Seraya turun, Laura terus menatap ke bawah dengan terus memaki pelan seolah lantailah objek sasaran kemarahannya. Sebenarnya ia ingin sekali bebas, bisa tidur sendiri dan berguling semaunya, tetapi kenapa harus tidur sama anaknya om tua lagi?Tetapi kalau dilihat dari sisi nurani, Laura juga tidak mungkin tega membiarkan Kenzo tidur sendirian. Lagi pula, ini adalah bagian dari pekerjaannya menjaga Kenzo agar dia selalu baik-baik saja. Ah, memang menyebalkan sekali menjadi orang yang serba salah begini.Seperti biasa, dia terus menyebut kata monyet yang dibalik seolah sedang berzikir. “Tenyom, tenyom, tenyom, tenyom.”“Oh, Ayah sedang perjalanan ke sini?” terdengar suara Ivan sedang menelepon di ruang tengah. “Sudah sampai mana? Hem, iya. Tapi cucu Ayah sudah tidur. Iya, Yah. Iya.”Bersamaan dengan itu, ponsel yang ada di kantong piyama Laura juga berdering. Ternyata dari Yuna. Tak mau obrolannya di dengar, Laura menuju ke depan rumah. Melewati Om tua yang kini baru saja menutup telepo
“Sudah,” ujar Laura setelah selesai. Ivan cepat-cepat memundurkan wajahnya sebelum gadis itu mendapatinya demikian.Laura tersenyum dan menatapnya sekilas. Kemudian memasukkan kembali salep tersebut ke tempatnya. “Kalau gitu saya ke kamar dulu, ya. Mau rebahan.”“Tunggu, ada yang ingin saya tanyakan,” ucap Ivan menahan Laura sebelum gadis itu beranjak berdiri.Laura hanya menaikkan alis, seolah sedang bertanya, ‘Apa?’“Jelaskan, kenapa kamu bisa sampai di sini.”Laura tersenyum. “Karena saya membutuhkan pekerjaan, jadi saya bisa sampai di sini,” jawabnya tak ingin membahas lebih lanjut. “Ya, saya tahu kamu butuh pekerjaan. Tapi pasti kamu punya penyebabnya,” kata Ivan selanjutnya. “Benar kamu sepupunya pacar Fero?”“Iya benar, Pak,” jawab Laura. Mendadak gadis itu merasa getir, “Bapak nggak percaya, ya? Kalau saya ini orang baik-baik. Saya masuk ke sini nggak bermaksud jahat kok. KTP saya juga sama Bapak sekarang, kalau saya ketahuan berbuat jahat, Bapak bisa langsung laporin saya ke
Wijaya menyoroti tajam putranya yang kini sedang kedapatan berduaan dengan gadis yang masih belia.Batinnya bertanya-tanya sekaligus merasa was-wasdan gelisah. Apalagi yang dilakukan Ivan kali ini? Berani sekali dia membawa seorang perempuan tidur di rumahnya.Ya, tidak salah bukan, apa yang dilihatnya sekarang? Buktinya gadis itu sudah memakai piyama, itu artinya dia tinggal di dalam rumah ini.“Tidakkah kamu belajar dari kesalahanmu sebelumnya?” tanya Wijaya dengan nada dingin.“Tolong jangan sangka kami sedang berbuat macam-macam. Kulitku ruam karena tersiram kopi panas,” ujar Ivan berusaha menjelaskan secara lugas ditengah-tengah kepanikannya.Laura yang tadinya diam kini ikut menyahut untuk membela diri, “Percaya sama kami, Om. Kami nggak ngapa-ngapain. Saya yang ceroboh udah bikin Pak Ivan kesiram kopi panas. Makanya dia lepas baju.”Laura mengambil kaus Ivan yang tadi dilepas. Lalu menunjukkan noda kopi yang tercetak di sana agar Wijaya lekas percaya kepadanya, “Ini, Om. Kita n
