Ternyata obat nyeri kali ini tidak berhasil membuat diriku menjadi baik-baik saja. Hampir seharian aku menahan sakit di meja kerjaku. Sebisa mungkin aku mengerjakan tugasku walaupun sebagian besarnya dikerjakan oleh Lalisa.
Untunglah ada dia yang kau membantu ku yang sakit ini. Lalisa mau-mau saja aku repotkan. Tadi dia bahkan sampai turun ke lantai bawah untuk mencari jamu pereda nyeri haid karena di klinik kantor ternyata tidak ada obat semacam itu. Dan setelahnya, melihat aku yang kesakitan dia dengan sukarela menawarkan bantuan untuk mengerjakan setengah dari tugasku yang belum selesai."Masih sakit ya? Gue anter ke klinik aja deh."Lalisa tampak cemas. Dia langsung bangkit dari duduknya dan memegangi lenganku."Fahri, nanti kalau Mas Adit balik lagi, bilangin kalau gue nemenin Alen di klinik ya."Pria yang duduk agak jauh dari kami itu, langsung mengacungkan jempol.Aku sudah tidak memiliki pilihan lain selain ikut ke klinikKemarin saat aku pulang dengan diantar oleh Fattah, itu menjadi kali terakhir aku bisa menghubungi calon suami ku itu. Karena setelah beberapa hari kemudian, aku tidak bisa bertemu dengannya.Ini seperti dejavu. Sama seperti saat Fattah ada dinas ke luar kota dimana dia menghilang selama dua hari tanpa kabar. Yang aneh adalah, jika saat itu aku merasa panik bahkan sampai mendatangi rumah Fattah, kali ini aku merasa tidak perlu melakukan hal itu. Entah apa yang terjadi padaku, tapi aku berpikir jika dia memang merindukan aku, pasti dia akan datang padaku tanpa aku mencarinya."Persiapan pernikahan lo, udah sampai mana?"Aku yang tengah asik menikmati es boba ku, mengangkat pandangan pada Nindi dan juga Rosa yang menunggu jawaban ku.Hari Sabtu yang cerah ini, aku putuskan untuk menikmati waktu bersama dengan dua sahabatku semasa sekolah. Kebetulan Nindi memiliki waktu luang karena anaknya dibawa ke rumah Ibu mertuanya. Maklum cu
Pagi hari, seperti biasa aku berangkat bekerja menggunakan ojek online karena menurutku tidak ada yang bisa lebih cepat daripada ini.Aku yang biasanya tiba di kantor jam delapan kurang sepuluh menit, kini sudah tiba di kantor pukul setengah delapan. Tentu saja ini pencapaian yang luar biasa, karena aku biasanya tidak akan mau berangkat sepagi ini.Tapi ada perekrutan pegawai yang dilakukan untuk mengisi kekosongan tim pemasaran sehingga sebelum jam interview tiba, aku perlu mempelajari profil para pelamar untuk menentukan pertanyaan tambahan yang akan aku ajukan pada mereka.Sebelum itu, aku lebih dulu menghubungi Kale yang belum datang demi menitipkan amunisi untuk semangatku pagi ini."Kal, sebelum naik, tolong beliin kopi di kedai kopi yang biasa ya," pintaku padanya.Meskipun anak itu menggerutu dan berkata tidak akan membelikan pesanan ku, tapi aku sangat yakin jika nantinya dia akan datang dengan membawakan pesanan ku itu.
"Kayaknya hubungan lo sama Lili emang enggak baik ya? Kenapa sih, Len?"Aku yang baru saja menyeruput es campur ku, langsung mendongak ke arah Mas Adit yang bertanya padaku. Aku sempat melirik pada Lalisa dan Kale, keduanya diam meskipun Lalisa sempat tersenyum miring ke arah ku."Ya enggak bisa dibilang begitu juga sih, Mas. Faktanya kami cuma saling enggak perduli aja. Istilah lainnya, kami enggak cocok.""Karena Kale?"Kening ku berkerut. Ucapan Mas Adit seakan-akan aku dan Lili berhubungan kurang baik karena berebut Kale. "Dia yang nyangka nya kalau saya ini ada hubungan sama Kale, makanya dia jadi sentimen sama saya."Mas Adit tertawa. "Ya wajar sih kalau kata gue. Gue aja pas belum tahu lo punya cowok, nyangka nya lo sama Kale emang punya hubungan. Habisnya Kale jinak nya cuma sama lo doang, Len."Aku mendapati Kale yang memutar bola matanya malas."Enggak begitu, Mas. Saya cuma menghargai orang yang lebi
Dulu, aku pernah memiliki pacar dan aku diputuskan olehnya saat aku menolak untuk berciuman dengannya. Kejadiannya adalah saat aku masih SMA. Seorang kakak kelas yang paling tampan, tanpa diduga ternyata menyatakan cinta padaku.Siapa yang tidak merasa senang disukai oleh pria semacam itu? Jelas saja aku langsung menerimanya saat itu juga. Awalnya semua masih baik-baik saja, dia adalah tipe pria yang baik dan juga romantis. Nyaris semua orang merasa iri karena aku bisa mendapatkannya, pun dengan Rosa, sahabatku yang juga menyukai dia.Tapi kemudian setelah satu bulan menjalin hubungan dengannya, dia mulai meminta hal itu padaku. Aku menolak dan dia mengerti dengan penolakan ku. Walaupun begitu, itu bukan lah terakhir kalinya dia meminta. Selanjutnya setiap kali ada kesempatan, dia akan langsung mencoba mencium ku dan aku selalu menolak.Mungkin lama-lama dia jengah karena aku tidak bisa memberikan apa yang dia mau, sehingga pada akhirnya di kali terakhir d
