Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru
Bab 2Ponsel di sampingku terus bergetar, segera aku meraih dan membukanya. Ternyata pesan dari grup wali murid. Aku memang membuatnya dengan tujuan untuk mempermudah komunikasi. Satu per satu pesan aku baca hingga pada bagian akhir satu pesan membuatku terhenyak.[ Selamat malam, Bunda ….] Pesan dari mantan sekaligus wali muridku.Apa-apaan ini? Mendadak grup menjadi ramai saat mantanku mulai memperkenalkan diri dan juga mengirim fotonya. Memang, dari sekian banyak chat para wali murid mengirimkan foto mereka katanya sebagai bentuk perkenalan. Aku masih menyimak saja chat yang terus datang bergantian.[ Salam kenal Bunda semua. Perkenalkan saya papanya Zivanna. Sepertinya hanya saya yang bukan Bunda ][ Iya, lainnya memang Bunda semua ][ Salam kenal, Papa Zi ][ Salam kenal juga Papa Zi, saya Bundanya Izza nantinya kita akan sering bertemu. Saya single parents. ]Duh, baca chat itu aku jadi malu sendiri. Bundanya Izza adalah seorang orang tua tunggal. Dia tetangga yang rumahnya berada paling ujung. Orangnya cantik tapi menurut dari cerita sedikit genit."Katanya capek, malah mainan hp terus," ucapan protes dari suamiku membuatku harus meletakkan benda pipih di tanganku."Iya, ini mau tidur.""Ai, kamu sudah minum pil nya?" Baru saja pamitan tidur suara dari ibu mertua yang sudah berdiri di ambang pintu mengagetkanku. Sebenarnya tidak ada pintu hanya ada gorden multifungsi yang dijadikan pintu."Sudah, Bu," jawabku lirih. Inginku untuk melawan perintahnya tapi sayangnya aku belum berani."Bagus, kalian itu masih susah jadi jangan punya anak dulu. Ibu juga nggak mau kalian repotkan dengan titipan bayi!" Pernikahanku sudah menginjak 2 tahun dan ibu mertua tidak mengijinkan untuk punya anak, padahal justru aku sudah sangat menginginkannya.Entah sudah berapa kali ibu mertuaku mengatakan hal seperti itu, rasanya sudah di luar kepala. Bahkan bisa aku pastikan jika sekarang ibu akan masuk dan duduk di samping suamiku.Satu langkah, dua langkah dan akhirnya yang jadi tebakanku benar. Ibu duduk tepat di sampingku.Plak!Satu pukulan mendarat di kaki yang sedianya sedang dipijat. Segera aku menarik kakiku dan mengusapnya. Perih."Istri macam apa kamu?! Bisa-bisanya sudah seperti bos, nyuruh suami buat pijat? Enak, ya? Harusnya kamu yang pijat suami bukannya kebalik kaya gini!" Rasanya dadaku bergemuruh mendengar ibu memarahiku. Matanya melotot menatapku tajam."Bu, bukan Ai yang yang minta tapi Adit yang memang mau pijitin Ai," ucap suamiku membela."Halah! Nggak usah sok membelanya!""Nggak, Bu, serius, Adit nggak membela siapa-siapa. Tadi itu Ai pulangnya udah sore, dia pasti capek makannya Adit pijitin." Suamiku berusaha membujuk ibunya. Tangan yang tadi berada di betis kini berpindah di bahu ibu. Terlihat jika ibu merasa keenakan dengan pijatan Mas Adit, matanya merem melek lidahnya keluar masuk, hidungnya kembang kempis. Ups."Yang capek itu kamu bukan dia! Dia itu kerjanya cuma duduk, nulis, nyanyi-nyanyi sama anak kecil, sedangkan kamu … kamu itu kerjanya berat, angkat besi, angkat semen belum angkat beban hidup. Kamu juga harus menanggung dia yang makannya banyak!" Saat mengatakan, mata ibu melirikku dengan jelas. Ibu memang merendahkan aku banget. Aku itu istrinya Mas Adit otomatis aku itu tanggung jawabnya, dan soal makan, aku masih dalam batas wajar porsinya."Sebelah sini,loh, Dit pijitinnya. Tadi itu Ibu capek banget seharian beres-beres rumah nggak ada yang bantu. Pagi masak air, siang nyapu, sorenya ke warung," jelas wanita paruh baya itu."Iya, Adit tahu.""Oh, ya, Dit, tadi di warung ada yang jualan gamis. Ibu suka banget sama bajunya, jadi Ibu ambil dua. Lumayan buat ganti-gantian kalau ke pengajian. Ibu itu malu, kalau datang ke pengajian gamisnya itu-itu terus mana udah buluk." Panjang lebar ibu