Satu bulan meninggalkan hari dimana pernikahan Fattah diadakan, aku sudah tidak lagi memikirkannya. Selain karena aku memang berusaha keras untuk move on, juga karena kesibukan di kantor membuat aku tidak memiliki waktu untuk memikirkan yang lainnya lagi.
Hampir setiap hari kami lembur, sehingga hampir setiap hari juga aku dan Kale pulang menggunakan taksi online karena bus tidak ada lagi setelah melewati jam delapan. Terkadang hanya ada aku dan Kale saja saat pulang, namun terkadang Fahri juga pulang bersama dengan kami seperti terakhir kali.Kesibukan ini dikarenakan perusahaan tempatku bekerja sedang membuka kantor cabang baru sehingga membutuhkan banyak sekali tenaga kerja. Dan tim kami lah yang harus bekerja keras untuk memilah orang-orang yang melamar lewat email dan kemudian mengirimkan undangan interview pada mereka.Penderitaan kami ini baru akan selesai setidaknya satu minggu lagi."Mbak, yang terkahir udah saya kasih tanda ya. Kualifi"Kamu kayaknya baik-baik aja walaupun ditinggal nikah."Aku menoleh malas pada Aleya yang menyuarakan ucapan tidak berguna."Memangnya, Kakak berharap aku jadi gimana? Jadi gila? Jadi trauma nikah? Jadi enggak suka sama cowok?"Aleya tertawa, membuat aku mendengus malas."Ya aku pikir, kamu bakalan susah move on. Kan waktu itu kamu juga sampai ngurung diri beberapa hari sebelum dia nikah."Aku mengangkat bahu ku dengan acuh, satu tanganku membalik lembaran buku novel yang sedang aku baca. Fyi, kami sedang berada di dalam kamarku dan Aleya akan menginap malam ini karena suaminya kembali pergi dinas."Aku pikir juga akan sulit buat move on dari cowok sebaik Fattah. Tapi ternyata enggak juga. Pas datang ke pernikahannya, aku baik-baik aja. Malah dia yang kelihatannya nyesel banget karena enggak nikah sama aku.""What?!"Aku terkejut saat Aleya tiba-tiba saja berteriak. Berniat protes padanya, namun dia malah memuku
Aku pikir sesaat tadi, hadirnya Valani di ruangan kerja kami adalah untuk mengajak Kale pulang, tapi ternyata Kale malah mengajakku untuk pulang bersama dengannya menaiki motornya lagi."Kamu enggak pulang bareng Valani?"Aku bertanya saat kami sudah keluar dari dalam lift. Dia menoleh padaku."Kenapa saya harus pulang bareng dia?"Wajahnya terlihat heran, seakan aku baru saja melontarkan pertanyaan yang aneh."Ya enggak tahu. Tapi tadi kan dia nyamperin kamu, jadi aku pikir emang kamu bakalan pulang bareng dia."Dia mengangguk sekilas, kemudian kepalanya celingukan seakan mencari sesuatu.Ternyata yang dia cari adalah motornya yang entah kenapa di parkir jauh dari lobi."Dia emang ngajakin saya pulang bareng, tapi saya tolak karena saya bilang kalau saya mau ada urusan."Aku mengekori langkahnya hingga sampai di belakang tubuhnya."Urusannya itu adalah ngomong sama aku?"Menoleh sejen
Sayangnya, hubunganku dengan Kale sudah terlanjur berubah. Aku jadi merasa gampang tersulut emosi setiap kali melihat dia bersama dengan wanita lain. Apalagi belakangan, wanita berhijab itu lebih sering muncul di depan Kale, bahkan sampai dengan berani menghampiri kami saat kami sedang makan di kantin."Maaf ya, Kal, kalau boleh tahu, memangnya ka-lo ada hubungan apa sama cewek itu?"Aku menoleh ke arah Lalisa saat dia bertanya pada Kale. Pertanyaan yang juga ingin aku tahu dari Kale.Dan seperti tahu bahwa aku juga menunggu jawabannya, Kale melirik padaku sebelum menjawab."Enggak ada hubungan apa-apa. Cuma teman kerja biasa."Aku memilih diam, menunduk sambil memakan mie ayam dari mangkuk ku."Tapi kayaknya belakangan ini dia jadi lebih sering datang deh. Aku pikir kalian beneran jadian."Kale menggeleng. "Saya kan udah bilang, kalau saya enggak mau pacaran."Tenggorokan ku terasa berat hanya untuk menelan mie