Setelah melihat panggilan masuk dari Ibunda Fattah, sisa hari aku habiskan dengan merasa cemas. Itu karena aku mulai teringat pada keluargaku.Keluarga yang sudah terlanjur memeluk harapan bahwa anak gadis bungsunya akan menikah sebentar lagi. Apa yang akan terjadi pada mereka jika mereka mendengar bahwa pria yang seharusnya menikah dengan anak mereka, justru akan menikahi orang lain?Membayangkan wajah sedih Mama, membuat ulu hatiku terasa sakit bukan main. Aku kebingungan mencari cara untuk mengatakan hal ini pada Mama dan Papa."Mbak enggak pulang?"Aku terhenyak. Tanpa ku sadari ternyata Kale sudah ada di depanku.Memang semua orang sudah pulang, pun dengan Lalisa yang tadi buru-buru pamit karena Abangnya sudah menunggu di bawah. Hanya aku dan Kale yang tadi masih bertahan. Kale masih menyelesaikan tugasnya, sedangkan aku segan untuk pulang karena belum menemukan keberanian untuk bertemu dengan kedua orang tuaku."Pulang dong
Hal yang mustahil aku lakukan saat ini adalah menyembunyikan kenyataan dari keluargaku, terutama dari Mama yang langsung aku temui begitu aku sampai di rumah.Dengan wajah yang bengkak dan mata yang sembab, mustahil Mama tidak menyadari bahwa sesuatu telah terjadi padaku. Hal itu langsung terbukti begitu aku menginjakkan kaki di ruang tengah dan Mama menoleh padaku.Senyum lembut yang selalu dia berikan padaku setiap aku pulang, langsung berubah menjadi raut cemas saat melihat bagaimana kacaunya wajahku.Dia berdiri dengan segera dari kursi dan berlari ke arah ku."Kamu kenapa?" Nadanya sangat cemas dan panik, membuat hatiku ikut merasakan sakit.Baru seperti ini saja aku tidak sanggup melihatnya. Bagaimana nanti setelah Mama mengetahui kenyataan yang terjadi? Aku takut sekali. Namun saat ini lebih jauh lebih baik karena Mama hanya sendiri, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau Papa ada disini juga."Ma.. Mama.."
Aku menatap semua orang yang juga sedang menatapku.Sesaat lalu, Ayahnya Fattah mengatakan sesuatu yang aku saja marah mendengarnya. Padahal aku sengaja tidak menceritakan itu pada Mama karena tidak ingin Mama merasa marah. Tapi kemudian dengan santainya Ayah Fattah mengatakan itu seakan dia tidak merasa bahwa apa yang dia katakan adalah hal yang salah. Benar-benar salah.Papa menatap padaku cukup lama, sebelum kemudian mengalihkan pandangan dan menatap ke arah Ayah Fattah."Apa anda sadar dengan apa yang anda katakan?" Pertanyaan Papa memang terdengar masih sopan, namun siapapun tahu bahwa beliau sedang menahan amarah.Sedangkan Ayah Fattah yang juga menyadari itu, memilih untuk berpura-pura tidak tahu dan malah melanjutkan ucapannya."Kita sama-sama tahu bahwa anak kita saling mencintai. Persiapan pernikahan juga sudah dilaksakan setidaknya kurang lebih tujuh puluh persen, jadi alangkah baiknya jika kita mengenyampingkan ego
Aku pikir ini hanya perasaan ku saja. Di sepanjang jalan menuju ruangan kerjaku, aku merasakan bahwa banyak sekali orang-orang yang menatapku sambil berbisik-bisik. Bahkan ada dari mereka yang juga tertawa diam-diam.Awalnya aku berpikir mungkin itu hanya perasaanku saja yang terlalu sensitif, tapi semakin jauh aku berjalan, semakin jelas perlakuan mereka hingga aku tahu bahwa itu bukan hanya sekedar perasaanku. Apalagi begitu aku sampai di ruangan divisi ku, dengan wajah yang panik Lalisa langsung menarik tanganku. Membawa ku kembali ke luar."Beneran lo sama Fattah putus dan batal nikah?"Aku terkejut. Tidak menyangka bahwa Lalisa akan tahu masalah ini. Karena seingat ku sejauh ini yang tahu masalahku hanya lah Kale, itu pun karena aku sendiri yang menceritakan nya."Lo...kata siapa?"Lalisa berdecak pelan sambil memalingkan wajahnya."Kabarnya udah nyebar dari pertama gue datang. Gue aja kaget banget, dan sepertinya semua oran