadanya, “Ini, Om. Kita n
Pagi mulai menjelang. Jam menunjukkan pukul lima pagi. Kali ini, Laura tidak kesiangan lagi seperti kemarin. Gadis itu sudah bisa bangun pagi walau sangat terpaksa. Dia keluar dari kamar Kenzo dengan mata terpejam dan berjalan sekonyong-konyong menuju ke arah tangga bagian belakang.“Laura! Laura!” panggil Mira dari tengah-tengah tangga.“Hah?” Laura membuka matanya segera. Dia menengok kanan dan kiri kebingungan mencari sumber suara. “Iya, Mbak?” ucap Laura ketika sudah dapat menemukan siapa orang yang memanggilnya.“Makanya kalau bangun itu usahakan duduk dulu sampai nyawamu terkumpul. Supaya nggak kacau begini.”“Memangnya kenapa?”“Itu remot TV kamar Kenzo ngapain kamu bawa-bawa?”Laura sontak melihat benda yang ia bawa dan langsung tergelak. “Ya ampun, aku kira ini ponselku. Astaga!” perut Laura terasa terguncang. Dia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang kini dibawanya karena ternyata bukan benda pipih miliknya.“Ya sudah, kamu taruh di situ saja dulu, nanti saya yang bawa
Perempuan itu membuka cadarnya dan terlihatlah wajah yang setengahnya rusak yang tidak diketahui apa sebabnya. Entah karena kecelakaan, atau memang berasal dari kalbu.“Aku Nadia,” katanya dengan lirih dan bersamaan dengan air mata yang mencuat keluar tanpa bisa dikendalikan, “seharusnya kau mengenaliku.”Ivan tertegun. Matanya menyorot dalam perempuan yang sedang menggarap dia mengenalinya. Bibirnya kelu untuk berucap. Tubuhnya memaku karena keterkejutannya.Kini pikirannya membayang kenangan beberapa tahun silam. Tepatnya di sebuah hotel dalam keadaan sangat tersiksa karena jebakan obat perangsang uang ditaruh ke dalam minumannya.Di sanalah ia menyeret seorang wanita tak bersalah untuk menjadi sasarannya dan menyebabkan Kenzo terlahir di dunia. Namun ia tak menyangka, seperti inilah bentuk wanita yang telah ia lukai.“Kamu ....” Ivan berdecak dan menggeleng, “kenapa kamu harus bersembunyi? Aku mencarimu selama ini.”“Karena sebab inilah aku selalu bersembunyi dari kalian,” jawab Na
Ivan tidak bisa menahan amarahnya tatkala pria itu mendengar Mira mengatakan, bahwa Nia membawa anaknya pergi kira-kira semenjak dua jam yang lalu tanpa izinnya dan tanpa ia melihat sama sekali kepergiannya.Rasa panik, cemas, gelisah, sakit bercampur menjadi satu. Entah bagaimana cara membuatdirinya menjadi lebih baik. Dia hampir saja tidak bisa menguasai dirinya lagi.“Memangnya dari tadi kamu ada di mana?” tanya Ivan dengan nada meninggi.“Saya tadi ada di atas. Saya pikir mereka hanya main bersama di halaman rumah. Tapi tahu-tahu sudah nggak ada suara apa-apa lagi. Sudah saya cari ke sekeliling, sudah saya telepon dia juga. Tapi ponselnya memang nggak aktif lagi.”“Ceroboh kamu!”“Maafkan saya, Pak. Saya janji akan bertanggung jawab mencari Nia.”“Melalui apa?”“Saya akan berusaha menghubungi keluarga-keluarganya, Pak.”“Ivan!” seru Laura menghentikan suaminya yang sedang kalap, “kamu nggak boleh bersikap seperti itu sama orang yang lebih tua. Nggak ada gunanya juga kamu marah-mar