Lama aku hanya terdiam sambil menatap Kale yang ada di depanku. Aneh sekali, kami berhenti di pinggir jalan hanya untuk berdebat. Memperdebatkan sesuatu yang sebenarnya sangat ingin aku tutupi."Mbak suka kan sama saya? Walaupun Mbak ngelak, tapi saya tahu gimana perbedaan sikap Mbak sebelum ini dan sekarang. Saya masih ingat gimana Mbak bersikap ke saya selama ini dan belakangan tiba-tiba saja Mbak mulai berubah. Dengan alasan yang sekuat itu, Mbak masih mau ngelak?"Mataku masih menatap nyalang padanya, dia yang terlihat sangat percaya diri menuduh aku suka padanya."Terus apa?" tanyaku.Dia terlihat bingung."Maksudnya?""Terus apa? Terus apa kalau aku menang suka sama kamu? Apa bedanya? Baik aku, Lalisa, Lili ataupun Valani, kami semua enggak ada bedanya. Perasaan kami sama dah nasib kami juga sama. Sama-sama akan ditolak sama kamu. Benar kan?"Wajahnya mulai terlihat tidak tenang, berulang kali dia memalingkan wajah
Sepanjang makan siang, aku terus memikirkan ucapan Mas Adit yang menyarankan agar aku berbicara lagi dengan Kale untuk membahas masalah di antara kami. Aku setuju dengan pendapat itu, karena hingga detik ini aku memang masih belum bisa bersikap biasa di depan Kale. Tapi untuk berbicara ulang dengannya pun rasanya berat sekali. Karena dalam pembahasan di antara kami, ada perasaan ku yang ikut terbawa."Permisi, bisa saya bertemu dengan Mbak Alena."Sontak semua kepala di dalam ruangan kami, langsung menoleh kepada si pemilik suara manis dan lembut itu. Aku mengerjap, teringat dengan kesan pertama saat aku mendengar suara Lili. Karena suaranya, aku berpikir bahwa Lili adalah sosok yang ramah, ternyata pada akhirnya dia jadi ular juga.Dan sekarang, wanita yang menjadi penyebab aku secara terpaksa terdorong untuk menyatakan perasaanku, sedang berdiri di ambang pintu sambil tersenyum kikuk karena dipandangi oleh semua orang yang ada disini."Loh, Neng
Namaku Kalendra.Ah, mungkin perkenalan ini terlalu klasik dan kaku tapi aku tidak menemukan kalimat yang tepat untuk memperkenalkan siapa diriku. Hanya saja yang ingin aku katakan adalah bahwa aku hanya seorang pegawai biasa di sebuah Kantor penyediaan barang rumah tangga. Aku ditempatkan di bagian personalia yang menangani segala hal yang berhubungan dengan karyawan baik itu hak ataupun kewajiban. Dan disini, namaku dipanggil dengan sebutan Kale, sama seperti halnya bagaimana aku dipanggil di rumah dan di keluargaku.Mungkin hanya segitu saja aku memperkenalkan diri, karena yang ingin aku ceritakan bukanlah diriku sendiri, melainkan sesosok wanita yang selama ini sudah aku anggap nyaris seperti kakak ku sendiri, yang semua masalahnya aku ketahui, yang keluhannya selalu diceritakan padaku. Dia yang membuat aku terbiasa hingga rasanya sulit untuk bisa hidup tanpa dia, Tiba-tiba saja mengakui bahwa perasaannya padamu berubah. Bukan lagi hanya sebagai teman kantor bi