menjelaskan dengan muka yang dibuat sedih tapi aku tahu ke mana arah pembicaraannya. Tunggu bentar lagi, pasti tebakanku benar."Dit, nanti kamu yang nyicil gamis buat Ibu, ya." Nah, kan, sesuai dengan tebakanku. Sudah sering soalnya, entah daster, panci, sprei, pokoknya kalau ada tetangga yang beli pasti Ibu pengin. Padahal barang-barang yang Ibu beli juga entah dipakai apa nggak. Termasuk soal gamis, baru beberapa minggu yang lalu ibu kredit gamis dan mungkin malah belum pernah dipakai sama ibu dan sekarang sudah mengambil kredit gamis lagi."Iya, nanti Adit yang nyicil. Memangnya berapa harga gamisnya?" Jawaban yang keluar dari mulut suamiku juga sudah bisa aku tebak. Pokoknya mudah banget suamiku mengiyakan permintaannya ibunya."Nggak mahal kok, cuma delapan ratus ribu dua." What? Delapan ratus ribu nggak mahal? Aku sampai menelan ludah mendengarnya. "Temponya dua bulan, tenang saja.""Maaf, Bu … Ai pamit tidur dulu, udah ngantuk." Tak tahan rasanya mendengar percakapan antara ibu dan anak itu. Sebenarnya memang sudah biasa tapi rasanya aku kecewa saja sama suamiku. Kalau uang kami banyak mungkin tak masalah tapi keuangan kami itu seringnya nombok. Gaji Mas Adit itu kecil, namanya juga hanya kuli di toko bangunan. Kalian tahu, kalau aku berangkat ke sekolah aku hanya bawa uang sepuluh ribu? Belum lagi kalau apes seperti tadi, bannya bocor. Untung saja masih ada lebihan uang dari hari kemarin yang aku kumpulkan.Tidak lama setelah Mas Adit menyanggupi permintaan, Ibu keluar dari kamar dan lingkaran di perut sudah aku rasakan."Dek, marah, ya?" Tidak, aku pedulikan pertanyaan dari suamiku justru aku semakin erat memeluk bantal guling."Dek …." Pokoknya, bodo amat!"Dek … jangan marah, Mas tahu kalau sekarang kamu marah sama, Mas. Tapi, mau gimana lagi? Masa, Mas mau nolak permintaan Ibu?""Mas, apa Mas nggak bisa sedikit saja tidak terlalu mengiyakan segala permintaan ibu? Gamis, loh, Mas … Mas tahu sendiri kalau beberapa minggu yang lalu baru ibu beli gamis dan entah sudah dipakai apa belum. Ibu itu cuma gengsi, cuma mau pamer!" Tanpa menatap aku akhirnya berbicara."Iya, Mas, tahu … tapi yang minta ibu. Kamu tahu sendiri orang tua Mas tinggal ibu." Ah, selalu saja itu alasannya. Muak rasanya! Lebih baik aku tidur saja daripada tambah ribut.Pagi menjelang, aku sudah bersiap untuk berangkat. Perasaan dongkol masih terbawa sampai pagi, jadi ada rasa malas untuk bicara. Biarlah, barangkali kalau aku mogok bicara Mas Adit akan sadar.Saat sudah siap di atas motor tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku. Ternyata itu Mbak Ani—kakak iparku."Ai, titip Dena, ya …," pinta Mbak Ani. Ya, Dena—anaknya alias keponakanku—memang Mbak Ani masukkan ke TK yang sama dengan sekolahku."Loh, Dena mau berangkat pakai baju tidur?" Aku bertanya setelah melihat Dena masih memakai piyama, rambutnya yang panjang masih terurai acak-acakan dan bekas Iler yang menggaris di sudut bibirnya."Ya, nggak. Masa anakku yang cantik kaya gini ke sekolah, nanti kamu mandiin dulu sama tolong baju seragamnya disetrika juga. Bajunya di dalam tas. Mbak udah terlambat berangkat kerja soalnya." Mbak Ani berkata seraya menyerahkan tas padaku."Tapi, Mbak–""Pokoknya titip Dena!" teriak Mbak Ani yang sudah melangkah pergi. Kalau sudah seperti ini aku bisa apa? Mana mungkin juga aku tega tinggalin Dena sendirian.Tas punggung yang sudah aku pakai kulepas dan ditaruh di atas meja, sepatu yang sudah terpasang di kaki juga aku lepas, setelahnya tempat yang aku tuju adalah kamar mandi.Selesai memandikan Dena, gegas aku kembali bersiap untuk ke sekolah."Tante, Dena belum sarapan," ucap gadis kecil yang sudah rapi. Ya ampun, ini bagaimana Mbak Ani? Udah tahu kalau Dena hari ini mulai sekolah, eh malah nggak ada persiapan."Tante bikin nasi goreng, Dena mau?" Gadis kecil berkuncir satu itu