Pagi mulai menjelang. Jam menunjukkan pukul lima pagi. Kali ini, Laura tidak kesiangan lagi seperti kemarin. Gadis itu sudah bisa bangun pagi walau sangat terpaksa. Dia keluar dari kamar Kenzo dengan mata terpejam dan berjalan sekonyong-konyong menuju ke arah tangga bagian belakang.“Laura! Laura!” panggil Mira dari tengah-tengah tangga.“Hah?” Laura membuka matanya segera. Dia menengok kanan dan kiri kebingungan mencari sumber suara. “Iya, Mbak?” ucap Laura ketika sudah dapat menemukan siapa orang yang memanggilnya.“Makanya kalau bangun itu usahakan duduk dulu sampai nyawamu terkumpul. Supaya nggak kacau begini.”“Memangnya kenapa?”“Itu remot TV kamar Kenzo ngapain kamu bawa-bawa?”Laura sontak melihat benda yang ia bawa dan langsung tergelak. “Ya ampun, aku kira ini ponselku. Astaga!” perut Laura terasa terguncang. Dia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang kini dibawanya karena ternyata bukan benda pipih miliknya.“Ya sudah, kamu taruh di situ saja dulu, nanti saya yang bawa
Laura tercenung mendengar pernyataan duda beranak satu ini. ‘Apa katanya? Minta menikah denganku?Ha, yang benar saja! Aku ke sini mau kerja—ya, hanya itu. Bagaimana mungkin baru beberapa hari aku pergi dari rumah lalu tiba-tiba menikah dengan seorang laki-laki kaya?Terlihat jelas gambaran orang lain aku nggak mau terlihat miskin. Aku menikmati proses ini, kok. Aku senang menjadi orang biasa-biasa saja. Karena sederhana itu ternyata lebih menyenangkan. Aku bebas. Tidak ada yang menuntutku untuk selalu menjaga penampilan agar selalu terlihat mahal.Aku sudah menjadikan semua kenangan pahit ini sebagai proses pendewasaan aku. Karena aku percaya, Tuhan sayang sama aku dan nggak mau aku berlama-lama hidup sia-sia seperti sebelumnya.’“Ra...,” ucap Ivan setelah beberapa lama mereka terdiam dalam posisi yang sama. “Nggak usah bercanda!” ucap Laura setelah ia dapat berpikir secara logis. Gadis tersebut memilih untuk tak mengindahkan ucapan ngelindur Ivan barusan di siang bolong seperti ini
Usai kedua laki-laki itu pergi, Laura menggaruk kepalanya. Pikirannya terus terngiang-ngiang kata-kata Ivan barusan, ‘Saya ingin menikahimu, saya ingin menikahimu, saya ingin menikahimu.’“Ah, tenyom tenyom tenyom. Menjauhlah dari pikiranku, Om tua,” gerutu Laura. “Mesti gimana, nih. Aku harus curhat sama siapa?”“Tante, Tante!” suara Kenzo membuyarkan lamunannya. Dia tersenyum melihat bocah yang sedang menunjukkan hasil kerja kerasnya menggambar gajah gaib. Sebab bentuknya bukan gajah tetapi malah lebih seperti pisang goreng.“Wah, bagus sekali. Tapi kalau nggak ada kakinya, gimana cara gajah itu bisa jalan?”“Pakai loda aja boleh ngga?” pinta Kenzo entah ide dari mana, “bial lalinya cepet.”“Gajah kan hewan. Kalau yang ada rodanya itu motor atau mobil,” Laura memberi tahu.Kenzo menunduk melihat buku gambarnya, kemudian menulis lagi untuk menggambar sepasang kaki berbentuk lonjong yang justru membuat Laura semakin tergelak.Selagi anak itu sedang anteng, dia mengambil ponselnya untu
“Tadi ada siapa datang ke sini?” tanya Ivan ketika Laura sedang membuatkan susu untuk Kenzo. Jam menunjukkan pukul sembilan malam, sudah waktunya batita itu untuk tidur.Laura menatap sekilas, lalu memusatkan pandangannya lagi ke bawah, melihat apa yang kini sedang ia kerjakan.Batinnya meneriaki, bagaimana dia bisa tahu kalau ada yang datang ke rumah? Padahal belum ada CCTV di sini.Kalau ada apa-apa ke depannya nanti, sudah dapat Laura pastikan bahwa Ivan adalah orang yang cukup posesif meski pria itu mempunyai cara yang berbeda untuk menunjukkannya.“Tadi ada Kak Fero, dia nganterin sepupu aku ke sini,” jawab Laura tak berapa lama kemudian.Ivan tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya dia mengatakan, “Lain kali kalau kamu mau masukin orang lain ke rumah, kamu izin dulu ke saya.”“Kan yang datang ke sini adiknya Pak Ivan.”“Tapi lain kali kamu hubungi saya dulu. Jangan sampai seperti tadi.”Terdengar helaan napas dari Laura, tapi batinnya segera dapat memahami bahwa ini bukan ruma
