Kemarin saat aku pulang dengan diantar oleh Fattah, itu menjadi kali terakhir aku bisa menghubungi calon suami ku itu. Karena setelah beberapa hari kemudian, aku tidak bisa bertemu dengannya.
Ini seperti dejavu. Sama seperti saat Fattah ada dinas ke luar kota dimana dia menghilang selama dua hari tanpa kabar.Yang aneh adalah, jika saat itu aku merasa panik bahkan sampai mendatangi rumah Fattah, kali ini aku merasa tidak perlu melakukan hal itu.Entah apa yang terjadi padaku, tapi aku berpikir jika dia memang merindukan aku, pasti dia akan datang padaku tanpa aku mencarinya."Persiapan pernikahan lo, udah sampai mana?"Aku yang tengah asik menikmati es boba ku, mengangkat pandangan pada Nindi dan juga Rosa yang menunggu jawaban ku.Hari Sabtu yang cerah ini, aku putuskan untuk menikmati waktu bersama dengan dua sahabatku semasa sekolah. Kebetulan Nindi memiliki waktu luang karena anaknya dibawa ke rumah Ibu mertuanya. Maklum cuPagi hari, seperti biasa aku berangkat bekerja menggunakan ojek online karena menurutku tidak ada yang bisa lebih cepat daripada ini.Aku yang biasanya tiba di kantor jam delapan kurang sepuluh menit, kini sudah tiba di kantor pukul setengah delapan. Tentu saja ini pencapaian yang luar biasa, karena aku biasanya tidak akan mau berangkat sepagi ini.Tapi ada perekrutan pegawai yang dilakukan untuk mengisi kekosongan tim pemasaran sehingga sebelum jam interview tiba, aku perlu mempelajari profil para pelamar untuk menentukan pertanyaan tambahan yang akan aku ajukan pada mereka.Sebelum itu, aku lebih dulu menghubungi Kale yang belum datang demi menitipkan amunisi untuk semangatku pagi ini."Kal, sebelum naik, tolong beliin kopi di kedai kopi yang biasa ya," pintaku padanya.Meskipun anak itu menggerutu dan berkata tidak akan membelikan pesanan ku, tapi aku sangat yakin jika nantinya dia akan datang dengan membawakan pesanan ku itu.
"Kayaknya hubungan lo sama Lili emang enggak baik ya? Kenapa sih, Len?"Aku yang baru saja menyeruput es campur ku, langsung mendongak ke arah Mas Adit yang bertanya padaku. Aku sempat melirik pada Lalisa dan Kale, keduanya diam meskipun Lalisa sempat tersenyum miring ke arah ku."Ya enggak bisa dibilang begitu juga sih, Mas. Faktanya kami cuma saling enggak perduli aja. Istilah lainnya, kami enggak cocok.""Karena Kale?"Kening ku berkerut. Ucapan Mas Adit seakan-akan aku dan Lili berhubungan kurang baik karena berebut Kale. "Dia yang nyangka nya kalau saya ini ada hubungan sama Kale, makanya dia jadi sentimen sama saya."Mas Adit tertawa. "Ya wajar sih kalau kata gue. Gue aja pas belum tahu lo punya cowok, nyangka nya lo sama Kale emang punya hubungan. Habisnya Kale jinak nya cuma sama lo doang, Len."Aku mendapati Kale yang memutar bola matanya malas."Enggak begitu, Mas. Saya cuma menghargai orang yang lebi
Dulu, aku pernah memiliki pacar dan aku diputuskan olehnya saat aku menolak untuk berciuman dengannya. Kejadiannya adalah saat aku masih SMA. Seorang kakak kelas yang paling tampan, tanpa diduga ternyata menyatakan cinta padaku.Siapa yang tidak merasa senang disukai oleh pria semacam itu? Jelas saja aku langsung menerimanya saat itu juga. Awalnya semua masih baik-baik saja, dia adalah tipe pria yang baik dan juga romantis. Nyaris semua orang merasa iri karena aku bisa mendapatkannya, pun dengan Rosa, sahabatku yang juga menyukai dia.Tapi kemudian setelah satu bulan menjalin hubungan dengannya, dia mulai meminta hal itu padaku. Aku menolak dan dia mengerti dengan penolakan ku. Walaupun begitu, itu bukan lah terakhir kalinya dia meminta. Selanjutnya setiap kali ada kesempatan, dia akan langsung mencoba mencium ku dan aku selalu menolak.Mungkin lama-lama dia jengah karena aku tidak bisa memberikan apa yang dia mau, sehingga pada akhirnya di kali terakhir d