mengangguk. Kemudian aku mengarahkannya menuju ke meja makan dan setelahnya dia sibuk dengan nasi goreng di piringnya. Dena makan dengan lahap, sesekali aku melihat pada jam di atas pintu kamarku. Sudah jam tujuh, aku pasti terlambat."Tante, boleh nambah?" pinta Dena. Dia menyodorkan piring kosongnya padaku."Boleh." Kuambil separuh dari jumlah sepiring porsi nasi goreng yang tersisa. Sebenarnya itu untuk ibu tapi masa iya, Dena minta nggak dikasih.Pukul delapan aku sudah sampai di sekolah dan sudah pasti terlambat. Benar saja, sudah ada Bu Eli yang berada di kelasku. Segera, aku masuk ke kelas dan meminta maaf pada Bu Eli.***Selesai sudah kegiatan mengajarku hari ini, anak-anak segera aku antar menuju ke depan tempat orang tua mereka menjemput. Kebanyakan yang menjemput adalah ibu-ibu. Anak-anak langsung menghambur mendekat pada ibunya.Di sampingku berdiri Zivanna dan Dena. Tinggal mereka yang belum dijemput."Zivanna belum dijemput sama papah?" Bundanya Izza mendekat, dia mengusap rambut Zivanna."Belum," jawab Zivanna seraya menggelengkan kepala."Nanti Bu Guru temenin Zivanna sampai papanya datang," ucapku."Nggak usah, biar saya saja yang tunggu.""Begitu? Kebetulan kalau begitu, sekalian tungguin Dena bisa? Ibunya belum jemput.""Nggak bisa, repot! Zivanna aja!" tolak Bunda Izza dengan tegas."Papa …!" teriak Zivanna seraya melambaikan tangan. Seketika aku menoleh dan benar saja Mas Reza alias papanya Zivanna alias lagi mantanku kini berjalan mendekat. Menggunakan jas warna hitam serta kacamata yang juga berwarna hitam dia berjalan dengan gagah. Senyumnya menampilkan deretan gigi yang putih dan rata mirip waktu dia menjemput saat aku pulang kuliah.Astaghfirullah hal adzim. Untung aku segera sadar sebelum tanganku justru ikut melambai. Ish, apa-apaan aku? Bisa-bisanya justru malah jadi ingat masa lalu?"Maaf, Bu, saya terlambat jemput," ucap Mas Reza. Matanya menatapku dengan teduh tapi buru-buru aku mengalihkan pandangan."Eh, nggak apa-apa. Saya loh, yang tadinya mau temenin Zivanna sampai Papa Zi datang." Bundanya Izza menyerobot sebelum aku sempat menjawab. Mulutku yang tadinya sudah terbuka kini kututup kembali sebelum lalat dan gajah keburu masuk."Terima kasih. Maaf sepertinya saya belum mengenal–""Saya Bundanya Izza, yang semalam di grup sama chat pribadi tapi belum dibalas sama Papa Zi.""Oh, jadi ini Bundanya Izza? Salam kenal, Bun." Bundanya Izza tersenyum sumringah seraya mengibaskan rambut hasil bondingan berwarna blondenya."Kalau begitu, saya pamit duluan. Sekali lagi, terima kasih sudah menunggu Zivanna. Bu Nana, ayo pulang sekalian," ajak Mas Reza sukses membuat mata ini mendelik."Nama saya Aisyah biasa dipanggil Bu Ai," jawabku."Maaf, saya lupa Nana itu panggilan Zivanna jadi kebiasaan," kilah Mas Reza."Bu Ai bawa motor dan masih ada pekerjaan, nggak mungkin kalau mau ikut. Tapi saya mau pulang, saya aja yang ikut sama Papa Zi," sela Bundanya Izza."Nah, betul. Silahkan Papanya Zivanna bareng sama Bundanya Izza saja, saya ada pekerjaan," jawabku seraya tersenyum geli. Sedangkan Mas Reza justru terlihat kaget."Aduh, maaf, saya lupa kalau ada jadwal meeting. Sepertinya saya harus pergi. Sekali lagi terima kasih sudah menunggu Zivanna. Saya permisi."Mas Reza kemudian berlalu pergi sedangkan Bundanya Izza mengejar Mas Reza sampai tangan anaknya ditarik dengan paksa. Sepertinya ada yang ingin melakukan pendekatan. Aku hanya tertawa dalam hati melihatnya."Dena, mama kok nggak jemput-jemput?" tanyaku pada keponakan yang tangannya terus memegang tanganku."Kata mama, pulangnya sama Tante," jawabnya semakin membuatku menarik nafas. Sepertinya Mbak Ani sengaja menitipkan Dena padaku. Padahal pekerjaannya sebagai ART bisa disela dengan menjemput Dena. Rumah majikannya juga nggak jauh dari sekolah. Sudahlah, lebih baik aku selesaikan pekerjaanku saja daripada mikirin yang lain.