"Kalian bertengkar?"Aku memilih menunduk daripada harus bertatapan langsung dengan Lalisa. Kami berdua sedang berada di lobi, menunggu taksi online pesanan kami."Enggak kok. Kayak bocah aja, pakai berantem segala."Padahal kenyataannya kami memang seperti bocah, bocah yang ribut karena perasaan di antara kami."Habisnya, lo kayak yang menghindar dari dia. Dan dia juga kelihatan bersusah payah buat deketin lo. Sebenarnya, apa aja sih yang terjadi sama kalian?"Aku memiringkan bibirku. Merasa tidak enak hati karena sudah membuat Lalisa penasaran namun aku tidak bisa menceritakan secara gamblang apa yang terjadi. Aku memang menganggap Lalisa seperti sahabat ku, sama halnya dengan Rosa dan Nindi, tapi yang membedakan dan membuat aku segan bercerita pada Lalisa adalah karena Lalisa merupakan wanita yang pernah menyukai Kale juga. Rasanya, aku jadi seperti pengkhianat."Enggak ada masalah begitu kok. Cuma ya, gue lagi pengen buru-bur
Aku terkejut saat tiba-tiba saja Mbak Alena yang sejak tadi duduk diam dengan anteng di depan komputer nya, berdiri dengan membawa ponselnya yang sesaat tadi berdering."Mbak, mau kemana?"Dia tidak menjawab, justru mengangkat telapak tangannya, memintaku untuk menunda bertanya. Terburu-buru dia keluar dari dalam ruangan sambil membawa ponselnya, wajahnya tampak begitu serius.Seharusnya, aku berdiam diri di tempat ku, menunggu Mbak Alena kembali, atau kembali ke meja kerja ku. Tapi rasa penasaran ku kali ini terasa lebih besar dan kuat sehingga tanpa sadar aku langsung berjalan menyusul langkah kaki Mbak Alena yang sudah menghilang jauh. Aku tidak menyerah, terus berjalan mencari keberadaan wanita yang mengaku suka padaku itu. Lalu sosoknya aku temukan di pojok lorong, tepat di depan pintu tangga darurat."...serah. Lagian kita udah enggak ada urusan apapun lagi. Kamu enggak usah cari aku, jangan bikin aku jadi perusak rumah tangga kamu."Hanya dengan kalimat itu saja, aku langsung
"Sayang! Handuk aku, kamu jemur di luar?"Aku mendesah pelan. Padahal aku sudah menyiapkan handuk mandi Kale di atas tempat tidur, bersebelahan dengan pakaian tidurnya. Tapi dia masih saja tidak membawa handuk nya ke kamar mandi. Dan sekarang, dia bertanya begitu seolah-olah dia tidak menemukan handuknya dimana pun.Langkah ku berjalan masuk ke kamar tidur, berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menyampirkan handuk milik suamiku itu."Handuknya dari tadi udah aku taruh di kasur. Padahal kalau lupa bawa, kamu bisa minta tolong aku buat bawain. Bukan malah pura-pura begitu. Siap-siap buat hukuman kamu ya!"Aku yakin di dalam kamar mandi, Kale sedang bergidik ngeri mendengar ancaman ku. Tapi aku tidak perduli. Suruh siapa, dia selalu saja mengulangi perbuatannya itu?Semenjak kami menikah dua bulan lalu, aku jadi semakin tahu kebiasaan buruk Kale. Dia sama seperti para suami yang sering aku dengar dari orang-orang terdekat atau juga muncu
Author POVSejak pagi, hujan sudan turun dengan derasnya. Padahal hari ini adalah hari yang penting bagi Alena, karena dia berniat untuk keluar bersama dengan Kale, mencoba makanan ringan yang nantinya akan dia hidangkan di acara pernikahannya dengan Kale.Ketiga kalinya Alena mendesah berat. Menatap keluar jendela kamarnya, dimana air masih turun dengan disertai gemuruh yang sesekali datang."Gimana nih? Enggak jadi dong."Dia menyandarkan kepala di bingkai jendela. Meratapi pagi harinya yang sudah berhasil membunuh semangatnya. Tiba-tiba dering ponselnya terdengar, Alena tahu siapa yang menghubunginya. Segera dia mengambil ponsel dan mengangkat panggilan dari calon suaminya itu."Ya, Kal?" Suara Alena pasti terdengar begitu lesu hingga kemudian Kale menyuarakan rasa cemas nya dengan menanyakan apakah Alena sakit."Enggak. Aku enggak sakit. Kita enggak jadi pergi kan karena hujan?"Alena merasa bahwa dirinya bodoh karen