Setelah melihat panggilan masuk dari Ibunda Fattah, sisa hari aku habiskan dengan merasa cemas. Itu karena aku mulai teringat pada keluargaku.Keluarga yang sudah terlanjur memeluk harapan bahwa anak gadis bungsunya akan menikah sebentar lagi. Apa yang akan terjadi pada mereka jika mereka mendengar bahwa pria yang seharusnya menikah dengan anak mereka, justru akan menikahi orang lain?Membayangkan wajah sedih Mama, membuat ulu hatiku terasa sakit bukan main. Aku kebingungan mencari cara untuk mengatakan hal ini pada Mama dan Papa."Mbak enggak pulang?"Aku terhenyak. Tanpa ku sadari ternyata Kale sudah ada di depanku.Memang semua orang sudah pulang, pun dengan Lalisa yang tadi buru-buru pamit karena Abangnya sudah menunggu di bawah. Hanya aku dan Kale yang tadi masih bertahan. Kale masih menyelesaikan tugasnya, sedangkan aku segan untuk pulang karena belum menemukan keberanian untuk bertemu dengan kedua orang tuaku."Pulang dong
Hal yang mustahil aku lakukan saat ini adalah menyembunyikan kenyataan dari keluargaku, terutama dari Mama yang langsung aku temui begitu aku sampai di rumah.Dengan wajah yang bengkak dan mata yang sembab, mustahil Mama tidak menyadari bahwa sesuatu telah terjadi padaku. Hal itu langsung terbukti begitu aku menginjakkan kaki di ruang tengah dan Mama menoleh padaku.Senyum lembut yang selalu dia berikan padaku setiap aku pulang, langsung berubah menjadi raut cemas saat melihat bagaimana kacaunya wajahku.Dia berdiri dengan segera dari kursi dan berlari ke arah ku."Kamu kenapa?" Nadanya sangat cemas dan panik, membuat hatiku ikut merasakan sakit.Baru seperti ini saja aku tidak sanggup melihatnya. Bagaimana nanti setelah Mama mengetahui kenyataan yang terjadi? Aku takut sekali. Namun saat ini lebih jauh lebih baik karena Mama hanya sendiri, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau Papa ada disini juga."Ma.. Mama.."
Aku menatap semua orang yang juga sedang menatapku.Sesaat lalu, Ayahnya Fattah mengatakan sesuatu yang aku saja marah mendengarnya. Padahal aku sengaja tidak menceritakan itu pada Mama karena tidak ingin Mama merasa marah. Tapi kemudian dengan santainya Ayah Fattah mengatakan itu seakan dia tidak merasa bahwa apa yang dia katakan adalah hal yang salah. Benar-benar salah.Papa menatap padaku cukup lama, sebelum kemudian mengalihkan pandangan dan menatap ke arah Ayah Fattah."Apa anda sadar dengan apa yang anda katakan?" Pertanyaan Papa memang terdengar masih sopan, namun siapapun tahu bahwa beliau sedang menahan amarah.Sedangkan Ayah Fattah yang juga menyadari itu, memilih untuk berpura-pura tidak tahu dan malah melanjutkan ucapannya."Kita sama-sama tahu bahwa anak kita saling mencintai. Persiapan pernikahan juga sudah dilaksakan setidaknya kurang lebih tujuh puluh persen, jadi alangkah baiknya jika kita mengenyampingkan ego