***Selesai dengan semua pekerjaan aku sudah bersiap dengan motor bututku. Dena yang sudah lelah menungguku sudah duduk membonceng di belakang.Perjalanan lima belas menit sudah aku tempuh untuk sampai ke rumah. Namun, saat baru sampai di depan rumah terlihat jika ibu sedang bersama dengan dua orang pria berpakaian hitam. Entah siapa mereka. Hanya saja terlihat jika mereka sedang tidak baik-baik saja. Dena kemudian turun begitu juga denganku yang sudah mematikan mesin motor."Assalamualaikum," sapaku."Nah, ini dia …, ambil saja motornya untuk melunasi hutangku!" ucap Ibu.Apa? Apa-apaan Ibu? Tidak! Aku tidak akan menyerahkan motorku. Lihat saja kalau sampai motorku diambil, aku akan lawan mereka. Enak saja mau ambil motor seenak jidat mereka, gelut juga aku ladenin!🌹🌹🌹Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru Bab 3"Nah, ini dia …, ambil saja motornya untuk melunasi hutangku!" ucap Ibu.Apa? Apa-apaan Ibu? Tidak! Aku tidak akan menyerahkan motorku. Lihat saja kalau sampai motorku diambil, aku akan lawan mereka. Enak saja mau ambil motor seenak jidat mereka, gelut juga aku ladenin!Tak terima dengan ucapan dari ibu, segera aku gulung lengan kemeja panjang yang aku kenakan hingga sebatas siku. Tas ransel yang tadinya dipunggung aku lepas dan kutaruh di atas motor. Rasanya tak terima, motor yang kubeli dari hasil jerih payahku selama ini mau dijadikan sebagai pembayaran hutang. Utang juga bukan aku yang ngutang kenapa jadi aku dibawa-bawa?"Kalian mau apa?" tanyaku pada dua orang laki-laki yang masih memandang pada motorku. "Ya mau ambil motor, lah!""Motor siapa yang mau diambil, hah?!""Ai, serahkan saja motornya buat bayar utang ibu. Lagian itu motor, kan, motor Adit juga," sela Ibu dengan wajah datarnya yang tentu saja semakin membuatku bertamb
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru Bab 4[ Na, aku sudah berhasil. Satu per satu aku mewujudkan impian kita. Aku mewujudkannya untukmu, Na. Aku punya rumah untuk kita, aku punya mobil juga untuk kita dan satu lagi di rumah aku punya kolam renang. Bukankah impianmu dulu punya rumah yang ada kolam renangnya? Kamu mau, kan, hidup bersama denganku? ] Membacanya membuat hatiku semakin teriris. Apa kamu tahu Mas, kamu menceritakan segala impian kita dulu dan kamu mewujudkannya. Sedangkan aku di sini, hidupku dalam kekurangan. Apa aku tinggalkan saja semuanya dan hidup bersamamu? Rasanya aku lelah, capek dengan ini semua.Tanpa terasa bulir bening sudah mengalir di sudut mata, mengingat betapa berbedanya kehidupanku dan mantan. Aku jadi berandai-andai, kalau saja aku belum menikah mungkin sekarang aku akan langsung mengiyakan permintaan dari Mas Reza. Atau kalau saja dulu aku dan dia tidak berpisah mungkin takdirku akan lain. Tidak kekurangan dan punya mertua seperti sekarang. Boleh
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 5Aku terlena, saat Mas Reza meraih tanganku, membimbingku melewati karpet merah. Persis seperti sepasang pengantin yang tengah berbahagia. "Aku mencintaimu, Nana … maukah kamu hidup bersamaku? Kita wujudkan impian kita menjadi keluarga yang bahagia, bersama anak-anak kita nanti." Apa yang harus aku jawab? Imajinasiku Mas Reza mengatakan hal itu, akan tetapi nyatanya Mas Reza hanya berdiri di sampingku. Dia tidak meraih tanganku, ketika melihat ke bawah kedua tanganku masih dalam posisi semula. Sialan, bagaimana mungkin aku bisa membayangkan sejauh itu? Sadar Ai, sadar …. Aku bermonolog dengan diriku sendiri sampai kupukul kepalaku agar otakku tidak oleng seperti tadi.“Na, ayo,” ajak Mas Reza. “Ke mana?” tanyaku heran.“Ayolah.” Sedikit memaksa, Mas Reza menarik tanganku. berjalan melewati karpet merah dengan hiasan pada kanan dan kiri bunga mawar kini aku sudah sampai di sebuah meja dan kursi yang juga sudah tertata sedemikian rupa.