“Ya gimana nggak mau sakit, dia sukanya begadang,” gumam Laura saat mencari sesuatu di belakang untuk membuat kompresan, “padahal hari ini mau ketemuan sama Papa. Dia sendiri yang minta ketemu. Eh malah sakit.”“Ada apa, Ra?” tanya Mira mendekat.“Ini aku mau cari wadah buat kompres.”“Pak Ivan demam?” tebak Mira tak meleset.“Iya, demam. Panas banget suhu tubuhnya.”Mira tersenyum lalu mengambil panci berukuran sedang dan merebuskan air, “Biar aku rebusin airnya. Kamu ambil obat penurun panasnya di laci tengah tempat obat-obatan.”“Wah, makasih, Mbak.”Beberapa menit kemudian Laura kembali ke ruang kerja Ivan dengan membawakan kompresan serta obat-obatan dan botol air minum. Tetapi setelah ia sampai di sana, Ivan sudah tidak ada lagi.“Loh, ke mana Si Om tua?” Laura kembali keluar untuk mengecek ke kamar pria itu. Dari pintu terdengar Ivan sedang muntah parah di kamar mandi. Gegas ia pergi ke sana tanpa menghiraukan pria itu yang sedang bertelanjang dada. ‘Dasar Om tua, sukanya pamer
Perempuan itu membuka cadarnya dan terlihatlah wajah yang setengahnya rusak yang tidak diketahui apa sebabnya. Entah karena kecelakaan, atau memang berasal dari kalbu.“Aku Nadia,” katanya dengan lirih dan bersamaan dengan air mata yang mencuat keluar tanpa bisa dikendalikan, “seharusnya kau mengenaliku.”Ivan tertegun. Matanya menyorot dalam perempuan yang sedang menggarap dia mengenalinya. Bibirnya kelu untuk berucap. Tubuhnya memaku karena keterkejutannya.Kini pikirannya membayang kenangan beberapa tahun silam. Tepatnya di sebuah hotel dalam keadaan sangat tersiksa karena jebakan obat perangsang uang ditaruh ke dalam minumannya.Di sanalah ia menyeret seorang wanita tak bersalah untuk menjadi sasarannya dan menyebabkan Kenzo terlahir di dunia. Namun ia tak menyangka, seperti inilah bentuk wanita yang telah ia lukai.“Kamu ....” Ivan berdecak dan menggeleng, “kenapa kamu harus bersembunyi? Aku mencarimu selama ini.”“Karena sebab inilah aku selalu bersembunyi dari kalian,” jawab Na
Ivan tidak bisa menahan amarahnya tatkala pria itu mendengar Mira mengatakan, bahwa Nia membawa anaknya pergi kira-kira semenjak dua jam yang lalu tanpa izinnya dan tanpa ia melihat sama sekali kepergiannya.Rasa panik, cemas, gelisah, sakit bercampur menjadi satu. Entah bagaimana cara membuatdirinya menjadi lebih baik. Dia hampir saja tidak bisa menguasai dirinya lagi.“Memangnya dari tadi kamu ada di mana?” tanya Ivan dengan nada meninggi.“Saya tadi ada di atas. Saya pikir mereka hanya main bersama di halaman rumah. Tapi tahu-tahu sudah nggak ada suara apa-apa lagi. Sudah saya cari ke sekeliling, sudah saya telepon dia juga. Tapi ponselnya memang nggak aktif lagi.”“Ceroboh kamu!”“Maafkan saya, Pak. Saya janji akan bertanggung jawab mencari Nia.”“Melalui apa?”“Saya akan berusaha menghubungi keluarga-keluarganya, Pak.”“Ivan!” seru Laura menghentikan suaminya yang sedang kalap, “kamu nggak boleh bersikap seperti itu sama orang yang lebih tua. Nggak ada gunanya juga kamu marah-mar