Aku pikir ini hanya perasaan ku saja. Di sepanjang jalan menuju ruangan kerjaku, aku merasakan bahwa banyak sekali orang-orang yang menatapku sambil berbisik-bisik. Bahkan ada dari mereka yang juga tertawa diam-diam.Awalnya aku berpikir mungkin itu hanya perasaanku saja yang terlalu sensitif, tapi semakin jauh aku berjalan, semakin jelas perlakuan mereka hingga aku tahu bahwa itu bukan hanya sekedar perasaanku. Apalagi begitu aku sampai di ruangan divisi ku, dengan wajah yang panik Lalisa langsung menarik tanganku. Membawa ku kembali ke luar."Beneran lo sama Fattah putus dan batal nikah?"Aku terkejut. Tidak menyangka bahwa Lalisa akan tahu masalah ini. Karena seingat ku sejauh ini yang tahu masalahku hanya lah Kale, itu pun karena aku sendiri yang menceritakan nya."Lo...kata siapa?"Lalisa berdecak pelan sambil memalingkan wajahnya."Kabarnya udah nyebar dari pertama gue datang. Gue aja kaget banget, dan sepertinya semua oran
Lebih dari tiga puluh menit aku dan Lili harus mendengarkan teguran dari Mas Adit. Dia tampak marah tapi aku sama sekali tidak merasakan sakit hati akibat ucapannya karena aku sangat tahu bahwa apa yang dia katakan adalah benar. Justru akan sangat berbahaya jika masalah ini sampai terdengar ke telinga atasan secara langsung, aku masih bersyukur karena hanya Mas Adit yang menegur kami.Setelah selesai dengan kami, Lili dipersilahkan untuk keluar namun tidak denganku. Mas Adit kembali meminta waktu untuk berbicara berdua dengan aku setelah resmi memberikan aku dan Lili SP1 sebagai peringatan."Alen, gue udah denger masalahnya saat gue naik kesini bareng Kale. Jujur, gue pribadi kaget pas dengar dari orang-orang. Lebih kaget lagi karena hampir semua cewek di kantor ini ngomongin masalah lo, entah gimana bisa begitu. Dan gue tahu kalau ternyata ini ulah Lili. Kalau nurutin keinginan pribadi dimana gue lebih deket sama lo, udah pasti gue pengen kasih dia surat SP 2 sek
"Sayang! Handuk aku, kamu jemur di luar?"Aku mendesah pelan. Padahal aku sudah menyiapkan handuk mandi Kale di atas tempat tidur, bersebelahan dengan pakaian tidurnya. Tapi dia masih saja tidak membawa handuk nya ke kamar mandi. Dan sekarang, dia bertanya begitu seolah-olah dia tidak menemukan handuknya dimana pun.Langkah ku berjalan masuk ke kamar tidur, berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menyampirkan handuk milik suamiku itu."Handuknya dari tadi udah aku taruh di kasur. Padahal kalau lupa bawa, kamu bisa minta tolong aku buat bawain. Bukan malah pura-pura begitu. Siap-siap buat hukuman kamu ya!"Aku yakin di dalam kamar mandi, Kale sedang bergidik ngeri mendengar ancaman ku. Tapi aku tidak perduli. Suruh siapa, dia selalu saja mengulangi perbuatannya itu?Semenjak kami menikah dua bulan lalu, aku jadi semakin tahu kebiasaan buruk Kale. Dia sama seperti para suami yang sering aku dengar dari orang-orang terdekat atau juga muncu
Author POVSejak pagi, hujan sudan turun dengan derasnya. Padahal hari ini adalah hari yang penting bagi Alena, karena dia berniat untuk keluar bersama dengan Kale, mencoba makanan ringan yang nantinya akan dia hidangkan di acara pernikahannya dengan Kale.Ketiga kalinya Alena mendesah berat. Menatap keluar jendela kamarnya, dimana air masih turun dengan disertai gemuruh yang sesekali datang."Gimana nih? Enggak jadi dong."Dia menyandarkan kepala di bingkai jendela. Meratapi pagi harinya yang sudah berhasil membunuh semangatnya. Tiba-tiba dering ponselnya terdengar, Alena tahu siapa yang menghubunginya. Segera dia mengambil ponsel dan mengangkat panggilan dari calon suaminya itu."Ya, Kal?" Suara Alena pasti terdengar begitu lesu hingga kemudian Kale menyuarakan rasa cemas nya dengan menanyakan apakah Alena sakit."Enggak. Aku enggak sakit. Kita enggak jadi pergi kan karena hujan?"Alena merasa bahwa dirinya bodoh karen