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 6Aku tidak menjawab, gegas aku melangkah keluar dari ruko. Namun, saat membuka rolling door, justru aku kaget dengan sosok yang berdiri di depan pintu."Mas A–dit."Mati aku! Bagaimana kalau Mas Adit tahu apa yang terjadi di dalam? Batinku.Laki-laki yang memakai kaos kerah berwarna biru dengan nama toko bangunan tercetak lingkaran di dada itu menatapku lekat. Pun denganku yang yang dilanda rasa panik dan gugup. Baru kali ini aku merasakan seperti ini. Mungkin seperti ini rasanya ketika maling akan tertangkap tapi aku bukan maling tentunya. Aku hanya takut jika suamiku mengetahui apa yang terjadi di dalam walaupun aku tahu aku tidak melakukan apa pun. Salahku hanya bertemu dengan Mas Reza yang ternyata adalah mantanku, itu saja.Aku tidak selingkuh … iya aku tidak selingkuh kenapa aku harus takut? Aku hanya takut jika Mas Adit salah paham."Dek, lagi ngapain di sini?" tanya Mas Adit. Matanya mulai menelisik ke dalam kios yang pintunya mas
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 7"Kamu hamil, Dek?" tanya Mas Adit. Aku mengangguk seraya tersenyum."Beneran?" Lagi, Mas Adit bertanya."Iya, Mas, aku hamil. Dua garis pada alat itu artinya aku sedang hamil.""Tidak bisa! Kamu harus gugurkan!"Suara lantang dari arah pintu sungguh membuatku kaget. Pun dengan Mas Adit yang seketika berdiri. Aku berbalik dari posisi yang tadinya membelakangi pintu kini jadi semakin jelas melihat siapa yang datang. Ya, wanita dengan memegang gelas besar berisi teh itu adalah ibu. Beliau meletakkan gelas itu di atas meja dan mendekat. Langkah demi langkah membuat posisi kami semakin seakan tidak ada jarak. Tanpa aku duga, beliau kemudian dengan cepat merebut alat tes kehamilan yang berada di tangan Mas Adit dan meremasnya. Aku tahu jika selama ini Ibu melarangku untuk hamil, tapi aku juga punya naluri. Setiap hari aku bersama anak-anak, setiap hari aku mendengar celotehan mereka, setiap hari juga aku melihat tingkah laku menggemaskan mer
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 8"Jangan dipikirkan nanti, pokoknya kamu harus berhasil membujuk Ai. Kamu bisa kan?""Iya, Bu."Apa? Mas Adit mengiyakan? Itu artinya, Mas Adit setuju dengan Ibunya untuk menggugurkan kandunganku? Keterlaluan kamu, Mas!Tak tahan dengan apa yang akan mereka bicarakan kemudian aku menuju ke kamar. Rasa haus yang tadi menyerang kini menguar entah ke mana. Mungkin sudah hilang bersama dengan isak yang tertahan. Kembali ke kamar aku menjatuhkan bobot tubuhku pada ranjang, menutup kepalaku dengan bantal kemudian menumpahkan apa yang aku rasa.Bu … Ai pengen pulang … Ai kangen sama pelukan Ibu. Batinku menjerit. Saat seperti ini memang hanya pelukan ibu yang sangat aku butuhkan. Hanya saja jarak memisahkan antara aku dan ibu. Pagi menyapa, saat membuka mata tidak kutemukan Mas Adit berada di sisiku. Mungkin dia tidur di depan tv sesuai dengan kebiasaannya jika terjadi sesuatu antara aku dan ibu. Dia akan tidur terpisah denganku. Sebenarnya Mas
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 9"Bu Ai." Panggil seseorang yang belum aku ketahui siapa. Sosoknya tertutup badan Mas Reza. Mas Reza kemudian sedikit bergeser hingga akhirnya aku bisa tahu jika yang memanggilku adalah Bu Eli. "Ya, Bu," jawabku."Dipanggil Bu Kepsek.""Iya, saya segera ke sana." Setelah itu, aku melewati begitu saja Mas Reza, dan tidak tahu kapan dia pergi yang jelas saat aku kembali ke kelas dia sudah tidak ada. Baguslah, jadi aku tidak dicecar penjelasan olehnya.Hari semakin siang, saatnya anak-anak untuk pulang. Seperti biasanya aku akan menunggu sampai orang tua murid datang menjemput. Saat itu juga, anak-anak berteriak kegirangan. Aku menoleh ke arah di mana anak-anak saat ini mengerumuni sosok yang memakai kostum superhero. Sosok yang memakai kostum Ultraman itu menari-nari mendekat ke arahku diikuti oleh anak-anak yang berteriak kegirangan. Zivanna yang tangannya berada dalam genggaman tanganku melepaskan tangannya dan ikut dalam kerumunan tema