"Duh, yang akhirnya bisa pulang dan ketemu sama Mas Pacar. Seneng amat."Aku hanya melirik sekilas pada Mas Adit. Ada senyum kecil di bibir ku ketika bertatapan dengan atasan ku itu."Jelas dong, Mas. Kan dua hari enggak ketemu. Jadi wajar dong kalau saya kangen sama pacar saya."Mas Adit hanya tersenyum kecil tanpa membalas. Sedangkan aku kembali menyandarkan kepalaku pada kaca jendela mobil.Peristiwa terakhir kali sebelum aku pergi dinas, masih jelas teringat dan terkenang di kepala ku sepanjang aku menjalani kegiatan dinas dua hari ini. Bahkan setiap Kale menghubungi aku, aku secara otomatis akan langsung teringat dengan kejadian itu. Ciuman pertama aku dan Kale. Ciumannya yang amatir, yang terkesan ragu dan takut, justru membekas kuat di kepalaku.Aku menyukainya. Aku menyukai ke hati-hatian Kale yang sepertinya sangat takut aku akan kecewa dan tidak puas. Padahal dia tidak tahu bahwa menjadi ciuman pertama baginya adalah sebuah keba
Setelah aku mendengar wacana tentang lamaran itu, setiap harinya aku lalui dengan berdebar. Aku bahkan sudah melihat-lihat kebaya yang sekiranya cocok digunakan di acara yang seperti itu, padahal belakangan kami sudah tidak pernah membahas perihal lamaran itu lagi.Dua bulan berlalu semenjak malam itu. Dan Kale tampaknya mulai sibuk karena berkat kerjanya yang kompeten, dia dipercaya untuk menangani salah satu karya dari seorang penulis yang namanya sudah cukup dikenal di dunia Literasi. Walaupun begitu, dia masih saja menyempatkan diri untuk bisa menjemput aku di kantor setiap hari."Beruntung banget lo, Len. Semenjak keluar dari kantor ini, Kale kelihatan makin keren aja. Setelannya juga gue lihat oke punya. Apa Jangan-jangan, ini karena dia udah punya pacar ya? Makanya dia berusaha tampil sekeren mungkin?"Aku tertawa menanggapi komentar Lalisa. Kemarin dia sempat bertemu dengan Kale saat Kale menjemput ku dan dia melihat bagaimana Kale berubah setelah
Lampu gantung berbentuk bulat yang memberikan kesan temaram yang romantis, kursi kayu dan meja kayu yang sesuai dengan interior kafe yang agak jadul. Alunan musik dari penyanyi terkenal yang dikenal dengan lagu-lagu puitis nya.Sungguh, ini adalah komponen sempurna untuk kencan pertama. Kebetulan aku dan Kale menempati meja yang ada di pojok ruangan, yang agak terasing dari meja lainnya. Ternyata, selain es krim, kafe yang Kale sebut sebagai warung es krim ini juga menyediakan cemilan kekinian. Salah satunya adalah waffle es krim dan juga martabak es krim. Dua-dua nya sudah pasti berisi es krim segar di dalamnya.Tapi daripada memesan makanan dengan isian es krim, aku memilih brownies green tea tanpa es krim, karena aku sudah memesan es krim secara terpisah dan juga air mineral."Suka?"Adalah pertanyaan yang diutarakan oleh Kale setelah sekian lama kami hanya sibuk menyantap pesanan kami."Ini enak. Tapi sebenarnya, aku belum makan nasi,
