Lama aku hanya terdiam sambil menatap Kale yang ada di depanku. Aneh sekali, kami berhenti di pinggir jalan hanya untuk berdebat. Memperdebatkan sesuatu yang sebenarnya sangat ingin aku tutupi.
"Mbak suka kan sama saya? Walaupun Mbak ngelak, tapi saya tahu gimana perbedaan sikap Mbak sebelum ini dan sekarang. Saya masih ingat gimana Mbak bersikap ke saya selama ini dan belakangan tiba-tiba saja Mbak mulai berubah. Dengan alasan yang sekuat itu, Mbak masih mau ngelak?"Mataku masih menatap nyalang padanya, dia yang terlihat sangat percaya diri menuduh aku suka padanya."Terus apa?" tanyaku.Dia terlihat bingung."Maksudnya?""Terus apa? Terus apa kalau aku menang suka sama kamu? Apa bedanya? Baik aku, Lalisa, Lili ataupun Valani, kami semua enggak ada bedanya. Perasaan kami sama dah nasib kami juga sama. Sama-sama akan ditolak sama kamu. Benar kan?"Wajahnya mulai terlihat tidak tenang, berulang kali dia memalingkan wajahSepanjang makan siang, aku terus memikirkan ucapan Mas Adit yang menyarankan agar aku berbicara lagi dengan Kale untuk membahas masalah di antara kami. Aku setuju dengan pendapat itu, karena hingga detik ini aku memang masih belum bisa bersikap biasa di depan Kale. Tapi untuk berbicara ulang dengannya pun rasanya berat sekali. Karena dalam pembahasan di antara kami, ada perasaan ku yang ikut terbawa."Permisi, bisa saya bertemu dengan Mbak Alena."Sontak semua kepala di dalam ruangan kami, langsung menoleh kepada si pemilik suara manis dan lembut itu. Aku mengerjap, teringat dengan kesan pertama saat aku mendengar suara Lili. Karena suaranya, aku berpikir bahwa Lili adalah sosok yang ramah, ternyata pada akhirnya dia jadi ular juga.Dan sekarang, wanita yang menjadi penyebab aku secara terpaksa terdorong untuk menyatakan perasaanku, sedang berdiri di ambang pintu sambil tersenyum kikuk karena dipandangi oleh semua orang yang ada disini."Loh, Neng
Namaku Kalendra.Ah, mungkin perkenalan ini terlalu klasik dan kaku tapi aku tidak menemukan kalimat yang tepat untuk memperkenalkan siapa diriku. Hanya saja yang ingin aku katakan adalah bahwa aku hanya seorang pegawai biasa di sebuah Kantor penyediaan barang rumah tangga. Aku ditempatkan di bagian personalia yang menangani segala hal yang berhubungan dengan karyawan baik itu hak ataupun kewajiban. Dan disini, namaku dipanggil dengan sebutan Kale, sama seperti halnya bagaimana aku dipanggil di rumah dan di keluargaku.Mungkin hanya segitu saja aku memperkenalkan diri, karena yang ingin aku ceritakan bukanlah diriku sendiri, melainkan sesosok wanita yang selama ini sudah aku anggap nyaris seperti kakak ku sendiri, yang semua masalahnya aku ketahui, yang keluhannya selalu diceritakan padaku. Dia yang membuat aku terbiasa hingga rasanya sulit untuk bisa hidup tanpa dia, Tiba-tiba saja mengakui bahwa perasaannya padamu berubah. Bukan lagi hanya sebagai teman kantor bi
"Kalian bertengkar?"Aku memilih menunduk daripada harus bertatapan langsung dengan Lalisa. Kami berdua sedang berada di lobi, menunggu taksi online pesanan kami."Enggak kok. Kayak bocah aja, pakai berantem segala."Padahal kenyataannya kami memang seperti bocah, bocah yang ribut karena perasaan di antara kami."Habisnya, lo kayak yang menghindar dari dia. Dan dia juga kelihatan bersusah payah buat deketin lo. Sebenarnya, apa aja sih yang terjadi sama kalian?"Aku memiringkan bibirku. Merasa tidak enak hati karena sudah membuat Lalisa penasaran namun aku tidak bisa menceritakan secara gamblang apa yang terjadi. Aku memang menganggap Lalisa seperti sahabat ku, sama halnya dengan Rosa dan Nindi, tapi yang membedakan dan membuat aku segan bercerita pada Lalisa adalah karena Lalisa merupakan wanita yang pernah menyukai Kale juga. Rasanya, aku jadi seperti pengkhianat."Enggak ada masalah begitu kok. Cuma ya, gue lagi pengen buru-bur
Aku terkejut saat tiba-tiba saja Mbak Alena yang sejak tadi duduk diam dengan anteng di depan komputer nya, berdiri dengan membawa ponselnya yang sesaat tadi berdering."Mbak, mau kemana?"Dia tidak menjawab, justru mengangkat telapak tangannya, memintaku untuk menunda bertanya. Terburu-buru dia keluar dari dalam ruangan sambil membawa ponselnya, wajahnya tampak begitu serius.Seharusnya, aku berdiam diri di tempat ku, menunggu Mbak Alena kembali, atau kembali ke meja kerja ku. Tapi rasa penasaran ku kali ini terasa lebih besar dan kuat sehingga tanpa sadar aku langsung berjalan menyusul langkah kaki Mbak Alena yang sudah menghilang jauh. Aku tidak menyerah, terus berjalan mencari keberadaan wanita yang mengaku suka padaku itu. Lalu sosoknya aku temukan di pojok lorong, tepat di depan pintu tangga darurat."...serah. Lagian kita udah enggak ada urusan apapun lagi. Kamu enggak usah cari aku, jangan bikin aku jadi perusak rumah tangga kamu."Hanya dengan kalimat itu saja, aku langsung