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 10Keterlaluan kalian! Janin yang saat ini ada dalam kandunganku adalah cucu dan keponakan kalian. Teganya kalian akan menggugurkannya. Bukankah itu sama saja dengan membunuhnya? Di mana nurani kalian?Dadaku semakin berdegup dengan kencang saat ini, ingin rasanya aku memaki atau sekalian saja aku melabrak dua orang yang masih belum mengetahui keberadaanku. Namun, setelah dipikir-pikir sepertinya itu bukan cara yang baik. Aku tidak akan bertindak bar-bar terlebih dahulu. Oke, kakak ipar dan ibu mertua, aku akan ikuti permainan kalian. Kita lihat saja apa yang akan terjadi. Aku akan berjuang untuk anakku.Niat awal yang sedianya untuk mengambil makanan aku urungkan. Beralih menuju ke kamar, menunggu kedatangan suami dan ingin membicarakan apa yang sudah aku dengar tadi. Setelah menunggu agak lama, laki-laki yang masih memakai seragam kerja masuk ke dalam kamar. Dia kemudian menghampiri dan duduk di sampingku. "Dek, Mas bawain nasi padang.
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 80"Iya, Mas. Ini cara terakhir agar rumah itu bisa menggantikan rumah yang dijual sama Mas Adit.""No! Aku tidak mengijinkan itu. Terlalu beresiko jika kamu harus kembali ke rumah itu. Kamu nggak lupa, kan, sama apa yang sudah mereka lakukan sama kamu?" Tangan Mas Reza menyilang di depan dada menandakan jika dia menolak apa yang sudah aku rencanakan. Tetapi, tidak ada cara lain selain ini. Mereka tidak akan mungkin menyerahkan rumah itu begitu saja."Betul, itu. Aku juga sangat tidak setuju kalau Bu Ai balik ke rumah itu lagi. Mau cari mati Bu Ai?" sergah Bu Eli. "Ya nggak, lah, masa cari mati. Aku masih pengin diberikan umur yang panjang buat bahagiain ibu peri.""Jangan bercanda, Na. Aku nggak suka. Tetaplah tinggal di sini. Ini tempat yang aman buat kalian. Atau kurang nyaman? Nanti aku carikan rumah yang lebih luas," timpal Mas Reza. Aku bisa melihat rasa khawatirnya saat ini. "Ini cara yang terbaik, bukan masalah rumah ini luas at
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 79"Iya, aku mau dijodohkan, Bu Ai." Jadi masalahnya Bu Eli adalah tentang perjodohan. Pantas saja dia murung."Dijodohkan sama siapa?""Temannya kakakku. Aku juga nggak tahu orangnya, besok kalau kakakku pulang dinas baru aku bertemu dan langsung tunangan," jelasnya."Kamu mau kalau dijodohkan?" Lagi-lagi Bu Eli terdiam, entah apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. "Mau tidak mau harus mau," jawabnya. Aku menelisik wajah ayu itu, yang kini membenamkan wajahnya di balik bantal guling milikku."Sabar, ya , Bu Eli. Kalau Bu Eli sudah punya pilihan, kenapa Bu Eli nggak ngomong?""Bu Ai, kalau aku punya pasangan, orang tuaku nggak mungkin mau jodohin aku. Ini pasti ulah Mas Eka. Dia ngebet banget pengin lihat aku nikah!" gerutu Bu Eli. Bantal guling dia singkirkan, kemudian dibuangnya ke sembarang arah. Mas Eka yang aku tahu adalah kakaknya Bu Eli. Dia bertugas di luar kota. Entah apa pekerjaannya aku kurang paham. Hanya namanya saja y