“Ini bener?” tanya Laura memastikan. Dia mengambil stick itu dari tangan Ivan untuk ia pastikan sendiri hasil tes ulang tersebut. “Kok di aku nggak nampak tadi?”“Penggunaannya kurang benar.”“Masa, sih? Aku sesuai petunjuk, kok.” Mata Laura berkaca-kaca saat ini, hingga satu kedipan saja buliran itu langsung menetes. “Aku nggak tahu harus ngomong apa.”“Harus bersyukur, itu saja,” jawab Ivan kemudian. Lagi-lagi pria itu mencium keningnya dengan begitu lembut dan dalam.Rasa sayangnya berkali-kali lipat bertambah besar untuk istrinya. Tidak ada yang kurang lagi dalam hidup Ivan.Dia sudah mapan, punya anak laki-laki yang tampan, punya istri cantik, kaya, dan muda, dan sekarang akan di anugerahi lagi buah cinta dari pernikahan mereka.“Kita ke kamar,” kata Ivan menggendong tubuh Laura yang masih dalam keadaan lemas karena perutnya wara-wiri terkuras.“Aku bisa jalan sendiri. Aku nggak selemah itu kali, Om tua,” ucap Laura merasa keberatan diperlakukan seposesif ini.“Saya akan menjagam
Setelah menduga kemungkinan besar bahwa Laura sedang mengandung, pria itu langsung mengeluarkan motor dari garasinya, berniat untuk menuju ke apotek terdekat.Ivan bukanlah orang yang suka menunggu. Percuma saja dia menyuruh seseorang untuk membelikan alat tes kehamilan kepada Deni atau siapa pun jika ujung-ujungnya mendapat jawaban mengecewakan, misal: ‘nanti kalau sempat’ atau ‘sebentar lagi’ tapi lama, begitulah kiranya dan alasan macam-macam lainnya.Pun jika ia memesan online, pasti akan membutuhkan waktu yang lama juga. Tidak ada yang lebih cepat daripada itu selain harus berangkat sendiri. Toh, tidak terlalu jauh juga, pikirnya.Deru kendaraan motor besar itu mulai berbunyi setelah dinyalakan. Namun baru ia akan menarik gasnya, Laura berlari-lari kecil untuk mendekatinya. Ivan mendadak ngeri melihat Laura berlarian seperti itu. Takut dia sampai terjatuh.“Jangan lari-lari, Laura,” ucap Ivan memperingatinya.“Aku mau ikut,” rengeknya sudah seperti anak kecil saja. Dia mendekati m
Ivan memejamkan matanya merasakan sebuah kenikmatan yang tiada duanya. Lepas sudah semua beban yang menyiksanya selama Laura sakit.Mengatur nafasnya yang memburu, Ivan kembali mengecup bibir Laura dan melumatnya penuh perasaan. Bagian atas mau pun bawah secara bergantian. Setelah itu, ia memberi jeda sesaat sebelum melepaskan diri.Pria itu membiarkan semua benihnya masuk terlebih dahulu ke dalam rahim istrinya agar kelak dapat tumbuh menjadi zuriat di sana.Sembari menunggu beberapa menit lamanya, Ivan meletakkan kepalanya di atas dada Laura, kemudian perempuan itu menyambutnya dengan usapan-usapan lembut di kepalanya dengan sangat sayang.“Thank you, Sayang. Kamu yang terbaik,” ucap Ivan dengan napas yang masih terengah-engah.Laura tak menjawab dia hanya mengangguk dan dapat Ivan rasakan karena dagu wanita itu menempel di kepalanya.Lima menit setelah berkata demikian, Ivan menjatuhkan diri ke samping sang istri.“Aku harus membersihkan diri lebih dulu. Takut kalau ada seseorang y
Begitu terlihat mobil mewah berhenti di depan rumah Laura, satu security penjaga rumah Laura membukakan pintu gerbang.Beliau Pak Raman, tersenyum menyambut Laura dan menyapa keduanya.“Ya Allah, Non. Akhirnya saya bisa ketemu sama Non Laura lagi. Makin cantik lagi,” katanya dengan raut wajah yang begitu bahagia.“Pak Raman ... gimana kabarnya Pak, Raman?” tanya balik Laura dari dalam mobil. Wanita itu tersenyum ramah, masih dengan memangku Kenzo yang tidur nyenyak di pangkuannya.“Alhamdulillah baik, Non. Selamat untuk Non Laura dan Pak Ivan, atas pernikahannya semoga langgeng, akur terus dan cepat diberi momongan.”“Terima kasih Pak Raman,” jawab Laura. Sedangkan Ivan menanggapinya dengan kepala yang agak ditundukkan.Pembicaraan dicukupkan sementara, Ivan kembali melanjutkan laju mobilnya agar segera dapat terparkir di halaman rumah itu.Lagi pula tidak nyaman juga mengobrol dengan mobil di tengah-tengah jalan begini.Terbayar sudah rasa rindu Laura terhadap rumah ini. Matanya mena