Hari itu, Kale benar-benar mengatakan keputusannya pada Mas Adit. Aku tidak tahu apa saja yang mereka bicarakan, tapi saat aku bertanya pada Kale, dia hanya bilang bahwa Mas Adit sedikit menyayangkan keputusan yang Kale ambil. Mas Adit berkata bahwa dia merasa senang memilki Kale sebagai bawahannya. Meskipun begitu, Mas Adit pada akhirnya menyetujui sudah pengunduran diri Kale.Lalu esok malamnya, kamu mengadakan makan malam dengan teman satu kantor sebagai bentuk perpisahan untuk Kale. Tentu saja sebetulnya, aku tidak berniat mengajak Lili. Tapi walau bagaimana pun, dia masih rekan kerja kami. Rasanya tidak akan etis jika aku dengan sengaja mengecualikan dia."Dingin."Aku memeluk tubuh ku dengan kedua tangan. Saat ini, aku sedang ada di depan kafe bersama Kale, sedangkan teman-teman yang lain masih ada di dalam kafe."Mau pakai jaket saya?"Aku tertawa mendengar tawaran dari Kale. Biasanya, di dalam film atau drama, pemeran utama laki-l
"Kenapa, Kak? Kenapa Kakak lebih bela dia daripada aku? Apa Kakak lupa, kalau orang tuaku menitipkan aku sama Kakak? Tapi apa yang Kakak lakukan? Kakak malah menampar aku di depan banyak orang, demi perempuan itu."Kedua alisku nyaris menyatu saat Lili dengan kurang ajarnya menunjuk lurus ke arah ku. Padahal kalau dia minta maaf pun, aku belum tentu akan memaafkannya. Apalagi jika sikapnya seperti itu."Justru karena orang tua kamu menitipkan kamu pada saya, makanya saya enggak mau kamu melakukan sesuatu yang salah dan menyakiti orang lain. Alena enggak salah apa-apa. Dia hanya jatuh cinta pada seseorang yang selama ini dia anggap sebagai temannya. Tapi karena merasa disakiti dan dikhianati, kamu malah membuat dia dalam masalah. Kamu memprovokasi banyak orang untuk berbicara buruk tentang dia. Kamu pikir, saya enggak tahu?"Sudah aku duga, bahwa Lili yang melakukannya. Sebenci itu dia padaku hanya karena aku dan Kale berpacaran. Padahal orang yang belum la
"Enak banget ya? Udah ketahuan pacaran di kantor, tapi dapat hak istimewa buat tetap bertahan di kantor dua-duanya tanpa harus keluar salah satunya. Kalau tahu ada hak istimewa begitu, gue juga dari awal aja cari pacar satu kantor.""Ya gimana lagi? Yang melanggar kan karyawan terbaik selama dua bulan berturut-turut, jadi wajar kalau dapat hak istimewa kayak gitu. Sedangkan rakyat jelata kayak kita sih, kalau ketahuan pacaran sama sesama karyawan pasti sudah disuruh tulis surat pengunduran diri atau disuruh putus biar enggak jadi masalah di kantor."Aku sudah tahu bahwa masalahku dengan Kale sudah menyebar luar kesana kemari. Makanya sebisa mungkin, aku tidak merasa tersinggung atau marah walaupun dibicarakan dengan terang-terangan oleh orang-orang dari divisi lain. Kebanyakan, mereka adalah berasal dari bagian Pemasaran. Tapi ada juga yang berasal dari divisi Keuangan yang sebagian besar merupakan teman dekat Valani, gadis yang pernah menyukai Kale dan ditolak jug
Keluar dari ruangan Mas Adit, aku langsung mendatangi Lili di mejanya. Dia sangat percaya diri hingga menatapku dengan tatapan yang menantang."Ternyata benar ya? Padahal dulu Mbak dengan gigih mengelak kalau punya hubungan sama Kale, tapi--"Tanpa menunggu dia selesai bicara, aku langsung menarik tangannya untuk keluar dari ruangan. Sudah cukup dia membuat hubungan ku dan Kale menjadi konsumsi publik, tidak lagi untuk sekarang. Manusia ular sepertinya sudah pasti akan menggiring aku untuk dipermalukan di depan semua orang dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi."Lo sengaja ngikutin gue sama Kale dan juga langsung ngambil gambar kami terus diperlihatkan ke semua orang?"Dengan senyum menyebalkan yang ada di wajahnya, dia mengangguk."Iya. Berkat saya, semua orang jadi tahu betapa munafik nya Mbak selama ini. Dari awal Mbak kekeuh bilang kalau Mbak enggak punya hubungan apapun sama Kale. Mbak bahkan berlaku seakan-akan sampai kapan