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 78"Nanti, Bu … kalau Ai bilang di rumah Adit sama aja bohong," dalihku pada Ibu. Padahal ada sesuatu yang kurang agar bisa menjual rumah Mas Adit."Sudah, pokoknya sekarang Ibu istirahat. Nanti kita bicara lagi. Oke?" lanjutku pada wanita yang masih menatapku. Kembali aku berdiri, kali ini aku juga membawa gelas milik Ibu yang sudah kosong menuju ke wastafel.Setelah itu aku menuju ke kamar, merebahkan diri yang sudah terasa amat lelah. Lelah menghadapi cobaan hidup. Memang kalau dilihat tidak mengeluarkan tenaga, tetapi pikiran yang terkuras justru membuat badan ini jadi begitu lelah. Oh, iya, aku jadi ingat kalau aku butuh sesuatu untuk menjalankan misi merebut rumah Mas Adit. Kuambil ponsel yang berada di dalam tas selempang yang tadi aku pakai. Kemudian mulai mengetik pesan pada seseorang, masih dengan posisi rebahan. [ Hai, Ultraman gamon … lagi sibuk? ] Pesan segera centang dua tetapi belum berubah warna menjadi biru. Mungkin dia
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 77"Kalau kamu tidak bisa mengembalikan rumah ibuku, maka rumah ini harus dijual sebagai gantinya!" Aku mengatakan dengan lantang, ingin tahu bagaimana dengan reaksi mereka. "Kamu lagi ngimpi Ai?" tanya ibu diiringi tawanya. Entah apa yang lucu menurutnya. Apa dikira aku sedang melawak? Batinku. Kutatap bergantian wajah dua orang yang masih tertawa itu. Ingin sekali aku tampol pakai parutan kelapa."Siapa yang mimpi? Nggak lihat kalau mataku melek?" Kupelototkan sekalian mataku agar mereka tahu bahwa aku sedang tidak bercanda. "Lagian, kamu itu ngimpinya tinggi banget. Jangan kaya gitu nanti kalau jatuh, sakit, terus nangis," cibir Ibu semakin membuatku muak. "Sudahlah, Dek. Kalau mau balik ke rumah ini, mau balikan sama aku bilang aja, nggak usah pakai ngancam segala," kata Mas Adit. Mungkin otaknya kurang sekilo apa, ya? Bisa-bisanya dia justru berkata seperti itu. Siapa lagi yang mau balikan, kalau saja rumah Ibu tidak dijual olehn
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 76Aku masih terdiam, sampai akhirnya sudah berada di parkiran gedung pengadilan. Namun, rasanya sangat malas untuk turun. "Ayo turun," ajak Mas Reza. "Ibu tetap di sini, kalian saja yang turun," sahut Ibu. Aku tahu, jika dari nada bicara Ibu saat ini Ibu mungkin sedang marah atau mungkin kecewa denganku. "Apa Ibu marah?""Tidak. Hanya saja ibu sudah kehilangan anak ibu. Entah ke mana nuraninya saat ini. Pendendam dan buta dengan kesedihan orang lain. Ibu kecewa sama kamu, Ai! Apa ibu mengajarkan hal seperti ini sama kamu? Apa ibu mengajarkan itu, Ai?"Aku hanya mampu menggeleng dengan kemarahan Ibu. Jarang sekali beliau marah kecuali aku sudah bertindak keterlaluan. Apa mungkin aku keterlaluan? Apa meminta keadilan adalah hal yang keterlaluan?"Reza, kita pulang!" perintah Ibu. "Maaf, Na, kali ini Ultraman setuju dengan Ibu peri," sahut Mas Reza. Dia kemudian menyalakan kembali mesin mobilnya. "Bu, bagaimana denganku?" Aku bertanya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 75"Kita tunggu keadaan ke depannya, Pak. Saat ini saya belum bisa mengambil keputusan. Semoga kuat dan terus bertahan, jika tidak bisa maka secepatnya harus segera dikeluarkan. Kendalanya hanya satu, jantung Bu Ulfa semakin melemah. Kami tidak bisa melakukan operasi jika seperti itu. Bisa-bisa dua nyawa tidak akan terselamatkan."Sungguh walaupun aku bukan siapa-siapa, tapi ketika aku mendengar penjelasan dokter, dadaku juga ikut berdetak lebih cepat, tulang pun rasanya sudah lolos dari tubuh. Lantas, bagaimana dengan Pak Jajang yang notabene adalah suaminya? Entahlah, aku tidak bisa menilai, yang jelas saat ini adalah saat terberat untuknya."Bu Ai … silahkan ke pengadilan, sesuai dengan pesan istri saya," ucap Pak Jajang sesaat sebelum masuk ke ruangan tempat istrinya dirawat. "Sekali lagi, saya minta maaf Bu Ai." Sosok itu kemudian menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Kami tidak diperbolehkan masuk kecuali Pak Jaja