“Kamu sudah benar-benar sembuh ‘kan Ra?” tanya Ivan entah yang ke berapa kalinya, “tidak apa-apa dibawa keluar?”“Sudaaaah ...” jawab Laura dengan nada malas, “nanya diulang-ulang. nanya di ulang-ulang,” dumelnya dengan bibir mengerucut.Setelah menempuh beberapa puluh menit perjalanan, akhirnya mereka sudah sampai di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.Ketiganya masuk setelah membeli tiket di loket pembelian. Suasana tidak ramai seperti yang Laura bayangkan dalam pikirannya, mungkin karena ini hari biasa, bukan hari libur.Laura dapat melihat, betapa bahagianya raut wajah Kenzo melihat alam terbuka. Anak berusia tiga tahun itu berlari serampangan seperti anak yang sedang kalap begitu memasuki area wisata ini.Seperti orang yang baru saja keluar dari narapidana.“Ini tidak salah?” tanya Ivan heran melihat harga karcis masuk, “kenapa murah sekali?”“Lalu maumu berapa? Sejuta?”Ivan tersenyum, “Ternyata gaya hidupku terlalu mahal selama ini,” gumamnya merenungi diri.“Masih banyak tahu, oran
Laura tersenyum melihat dua laki-laki kesayangannya sedang tidur sangat nyenyak di sofa. Keduanya tidur dalam keadaan tak terpisahkan. Karena posisinya sedang saling memeluk satu sama lain.“So sweet banget Bapak sama anak.”Padahal beberapa menit yang lalu, masih terdengar candaan mereka berdua. Namun baru beberapa menit lamanya, mereka sudah terlelap bersamaan. “Mana yang suka bilang aku cepet banget tidur?” gumam Laura sambil mencebikkan bibir, “ternyata dia sendiri lebih parah,” katanya lagi disertai dengan lidah yang menjulur seperti sedang mengejeknya.Laura cekikikan sendiri melihat mulut Ivan yang terbuka. Ingin mengerjainya, namun malas sekali bangun. Dia hanya khawatir mulut Ivan bisa kemasukan nyamuk, itu saja.Jahil, Laura meraih ponsel, lalu menangkap potretnya, “Sekali-sekali kamu itu harus ditunjukkin beginian. Supaya kamu tahu, gayamu ketika tidur itu kayak apa, hihihi.”Sampai saat ini. Laura masih tidak percaya, dia sudah menjadi seorang istri Ivan. Lelaki yang s
Hari masih sangat pagi pada saat itu. Azan pun belum terdengar. Namun Laura merasa dirinya sudah harus bangun untuk bersih-bersih atau yang biasa dinamakan mandi wajib, sebagaimana yang harus dilakukan oleh istri setelah bersenggama dengan suami mereka.“Sakit …” rintihan itu terdengar membuat Ivan sontak terbangun dan membantunya masuk ke dalam kamar mandi.“Maaf ya, Ra,” kata Ivan penuh rasa bersalah.Laura mengangguk dengan getir.Meski Laura berulang kali memintanya untuk keluar, namun Ivan tetap berdiri di sana, memutuskan untuk menemaninya hingga Laura selesai melakukan aktivitasnya. Pria itu menatap istrinya khawatir. Bibirnya pucat menahan perih saat air itu mengenai bagian intinya.“Sudah kubilang, aku ingin sendiri. Kenapa masih di sini juga,” protesnya dengan suara lemah.Ivan tidak mengindahkan kata-kata itu. Dia tetap berdiri tanpa memedulikan protes apa pun.Bergantian dengan Laura, kini giliran Ivan membersihkan tubuhnya dengan sangat cepat. Begitu selesai, ia segera