"Duh, yang akhirnya bisa pulang dan ketemu sama Mas Pacar. Seneng amat."Aku hanya melirik sekilas pada Mas Adit. Ada senyum kecil di bibir ku ketika bertatapan dengan atasan ku itu."Jelas dong, Mas. Kan dua hari enggak ketemu. Jadi wajar dong kalau saya kangen sama pacar saya."Mas Adit hanya tersenyum kecil tanpa membalas. Sedangkan aku kembali menyandarkan kepalaku pada kaca jendela mobil.Peristiwa terakhir kali sebelum aku pergi dinas, masih jelas teringat dan terkenang di kepala ku sepanjang aku menjalani kegiatan dinas dua hari ini. Bahkan setiap Kale menghubungi aku, aku secara otomatis akan langsung teringat dengan kejadian itu. Ciuman pertama aku dan Kale. Ciumannya yang amatir, yang terkesan ragu dan takut, justru membekas kuat di kepalaku.Aku menyukainya. Aku menyukai ke hati-hatian Kale yang sepertinya sangat takut aku akan kecewa dan tidak puas. Padahal dia tidak tahu bahwa menjadi ciuman pertama baginya adalah sebuah keba
Setelah aku mendengar wacana tentang lamaran itu, setiap harinya aku lalui dengan berdebar. Aku bahkan sudah melihat-lihat kebaya yang sekiranya cocok digunakan di acara yang seperti itu, padahal belakangan kami sudah tidak pernah membahas perihal lamaran itu lagi.Dua bulan berlalu semenjak malam itu. Dan Kale tampaknya mulai sibuk karena berkat kerjanya yang kompeten, dia dipercaya untuk menangani salah satu karya dari seorang penulis yang namanya sudah cukup dikenal di dunia Literasi. Walaupun begitu, dia masih saja menyempatkan diri untuk bisa menjemput aku di kantor setiap hari."Beruntung banget lo, Len. Semenjak keluar dari kantor ini, Kale kelihatan makin keren aja. Setelannya juga gue lihat oke punya. Apa Jangan-jangan, ini karena dia udah punya pacar ya? Makanya dia berusaha tampil sekeren mungkin?"Aku tertawa menanggapi komentar Lalisa. Kemarin dia sempat bertemu dengan Kale saat Kale menjemput ku dan dia melihat bagaimana Kale berubah setelah
Lampu gantung berbentuk bulat yang memberikan kesan temaram yang romantis, kursi kayu dan meja kayu yang sesuai dengan interior kafe yang agak jadul. Alunan musik dari penyanyi terkenal yang dikenal dengan lagu-lagu puitis nya.Sungguh, ini adalah komponen sempurna untuk kencan pertama. Kebetulan aku dan Kale menempati meja yang ada di pojok ruangan, yang agak terasing dari meja lainnya. Ternyata, selain es krim, kafe yang Kale sebut sebagai warung es krim ini juga menyediakan cemilan kekinian. Salah satunya adalah waffle es krim dan juga martabak es krim. Dua-dua nya sudah pasti berisi es krim segar di dalamnya.Tapi daripada memesan makanan dengan isian es krim, aku memilih brownies green tea tanpa es krim, karena aku sudah memesan es krim secara terpisah dan juga air mineral."Suka?"Adalah pertanyaan yang diutarakan oleh Kale setelah sekian lama kami hanya sibuk menyantap pesanan kami."Ini enak. Tapi sebenarnya, aku belum makan nasi,