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 74"Ampuni saya, Bu Ai … ampuni saya … lihatlah istri saya … bagaimana nasibnya jika saya nantinya dipenjara?" Pak Jajang terus memohon. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya lolos dan meluncur dengan deras."Pak Jajang, lalu bagaimana dengan saya? Apa Pak Jajang pikir saya tidak sedih kehilangan anak saya?"***Aku mengatakan dengan suara yang bergetar. Hati ini rasanya sangat sakit mendengar permohonan dari laki-laki yang masih bersimpuh. Aku berusaha untuk sekuat tenaga menahan perih di hati. "Bu Ai … saya tahu sekali dengan perasaan Bu Ai, tapi saya mohon Bu Ai …." Kembali Pak Jajang mengiba, namun hati ini rasanya tidak bisa menerima permohonannya. "Maaf, Pak Jajang … saya tidak bisa," jawabku. Akhirnya aku bisa mengambil keputusan. Bukankah setiap perbuatan harus dipertanggung jawabkan? Setelah semua yang terjadi, setelah keadilan tidak berpihak denganku, setelah dengan mudahnya dia memberikan kesaksian palsu kini dengan muda
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 73"Kenapa?""Ultraman bahaya kalau lagi lapar. Kalau udah jadi Nyonya Ultraman jangan sampai bikin dia kelaparan pokoknya," celetuk Bu Eli. Sore itu aku dibantu Bu Eli untuk memasak makan malam. Daftar makanan yang diminta oleh Mas Reza akhirnya selesai dimasak sebelum maghrib. Lantas kami semua sholat Maghrib berjamaah terlebih dahulu sebelum makan malam. ***Esoknya aku tengah bersiap untuk pergi ke pengadilan. Mas Reza sudah siap menjemput, kali ini Ibu ikut menemani. Namun, baru saja hendak masuk ke mobil langkah kami dicegat oleh seseorang."Bu Ai, tunggu!" teriaknya seraya terus berlari. Mas Reza yang sudah di dalam mobil pun ikut keluar demi melihat siapa yang sudah memanggilku. "Pak Jajang? Ada apa? Kenapa ke sini?" tanyaku heran. Dia yang kemarin bungkam kini tiba-tiba mendatangiku. Penasaran aku, ada niat apa sebenarnya. "A–anu, Bu Ai … bisakah ikut saya?" "Ikut Pak Jajang? Ke mana? Terus tahu dari mana tempat tinggal saya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 72Pak Jajang yang belum menyadari kehadiranku masih memilih buah apel di depannya. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya."Pak Jajang … lagi belanja?" tanyaku setelah berdiri tepat di sampingnya. Dia yang terlihat terkejut dengan kedatanganku bahkan menjatuhkan apel yang berada di tangannya."Bu … A–Ai," ucapnya tercekat. Dia bahkan terlihat menelan ludah setelahnya. Terlihat dari jakunnya yang naik turun."Iya, ini saya. Kenapa? Kaget?"Laki-laki itu bergeming. "Atau merasa bersalah?" lanjutku bertanya. Kutatap dari ujung kepala sampai ujung kaki laki-laki yang berpenampilan sederhana itu. Tidak ada yang berubah, masih sama. "Saya harus pergi, permisi," ucapnya."Tunggu!" sergahku. "Saya belum selesai bicara, Pak Jajang." Dia yang sedianya akan melangkah urung melakukannya. Kembali dia berhadapan denganku."Kenapa Pak Jajang memberikan kesaksian palsu?" tanyaku seraya menatap tajam padanya. Dia tetap menunduk tanpa berani membalas ta