“Ini bener?” tanya Laura memastikan. Dia mengambil stick itu dari tangan Ivan untuk ia pastikan sendiri hasil tes ulang tersebut. “Kok di aku nggak nampak tadi?”“Penggunaannya kurang benar.”“Masa, sih? Aku sesuai petunjuk, kok.” Mata Laura berkaca-kaca saat ini, hingga satu kedipan saja buliran itu langsung menetes. “Aku nggak tahu harus ngomong apa.”“Harus bersyukur, itu saja,” jawab Ivan kemudian. Lagi-lagi pria itu mencium keningnya dengan begitu lembut dan dalam.Rasa sayangnya berkali-kali lipat bertambah besar untuk istrinya. Tidak ada yang kurang lagi dalam hidup Ivan.Dia sudah mapan, punya anak laki-laki yang tampan, punya istri cantik, kaya, dan muda, dan sekarang akan di anugerahi lagi buah cinta dari pernikahan mereka.“Kita ke kamar,” kata Ivan menggendong tubuh Laura yang masih dalam keadaan lemas karena perutnya wara-wiri terkuras.“Aku bisa jalan sendiri. Aku nggak selemah itu kali, Om tua,” ucap Laura merasa keberatan diperlakukan seposesif ini.“Saya akan menjagam
Setelah menduga kemungkinan besar bahwa Laura sedang mengandung, pria itu langsung mengeluarkan motor dari garasinya, berniat untuk menuju ke apotek terdekat.Ivan bukanlah orang yang suka menunggu. Percuma saja dia menyuruh seseorang untuk membelikan alat tes kehamilan kepada Deni atau siapa pun jika ujung-ujungnya mendapat jawaban mengecewakan, misal: ‘nanti kalau sempat’ atau ‘sebentar lagi’ tapi lama, begitulah kiranya dan alasan macam-macam lainnya.Pun jika ia memesan online, pasti akan membutuhkan waktu yang lama juga. Tidak ada yang lebih cepat daripada itu selain harus berangkat sendiri. Toh, tidak terlalu jauh juga, pikirnya.Deru kendaraan motor besar itu mulai berbunyi setelah dinyalakan. Namun baru ia akan menarik gasnya, Laura berlari-lari kecil untuk mendekatinya. Ivan mendadak ngeri melihat Laura berlarian seperti itu. Takut dia sampai terjatuh.“Jangan lari-lari, Laura,” ucap Ivan memperingatinya.“Aku mau ikut,” rengeknya sudah seperti anak kecil saja. Dia mendekati m
Ivan memejamkan matanya merasakan sebuah kenikmatan yang tiada duanya. Lepas sudah semua beban yang menyiksanya selama Laura sakit.Mengatur nafasnya yang memburu, Ivan kembali mengecup bibir Laura dan melumatnya penuh perasaan. Bagian atas mau pun bawah secara bergantian. Setelah itu, ia memberi jeda sesaat sebelum melepaskan diri.Pria itu membiarkan semua benihnya masuk terlebih dahulu ke dalam rahim istrinya agar kelak dapat tumbuh menjadi zuriat di sana.Sembari menunggu beberapa menit lamanya, Ivan meletakkan kepalanya di atas dada Laura, kemudian perempuan itu menyambutnya dengan usapan-usapan lembut di kepalanya dengan sangat sayang.“Thank you, Sayang. Kamu yang terbaik,” ucap Ivan dengan napas yang masih terengah-engah.Laura tak menjawab dia hanya mengangguk dan dapat Ivan rasakan karena dagu wanita itu menempel di kepalanya.Lima menit setelah berkata demikian, Ivan menjatuhkan diri ke samping sang istri.“Aku harus membersihkan diri lebih dulu. Takut kalau ada seseorang y
Begitu terlihat mobil mewah berhenti di depan rumah Laura, satu security penjaga rumah Laura membukakan pintu gerbang.Beliau Pak Raman, tersenyum menyambut Laura dan menyapa keduanya.“Ya Allah, Non. Akhirnya saya bisa ketemu sama Non Laura lagi. Makin cantik lagi,” katanya dengan raut wajah yang begitu bahagia.“Pak Raman ... gimana kabarnya Pak, Raman?” tanya balik Laura dari dalam mobil. Wanita itu tersenyum ramah, masih dengan memangku Kenzo yang tidur nyenyak di pangkuannya.“Alhamdulillah baik, Non. Selamat untuk Non Laura dan Pak Ivan, atas pernikahannya semoga langgeng, akur terus dan cepat diberi momongan.”“Terima kasih Pak Raman,” jawab Laura. Sedangkan Ivan menanggapinya dengan kepala yang agak ditundukkan.Pembicaraan dicukupkan sementara, Ivan kembali melanjutkan laju mobilnya agar segera dapat terparkir di halaman rumah itu.Lagi pula tidak nyaman juga mengobrol dengan mobil di tengah-tengah jalan begini.Terbayar sudah rasa rindu Laura terhadap rumah ini. Matanya mena