Di dalam taksi suasana hati Mbak Alena belum berubah. Apalagi dia semakin terlihat kesal saat beberapa kali ponselnya berdering. Sepertinya, Fattah keras kepala terus berusaha menghubungi Mbak Alena setelah tadi gagal membujuk Mbak Alena untuk berbicara."Memangnya selama ini, dia masih terus hubungin Mbak?"Padahal tadinya aku berniat untuk tidak bertanya, tapi akhirnya malah bertanya juga. Aku penasaran, sudah berlalu berbulan-bulan setelah pernikahan, aku berpikir Fattah sudah menjalani kehidupan rumah tangganya dengan baik karena istrinya sedang hamil. Tapi ternyata Fattah masih terus berusaha menghubungi Mbak Alena, bahkan sampai nekat menemuinya tanpa memikirkan akan bagaimana pendapat orang-orang jika sampai tahu."Enggak, sempat enggak lagi ngubungin aku selama beberapa lama. Tapi belakangan ini, dia mulai lagi. Aku capek."Mbak Alena mendesah lelah. Satu tangannya terangkat dan mengusap keningnya berulang kali."Padahal aku udah ngomong supaya dia enggak usah deketin aku lagi
Ternyata, berkata jujur adalah obat yang paling ampuh untuk hati yang terasa berat. Sekarang aku bisa merasa lega setelah semalam mengaku pada Mbak Alena tentang bagaimana perasaan ku padanya.Walaupun memang tidak ada yang berubah pada hubungan kami, tapi setidaknya tidak ada lagi yang kami sembunyikan.Kedekatan ku dengan Mbak Alena juga semakin akrab dari sebelumnya. Setidaknya, mulai sekarang aku lebih menjaga sikapku untuk tidak terlalu berdekatan dengan wanita lain demi menjaga perasaan Mbak Alena. Mirip seperti orang berpacaran, sebenarnya. Hanya saja tanpa status."Ngantuk banget. Ada yang mau nitip kopi enggak? Gue mau ke bawah."Suasana dalam ruangan yang sesaat lalu hening, mendadak riuh berkat tawaran dari Fahri. Aku melirik ke arah Mbak Alena, padahal semua orang sudah sibuk berseru, memesan kopi karena jam dua siang adalah waktu tanggung dimana para karyawan seperti kami mulai merasa mengantuk."Vanila latte sama green tea l
Kami duduk bersebelahan, aku menekuk kedua kakiku sambil sibuk memperhatikan jalanan, sedangkan Mbak Alena sedang mendengar musik dari dalam ponsel nya. sesekali bibirnya menyenandungkan lirik lagu sesuai yang dia dengar.Sakit kepala dan rasa mual hebat yang tadi aku rasakan sudah lebih membaik, aku menikmati angin sore yang menyapu wajah kami. Lalu beberapa saat kemudian makanan yang kami pesan, diantarkan oleh penjual angkringan.Aku menerima semuanya dan menata di atas tikar, Mbak Alena juga langsung melepaskan earphones yang tadi dia kenakan."Loh? Kok enggak pakai nasi?" Aku bertanya heran saat Mbak Alena memakan begitu saja sate telur puyuh pesanannya."Telur puyuh memang enaknya digadoin begini. Kalau pakai nasi 'mah enggak enak. Kan udah ada nasi bakar sama hati ayam."Aku hanya menggelengkan kepala melihatnya, memilih untuk mengambil bagian ku sendiri dan menyantapnya.Padahal aku berniat mengajak Mbak Alena untuk makan
"Padahal saya sudah bilang kalau saya bisa bawa motor sampai rumah Mbak. Kenapa malah jadi Mbak yang ngantar saya?"Sumpah, aku rasanya malu sekali. Niat hati untuk mengantar pulang Mbak Alena gagal total karena pada akhirnya malah Mbak Alena yang mengantarkan aku pulang dengan selamat sampai di rumah."Setelah dengar cerita kamu, mana mungkin aku tega biarin kamu pulang sendirian? Lagian ini belum terlalu malam, jadi aku masih bisa pulang naik ojek online."Cepat, aku menggeleng. "Jangan, Mbak. Kalau Mbak enggak percaya sama saya, saya bakalan minta supaya Kala atau Kana yang antar Mbak pulang."Aku tahu bahwa Mbak Alena sudah akan menolak tawaran ku, maka dari itu aku dengan cepat berlari masuk untuk memanggil Kala atau Kana. Tapi begitu masuk ke dalam, yang aku temukan malah Mama yang sedang duduk sambil memegangi ponselnya."Ma, kembarnya kemana?" tanyaku sambil celingukan.Mama menoleh padaku dengan kepala yang mendongak kar