Hari itu, Kale benar-benar mengatakan keputusannya pada Mas Adit. Aku tidak tahu apa saja yang mereka bicarakan, tapi saat aku bertanya pada Kale, dia hanya bilang bahwa Mas Adit sedikit menyayangkan keputusan yang Kale ambil. Mas Adit berkata bahwa dia merasa senang memilki Kale sebagai bawahannya. Meskipun begitu, Mas Adit pada akhirnya menyetujui sudah pengunduran diri Kale.Lalu esok malamnya, kamu mengadakan makan malam dengan teman satu kantor sebagai bentuk perpisahan untuk Kale. Tentu saja sebetulnya, aku tidak berniat mengajak Lili. Tapi walau bagaimana pun, dia masih rekan kerja kami. Rasanya tidak akan etis jika aku dengan sengaja mengecualikan dia."Dingin."Aku memeluk tubuh ku dengan kedua tangan. Saat ini, aku sedang ada di depan kafe bersama Kale, sedangkan teman-teman yang lain masih ada di dalam kafe."Mau pakai jaket saya?"Aku tertawa mendengar tawaran dari Kale. Biasanya, di dalam film atau drama, pemeran utama laki-l
"Kenapa, Kak? Kenapa Kakak lebih bela dia daripada aku? Apa Kakak lupa, kalau orang tuaku menitipkan aku sama Kakak? Tapi apa yang Kakak lakukan? Kakak malah menampar aku di depan banyak orang, demi perempuan itu."Kedua alisku nyaris menyatu saat Lili dengan kurang ajarnya menunjuk lurus ke arah ku. Padahal kalau dia minta maaf pun, aku belum tentu akan memaafkannya. Apalagi jika sikapnya seperti itu."Justru karena orang tua kamu menitipkan kamu pada saya, makanya saya enggak mau kamu melakukan sesuatu yang salah dan menyakiti orang lain. Alena enggak salah apa-apa. Dia hanya jatuh cinta pada seseorang yang selama ini dia anggap sebagai temannya. Tapi karena merasa disakiti dan dikhianati, kamu malah membuat dia dalam masalah. Kamu memprovokasi banyak orang untuk berbicara buruk tentang dia. Kamu pikir, saya enggak tahu?"Sudah aku duga, bahwa Lili yang melakukannya. Sebenci itu dia padaku hanya karena aku dan Kale berpacaran. Padahal orang yang belum la
"Enak banget ya? Udah ketahuan pacaran di kantor, tapi dapat hak istimewa buat tetap bertahan di kantor dua-duanya tanpa harus keluar salah satunya. Kalau tahu ada hak istimewa begitu, gue juga dari awal aja cari pacar satu kantor.""Ya gimana lagi? Yang melanggar kan karyawan terbaik selama dua bulan berturut-turut, jadi wajar kalau dapat hak istimewa kayak gitu. Sedangkan rakyat jelata kayak kita sih, kalau ketahuan pacaran sama sesama karyawan pasti sudah disuruh tulis surat pengunduran diri atau disuruh putus biar enggak jadi masalah di kantor."Aku sudah tahu bahwa masalahku dengan Kale sudah menyebar luar kesana kemari. Makanya sebisa mungkin, aku tidak merasa tersinggung atau marah walaupun dibicarakan dengan terang-terangan oleh orang-orang dari divisi lain. Kebanyakan, mereka adalah berasal dari bagian Pemasaran. Tapi ada juga yang berasal dari divisi Keuangan yang sebagian besar merupakan teman dekat Valani, gadis yang pernah menyukai Kale dan ditolak jug
Keluar dari ruangan Mas Adit, aku langsung mendatangi Lili di mejanya. Dia sangat percaya diri hingga menatapku dengan tatapan yang menantang."Ternyata benar ya? Padahal dulu Mbak dengan gigih mengelak kalau punya hubungan sama Kale, tapi--"Tanpa menunggu dia selesai bicara, aku langsung menarik tangannya untuk keluar dari ruangan. Sudah cukup dia membuat hubungan ku dan Kale menjadi konsumsi publik, tidak lagi untuk sekarang. Manusia ular sepertinya sudah pasti akan menggiring aku untuk dipermalukan di depan semua orang dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi."Lo sengaja ngikutin gue sama Kale dan juga langsung ngambil gambar kami terus diperlihatkan ke semua orang?"Dengan senyum menyebalkan yang ada di wajahnya, dia mengangguk."Iya. Berkat saya, semua orang jadi tahu betapa munafik nya Mbak selama ini. Dari awal Mbak kekeuh bilang kalau Mbak enggak punya hubungan apapun sama Kale. Mbak bahkan berlaku seakan-akan sampai kapan