“Kamu sudah benar-benar sembuh ‘kan Ra?” tanya Ivan entah yang ke berapa kalinya, “tidak apa-apa dibawa keluar?”“Sudaaaah ...” jawab Laura dengan nada malas, “nanya diulang-ulang. nanya di ulang-ulang,” dumelnya dengan bibir mengerucut.Setelah menempuh beberapa puluh menit perjalanan, akhirnya mereka sudah sampai di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.Ketiganya masuk setelah membeli tiket di loket pembelian. Suasana tidak ramai seperti yang Laura bayangkan dalam pikirannya, mungkin karena ini hari biasa, bukan hari libur.Laura dapat melihat, betapa bahagianya raut wajah Kenzo melihat alam terbuka. Anak berusia tiga tahun itu berlari serampangan seperti anak yang sedang kalap begitu memasuki area wisata ini.Seperti orang yang baru saja keluar dari narapidana.“Ini tidak salah?” tanya Ivan heran melihat harga karcis masuk, “kenapa murah sekali?”“Lalu maumu berapa? Sejuta?”Ivan tersenyum, “Ternyata gaya hidupku terlalu mahal selama ini,” gumamnya merenungi diri.“Masih banyak tahu, oran
Laura tersenyum melihat dua laki-laki kesayangannya sedang tidur sangat nyenyak di sofa. Keduanya tidur dalam keadaan tak terpisahkan. Karena posisinya sedang saling memeluk satu sama lain.“So sweet banget Bapak sama anak.”Padahal beberapa menit yang lalu, masih terdengar candaan mereka berdua. Namun baru beberapa menit lamanya, mereka sudah terlelap bersamaan. “Mana yang suka bilang aku cepet banget tidur?” gumam Laura sambil mencebikkan bibir, “ternyata dia sendiri lebih parah,” katanya lagi disertai dengan lidah yang menjulur seperti sedang mengejeknya.Laura cekikikan sendiri melihat mulut Ivan yang terbuka. Ingin mengerjainya, namun malas sekali bangun. Dia hanya khawatir mulut Ivan bisa kemasukan nyamuk, itu saja.Jahil, Laura meraih ponsel, lalu menangkap potretnya, “Sekali-sekali kamu itu harus ditunjukkin beginian. Supaya kamu tahu, gayamu ketika tidur itu kayak apa, hihihi.”Sampai saat ini. Laura masih tidak percaya, dia sudah menjadi seorang istri Ivan. Lelaki yang s
Hari masih sangat pagi pada saat itu. Azan pun belum terdengar. Namun Laura merasa dirinya sudah harus bangun untuk bersih-bersih atau yang biasa dinamakan mandi wajib, sebagaimana yang harus dilakukan oleh istri setelah bersenggama dengan suami mereka.“Sakit …” rintihan itu terdengar membuat Ivan sontak terbangun dan membantunya masuk ke dalam kamar mandi.“Maaf ya, Ra,” kata Ivan penuh rasa bersalah.Laura mengangguk dengan getir.Meski Laura berulang kali memintanya untuk keluar, namun Ivan tetap berdiri di sana, memutuskan untuk menemaninya hingga Laura selesai melakukan aktivitasnya. Pria itu menatap istrinya khawatir. Bibirnya pucat menahan perih saat air itu mengenai bagian intinya.“Sudah kubilang, aku ingin sendiri. Kenapa masih di sini juga,” protesnya dengan suara lemah.Ivan tidak mengindahkan kata-kata itu. Dia tetap berdiri tanpa memedulikan protes apa pun.Bergantian dengan Laura, kini giliran Ivan membersihkan tubuhnya dengan sangat cepat. Begitu selesai, ia segera